Tag Archive for: Opini Dosen

Penulis: Ayunita Nur Rohanawati, S.H., M.H.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Administrasi Negara

            Mendekati perayaan Idul Fitri tahun 2022 ini, Menteri Ketenagakerjaan mengeluarkan regulasi terkait dengan Tunjangan Hari Raya (THR) yang merupakan hak bagi pekerja di Indonesia. Regulasi tersebut ialah Surat Edaran Menaker Nomor M/1/HK.04/IV/2022 yang mengatur tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan. Istilah THR ramai diperbincangkan saat mendekati perayaan hari raya keagamaan di Indonesia. Dalam konteks Hukum Ketenagakerjaan THR merupakan hak dari pekerja untuk menerima dan kewajiban pengusaha untuk membayarkannya. THR masuk dalam kategori pendapatan non upah, dengan pembayaran yang dilakukan menjelang dirayakannya hari besar keagamaan.

Hari raya keagamaan sebagaimana dimaksud mengacu pada seluruh agama yang diakui di Indonesia. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/ Buruh di Perusahaan, THR dibayarkan selambat-lambatnya 7 hari sebelum pelaksanaan hari raya keagamaan tersebut.

Jika mengacu pada regulasi ketenagakerjaan Indonesia, THR merupakan hak setiap pekerja yang terikat hubungan kerja dengan pemberi kerja. Baik yang mendasarkan ikatan tersebut dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) maupun Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Termasuk di dalamnya pekerja outsourcing, pekerja harian lepas, dan berbagai status pekerja lain yang memiliki hubungan kerja dengan pemberi kerja. Ketentuan mengenai pekerja yang berhak menerima ialah pekerja yang memiliki masa kerja minimal 1 bulan.

Pada tahun sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan mengeluarkan peraturan perbolehan pembayaran THR secara cicil, dengan pertimbangan kondisi pandemi yang belum mengalami penurunan, bahkan memberikan dampak yang cukup signifikan pada pengusaha sehingga kesulitan untuk melaksanaklan kewajibannya dalam membayarkan THR pada pekerja. Kebijakan sebagaimana dimaksud tentu menuai kontroversi di kalangan pekerja karena diangap merugikan pihak pekerja. Namun di satu sisi pengusaha juga memiliki kendala untuk dapat menunaikan kewajibannya tersebut.  Kebijakan tersebut sudah berganti di tahun ini, yaitu pengusaha atau pemberi kerja wajib untuk membayarkan THR bagi pekerja tanpa menyicil. Atau dengan kata lain, THR harus dibayarkan secara utuh. Kebijakan tersebut diambil dengan melihat kondisi terkini dari data covid-19 di Indonesia yang semakin menurun.

Adapun besaran THR sebagaimana yang diatur dalam regulasi ketenagakerjaan dibagi menjadi dua kategori yaitu bagi pekerja yang memiliki masa kerja lebih dari satu bulan atau kurang dari 12 bulan berturut-turut, besaran THR yang diperoleh dengan perhitungan masa kerja dibagi 12 bulan kemudian dikalikan upah satu bulan upah. Sedangkan pekerja yang memiliki masa kerja lebih dari 12 bulan secara berturut-turut, maka besaran THR yang berhak diperoleh ialah sebesar 1 bulan upah.

Hal yang sering menjadi pertanyaan masyarakat terkait dengan, apakah masih berhak memperoleh THR bagi pekerja yang mendapat putusan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebelum hari raya keagamaan? Untuk kasus sebagaimana disebutkan, maka pekerja harus memastikan apa jenis perjanjian kerja yang mengikatnya. Jika yang mengikat ialah perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) maka pekerja masih mendapatkan hak atas THR, terhitung sejak 30 hari sebelum hari raya keagamaan. Hanya saja hal ini tidak berlaku bagi pekerja yang putus hubungan kerjanya karena berakhirnya masa perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Dasar dari aturan ini ialah Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI Nomor 6 Tahun 2016.

