Saatnya Rekonsiliasi
Saatnya Rekonsiliasi
Jamaludin Ghafur, SH., MH[1]
Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur Jakarta yang menyedot perhatian masyarakat seluruh nusantara baru saja selesai. Menurut hasil quick count dari beberapa lembaga survey seperti LSI misalnya, perolehan suara pasangan Anies-Sandi adalah 55,41%, mengungguli pasangan Ahok-Djarot yang memperoleh suara 44,59%. Dalam alam demokrasi, pergantian kepemimpinan merupakan sesuatu yang lumrah. Sehingga siapapun kelak yang akan ditetapkan secara resmi oleh KPU sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih layak untuk kita dukung bersama karena itulah hasil pilihan rakyat.
Negara demokratis tidak mentolerir seseorang menjadi pemimpin tanpa batas waktu. Oleh karenanya, pemilu secara regular merupakan sebuah keniscayaan (Pasal 22E ayat (1) UUD 1945). Ada beberapa pertimbangan mengapa pemilu harus dilakukan secara berkala atau regular: Pertama, pendapat atau aspirasi rakyat dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat bersifat dinamis dan berkembang dari waktu kewaktu. Kedua, kondisi kehidupan masyarakat dapat berubah, baik karena dinamika internasional maupun karena faktor dalam negeri. Ketiga, perubahan aspirasi masyarakat dapat terjadi karena pertambahan jumlah penduduk dan rakyat yang dewasa (Jimly Asshiddiqie:2006).
Modal Pembangunan
Namun demikian, harus dipahami bahwa penetapan pasangan calon sebagai pemenang dalam pilkada baru babak awal untuk membuktikan kepada rakyat bahwa dirinya adalah sosok pemimpin sejati. Visi dan misi serta janji-janji yang sering disampaikan selama kampanye harus dikonkritkan dalam bentuk program nyata. Jangan sampai materi kampanye hanya menjadi pemanis pilkada semata yang tidak pernah terealisasi dalam kenyataan. Sehingga pada akhirnya rakyat kembali kecewa.
Hal pertama dan utama yang harus dilakukan oleh Gubernur-Wakil Gubernur Jakarta terpilih adalah mempersatukan seluruh lapisan masyarakat yang selama pilkada sudah terbelah menjadi dua kubu. Angka 44,59% yang diperoleh oleh pasangan Ahok-Djarot secara kuantitatif bukan angka yang kecil. Oleh karenanya, jika pendukung kubu ini tidak dirangkul dan dibiarkan anti-pati dengan pemerintahan yang akan dibangun oleh Anies-Sandi, maka besar kemungkinan pemerintahan yang baru akan gagal dalam mengemban amanah rakyat.
Dalan teori hukum dan pembangunan (Erman Rajagukguk:2003), pengalaman negara-negara maju menunjukkan bahwa untuk mencapai kondisi yang seperti mereka alami saat ini setidaknya melalui tiga tahap pembangunan satu demi satu yaitu: integrasi (unification), industrialisasi (industrialization), dan negara kesejahteraan (social welfare).
Amerika dan negara-negara Eropa adalah contoh negara-negara maju yang sebelumnya pernah dilanda tragedi perpecahan di dalam negeri yang kita kenal dengan perang sipil (civil war), sementara di Eropa muncul berbagai macam revolusi. Keberhasilan mengatasi perpecahan di dalam negerinya inilah yang kemudian menjadi modal berharga mereka untuk menapaki fase selanjutnya yaitu menjadi negara industrial, dan keberhasilan membangun industri membawa mereka kepada negara kesejahteraan.
Dengan demikian, mustahil bagi Indonesia (termasuk pemerintah Jakarta) untuk menciptakan kesejahteraan sosial sebagaimana amanat UUD 1945 jika tidak ditopang oleh kuatnya sektor industri karena melalui kemajuan industri inilah berbagai program negara (pemerintah) dapat memperoleh pembiayaan. Sementara industrialisasi sulit dapat terwujud jika perpecahan di dalam negeri masih menjadi persoalan yang serius.
Merawat Kebhinekaan
Jakarta sebagai kota tempat bersemayamnya beragam masyarakat dengan latar belakang agama, ras, suku yang berbeda-beda harus menjadi contoh yang baik bagi kota-kota lainnya dalam merawat kebhinnekaan. Fakta bahwa Indonesia adalah negara yang ditakdirkan oleh Tuhan sebagai negara yang prural dalam banyak aspek merupakan sesuatu yang musti kita terima dengan penuh rasa syukur. Isu SARA yang menyelimuti pelaksanaan pilkada Jakarta harus segera diselesaikan sebagai pintu masuk untuk merajut kembali tali persaudaraan dan persatuan. Oleh karennya, pemerintahan Jakarta yang baru harus berdiri dan bekerja untuk semua rakyat tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras dan lain sebagainya. Pemerintah yang baru tidak boleh mempersepsikan diri sebagai kepanjangan tangan dari kelompok tertentu.
Kita harus senantiasa mengingat dan tidak boleh melupakan bahwa kesatuan bangsa Indonesia bersifat etis-historis dan bukan etnik-alami. Sebagaimana diungkapkan oleh Franz Magnis Suseno (1996) bahwa, secara alami – dari sudut bahasa, budaya, letak geografis, penghayatan keagamaan – suku-suku di seantero nusantara tidak merupakan kesatuan. Bahwa mereka sekarang merupakan kesatuan adalah karena kesatuan cita-cita kebangsaan, dan cita-cita itu tumbuh berdasarkan pengalaman sejarah bersama, suatu sejarah penuh pengalaman-pengalaman mendalam: pengalaman ketertindasan dan penderitaan, dan pengalaman perjuangan bersama, kejayaan, bergeloranya semangat, kesatuan bangsa itu hidup dari realitas cita-citanya. Apabila cita-cita yang mendasari perjuangan kemerdekaan bersama tidak tercapai, dasar kesatuan itu berada dalam bahaya longsor.
Dengan kematangan intektualitas dan keluhuran akhlak dan integritas, saya yakin Gubernur-Wakil Gubernur Jakarta terpilih mampu mewujudkan semua ini demi membawa Jakarta yang lebih baik dan bermartabat.
[1] Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Konstitusi FH UII. Kandidat Doktor FH UI Jakarta.