Caleg Populer oleh Jaludin Gofur
Caleg Populer
Salah satu fenomena yang terjadi dalam pendaftaran calon anggota legislatif (caleg) pemilu 2019 adalah banyaknya artis yang maju sebagai caleg. Dilihat dari perspektif HAM, tentu tidak ada yang salah dari fenomena ini, namun bila dilihat dari kebutuhan akan perbaikan kualitas parlemen, fenomena ini tentu menarik untuk dianalisis. Memang tidak semua artis memiliki kualitas yang jelek, tetapi mayoritas mereka (artis) yang selama ini telah menjadi anggota DPR belum banyak berkontribusi dalam perbaikan kinerja parlemen karena (mungkin) memang modalnya hanya popularitas minus kualitas.
Padahal, sudah sejak lama masyarakat mengeluhkan buruknya performa lembaga perwakilan. Dari 3 fungsi yang diembannya: legislasi, anggaran, dan fungsi kontrol, semuanya masih bermasalah. Bahkan, image DPR yang muncul dibenak sebagian besar masyarakat adalah institusi sarang koruptor. Hasil berbagai jajak pendapat yang seringkali dirilis oleh lembaga survey selalu berkesimpulan bahwa DPR adalah salah satu lembaga terkorup.
Kebobrokan institusi DPR ini tentu hanya bisa diselesaikan dengan mendorong orang-orang yang memiliki kapasitas dan integritas yang baik untuk mengisi lembaga ini. Karenanya, Parpol sebagai satu-satunya institusi pengusung caleg berkewajiban untuk menyuguhkan caleg-caleg yang tidak hanya sekedar popular tetapi juga harus memiliki kemampuan, keahlian dan bahkan bila perlu juga telah berpengalaman dalam menjalankan fungsi-fungsi parlemen secara baik.
Suara Terbanyak dan Pragmatisme Partai
Maraknya fenomena artis dalam kontestasi pileg pertama kali muncul pasca Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 yang merubah mekanisme keterpilihan caleg dari sistem nomor urut menjadi suara terbanyak. Sistem nomor urut menurut MK telah menciderai demokrasi karena banyak caleg dengan perolehan suara kecil ditetapkan sebagai caleg terpilih karena diuntungkan oleh nomor urut kecil. Sementara caleg yang memperoleh suara lebih banyak tidak terpilih karena menempati nomor urut besar.
Kebijakan nomor urut ini pada awalnya dimaksudkan agar parpol memiliki kekuasaan dan keleluasaan menempatkan kader-kader terbaiknya di nomor urut “caleg jadi”. Kenyataannya, kebijakan ini justru telah menyuburkan praktik koruptif di internal parpol di mana nomor urut caleg banyak diperjual belikan. Caleg-caleg yang menempati nomor urut kecil ternyata tidak sepenuhnya diisi oleh kader-kader terbaik parpol. Sebagian besarnya justru ditempati oleh caleg yang berani membayar lebih kepada parpol. Alasan ini-lah yang kemudian membuat MK menyatakan aturan penetapan caleg berdasarkan nomor urut adalah inkonstitusional.
Pada awalnya, putusan ini disambut dengan gegap gempita disertai keyakinan bahwa parlemen akan diisi oleh sosok-sosok terbaik dan berkualitas karena rakyat sepenuhnya diberi kekuasaan untuk mengangkat wakilnya melalui suara terbanyak. Sayangnya, harapan tersebut sampai saat ini tidak kunjung terealisasi. Wajah parlemen tidak jauh lebih baik dibandingkan dengan hasil pemilu dengan sistem nomor urut. Bahkan muncul pragmatisme parpol dalam penyusunan daftar caleg di mana pertimbangan kualitas calon terkesan dinomor duakan sementara yang pertama dan utama adalah popularitas. Banyak caleg yang diusung oleh parpol sama sekali tidak memiliki rekam jejak sebagai orang yang berkompeten dalam mengurus dan mengelola pemerintahan khususnya lembaga parlemen. Parpol telah gagal melakukan pengkaderan dalam melahirkan calon-calon pemimpin yang mumpuni dan lebih senang mengambil jalan pintas merekrut orang-orang yang sudah popular sekalipun minim pengalaman dalam bidang politik dan pemerintahan.
Jalan Keluar
Pasal 241 ayat (2) UU Pemilu mengamanatkan agar seleksi bakal caleg dilakukan secara demokratis dan terbuka. Sayangnya, UU tidak menjelaskan secara rinci kategori seleksi bakal caleg yang demokratis dan terbuka tersebut. UU sepenuhnya memberi keleluasaan kepada parpol untuk menerjemahkan secara bebas dan mengaturnya melalui AD/ART atau peraturan internal partai. Pembentuk UU memberikan “cek kosong” kepada parpol untuk membuat aturan sesuai selera mereka. Padahal, sudah jamak diketahui, parpol sebagai institusi penopang demokrasi di Indonesia telah sejak lama menjadi institusi yang oligarkis dan tidak demokratis. Akibatnya, tidak heran bila proses seleksi caleg masih tertutup dan jauh dari kata demokratis karena penetapan caleg sepenuhnya menjadi hak eksklusif segelintir elit parpol bahkan dalam konteks tertentu hanya ditentukan oleh sang ketua umum parpol. Hampir dapat dikatakan, partisipasi anggota partai dan masyarakat luas dalam proses seleksi caleg sangat rendah.
Padahal, bila amanat seleksi caleg secara demokratis ini diterapkan, akan menghasilkan berbagai keuntungan. Penelitian yang dilakukan oleh para ahli politik dan ketatanegaraan di Inggris dan Eropa menunjukkan (Yael Shomer, dkk:2016), proses seleksi kandidat secara demokratis berbanding lurus dengan kepuasan masyarakat terhadap sistem demokrasi itu sendiri. Sehingga, masyarakat akan cenderung berpartisipasi secara aktif bukan hanya pada tahap seleksi kandidat tetapi juga pada saat pemilu dilaksanakan.
Selain itu, parpol yang menggunakan prosedur demokratis cenderung memilih pemimpin (caleg) yang cakap dan dikehendaki oleh publik, serta mengadopsi kebijakan yang lebih responsif (Ramlan Surbakti dan Didik Supriyanto: 2013). Dengan demikian, kekecewaan publik yang selalu terulang setiap kali pemilu tentang kualitas mayoritas caleg yang dianggap rendah dapat menemukan solusinya. Tersedianya caleg yang berkualitas merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat ditunda mengingat para caleg – yang terpilih dalam pemilu – akan menjadi penentu baik buruknya kualitas demokrasi dan kehidupan masyarakat secara luas.
Oleh karenanya, pengaturan tentang seleksi bakal caleg secara demokratis oleh parpol perlu diatur lebih rigid lagi dalam UU pemilu sehingga dapat dijadikan ukuran untuk menilai apakah mekanisme seleksi caleg oleh parpol telah demokratis atau tidak. Pengajuan daftar caleg oleh parpol yang tidak melalui mekanisme demokratis harus ditolak oleh KPU.
Telah diterbitkan pada media online kumparan