Aturan sebagaimana disebutkan di atas masih menjadi pro kontra di masyarakat, karena adanya perbedaan perlakuan pada pekerja dengan dasar perjanjian kerja yang berbeda jenisnya. Hal ini terjadi karena pada praktiknya, tidak semua pekerja yang diikat dengan PKWT jenis pekerjaannya memenuhi kriteria pekerjaan sebagaimana yang termuat dalam regulasi, salah satu kriterianya yaitu pekerjaan yang sifatnya sementara.

Besar harapan dari masyarakat regulasi yang disusun Pemerintah mampu untuk memberikan perlindungan bagi pekerja sebagai pihak yang tidak memiliki posisi yang cukup kuat jika dihadapkan dengan pemberi kerja. Dan tentunya kehadiran Pemerintah yang mampu memberikan jaminan atas terpenuhinya hak-hak pekerja sebagaimana mestinya guna terwujudnya cita-cita hubungan industrial yang harmonis.

Tulisan ini sudah dimuat dalam rubrik Analisis KR, 19 April 2022.

Penulis: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Peneliti Pusham UII, PSH FH UII, dan SIGAB

 

Organisasi masyarakat sipil, salah satunya Perhimpunan Jiwa Sehat saat ini mempermasalahkan beberapa peraturan dan kebijakan yang mendiskriminasi difabel. Salah satu aturan yang digugat tentang pengampuan. Aturan pengampuan diatur pada Pasal 433 KUH Perdata yang berbunyi: “Setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya”.

Pengaturan kecakapan hukum lebih jauh tertera pada Pasal 1330 KUH Perdata yang berbunyi, “Tidak cakap untuk berbuat suatu perjanjian adalah: (1) orang-orang yang belum dewasa; (2) mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; (3) orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang da npada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Pasal di atas dikritik dan realitasnya berdampak nyata, dimana difabel biasa ditolak menjadi pihak dalam kontrak perjanjian, asuransi, dan beberapa kontrak keperdataan. Pihak yang selalu diserahkan tanggungjawab umumnya pengampunya, atau keluarga dekatnya. Banyak ironi yang terjadi, khususnya bagi difabel mental yang harta miliknya dikendalikan oleh pengampu, dan si difabel mental tidak memiliki kuasa untuk mengendalikan hartanya sendiri. Akibatnya, harta milik difabel kerap beralih kepemilikan kepada pengampunya.

Kondisi ini menjadi masalah serius, sehingga aturan pengampuan dinyatakan diskriminatif kepada difabel, melanggar human rights, dan secara normatif bertentangan dengan UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Penyadang Disabilitas. Secara substansi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas tegas menyatakan bahwa difabel termasuk didalamnya difabel mental memiliki legal capacity, diakui sebagai subyek hukum, tidak boleh didiskriminasi atas dasar disabilitasnya, dan pemerintah wajib menyediakan akses dukungan yang dibutuhkan dalam melaksanakan kapasitas atau kecakapan hukum difabel.

Konvensi Hak-Hak Penyadang Disabilitas mengembangkan sistem baru, yaitu ‘Supported Decision Making atau ‘Sistem Dukungan Dalam Pengamiblan Keputusan’. Sistem ini menegaskan bahwa difabel mental tidak serta merta dihilangkan kapasitas hukumnya dengan jalan pengampuan yang notabene menggunakan model Substituted Decision Making atau Sistem Substitusi dalam Pengambilan Keputusan. Saat ini, idealnya memang ada sistem yang membantu orang-orang dengan hambatan-hambatan tertentu untuk membuat keputusan, dan tidak dihilangkan atau digantikan dengan model subsititusi dalam pengampuan. Apalagi sebagaimana para ahli katakan, difabel mental yang salah satunya  skizofrenia gangguannya pikirannya hanya bersifat kambuhan dan tidak terus menerus.

