MEMBUKTIKAN DALIL PHPU Oleh: Yuniar Riza Hakiki, S.H.
Pasca penetapan hasil penghitungan suara Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 lalu, sejauh ini tercatat sebanyak 340 permohonan perkara perselisihan hasil Pemilu (PHPU) yang dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi (MK), dengan rincian 329 perkara Pemilu DPR dan DPRD, 10 perkara Pemilu DPD, dan 1 perkara Pemilu Presiden & Wakil Presiden (www.mkri.id). Membawa “konflik politik” dalam konteks perselisihan hasil Pemilu ke dalam prosedur hukum ini tentu merupakan salah satu aktualisasi prinsip negara hukum yang demokratis.
Sikap para peserta pemilu yang mengajukan keberatan atas keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) kepada MK tentunya patut di apresiasi, lantaran mereka telah menempuh jalur perjuangan politik secara konstitusional. MK merupakan lembaga negara yang diberikan kewenangan konstitusional sebagai satu-satunya pengadilan pemutus perselisihan hasil Pemilu (vide Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945). Hanya saja, tantangan yang kemudian harus dihadapi para pemohon ialah kemampuannya untuk membuktikan dalil-dalil keberatan yang mereka ajukan.
Pelanggaran TSM
Sejak putusan MK Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 mengenai perselisihan hasil pemilihan Gubernur & Wakil Gubernur Jawa Timur, dalil keberatan atas adanya pelanggaran secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam penyelenggaraan Pemilu mulai gempar di ajukan kepada MK. Mengenai pelanggaran TSM ini kemudian diakomodasi oleh pembentuk undang-undang kedalam Pasal 286 ayat (3) beserta penjelasannya dan Pasal 463 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Sebetulnya, UU Pemilu mengkualifikasikan pelanggaran TSM tersebut kedalam pelanggaran administratif yang merupakan kompetensi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk menyelesaikannya (vide Pasal 463 UU Pemilu). Hal ini dikarenakan, pemutus akhir atas terbuktinya perkara ini ialah dijatuhkannya sanksi administratif berupa pembatalan sebagai peserta Pemilu oleh KPU atas rekomendasi Bawaslu. Hal demikian lazim dan mungkin terjadi selama proses penyelenggaraan Pemilu, sebelum ditetapkannya hasil perolehan suara oleh KPU. Namun, akankah dugaan pelanggaran TSM ini dapat dibuktikan di MK, ketika hasil Pemilu telah ditetapkan?
Sebelum adanya UU No. 7/2017, MK relatif sering memutus perselisihan hasil Pemilu berdasarkan dalil pelanggaran TSM ini. Sebagaimana jamak terjadi pada perselisihan hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), MK sempat membuat putusan yang berseberangan dengan keputusan KPU. Dalam perselisihan hasil Pilkada tahun 2010 di Kabupaten Kotawaringin Barat, majelis hakim MK menilai secara sah dan meyakinkan telah terjadi pelanggaran secara terstruktur, sistematis, dan masif selama penyelenggaraan Pilkada, hingga kemudian MK membatalkan kemenangan paslon yang ditetapkan KPU, dan pada saat itu juga menetapkan paslon (pemohon) sebagai pemenangnya (vide Putusan No. 45/PHPU.D-VIII/2010).
Keadilan Substantif
Kritik yang jamak diajukan atas anggapan bahwa MK hanya sebagai “Mahkamah Kalkulator” dalam perkara perselisihan hasil Pemilu nampaknya telah lama dibantah MK melalui berbagai putusannya. Sejak putusan 41/PHPU.D-VI/2008, MK berpendirian tidak cukup hanya akan menghitung selisih suara yang didalilkan pemohon dengan hasil perolehan suara yang ditetapkan KPU. Lebih jauh, MK akan mengadili persoalan hukum yang terjadi selama Pemilu diselenggarakan, guna diperolehnya keadilan substantif. Prinsip hukum yang sering dikutip ialah “nemo commodum capere de injuria sua propria”, bahwa tidak seorang pun boleh diuntungkan oleh pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak seorang pun boleh dirugikan oleh pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain.
Meski demikian, pewujudan keadilan substantif tersebut tidak sepenuhnya cukup dengan mengandalkan peran mahkamah. Justru yang paling utama adalah kemampuan pemohon untuk membuktikan dalil-dalilnya, sehingga tak dapat terbantahkan oleh termohon dan pihak terkait. Hal ini sebagaimana asas hukum “actori incumbit probatio”, yang pada prinsipnya meletakkan beban pembuktian kepada penggugat/pemohon yang mendalilkan gugatan/permohonannya.
Pemohon harus mampu mengaitkan antara dalil dan alat bukti yang mereka ajukan. Dalil dan alat bukti pemohon kemudian akan disandingkan dengan dalil dan alat bukti pihak termohon maupun pihak terkait. Dalam situasi inilah majelis hakim MK berposisi ditengah-tengah dan akan menilai dan menggali fakta secara obyektif. Selama para pemohon tidak mampu membuktikan dalil-dalil yang meraka ajukan, padahal ada dugaan bahwa dalil tersebut benar adanya, maka majelis hakim MK juga berpotensi tak dapat mengabulkan permohonan pemohon.
Yuniar Riza Hakiki,
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH Universitas Islam Indonesia
Tulisan ini sudah diterbitkan di Koran Harian Kedaulatan Rakyat, Opini, Jum’at, 14 Juni 2019