Jamaludin Ghafur Soal Lembaga Perwakilan

Lembaga Perwakilan

Jamaludin Ghafur, SH., MH[1]

Sejumlah isu dalam RUU Pemilu  sampai saat ini masih menjadi perdebatan. Salah satunya adalah usulan untuk menambah jumlah kursi DPR periode 2019-2024. Pada periode sekarang (2014-2019) kursi DPR berjumlah 560, lebih banyak 10 kursi dibandingkan periode sebelumnya yang berjumlah 550. Jika usul penambahan kursi ini diterima, maka jumlah anggota DPR mendatang pastinya akan lebih gemuk lagi.

Hakikat Perwakilan

Menambah jumlah anggota tentu sah-sah saja sepanjang hal itu sesuai kebutuhan. Namun hal yang sangat mendesak untuk ditambah dan perbaiki oleh DPR sebenarnya bukan jumlah personel tetapi kinerja yang baik terutama kepiawainanya dalam mendengar dan menterjemahkan aspirasi rakyat ke dalam berbagai kebijakan.

Jimly Asshiddiqie (2006) menyebut setidaknya ada 4 (empat) fungsi lembaga perwakilan yaitu fungsi legislasi, pengawasan, deliberatif dan resolusi konflik, dan fungsi perwakilan. Diantara keempatnya, Asshiddiqie menyebut fungsi yang paling pokok adalah fungsi perwakilan (representasi). Dalam hubungan itu, ia membedakan antara pengertian representation in presence dan representation in ideas. Pengertian pertama bersifat formal, yaitu keterwakilan yang dipandang dari segi kehadiran fisik. Sedangkan, pengertian yang kedua bersifat substantif, yaitu perwakilan atas dasar aspirasi atau idea.

Dalam pengertian yang formal, keterwakilan itu sudah dianggap ada apabila secara fisik dan resmi, wakil rakyat yang terpilih sudah duduk di parlemen. Akan tetapi, secara substansial, keterwakilan rakyat itu sendiri baru dapat dikatakan tersalur apabila kepentingan nilai, aspirasi, dan pendapat rakyat yang diwakili benar-benar telah diperjuangkan dan berhasil menjadi bagian dari kebijakan yang ditetapkan oleh lembaga perwakilan rakyat yang bersangkutan, atau setidak-tidaknya aspirasi mereka itu sudah benar-benar diperjuangkan sehingga mempengaruhi perumusan kebijakan yang ditetapkan oleh parlemen.

Jikaccara fisik sudah hadir sejak Indonesia merdeka, tidak demikian dengan representasi ide. Hasil survey dari berbagai lembaga selalu menunjukkan DPR konsisten sebagai lembaga yang paling tidak kredibel di mata rakyat. Bahkan sejak reformasi, DPR tidak pernah absen dari jeratan korupsi, kasus teranyar adalah skandal korupsi e-KTP. Hal ini mengonfirmasi bahwa DPR hanya hadir secara secara fisik tetapi tidak secara idea. Oleh karenanya, alasan menambah jumlah anggota DPR demi kepentingan rakyat merupakan sebuah ilusi.

Demokrasi Kaum Penjahat

Apa yang terjadi di DPR sebagai salah satu pilar demokrasi semakin menegaskan bahwa demokrasi kita baru berjalan sebatas prosedural dan belum menjadi demokrasi yang substantif.

Olle Tornquist, seorang pengamat kawakan perkembangan politik di Indonesia, pernah meramalkan kemungkinan datangnya hantu “demokrasi kaum penjahat”. Dalam bentuk seperti ini, demokrasi hanya akan terjadi secara formal, tetapi tidak diiringi oleh partisipasi rakyat yang sungguh-sungguh dalam pemilu dan dalam pembentukan kebijakan pemerintahan (Liddle: 2001)

Bagi Sartori, “kesalahan paling elementer dan naif” para pelaku demokrasi prosedural adalah cenderung “mereduksi demokrasi dengan namanya” sehingga terjebak dalam apa yang dia sebut “demokrasi etimologis”. (Pabotinggi:2007)

 

Harapan Rakyat

UU Pemilu masa depan harus bisa menggaransi bahwa demokrasi Indonesia tidak akan pernah jatuh ke tangan “kaum penjahat”. Oleh karenanya, perdebatan dalam RUU Pemilu tentang hal-hal yang tidak mengarah pada pembentukan demokrasi substantif harusnya dihindari dan fokus hanya pada bagaimana menghasilkan anggola legislatif yang berkwalitas. Untuk hal ini, beberapa hal berikut seharusnya menjadi perhatian serius para perancang RUU Pemilu yaitu: Pertama, memastikan bahwa penyelenggara pemilu adalah orang-orang independen dan berintegritas sehingga wacana untuk memasukkan perwakilan parpol sebagai anggota KPU merupakan langkah yang kontraproduktif.

Kedua, memastikan bahwa seluruh sengketa dan pelanggaran pemilu dapat diselesaikan secara bermartabat. Pengalaman selama ini, beberapa pelanggaran pemilu tidak dapat diselesaikan dengan baik karena hambatan prosedur dan perilaku tidak professional aparat penegak hukum.

Ketiga, sistem pemilu yang tidak selalu berubah sehingga membingungkan masyarakat. Oleh karenanya, wacana untuk merubah sistem pemilu terbuka menjadi setengah terbuka atau tertutup hanya akan membingungkan pemilih. Dalil bahwa modifikasi sistem pemilu diperlukan untuk menghasilkan anggota DPR yang berkwalitas sangat mengada-ada. Apapun sistem pemilunya, jika para calonnya tidak kompeten maka hasilnyapun tidak akan jauh berbeda.

Keempat, pengetatan syarat calon anggota DPR. Selama ini, syarat untuk menjadi anggota DPR lebih banyak bersifat administratif dan tidak substantif. Efeknya, penghuni DPR lebih banyak selebritas, pebisnis, atau sosok berpengaruh lain yang cuma mengandalkan ketenaran dan uang, tetapi minim pengetahuan, apalagi kemampuan, di bidang politik. Jangankan memperjuangkan kepentingan rakyat, tugas pokok sebagai wakil rakyat pun mereka tak paham. Harusnya, mutu keilmuan, integritas pribadi, dan komitmen memperjuangkan kepentingan nasional harus menjadi syarat mutlak calon anggota DPR.

[1] Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Konstitusi FH UII. Kandidat Doktor FH UI Jakarta.