MA & Keadilan Kita oleh Idul Rishan, S.H., LL.M.

MA dan Keadilan Kita

Dalam tiga bulan terakhir, sudah tiga kali Putusan Mahkamah Agung (MA) menuai begitu banyak sorotan publik. Pertama, kita masih ingat bagaimana MA menjatuhkan Putusan terhadap pengujian PKPU. MA membolehkan mantan narapidana korupsi untuk maju sebagai calon legislatif. Dengan tegas MA menyatakan bahwa pelarangan terhadap mantan napi korupsi dalam PKPU dinilai bertentangan dengan UU Pemilu. Dalam perkara ini, interpretasi hakim dibangun dengan pendekatan originalis yang mengutamakan struktur hukum atau kebenaran formil (Phillip Bobbit: Constitutional Fate,1991).

Bahwa pelarangan mantan napi koruptor hanya boleh diatur pada level undang-undang. Tetapi disisi materilnya, Putusan ini cenderung mengikis harapan masyarakat dalam mewujudkan pemilu yang berintegritas. Kedua, Masih dalam konteks pengujian peraturan dan penegakan hukum pemilu. Kita juga ingat bagaimana MA membatalkan PKPU yang mengatur larangan bacaleg DPD yang terafiliasi sebagai  pengurus parpol. PKPU a quo dilandaskan atas perintah Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018. Bagi MA,  larangan itu justru dinilai bertentangan dengan UU Pemilu. Putusan ini sekaligus membuat posisi KPU menjadi sangat dilematis. Di satu sisi Putusan MA harus dianggap benar, namun disisi lain, KPU wajib memastikan bahwa proses penyelenggaraan Pemilu tetap berada pada koridor konstitusi. Ketiga, kita kembali terkejut dengan perkara kasasi Baiq Nuril Maqnun. Vonis MA memberikan hukuman  enam bulan penjara dan denda sebesar 500jt atas pelanggaran Pasal 27 ayat (1) UU ITE. Dalam perkara ini MA menganulir Putusan PN Mataram yang membebaskan Nuril dari segala dakwaan.

Penemuan Hukum

Tiga kasus di atas, merefleksikan aktvitas hakim dalam melakukan penemuan hukum (Legal  Finding). Dalam proses peradilan, Gustav Radbruch menyatakan ada tiga tujuan besar penemuan hukum yang hendak dicapai oleh seorang hakim. Tujuan besar itu meliputi keadilan hukum, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum. Adakalanya dalam konteks penemuan hukum, hakim kerap berada pada posisi yang sangat dilematis dalam melakukan penemuan hukum. Pilihan itu kerap terpolarisasi antara keinginan untuk mewujudkan kepastian hukum “formal justice” atau mengedepankan keadilan secara substantif “substansial justice”. (William Pizzi, Trials Without Truth,1999). Hukum tertulis, hukum tidak tertulis, preferensi ilmiah dan keyakinan hakim, menjadi faktor yang memengaruhi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan. Soal pilihannya, itu menjadi wilayah independensi seorang hakim dalam melakukan aktivitas penemuan hukum. Kembali pada tiga konteks kasus di atas, pandangan MA berada pada pilihan berhukum secara formal justice. Mengedepankan bunyi teks undang-undang, struktur hukum secara formal, dan menjamin terciptanya ketertiban melalui kepastian hukum. Memberikan tiket kepada mantan narapidana korupsi untuk nyaleg, merupakan pilihan dalam menjamin tegaknya kepastian hukum. Namun, sebenarnya lupa dengan rasa keadilan dan manfaat bagi masyarakat. Memberikan tiket kepada pengurus parpol untuk maju sebagai caleg DPD, merupakan pilihan dalam menjamin tegaknya kepastian hukum. Terutama bagi bakal calon yang telah terdaftar sebagai daftar calon sementara (DCS) oleh KPU. Namun di sisi lain, justru mengabaikan substansi UUD yang menempatkan DPD sebagai perwakilan daerah non parpol. Begitu juga dengan kasus Baiq Nuril, mengedepankan kepastian hukum melalui perangkat UU ITE. Memastikan seluruh unsur-unsurnya terpenuhi, namun mengabaikan nilai-nilai keadilan bagi Nuril  sebagai korban atas tindakan tak bermoral dari mantan rekan kerjanya.

 

Konsistensi Berhukum

Persoalan-persoalan seperti di atas, tampaknya akan terus mewarnai proses penegakan hukum di negeri ini. Hal ini dipengaruhi dengan konsistensi terhadap sistem hukum yang hendak kita adopsi. Cara berhukum kita sangat ambivalen. Terkadang mengikuti corak civil law yang mengedepankan kepastian hukum (legal certainty) melalui peraturan tertulis. Namun terkadang juga mencampuradukan corak common law dengan mengedepankan keadilan substantif melalui putusan hakim (law made by judges). Kita mengedepankan pencapaian prolegnas secara militan, tetapi disaat yang sama membuka peran bagi hakim untuk mengkreasikan hukum melalui putusan-putusan pengadilan. Ambivalensi ini membuat karakteristik MA menjadi sangat tentatif. Dalam kurun waktu tertentu, putusan-putusan MA bisa menjadi sangat responsif. Melahirkan tradisi common law dengan mengedepankan putusan-putusan hakim yang inovatif. Memberikan ruang bagi hakim untuk mengkreasikan hukum demi terciptanya keadilan di masyarakat. Namun dalam kurun waktu yang berbeda, MA bisa berpindah dengan corak civil law. Mengedepankan hukum secara formal legalistik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.

Menolak Konservatisme

Jika merujuk pada ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD, disebutkan bahwa “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Frasa “menegkkan hukum dan keadilan” sebagaimana ditegaskan dalam Pasal a quo perlu dipahami sebagai ketentuan hukum tertulis maupun tidak tertulis. Pengaturan ini pada dasarnya menempatkan hakim tidak hanya sebagai corong undang-undang, melainkan dapat menggali nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Hal ini sejalan dengan semangat pembentukan Pasal 5 UU Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Penegasan itu tidak lain untuk membentuk tradisi bahwa kekuasaan kehakiman menghendaki lahirnya hakim-hakim progresif dalam melaksanakan aktivitas penemuan hukum. Ruang-ruang keadilan tidak hanya bersandar pada dogmatika undang-undang, melainkan  memperhatikan rasa keadilan bagi masyarakat. Putusan MA menjadi dasar untuk menyelesaikan konflik kepentingan, bukan untuk melahirkan konflik kepentingan baru dalam masyarakat. Tajam dengan kepastian hukum, tetapi tandus akan keadilan dan manfaat jangka panjang. Kita merindukan MA yang responsif, merindukan hakim-hakim dengan penalaran hukum yang progresif. Dengan demikian putusan-putusan yang dihasilkan tidak berjarak dengan keadilan kita.

 
Idul Rishan
Pengurus Asosiasi Pengajar HTN-HAN Wilayah DIY
Pengajar Hukum Konstitusi, Universitas Islam Indonesia

Telahd diterbitkan di Koran Sindo, 27 November 2018