Allan Fatchan Gani Wardhana Menyampaikan Fakta: Narkoba dan Hukuman Mati
Narkoba dan Hukum Mati
Bulan Februari yang lalu TNI Angkatan Laut berhasil menggagalkan penyelundupan narkoba berjenis sabu-sabu seberat lebih dari satu ton. Jumlah yang fantastis dan diyakini cukup untuk merusak generasi bangsa. Fakta tersebut sekaligus mengkonfirmasi data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) yang menempatkan Indonesia sebagai pangsa pasar terbesar peredaran narkoba di kawasan ASEAN.
Tingginya intensitas kejahatan narkoba ke dalam negeri tentu menjadi perhatian. Sepanjang 2017, BNN mencatat, 58.365 orang ditangkap dan dijadikan tersangka. Sementara itu, 79 orang ditembak hingga tewas akibat melakukan perlawanan. Pada 2017 pula, BNN mencatat ada 46.537 kasus narkoba dan 27 kasus yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Terhadap kasus di atas, muncul kembali dorongan kepada Jaksa Agung untuk melanjutkan eksekusi hukuman mati gelombang ke-IV bagi terpidana kasus narkoba. Adapun selama pemerintahan Joko Widodo, telah dilakukan eksekusi mati sebanyak tiga gelombang. Gelombang pertama 6 (enam) terpidana dieksekusi mati (Januari 2015), gelombang kedua 8 (delapan) terpidana (April 2015), dan gelombang ketiga 4 (empat) terpidana (Juli 2016). Dorongan untuk menerapkan hukuman mati tersebut didasarkan atas alasan bahwa kejahatan narkoba merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crimes) yang harus diperangi.
Alasan lain, hukuman mati diterapkan sebagai pesan kepada semua sindikat narkoba agar jangan menganggap remeh ketegasan yang melekat pada sistem hukum Indonesia. Wacana melanjutkan eksekusi mati ini selalu menarik karena selalu menimbulkan pro dan kontra yang tidak pernah ada ujungnya.
Dua Pertanyaan
Pertanyaan yang sering mengemuka terkait wacana hukuman mati ialah apakah penerapan hukuman tersebut mempunyai legalitas? Kedua, apakah penerapan hukuman mati efektif untuk memberantas narkoba dan mengurangi tingkat kejahatan?
Pertama, terkait legalitas, MK melalui Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 memutuskan bahwa hukuman mati itu memiliki keabsahan dan tidak bertentangan dengan HAM serta UUD 1945. Selain itu, instrumen hukum internasional yang berupa International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)/ Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik tidaklah melarang negara-negara anggota untuk memberlakukan pidana mati meskipun penerapannya dibatasi “terhadap kejahatan-kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut (the most serious crimes in accordance with the law in force at the time of the commission of the crime).”
Dengan demikian, dari sudut pandang ICCPR, negara-negara anggota diperbolehkan memberlakukan hukuman mati dalam UU nasionalnya. Hal ini juga didukung oleh ketentuan Pasal 3 ayat (6) Konvensi Narkotika dan Psikotropika yang pada intinya mempersilakan negara anggota dapat memaksimalkan efektivitas penegakan hukum dalam kaitan dengan tindak pidana yang berkaitan dengan narkoba dengan memperhatikan kebutuhan untuk mencegah kejahatan dimaksud. Saat ini Indonesia sudah memiliki UU 35/2009 tentang Narkotika yang di dalamnya terdapat sanksi hukuman mati. Artinya, penerapan hukuman mati memiliki legalitas.
Kedua, untuk menjawab efektivitas hukuman mati, tentu ini merupakan perdebatan panjang. Singapura menerapkan hukuman mati bagi terpidana kasus narkoba dan faktanya berhasil menekan angka peredaran narkoba. Iran yang juga memberlakukan hukuman mati, menyatakan bahwa penerapan hukuman mati terkait kedaulatan hukum di mana negara memiliki peraturan tersendiri untuk memerangi kejahatan. Adapun China juga sangat tegas menghukum para bandar narkoba di negaranya hingga membuat para penjahat selalu berpikir ulang untuk melakukan kejahatan. Beberapa negara yang menerapkan hukuman mati lebih mengutamakan kedaulatan hukum serta melindungi keselamatan rakyatnya daripada membiarkan kejahatan narkoba merajalela.
Di Indonesia sampat saat ini hukuman mati masih dilaksanakan. Terkait efektivitas penerapannya, belum terdapat data konkret apakah hukuman mati itu efektif atau tidak untuk mengurangi kejahatan sekaligus menekan peredaran narkoba. Meski begitu, bagaimanapun hukuman mati haruslah dipahami sebagai upaya untuk menegakkan keadilan. Di mana, keadilan yang harus ditegakkan berdasar atas hukum itu tidak boleh hanya didasarkan atas perspektif “pelaku kejahatan” akan tetapi yang jauh lebih penting juga melihat perspektif “korban serta keluarga korban” akibat kejahatan narkoba.
Kejahatan narkoba merupakan kejahatan yang secara langsung maupun tidak langsung menyerang hak untuk hidup (right to life) dan hak atas kehidupan (right of life). Oleh karena itu kejahatan narkoba tergolong sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Terhadap kejahatan luar biasa tentu saja cara mengatasinya juga harus dengan cara yang luar biasa, salah satunya melalui hukuman mati. Hasil survei nasional Indo Barometer pada Maret 2015 mengungkap bahwa mayoritas publik Indonesia atau sekitar 84,1 persen menyatakan setuju dengan hukuman mati yang diberikan kepada pengedar narkoba.
Saat ini kalaupun Indonesia masih mempertahankan hukuman mati bukankah itu harus dihargai sebagai bentuk kedaulatan hukum dalam memerangi kejahatan narkoba? Hukuman mati memiliki legalitas baik di level nasional maupun internasional, dan sekali lagi bahwa penerapannya haruslah dimaknai sebagai ikhtiar untuk memerangi dan memberantas kejahatan narkoba. Tentu saja itu bukan satu-satunya cara, karena memerangi dan memberantas narkoba merupakan ikhtiar akbar seluruh elemen.
Allan Fatchan Gani Wardhana, SH, MH
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII
Artikel ini terbit di Kolom Detik News edisi Kamis, 15 Februari 2018