Alhamdulilah. Tim Kompetisi Internasional Humanitarian Law Mootcourt Fakultas Hukum UII memperoleh Juara III.

Terimakasih atas doa, dukungan, dan bimbingan Bapak Ibu semua yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Mohon doanya agar pada lomba-lomba berikutnya diberikan kemudahan dan hasil yang terbaik. Aaamiin.

Penulis: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Jika mencermati hasil perubahan UU KPK (UU Nomor 19 tahun 2019), maka arah politik hukumnya jelas. Mengubah simpul kelembagaan KPK dari lembaga independen, menjadi lembaga pemerintah. Dalam Pasal 3 revisi UU KPK disebutkan bahwa, “Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun”. Tegasnya, pasal a quo dapat dikatakan sebagai “jantung” atas hasil perubahan UU KPK. Melalui ketentuan tersebut, tak ubahnya KPK sebagai mandataris Presiden.

Mengingat secara hierarkis kelembagaannya berada di bawah kuasa presiden, maka KPK berwarna eksekutif. Tak heran jika manajemen kepegawaian di KPK wajib bercorak eksekutif. Mulai dari status penyidik, sampai dengan promosi mutasi yang tunduk pada regulasi Aparatur Sipil Negara. Bukan hanya soal kepegawaian, kehadiran Pasal 3 juga menginisiasi lahirnya pasal-pasal lain yang menyangkut Dewan Pengawas. Perangkat ini mempunyai kewenangan yang superior, bahkan dibekali kuasa “pro justisia”. Bila tak ada aral membentang, perangkat inipun akan dibentuk melalui kuasa presiden. Meskipun dalam pasal a quo diberikan “irah-irah” independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kenyataannya sulit untuk dibenarkan. Relasi kuasa yang bersifat vertikal dengan presiden, cenderung membuat KPK berayun menjadi ‘depeden’.

Cabang Ke-4

Dalam perkembangannya, revisi UU KPK menjadi simbol dekadensi terhadap praktik demokrasi di Indonesia. Betapa tidak, dibentuknya KPK merupakan kritik atas lemahnya independensi Kepolisian dan Kejaksaan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Mengingat Kepolisian dan Kejaksaan secara hierarkis berada di bawah kuasa eksekutif, maka KPK hadir sebagai lembaga independen. Baer menuliskan bahwa kehadiran lembaga independen muncul sebagai trigger atas cara kerja lembaga konvensional yang dinilai tak lagi efektif (Susan Baer:1988). Tesis Baer diperkuat oleh Ackerman yang menyatakan bahwa lembaga independen merupakan gejala otokritik terhadap pemisahan kekuasaan secara konvensional antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ackerman melihat kecenderungan Amerika yang telah mengadopsi pemisahan kekuasaan berdasar empat cabang yakni eksekutif, legislatif, yudisial dan organ independen (Bruce Ackerman:2000). Demikian halnya selepas transisi politik bergulir di Indonesia.  Studi Mochtar  mencatatkan bahwa ketidakpercayaan publik terhadap lembaga negara yang telah ada, mendorong lahirnya lembaga independen untuk melaksanakan tugas dan diidealkan memberikan kinerja baru yang lebih terpercaya (Zainal Mochtar:2016).

Dengan menempatkan KPK di bawah kuasa Presiden, justru menjadi sangat kontraproduktif terhadap respon percepatan kebutuhan demokrasi. Sudah menjadi rahasia umum, korupsi di sektor eksekutif menjadi agenda yang tak luput dari kinerja KPK selama ini. Suap di pelbagai sektor kementerian, hingga korupsi kepala daerah seolah menjadi penanda bahwa kekuasaan eksekutif menjadi anasir yang terus memberikan ancaman dari perilaku elit politik. Bisa dibayangkan, sebagai institusi yang berada di bawah kuasa presiden, KPK bisa terjebak pada konflik kepentingan. Bahkan, studi berbobot yang pernah dilakukan Madril menjadi sangat menarik. Madril mencatatkan tak ada lembaga di bawah kuasa presiden yang kinerja dan prestasinya baik dalam memberantas korupsi. Sebagai contoh Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan) di bawah Soekrano dan Operasi Tertib (Opstib) di bawah Soeharto (Oce Madril:2018).

