Tag Archive for: Departemen HAN

[KALIURANG]; Departemen Hukum Administrasi Negara (HAN) Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII) telah melaksanakan kegiatan Seminar Nasional dan Call for Paper. Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal Selasa (06/09) secara hybrid yaitu melalui media zoom meeting dan hadir secara langsung di Auditorium Lantai 4 FH UII. Seminar Nasional dan Call for Paper menjadi kegiatan perdana yang dilaksanakan secara hybrid.

Seminar Nasional tersebut mengangkat tema mengenai “Penyelesaian Sengketa melalui Upaya Administratif dan Wacana Pembentukan Lembaga Eksekutorial di Pengadilan Tata Usaha Negara”. Kemudian, untuk kegiatan Call for Paper mengangkat subtema mengenai penyelesaian sengketa di bidang hukum lingkungan, hukum kepegawaian, hukum pajak, hukum pertanahan, dan bidang lainnya.

Kegiatan Seminar Nasional dan Call for Paper mendapatkan respon yang sangat baik dari berbagai pihak. Hal ini terlihat dari jumlah peserta seminar yang mencapai angka 300 lebih partisipan dan terdapat 16 paper yang dipresentasikan.

Pelaksanaan Seminar Nasional dimulai dengan sambutan dan pembukaan yang disampaikan oleh Dekan Fakultas Hukum UII, yaitu Prof. Dr. Budi Agus Riswandi, S.H., M.Hum. Dilanjutkan dengan pemaparan materi oleh keempat narasumber diantaranya yaitu Dr. Malinda Eka Yuniza, S.H., LL.M. (Dosen Fakultas Hukum UGM), Dr. S.F. Marbun, S.H., M.Hum. (Dosen Fakultas Hukum UII), Christijanto Wahju Purwoistjiko, S.E., M.Tax. (Kepala Bidang Keberatan, Banding, dan Pengurangan Kanwil DJP DIY), dan Dr. Umar Dani, S.H., M.H. (Hakim PTUN Serang).

Pembicara pertama yaitu Dr. Malinda Eka Yuniza, S.H., LL.M. Materi yang disampaikan oleh beliau adalah mengenai “Potensi Sengketa PTUN Pasca Undang-Undang Cipta Kerja”. Dalam menyampaikan materi tersebut, beliau menyampaikan bahwa terdapat empat bahasan krusial mengenai potensi sengketa PTUN pasca diberlakukannya UU Cipta Kerja. Pertama, kaitannya dengan kendala pembuatan peraturan pelaksana pasca UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Kedua, kewenangan mengadili permohonan fiktif positif pada Undang-Undang Cipta Kerja. Ketiga, otomatisasi sistem OSS pada Undang-Undang Cipta Kerja kian menjadi kompleks. Keempat, perlunya lembaga eksekutorial dalam pelaksanaan putusan di PTUN.

Pembicara kedua yaitu Dr. S.F. Marbun, S.H., M.Hum. Dalam kesempatan ini, beliau menyampaikan materi mengenai “Upaya Administratif di Indonesia”. Terjadinya pergeseran politik hukum membuat perubahan yang signifikan pada penggunaan upaya administratif dalam penyelesaian sengketa administratif. Ketentuan terbaru dimuat pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang menyatakan bahwa upaya administratif sebagai upaya alternatif sehingga tidak lagi menjadi sebuah kewajiban. Kemudian berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2018 menyatakan bahwa upaya administratif dikembalikan lagi menjadi ketentuan semula yakni diwajibkan sebelum melalui upaya yudisial. Namun, dewasa ini peraturan mengenai upaya administratif masih saja belum menemui keseragaman. Oleh karena itu, diharapkan kedepan nanti terdapat upaya untuk membentuk pedoman yang konkret terhadap penyelesaian sengketa administratif melalui upaya administratif.

Pembicara ketiga yaitu Christijanto Wahju Purwoistijko, S.E., M.Tax. Beliau menyampaikan materi mengenai “Penyelesaian Sengketa Perpajakan”. Pajak merupakan kontribusi wajib yang bersifat memaksa bagi setiap individu maupun badan dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung. Munculnya sengketa pajak biasanya dimulai dari adanya SPT (surat pemberitahuan). Kemudian sengketa tersebut dapat diselesaikan melalui upaya administratif yang ditampung oleh tiga fungsi bidang yaitu banding, keberatan, dan pengurangan.

Pembicara keempat yaitu Dr. Umar Dani, S.H., M.H. yang menyampaikan materi mengenai “Pembentukan Lembaga Eksekutorial pada PTUN di Indonesia”. Saat ini terdapat tiga poin penting yang menjadi permasalahan pada PTUN, diantaranya yaitu pertama permasalahan mengenai prinsip hukum. Kedua, dalam tataran hukum positif tidak dibuat aturan turunan mengenai sanksi administratif dan upaya paksa. Kemudian ketiga secara norma menunjukkan bahwa lebih menekankan kepada kepatuhan moral dibandingkan dengan kepatuhan yuridis, sehingga budaya hukumnya para pejabat tidak patuh. Dengan ketiga permasalahan di atas, maka saat ini terdapat wacana pembentukan lembaga eksekutorial di PTUN.