Telaah kecakapan hukum bagi difabel mental ini menarik untuk dikaji lebih jauh, khususnya bagaimana tinjauan hukum Islam dan konteks maslahat yang perlu diambil dari dua sistem hukum yang tidak harmonis: apakah pengampuan yang menggunakan model substitusi (pengganti) atau sistem dukungan dalam pengambilan keputusan?

KECAKAPAN DALAM ISLAM

Dalam kajian ushul fiqh, kecakapan hukum atau legal capacity dikenal dengan konsep ahliyahyaitu kecakapan menangani suatu urusan. Konsep ahliyah mencakup ahliyah al-wujub (kepantasan seseorang manusia untuk menerima hak-hak dan dikenai kewajiban) dan ahliyah al-ada’ (kecakapan bertindak secara hukum dan pantas dimintai pertanggungjawaban hukum).

Semua orang dalam hukum Islam dinyatakan ahliyah al-wujub, walau pun orang-orang tersebut dinyatakan tidak sempurna (naqish). Contohnya, anak-anak yang berada dalam kandungan ibunya, menurut para pakar telah dinyatakan memiliki memiliki hak, bahkan orang-orang yang dianggap memiliki gangguan kejiwaan (majnun) tetap dianggap memiki hak. Kelompok ahliyyah al-wujub ini ada dua, pertama, ahliyyah wal-wujub an-naqisah yaitu kecakapan seseorang untuk menerima hak, tetapi tidak menerima kewajiban, contohnya bayi dalam kandungan. Kedua, ahliyyah wal-wujub al-kamilah yaitu kecakapan seseorang untuk dikenai kewajiban dan menerima hak sekaligus.

Dalam konteks kecakapan bertindak, dalam fiqh Islam dikatakan bahwa tidak semua orang dapat dikatakan sebagai ahliyyah al-ada’ (cakap bertindak) secara sempurna. Tidak semua orang dinyatakan dapat melakukan tindakan hukum. Mengapa? Karena ada beberapa indikator yang menjadi alasan penghalang seseorang dalam melakukan tindakan hukum. Dalam hukum Islam, orang yang mengalami gangguan jiwa total dan terus menerus dinyatakan tidak memiliki ahliyah al-ada’. Tindakannya tidak menjadi tindakan hukum. Orang-orang yang mengalami gangguan jiwa total dinyatakan tidak memiliki kewajiban menjalankan syari’at dalam Islam. Orang yang diwajibkan menjalankan syariat yang disebut mukallaf indikatornya dewasa dan berakal.

Orang yang dewasa dan sempurna akalnya memiliki kewajiban menjalankan kewajiban syariat Islam. Karena itu, difabel yang sekedar memiliki hambatan penglihatan, pendengaran, wicara, dan mobilitas tidak lepas dari tanggungjawab melaksanakan kewajiban syariat  atau hukum dalam Islam. Dalam hal ini, mereka bisa disebut memiliki kecakapan bertindak (ahliyyah al-ada’).

 Bagaimana dengan difabel mental? Dalam UU No. 8 Tahun 2016, difabel mental terdiri dari dua, yaitu : psikososial diantaranya skizofrenia, bipolar, depresi, aunxitas, dan gangguan kepribadian. Kedua, disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial diantaranya autis dan hiperaktif. Merujuk ketentuan ini, difabel mental yang memiliki hambatan paling serius ialah skizofrenia. Namun demikian menurut ahli, skizofrenia ialah gangguan kejiwaan yang biasdanya terjadi dalam jangka panjang. Namun demikian, skizofrenia tidak terjadi secara terus menerus, tetapi bersifat episodik. Fungsi akal pikirannya bisa hilang saat dalam kondisi relaps atau kambuh saja.