Penafsiran MK

Kembali dalam perdebatan pembentukan Pasal 3. Dalam beberapa jajak pendapat media cetak dan elektronik, pembentuk undang-undang mengklaim bahwa politik hukum Pasal 3 perubahan UU KPK merupakan tindak lanjut atas putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017. Bila kembali membuka riwayat putusan MK, ada empat putusan lainnya yang juga memberikan penafsiran atas kedudukan dan independensi kelembagaan KPK. Di antaranya,  Putusan No 012-016-019/PUU-IV/2006, Putusan No 37-39/PUU-VIII/2010, Putusan No 5/PUU-IX/2011dan Putusan No 49/PUU-XI/2013. Empat putusan sebagaimana disebutkan di atas berada pada satu nafas yang sama. Bahwa KPK merupakan lembaga independen, dan mempunyai sifat penting dalam struktur kekuasaan negara. Membaca kondisi demikian, lantas putusan mana yang harus diikuti ? hemat penulis, putusan 36/PUU-XV/2017 tidak sepenuhnya dapat dijadikan alasan pembenar pembentukan Pasal 3 perubahan UU KPK.

Ada dua alasan yang mendasari. Pertama, perkara ini tidak menguji pasal-pasal dalam UU KPK terhadap UUD, melainkan  menguji Pasal 79 ayat (3) UU MD3 terhadap Pasal 28D ayat (1) UUDN RI Tahun 1945. Ihwal pengajuan perkara ini semata-semata untuk memperluas kewenangan DPR untuk melaksanakan fungsi pengawasan melalui hak angket, bukan dalam konteks perubahan format kelembagaan KPK. Mengingat KPK melaksanakan fungsi-fungsi eksekutif, hak angket dapat digulirkan sepanjang tidak mendistorsi fungsi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Kedua, dalam teori interpretasi konstitusi, Strauss mempopulerkan penafsiran “living constitution”. Strauss menuliskan bahwa dalam konteks penemuan hukum,  majelis hakim dimungkinkan mengubah pendiriannya atas putusan-putusan sebelumnya, sepanjang menyebutkan alasan perubahan dalam amar putusannya (David A Strauss:2011). Dalam Putusan No 36/PUU-XV/2017, tak ada satupun alasan di dalam amar putusan (ratio decidendi) yang menegaskan bahwa majelis mengubah pendiriannya atas empat putusan terdahulu. Sehingga dengan menempatkan KPK di bawah kuasa Presiden, pembentuk undang-undang cenderung bersandar pada basis teoritik yang ringkih. Mencermati sejumlah pertimbangan di atas, tentunya pasal 3 perubahan UU KPK menjadi materi yang laik diujikan di Mahkamah Konstitusi.

 

Tulisan ini pernah dimuat dalam rubrik Pendapat, KORAN TEMPO, 5 November 2019.

The Faculty of Law of the Universitas Islam Indonesia (FH UII) once again held international scale activities. This time, FH UII invited Professor Andrew Mitchell from the University of Melbourne, to come to Yogyakarta.

Prof. Andrew came at the invitation of FH UII. According to the Secretary of the International Undergraduate Program, Dodik Setiawan Nur Heriyanto, S.H., M.H., LL.M., Ph.D., Prof. Andrew was invited as one of the visiting professor programs organized by FH UII. “This program is one of the internationalization steps undertaken by the Law Faculty”, said Dodik Setiawan.

Prof. Andrew visited FH UII for three days. In accordance with the invitation of FH UII, Prof. Andrew shared his knowledge in several activities with the UII academic community. On Tuesday (11-11-2019), Prof. Andrew shared his knowledge with post-graduate students of FH UII in the General Lecture on International Trade Law. The event was held at the FH UII Postgraduate Campus, Jalan Cik Ditiro Number 1, Yogyakarta. At the event, Prof. Andrew investigated international trade law.

On Wednesday (11-11-2019), an International Seminar was held with Prof. Andrew as one of the speakers. Besides Prof. Andrew, the seminar was also filled by Christopher Cason, JD., FH UII’s foreign lecturer from the United States, and Nandang Sutrisno, S.H., LL.M., M.Hum., Ph.D., an international law expert of FH UII. The International Seminar was attended by at least 150 participants from various groups.

