(TAMAN SISWA); Kementerian Kesehatan (Kemenkes) resmi menetapkan batas tarif tertinggi RT-PCR atau PCR test Rp 275.000 untuk wilayah Jawa dan Bali sementara untuk luar Jawa-Bali adalah Rp 300.000. Menanggapi fenomena tersebut, Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII) menyelenggarakan webinar dengan tema “Maju Mundur Kebijakan Harga PCR” yang diselenggarakan pada Sabtu, (20/11).
Dr. Fery Rahman yang juga merupakan Wasekjen PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyampaikan bahwa Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan Gold Standar pemeriksaan pasien covid-19 di seluruh dunia. Namun demikian, menurut dr.Ferry , untuk melihat kondisi awal pasien cukup dengan skrining. Dr. Fery juga mengungkapkan bahwa terdapat beberapa komponen yang menentukan harga PCR yakni jasa pelayanan, bahan habis pakai (hazmat), Reagen, biaya administrasi dan komponen lainnya.
Bayu Satria Wiratama, Ph.D dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gajah Mada (UGM) mengungkapkan bahwa penurunan harga PCR sebetulnya bukan hal yang penting untuk dilakukan karena penggunaan PCR mandiri lebih untuk screening bukan diagnostik yang mana screening cukup dengan antigen yang sesuai standar WHO saja yaitu minimal sensitivitas 80%. Lebih penting lagi adalah pemanfaatan PCR untuk diagnostik (gratis) yang diperluas. “ Perubahan Harga sebaiknya didiskusikan dengan organisasi profesi terkait “ imbuhnya.
Dr. Siti Anisah, S.H., M.Hum, Dosen FH UII menyatakan bahwa terdapat sejumlah problematika yang timbul atas kebijakan penetapan harga PCR yang berubah-rubah ini yakni disparitas harga yang sangat bervariatif, dan kontrol bagi kualitas produk demi perlindungan konsumen . Ia juga menambahkan bahwa dalam hukum persaingan usaha, pemerintah turut meningkatkan peraturan main yang fair agar semua pelaku usaha yang punya effort ikut serta dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, dan mempunyai akses yang sama.
Dr. Fadhil Hasan, Ekonom Senior Institute for Development of Economic and finance mengungkapkan bahwa berubah-ubahnya harga PCR ini diakibatkan kurang transparansi dari sejak awal diberlakukan PCR. Menurutnya, publik melihat bahwa kredibilitas yang dimiliki dari kebijakan ini di masa yang akan datang akan merendah, karena publik bisa menilai adanya konflik kepentingan dalam kebijakan publik. “ Keuntungan tendersial merupakan hal yang wajar dari perspektif usaha karena mereka adalah sebuah emtiti untuk memaksimalkan profitnya, namun jika hal ini berkaitan dengan keperluan publik maka urusan keuntungan harus di press karena sifatnya didahulukan.” ujarnya.