Dalam konteks hukum Islam, dewasa dan akal menjadi kunci kecakapan bertindak, saat akal dan kesadaran hilang maka saat itu pula kecakapan bertindak tidak diberikan. Kondisi ini menegaskan karena difabel skizofrenia tidak sepenuh waktunya kehilangan akal, tetapi pada saat relaps (kambuh) saja. Artinya, saat akal pikiran difabel mental tidak relaps, maka pada saat itulah kewajiban hukum wajib ia lakukan, dan pada saat bersaman ia memiliki hak dan dapat dikatakan cakap untuk bertindak (ahliyah al-ada’).

AKTUALISASI MASLAHAT

Dalam kajian usul fiqh, maslahah ditempatkan sebagai bagian metode penggalian hukum Islam yang dikenal dengan maslahah mursalah, dan dalam kajian maqosid syariah, maslahah ditempatkan sebagai motivasi dan tujuan universal daripada hukum Islam, dimana keberadaan hukum Islam di tengah perubahan tempat dan waktu yang silih berganti selalu akan berkontribusi pada pencapaian nilai kemanfaatan untuk kepentingan umat manusia.

Maslahat diartikan dengan faedah, kepentingan, dan kemanfataatan. Pemikir lain mengartikan maslahah dengan sebab atau sumber sesuatu yang baik dan bermanfaat (a cause or source of someting good and beneficial). Maslahah juga sering diartikan dengan kepentingan umum (public interest).

Dalam konteks kecakapan hukum difabel mental, dimana pada Pasal 433 KUH Perdata dinyatakan berada di bawah pengampuan, aturan ini dalam banyak hal telah dikritik karena telah melahirkan kemudaratan, praktik diskrimiminatif, dan melanggar hak-hak difabel. Mendasarkan pada kondisi ini, maka sudah selayaknya sistem pengampuan yang merujuk pada model Substituted Decision Making diubah dan ditranformasi dengan system Supported Decision Making atau Sistem Dukungan dalam Pengambilan Keputusan yang secara konseptual sejalan dengan human rights, nilai maslahat, serta menghargai harkat dan martabat kaum difabel yang rentan.

 

 

Tulisan ini telah dimuat dalam Koran Sindo, 4 Januari 2022.

 

 

Penulis: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Pandemi Covid-19 menghantui seluruh umat manusia dunia saat ini. Ribuan orang meninggal. Dampak lainnya bermunculan, salah satunya rasa cemas, takut, stres, dan depresi. ­­­Kementrian Kesehatan mencatat bahwa selama pandemi Covid sampai Juni 2020, setidaknya terdapat 277 ribu kasus kesehatan jiwa di Indonesia. Angka ini mengalami peningkatan dibanding tahun 2019. Pada tahun 2021, WHO menjelang Peringatan Hari Kesehatan Jiwa 10 Oktober merilis data mengejutkan bahwa hampir 1 milyar orang, atau 1 dari 7 manusia dunia terkena gangguan mental.

Data di atas memberikan gambaran bahwa pandemi dengan ragam masalahnya seperti pemutusan hubungan kerja, usaha yang kolaps, informasi Covid-19 yang dramatis, dan beberapa kondisi eksternal lain yang mengakibatkan kekhawatiran berlebih. Kondisi ini juga memperlihatkan bahwa Kesehatan jiwa menjadi penyebab membesarnya jumlah difabel mental di dunia. Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 mendefinisikan difabel mental sebagai orang yang terganggu fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain : (a) psikososial diantaranya skizofrenia, bipolar, depresi, anxitas, dan gangguan kepribadian; dan (b) disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial diantaranya autis dan hiperaktif.

Membesarnya jumlah difabel mental dengan ragam faktornya menjadi tantangan tersendiri, khususnya bagaimana pemangku kebijakan dapat memastikan interaksi sosial, partisipasi, layanan Kesehatan, dan hak-hak difabel mental dapat terpenuhi. Ada banyak sektor yang harus diperbaiki. Salah satu yang penulis ingin ulas ialah sektor di bidang hukum, di mana saat difabel mental berhadapan hukum, baik sebagai korban, pelaku, dan atau pun saksi, proses hukum harapannya dapat menjamin pemenuhan hak atas peradilan yang fair.