After the International Seminar, Prof. Andrew also shared his knowledge with the students of the Moot Court Faculty of Law UII. Prof. Mitchell, who is also the coach of the moot court team at the Law School of the University of Melbourne, shares tricks before and after the race.

Besides sharing his experiences and knowledge, Prof. Andrew was also invited to meet with the leaders of FH UII. At the meeting, FH UII hoped to establish more collaboration with the University of Melbourne. Prof. Andrew said he was happy to visit Indonesia at the invitation of FH UII. “It’s nice to be here,” he said.

Jum’at (8/11) , Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia kembali melahirkan Doktor Baru. Adalah Ari Yusuf Amir, S.H., M.H. seorang pengacara besar asal jakarta yang berhasil menyelesaikan Studi Doktornya di PDIH UII dengan mengangkat tema pidana pada pemegang saham korporasi.

Disertasi milik Ari Yusuf Amir  membahas tentang Sistem Pertanggungjawaban dan Penerapan Sanksi Pidana terhadap Pemegang saham sebagai pelaku Tindak Pidana Korporasi. Menurutnya Isu-isu terkait korporasi sebagai subjek hukum atau pelaku tindak pidana kian meningkat, terutama dengan meningkatnya kejahatan yang melibatkan korporasi. Jenis- jenis tindak pidana yang  dilakukan oleh korporasi juga makin beragam seperti manipulasi keuangan , penipuan konsumen, kartel, limbah beracun, insider trading, pelanggaran privasi, dan lain sebagainya. Oleh karena itu disertasi tersebut bertujuan untuk mengetahui sistem pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai subjek hukum pidana dan bagaimana pemegang saham korporasi dimintai pertanggungjawaban terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, serta merumuskan sistem pertanggungjawaban pidana bagi pemegang saham korporasi di masa yang akan datang, sehingga nantinya dari disertasi tersebut dapat menjadikan masukan bagi lembaga legislatif dalam membuat undang-undang terkait korporasi , dan mengatur pertanggungjawaban pidana pemegang saham.

Diketuai langsung oleh Rektor Universitas Islam Indonesia Fatul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D, dan Dewan Penguji Prof. Jawahir Thontowi, S.H., Ph.D., (Kaprodi PDIH), Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M.Hum (Promotor), Dr. Siti Anisah, S.H., M.Hum (Co. Promotor), Prof. Nindyo Pramono, S.H., M.S., Prof. Dr. Nyoman Serikat Putra jaya, S.h., M.H., Prof. Dr. Ridwan Khairandy, S.H., M.Hum.,  Serta Dr. Artidjo Alkostar, S.H., LL.M.,  sidang yang dilaksanakan di Auditorium Kahar Mudzakkir Kampus Pusat Universitas Islam Indonesia tersebut berjalan dengan lancar, dan Promovendus berhasil mempertahankan Disertasinya yang berjudul “Sistem Pertanggungjawaban dan Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pemegang Saham Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana”.

Dengan Demikian Promovendus berhak mendapatkan gelar Doktor Bidang Hukum, dan menjadi Doktor bidang Hukum ke 88 yang telah dilahirkan oleg Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Magelang (9/11) Program Studi Hukum Program Sarjana (PSHPS) Fakultas Hukum UII menyelenggarakan kegiatan Refreshing DPA dan Pendamping DPA dalam bentuk Character Building. Diselenggarakan pada Sabtu-Ahad, 9-10 November 2019 di Back Garden Oxalis Magelang.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Dr. Abdul Jamil, S.H., M.H. dalam sambutannya menyampaikan bahwa dengan character building bagi Dosen Pendamping Akademik (DPA) dan para pendamping DPA diharapkan dapat menjawab beberapa temuan pada Audit Mutu Internal (AMI) pada setiap tahunnya, yaitu kelulusan tepat waktu yang masih belum memuaskan. Kelulusan tepat waktu bagi mahasiswa PSHPS adalah hal yang sangat penting. Semakin cepat mahasiswa lulus maka kesempatan selanjutnya semakin terbuka, tetapi ketika semakin lambat mahasiswa lulus maka persaingan yang dilalui semakin berat.

