Korupsi Yudisial sebuah Opini Idul Rishan
Korupsi Yudisial
Kabar mencengangkan kembali datang dari dunia peradilan. Melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT), KPK menjerat hakim di Pengadilan Negeri (PN) Medan. Tidak main-main, hakim ad hoc tipikor bersama panitera kembali terjerat dalam kasus ini. Peristiwa ini sontak menambah rentetan panjang perilaku korup yang melilit tubuh Mahkamah Agung (MA). Ini persoalan pelik, sebab penyakit korup di lembaga MA hampir terjadi secara menahun.
Jika tidak ada upaya konkrit dalam mengatasi resonansi korupsi yudisial, indeks kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan terancam menurun. Persis seperti yang dinyatakan Jeremy Pope, “perilaku koruptif yang begitu mewabah kian menghambat pengembangan demokrasi, dan pada akhirnya memicu gelombang public distrust.” (Jeremy Pope: 2007; Strategi Memberantas Korupsi).
Bentangan Empirik
Tentu telah banyak langkah yang sudah dilakukan demi mencegah praktik korup di sektor kekuasaan kehakiman. Bahkan sistem pengawasan telah dibuat secara gradasi dengan melibatkan Komisi Yudisial sebagai pihak eksternal, dan MA sebagai pihak internal. Sayangnya formula ini tidak cukup memberikan dampak secara signifikan. Riwayat hubungan masing-masing lembaga ini dalam fungsi pengawasan etika dan profesionalisme hakim tidak cukup terbilang efektif. Sikap berbeda pandangan kerap bermunculan terkait usulan penjatuhan sanksi terhadap hakim terlapor. Contoh paling konkrit, pada hakim Janner Purba dan Toton di PN Kepahiang. Di sepanjang tahun 2015, KY telah beberapa kali mengusulkan penjatuhan sanksi atas dugaan pelanggaran etika dan kehormatan hakim bagi kedua hakim Tipikor ini. Namun MA kerap berbeda pendapat (dissenting) dalam menyikapi rekomendasi sanksi oleh KY. Tidak lama berselang, di tahun 2016 KPK melakukan OTT dan menetapkan kedua hakim tersebut sebagai tersangka.
Hal demikian secara langsung menggambarkan masih lemahnya upaya preventif dalam mencegah praktik korup di sektor peradilan. Tidak hanya itu, kebijakan internal MA di tahun 2016 sampai 2017 terhitung cukup banyak. terdapat tiga upaya MA dalam menetapkan kebijakan di bidang pengawasan internal. Masing-masing peraturan tersebut meliputi Peraturan Mahkamah Agung Tentang Penegakkan Disiplin Kerja Hakim, Pengawasan dan Pembinaan Atasan Langsung, dan Pedoman Penanganan Pengaduan (Whistle Blowing System). Tidak cukup dengan tiga perangkat kebijakan tersebut, di tahun 2017 MA bahkan mengeluarkan surat sakti berupa Maklumat MA untuk memastikan peningkatan upaya preventif dalam mencegah terjadinya perilaku korup di badan peradilan. Namun seketika upaya dan komitmen itu “melempem” dengan peristiwa beruntun kasus suap yang menimpa Hakim Tipikor Bengkulu Dewi Suryani dan Hakim Pengadilan Tinggi Manado Sudiwardono pada tahun 2017.
Menata Hulu, bukan Hilir.
Banyaknya kebijakan pengawasan hakim secara berlapis, memperlihatkan hasil yang bias terhadap agenda pencegahan korupsi yudisial. Perlu dipahami bahwa, kebijakan pengawasan hanya menjadi sub sistem kecil dalam konteks reformasi peradilan. Ada banyak agenda strategis yang belum tersentuh dalam mencegah maraknya praktik korupsi yudisial. Selama ini, kebijakan yang lahir hanya dikuatkan pada aspek hilir (pengawasan), tanpa memperhatikan aspek hulunya. Misalnya saja dalam proses pengangkatan calon hakim (Cakim) menjadi hakim karir. Pola pengangkatan belum dibangun berdasarkan sistem yang lebih merit. Melibatkan pihak eksternal seperti KY, dan KPK, tentu bisa menjadi alternatif solusi untuk mengukur integritas dan kapabilitas calon yang akan diangkat menjadi hakim karir.
Tidak hanya itu, kebijakan tersebut perlu dibangun secara sustainable sampai dengan sistem pengawasan dan usulan promosi serta mutasi para hakim. Selama ini, pola promosi dan mutasi hanya menjadi domain tunggal MA. Alat ukurnya pun hanya ditentukan oleh MA sendiri. Melihat besarnya resonansi korupsi yudisial, maka MA sepatutnya berbenah. Terlebih kuantitas hakim di bawah MA yang mencapai angka di atas 8.000 personel,membuat patologi birokrasi MA menjadi sangat “gemuk”. Membaca kecenderungan tersebut, maka melibatkan lembaga-lembaga eksternal seperti KY dan KPK, menjadi layak dipertimbangkan. Semua sub sistem dibangun secara rapih dengan melibatkan partisipasi masyarakat dalam mencermati rekam jejak para hakim. Dengan demikian, upaya penanganan terhadap wabah korupsi yudisial, dapat diminimalisir hingga sekecil mungkin. Seperti kata Odete Buitendam, “Hakim yang baik hanya lahir melalui sistem yang baik” (good Judges are not born but made).
Idul Rishan,S.H.,LL.M.
Pengajar Muda Hukum Konstitusi, Universitas Islam Indonesia
Telah diterbitkan di Koran Kedaulatan Rakyat