Tantangan Hukum

Salah tantangan serius penanganan difabel mental ialah bagaimana mengenali tingkat kesadaran tindakan difabel saat melakukan tindakan hukum. Difabel mental yang terkatagori depresi dan bipolar mungkin mudah identifikasi dan menilai pertanggungjawabannya, tetapi pasti akan sangat sulit kalau difabel mentalnya terkatagori skizofrenia. Butuh pelibatan ahli untuk menilai, apakah tindakan seorang skizofrenia dalam kondisi relaps (kambuh), dan atau dalam kondisi sadar.

Skizofrenia menurut ahli dikatakan sebagai gangguan kejiwaan yang terjadi dalam jangka panjang. Gangguannya menyebabkan penderitanya mengalami halusinasi (mendengar suara atau melihat hal-hal yang bagi orang lain tidak), delusi/waham (keyakinan yang bagi orang lain tidak berdasar), kekacauan berfikir, dan memperlihatkan perubahan perilaku. Saat dalam kondisi relaps penderita skizofrenia umumnya sulit membedakan antara kenyataan dan pikiran lain yang menyelimutinya.

Dalam kasus pidana, pertanyaan yang mengemuka :  apakah seseorang yang mengalami skizofrenia dapat dimintai pertanggugjawaban hukum? Kapan ia bisa bertanggungjawab? Pasal 44  ayat (1) KUHP berbunyi “Tidak dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabnkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal.”  Ketentuan ini dikenal dengan alasan pemaaf  pelaku tindak pidana karena dianggap kurang sempurna akalnya.

Dalam kasus perdata, pertanyaan yang mengemuka : apakah seseorang skizofrenia, bipolar, anxietas, dan beberapa difabel mental yang lain dianggap cakap melakukan perbuatan hukum? Merujuk pada Pasal 433 KUH Perdata yang berbunyi, “Setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya…” Bunyi pasal ini jelas menghilangkan kapasitas hukum difabel skizofrenia, bahkan ragam difabel yang lebih luas. Tidak cukup jelas juga bagaimana mekanisme dan pengawasan pengampuan difabel mental sehingga hak-hak keperdataannya tidak terciderai sebagaimana terjadi pada sebagian besar difabel mental yang hak miliknya diambil alih oleh pengampunya.

Secara umum, substansi pasal KUHP dan KUH Perdata sudah tidak selaras dengan Undang-Undang No. 19/2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas dan Undang-Undang No. 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas. Dalam dua regulasi ini sangat tegas bahwa difabel mental dengan ragam hambatannya memiliki legal capacity, diakui sebagai subyek hukum, harus diberlakukan setara di hadapan hukum, dan tidak boleh didiskriminasi atas dasar disabilitasnya.

Pasal 12 Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas menyatakan bahwa negara wajib mengambil Langkah-langkah yang tepat untuk menyediakan akses bagi penyandang disabilitas terhadap bantuan yang mungkin mereka perlukan dalam melaksanakan kapasitas hukum penyandang disabilitas. Saat ini sudah dikembangkan konsep supported decision making, dimana difabel mental tidak serta merta dihilangkan kapasitas hukumnya dengan jalan pengampuan yang tidak jelas kapan berakhirnya, tetapi difabel tersebut semestinya dibantu oleh pihak terpercaya dalam membuat keputusan. Konsep supported decision making dinilai menjadi jalan keluar dimana banyak difabel di Indonesia saat ini telah dimatikan hak-hak keperdataannya.

