Banalitas Kampanye oleh Idul Rishan, S.H., LL.M.
Banalitas Kampanye
Di era tahun 1874, seorang kartunis Thomas Nast membelah dua simpatisan golongan dalam kancah perpolitikan di AS. Melalui sebuah ilustrasi gambar di harian Harpers Weekly, Nast mengidentikan kaum Demokrat dengan seruan “keledai” dan kaum Republik dengan seruan “gajah”. (Renee Lettow Larner, Thomas Nast’s Crusading Legal Cartoons:2011). Tak tanggung-tanggung, pembelahan itupun terus menjadi sebuah simbol yang awet sampai dengan era perpolitikan milenial di AS. Serupa tapi tak sama, pembelahan itu juga sudah mulai muncul dalam kancah perpolitikan Pilpres 2019. Melalui istilah yang kurang etis di dengar dengan sebutan “cebong” untuk simpatisan Jokowi, dan “kampret” untuk simpatisan Prabowo. Pembelahan ini semakin tajam dan memiliki gelombang magnitude yang masif melalui perang di media sosial. Perang tagar semakin tajam di dunia maya, bahkan melahirkan ekses sampai di dunia nyata. Tidak jarang seruan-seruan antar kubu berpotensi menyebarkan ajaran kebencian, agitasi, dan hoax. Kekerasan verbal kampanye ini kian menyeruak menjadi sebuah realitas empiris di masyarakat.
Regulasi Kampanye
Jika merujuk pada ketentuan undang-undang pemilu, ketentuan tentang kampanye memuat sejumlah aspek larangan. Dalam ketentuan Pasal 280 diatur bahwa pelaksana, peserta dan tim kampanye dilarang “mempersoalkan dasar negara, membahayakan keutuhan NKRI, materi yang mengandung SARA, adu domba, mengganggu ketertiban umum,menjanjikan pemberian uang, merusak alat peraga kampanye, sampai dengan penggunaan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.” Intensi pengaturan ini semata-mata sebagai komponen untuk menertibkan penyelenggaraan kampanye. Sayangnya ketentuan Pasal a quo tetap mebutuhkan arah implementasi secara clear crystal dalam level pelaksanaan. Hal ini diperlukan sebagai bentuk interpretasi terhadap pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif. Terutama bagaimana mencegah dan memerangi laju berita yang cenderung bersifat adu domba. Pada level PKPU, paling tidak dibutuhkan kewajiban bagi para peserta pemilu untuk memberikan informasi dan data yang akurat terhadap masyarakat sebagai pemilih. Termasuk didalamnya menakar sanksi administrasi bagi peserta pemilu yang ikut menyebarkan berita bohong. Dengan era digitalisasi, kampanye bisa berkembang sebagai wujud banalitas yang berkelindan di antara realitas sosial. Ada sejumlah isu yang wajib diperangi para penyelenggara pemilu mulai dari agitasi, penyebaran hoax, dan ajaran kebencian yang cenderung berimbas pada perpecahan di level masyarakat.
Langkah Penanganan
Terhadap beberapa kecenderungan ekses tersebut, langkah strategis tentu dapat diwujudkan melalui upaya kolektif antara penyelenggara pemilu, peserta pemilu, dan masyarakat. Setidaknya terdapat lima agenda yang dapat direspon guna mencegah gejala banalitas kampanye. Pertama, melalui perangkat internalnya, KPU dapat menetapkan aturan lebih lanjut (further regulation) terkait arahan teknis penyelenggaraan kampanye. Sepanjang diperlukan dan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan yang lebih tinggi, PKPU dapat menjadi alternatif solusi untuk menutupi lemahnya regulasi di sektor kampanye. Kedua, Bawaslu sebagai lembaga pengawas, dituntut bersikap objektif terhadap penyelesaian dugaan pelanggaran kampanye yang dilakukan oleh peserta pemilu. Akibat minimnya regulasi di sektor kampanye, Bawaslu perlu melakukan interpretasi secara tajam terhadap gejala pelanggaran kampanye di masyarakat. Ketiga, DKPP sebagai penegak rule of ethic, dituntut bersikap imparsial dalam mengadili pelanggaran etik dan profesionalisme penyelenggara pemilu baik itu KPU maupun Bawaslu. Keempat, peserta pemilu diharapkan memberikan kampanye yang bermutu pada masyarakat sebagai pemilih. Kampanye dilakukan tidak hanya sekedar acara seremonial belaka, dengan embel-embel atribut, panggung artis, sampai dengan suara bising kendaraan bermotor yang kerap mengganggu masyarakat. Elit politik dituntut mampu memberikan kesejukan dengan memberikan seruan persatuan kepada masyarakat ditengah perbedaan pandangan politik. Kampanye dilakukan berdasarkan visi misi serta basis data yang akurat, sehingga dapat memberikan edukasi politik bagi pemilih. Last but not least, kelima, rasionalitas masyarakat menjadi tumpuan akhir dalam memberikan penilaian terhadap mutu kampanye para peserta pemilu. Termasuk bersikap objektif dalam menilai penggiringan opini publik yang tendensinya mengarah pada agitasi, kebencian, dan berita bohong. Tanpa kelima langkah strategis tersebut, ajang kampanye cenderung hanyalah menjadi sebuah atribut dan ritual seremonial belaka. Menegakkan kualitas dan ketertiban kampanye, menjadi sebuah rangkaian dalam mensukseskan pemilu yang jujur, adil, dan bermartabat.
Idul Rishan, S.H.,LL.M.
Pengurus Asosiasi Pengajar HTN-HAN Wilayah DIY
Pengajar Hukum Konstitusi, Universitas Islam Indonesia