 

 

Penulis: Ayunita Nur Rohanawati, S.H., M.H.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Administrasi Negara

            Mendekati perayaan Idul Fitri tahun 2022 ini, Menteri Ketenagakerjaan mengeluarkan regulasi terkait dengan Tunjangan Hari Raya (THR) yang merupakan hak bagi pekerja di Indonesia. Regulasi tersebut ialah Surat Edaran Menaker Nomor M/1/HK.04/IV/2022 yang mengatur tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan. Istilah THR ramai diperbincangkan saat mendekati perayaan hari raya keagamaan di Indonesia. Dalam konteks Hukum Ketenagakerjaan THR merupakan hak dari pekerja untuk menerima dan kewajiban pengusaha untuk membayarkannya. THR masuk dalam kategori pendapatan non upah, dengan pembayaran yang dilakukan menjelang dirayakannya hari besar keagamaan.

Hari raya keagamaan sebagaimana dimaksud mengacu pada seluruh agama yang diakui di Indonesia. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/ Buruh di Perusahaan, THR dibayarkan selambat-lambatnya 7 hari sebelum pelaksanaan hari raya keagamaan tersebut.

Jika mengacu pada regulasi ketenagakerjaan Indonesia, THR merupakan hak setiap pekerja yang terikat hubungan kerja dengan pemberi kerja. Baik yang mendasarkan ikatan tersebut dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) maupun Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Termasuk di dalamnya pekerja outsourcing, pekerja harian lepas, dan berbagai status pekerja lain yang memiliki hubungan kerja dengan pemberi kerja. Ketentuan mengenai pekerja yang berhak menerima ialah pekerja yang memiliki masa kerja minimal 1 bulan.

Pada tahun sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan mengeluarkan peraturan perbolehan pembayaran THR secara cicil, dengan pertimbangan kondisi pandemi yang belum mengalami penurunan, bahkan memberikan dampak yang cukup signifikan pada pengusaha sehingga kesulitan untuk melaksanaklan kewajibannya dalam membayarkan THR pada pekerja. Kebijakan sebagaimana dimaksud tentu menuai kontroversi di kalangan pekerja karena diangap merugikan pihak pekerja. Namun di satu sisi pengusaha juga memiliki kendala untuk dapat menunaikan kewajibannya tersebut.  Kebijakan tersebut sudah berganti di tahun ini, yaitu pengusaha atau pemberi kerja wajib untuk membayarkan THR bagi pekerja tanpa menyicil. Atau dengan kata lain, THR harus dibayarkan secara utuh. Kebijakan tersebut diambil dengan melihat kondisi terkini dari data covid-19 di Indonesia yang semakin menurun.

Adapun besaran THR sebagaimana yang diatur dalam regulasi ketenagakerjaan dibagi menjadi dua kategori yaitu bagi pekerja yang memiliki masa kerja lebih dari satu bulan atau kurang dari 12 bulan berturut-turut, besaran THR yang diperoleh dengan perhitungan masa kerja dibagi 12 bulan kemudian dikalikan upah satu bulan upah. Sedangkan pekerja yang memiliki masa kerja lebih dari 12 bulan secara berturut-turut, maka besaran THR yang berhak diperoleh ialah sebesar 1 bulan upah.

Hal yang sering menjadi pertanyaan masyarakat terkait dengan, apakah masih berhak memperoleh THR bagi pekerja yang mendapat putusan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebelum hari raya keagamaan? Untuk kasus sebagaimana disebutkan, maka pekerja harus memastikan apa jenis perjanjian kerja yang mengikatnya. Jika yang mengikat ialah perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) maka pekerja masih mendapatkan hak atas THR, terhitung sejak 30 hari sebelum hari raya keagamaan. Hanya saja hal ini tidak berlaku bagi pekerja yang putus hubungan kerjanya karena berakhirnya masa perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Dasar dari aturan ini ialah Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI Nomor 6 Tahun 2016.

Aturan sebagaimana disebutkan di atas masih menjadi pro kontra di masyarakat, karena adanya perbedaan perlakuan pada pekerja dengan dasar perjanjian kerja yang berbeda jenisnya. Hal ini terjadi karena pada praktiknya, tidak semua pekerja yang diikat dengan PKWT jenis pekerjaannya memenuhi kriteria pekerjaan sebagaimana yang termuat dalam regulasi, salah satu kriterianya yaitu pekerjaan yang sifatnya sementara.

Besar harapan dari masyarakat regulasi yang disusun Pemerintah mampu untuk memberikan perlindungan bagi pekerja sebagai pihak yang tidak memiliki posisi yang cukup kuat jika dihadapkan dengan pemberi kerja. Dan tentunya kehadiran Pemerintah yang mampu memberikan jaminan atas terpenuhinya hak-hak pekerja sebagaimana mestinya guna terwujudnya cita-cita hubungan industrial yang harmonis.

Tulisan ini sudah dimuat dalam rubrik Analisis KR, 19 April 2022.