Tantangan lain saat difabel mental berhadapan hukum ialah pada prosedur acaranya, di mana aparat penegak hukum, baik itu kepolisian, kejaksaan dan hakim di pengadilan harus memastikan pemenuhan akomodasi yang layak. Beberapa hal yang harus dipastikan sesuai Peraturan Pemerintah No. 39/2020 yaitu terkait penilaian personal (profil assessment) yang diajukan kepada dokter atau psikolog/psikiater, penyediaan penerjemah, penyediaan pendamping disabilitas, penyediaan pendamping hukum, pemenuhan layanan dan sarana prasarana yang aksesibel, serta aparat penegak hukum yang menangani kasus harus memahami isu disabilitas.

Tangungjawab berikutnya dan saat ini telah dikawal oleh banyak jaringan aktifis difabel ialah bagaimana prosedur acara yang baru diatur dalam Peraturan Pemerintah semestinya dikembangkan ke dalam peraturan dan kebijakan internal institusi peradilan, baik itu Peraturan Mahkamah Agung, Peraturan Kejaksaan Agung, dan atau Peraturan Kapolri.

Tulisan ini telah dimuat dalam Koran Republika, 5 November 2021.

 

 

 

Penulis: Umar Haris Sanjaya, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum UII, Departemen Hukum Perdata

Deklarasi pencegahan perkawinan anak yang digagas oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo bersama Pemerintah Kabupaten/kota di Jawa Tengah pada 29 Juni 2019 di Grobogan  patut mendapatkan apresiasi (Koran KR edisi 1 juli 2019). Pencegahan ini dilakukan dalam rangka memperingati Hari Keluarga Nasional dan Hari Anak Nasional di wilayah Jateng. Upaya pencegahan terhadap perkawinan anak tentunya memperhatikan dampak dari terjadinya perkawinan anak dari sisi psikologi, ekonomi, perkembangan dan yang terutama dalam rangka menciptakan ketahanan keluarga. Dampak paling nyata dari perkawinan anak adalah peningkatan perceraian yang selalu meningkat, hal ini dilihat dari data pemerintah kabupaten kota dan berkas masuk di pengadilan bahwa permohonan perceraian didominasi oleh pasangan muda. Tentunya deklarasi tersebut dilataerbelakangi atas dampak perceraian yang meningkat serta demi mewujudkan cita-cita bangsa tentang pembangunan nasional.

Salah satu pembangunan nasional yang terkait dengan masalah ini adalah pembangunan ketahanan keluarga. Ketahanan keluarga merupakan cita-cita yang menjadi tujuan pada Undang-Undang No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, bahwa suatu pembangunan nasional mencakup semua dimensi yang salah satunya adalah pembangunan keluarga. Salah satu modal pembangunan keluarga adalah penduduk yang berkualitas, kata berkualitas ini bila diutarakan akan mengarah pada beberapa aspek seperti pengendalian angka kelahiran, penurunan kematian, peningkatan ketahanan keluarga dan kesejahteraannya. Sehingga penduduk negara yang berkualitas sisi ketahanannya yang dibentuk dibangun, maka akan berdampak pada peningkatan pembangunan nasional.

Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sendiri angka perceraian (pasangan relatif muda) juga mengalami tren peningkatan, khususnya terjadi daerah Gunungkidul. Sebagian besar alasan perceraian tersebut dilatarbelakangi oleh masalah ekonomi. Sebagian besar pihak yang ingin bercerai justru di inisiasi dari pihak istri sebagai penggugat dari pada suami yang menceraikan istrinya.

Pencegahan terhadap perkawinan anak yang digagas di Jawa Tengah perlu diapresiasi dan didorong agar setiap setiap daerah di Indonesia ini memperhatikan gerakan ini. Artinya pemerintah sudah memberikan atensi terhadap masyarakat terhadap perkawinan yang dilakukan masih dibawah umur (belum dewasa). Sejatinya gerakan ini perlu dikawal serta diimplementasikan di jajaran teknis oleh dinas-dinas terkait dijajaran pemerintahan yang berkaitan dengan urusan perkawinan. disamping itu gerakan ini perlu disosialisasikan ke masyarakat kenapa perlu atensi yang terhadap perkawinan anak ? bisa jadi masyarakat justru mempunyai pemahaman yang berkebalikan dari pemerintah tentang perkawinan anak.

Sosialisasi nyata juga perlu di sampaikan kepada Pengadilan Agama dan Kementerian Agama, mengingat lembaga ini yang mengawal dan berwenang terhadap urusan perkawinan bagi agama Islam. jangan hanya berhenti pada ranah deklarasi tetapi Pengadilan Agama memberikan putusan/penetapan dispensasi perkawinan pada pemohon perkawinan anak. Mengingat dispensasi perkawinan adalah produk hukum yang harus dihormati dan dilaksanakan oleh pemerintah. Jangan sampai gerakan yang sudah baik atas tujuan dan manfaatnya, tetapi dalam praktek berkebalikan dengan masih diizinkannya dispensasi perkawinan dari pengadilan agama.

Dispensasi perkawinan adalah produk hukum (penetapan) berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 apabila ada penyimpangan perkawinan dari sisi usia perkawinan seperti contohnya adalah perkawinan (anak)  dibawah umur. Hal ini tertuang pada pasal 7 ayat 2 dimana Pengadilan atau pejabat lain yang berwenang dengan alasan sudah di izinkan (ditunjuk) oleh kedua orang tua dari masing-masing pasangan. Tentunya bila ada dispensasi dari pengadilan, maka dispensasi merupakan perintah dari Undang-Undang yang ada pada pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, sehingga tidak bijak bila dispensasi disimpangi.

Untuk mewujudkan pencegahan perkawinan anak kiranya perlu di duduk bersama antara unsur eksekutif (pemerintah sebagai pemangku kepentingan perkawinan) bersama unsur yudikatif (Pengadilan) dalam memformulasikan ide dan gagasan pada kontek mencegah perkawinan anak. Tidak mungkin dapat mencegah perkawinan anak bila dalam perkawinan anak secara legal boleh dilakukan yang itu semua didasari didalam Undang-Undang.

Sebagai langkah awal, deklarasi pencegahan perkawinan anak ini patut mendapatkan apresiasi tinggi dan tentunya upaya itu menjadi positif sebagai solusi peningkatan ketahanan keluarga. Secara tidak langsung pemerintah daerah provinsi Jawa Tengah sudah dapat mempelopori gerakan ini.

Tulisan ini sudah dimuat dalam rubrik Opini, Koran Kedaulatan Rakyat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Penulis: Umar Haris Sanjaya, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum UII,  Departemen Hukum Perdata

 

Berbagai media pemerhati anak ramai memberitakan kondisi anak kehilangan keluarga dengan menjadi  yatim atau piatu atau yatim piatu akibat meninggalnya orang tua karena Covid. Di yogyakarta sendiri kasus anak kehilangan orang tua akibat Covid terdapat 142 anak (info@kemsos), belum termasuk terhadap ibu hamil yang meninggal akibat covid. Kondisi ini tentunya belum akan berhenti mengingat situasi pendemi yang belum berakhir setidaknya harapan itu ada setelah seluruh stake holder sudah mendapatkan vaksinasi dari pemerintah.

Anak yang kehilangan kedua orang tuanya ataupun salah satu orangtuanya itu menjadi tanggung jawab siapa dalam pemenuhan kehidupan sehari-hari ? secara hukum seorang anak manusia terikat oleh kerabat kedua orangtuanya, hal ini dikenal dengan istilah hukum kekerabatan. Sehingga kerabat si anak secara sadar turut terikat untuk membantu mengurus keluarga kerabatnya tersebut yang kehilangan orang tuanya. Untuk kerabat yang bersedia mengasuh maka dapat dimintakan penetapan perwalian terhadap anak yatim piatu sehingga keberlangsungan hidup si anak dapat berjalan dengan baik dalam perwalian kerabat dari orangtuanya. Bila seorang anak hanya ditinggalkan salah satu orang tuanya, maka tanggung jawab pemenuhan kebutuhan akan diberikan kepada orang tua yang masih hidup baik ayah atau ibunya. Apakah ada peran kerabat dari kedua orang tua si anak ? kerabat orang tua dapat turut berperan dengan memberikan perhatian kepada si anak, terutama kerabat orang tua yang meninggal. Masyarakat yang mengetahui itupun berhak untuk melaporkan pihak yang berwajib bahwa anak yang kehilangan kedua orang tua masih memiliki kerabat, sehingga anak akan dikembalikan kepada kerabat tersebut.

Di Indonesia menganut tiga (3) sistem kekerabataan dalam aliran keluarga termasuk pula tanggung jawabnya seperti : patrilineal, matrilineal, dan parental. Terhadap sistem patrilineal dan matrilineal tanggung jawab ini kembali kepada sistem kekerabatan yang dianut, maka tanggung jawabnya bisa kepada salah satu kerabat orang tua saja baik ayahnya saja atau ibunya saja. Untuk sistem parental, maka tanggung jawab ini akan jatuh kepada masih-masing kerabat dari kedua orang tua sehingga salah satu keluarga yang menganut sistem parental, maka kerabat orang tua juga terikat untuk mengasuh dan membesarkan anak. Untuk itu, peran kerabat orang tua dapat dimaksimalkan dalam mengasuh anak yang kehilangan orangtuanya. Sistem parental ini merupakan sistem kekerabatan yang sudah mulai digunakan oleh masyarakat Indonesia dimana garis tanggung jawab dapat berasal dari kerabat kedua orang tua baik secara hak dan tanggung jawab. Upaya pemerintah bersama masyarakat ditingkat RT dan RW dapat mendata dan mencari tahu kerabat-kerabat orang tua dari anak yang yatim piatu untuk ikut berperan tumbuh kembang anak.

Kerabat dari orang tua tentu tidak dimintai tanggung jawab penuh dengan melihat latar belakang ekonominya. Setidaknya mereka turut berperan dalam pertanggungan jawab anak dalam konteks hubungan kekerabatan, jangan sampai anak kehilangan orang tua itu merasa sendiri dan akhirnya menjadi sebatang kara. Kerabat dari ayah sang anak bersama-sama kerabat dari ibu sang anak diharapkan turut berperan untuk ikut mensejahterakan anak, hubungan keterikatan inilah yang dimaksud dengan hukum kekerabatan dimana seseorang terikat akan tanggung jawab dengan orang lain karena ia terikat hubungan hukum kekerabatan. Tidak mungkin seseorang yang tidak ada hubungan kekerabatan ikut bertanggung jawab terhadap kesejahteraan anak, melainkan dengan kepastian hubungan kekerabatan maka mereka terikat. Ini merupakan konsep dari hubungan keluarga. Jangan sampai anak yang kehilangan orang tua justru ditinggalkan untuk hidup sendiri dan mencari kesejahteraannnya sendiri.

Salah satu peran yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat adalah membantu untuk menghubungkan anak yang kehilangan kedua orang tua dengan kerabat yang masih dimiliki si anak, menginventarisir anak-anak yatim piatu agar dapat diasuh oleh kerabat terdekat terlebih dahulu karena memang secara hukum, kerabat adalah pihak yang paling berhak mengasuh anak dari kerabatnya. Apabila itu tidak memungkinkan maka pemerintah dapat melakukan melalui dinas sosial untuk mengasuh anak yang telah ditelantarkan karena tidak ada kerabat yang hendak mengasuh.

Tulisan ini sudah dimuat dalam rubrik OPINI, Koran Kedaulatan Rakyat, 21 Agustus 2021.