Abdul Jamil juga menambahkan bahwa tidak mungkin FH UII akan menumpuk semakin banyak mahasiswa dan lambat meluluskan. Akan menjadi beban institusi. Karena mulai 2020 mendatang mahasiswa yang lulus melebihi 7 tahun, maka dia tidak akan mendapatkan PIN (Penomeran Ijasah Nasional). Yaitu salah satu indikator atau penanda untuk para lulusan yang melebihi jatah maksimal masa studi. PIN ini akan dimanfaatkan oleh instansi pemberi kerja untuk melakukan seleksi kepada calon pegawai. Sebenarnya Menristek sudah membuat peraturan Drop Out mahasiswa dengan memberikan aturan masa kuliah maksimal 7 tahun. Tetapi banyak dilanggar oleh para penyelenggara perguruan tinggi. Dengan cara seperti ini, maka setiap prodi akan berusaha agar mahasiswanya mendapatkan PIN sebelum masa 7 tahun. “Jika lebih mahasiswa luluspun seperti tidak ada gunanya ijasah yang diperoleh”, tegas Dekan FH UII.

Kegiatan character building yang dikemas dalam bentuk out bond dipandu oleh Bapak Maryono, S.Psi., M.Psi., dan Ibu Ratna Syifaa, S.Psi., M.Psi. Permainan yang dibangun memberikan gambaran karakter para peserta pelatihan. Karakter-karakter bagus yang muncul kemudian dikembangkan oleh trainer menjadi model bagi peserta lain, seperti rasa tanggung jawab mendidik bimbingan, suka memberikan penghargaan walaupun sekedar kata dan ucapan, sabar, dan perhatian.

Berikut disampaikan Jadwal Pendadaran Gelombang 2 Periode 1 Semester Genap T.A. 2019/2020. Untuk itu bagi para Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana (PSHPM) FH UII yang telah mendaftar sebagai peserta untuk mempersiapkan diri mengikuti ujian dengan ketentuan sebagai berikut: Read more

Alhamdulillah mahasiswa Fakultas Hukum UII merebut juara III karya tulis ilmiah (KTI) diajang ” Diponegoro Law Fair 2019″ Universitas Diponegoro (Undip) Semarang yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (UNDIP) pada tgl. 25-27 Oktober 2019. adapun Untuk kti juara 3
1. Aprillia Wahyuningsih 2017
2. Putra Adibil Anam 2018
3. Laily Nur Aisah 2018

Mahasiswa Fakultas Hukum UII kembali menorehkan prestasi di kompetisi Diponegoro Law Fair yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Diponegoro dengan tema “Distribusi Keadilan dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam”. Dalam kesempatan ini FKPH FH UII mengirimkan dua team yang terdiri dari Kompetisi Debat Nasional dan Karya Tulis Ilmiah. Adapun delegasi dari FH UII untuk Debat Nasional terdiri dari Estri Solikhin 2018, Jihan Sekar Putri 2018, dan Dewi Irawati 2018. Sementara itu, untuk Karya Tulis Ilmiah terdiri dari Aprillia Wahyuningsih 2017, Putra Adibil Anam 2018 dan Laily Nur Aisah 2018.

Dalam debat nasional terdapat 11 mosi yang terkaitg dengan Distribusi dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam. Kemudian untuk gagasan yang ditawarkan oleh perwakilan Karya Tulis Ilmiah adalah Percantuman Masyarakat Adat dalam Kontrak Bagi Hasil Gross Split. Untuk kompetisi Karya Tulis Ilmiah FH UII berhasil merebut Juara 3. Tentunya keberhasilan ini tidak terlepas dari bimbingan dan doa para dosen FH UII yang telah meluangkan waktu dan pikirannya untuk perjuangan mahasiswa.

Sebagaimana yang diungkap oleh perwakilan delagasi Aprillia Wahyuningsih “Alhamdulillah. Meskipun Terdapat beberapa kendala dan kesulitan yang dialami dalam proses persiapan kompetisi ini. Tetapi, kesulitan ini juga dibarengi dengan semangat serta kemudahan yang diberikan oleh dosen pembimbing serta teman-teman yang lain sehingga tidak menyurutkan semangat untuk mengukir prestasi.” Di samping itu, harapannya semoga FH UII tidak hanya menorehkan prestasi di kanca Nasional tapi juga dapat berkarya dan berprestasi di tingkat Internasional.

Senin (28/10) Mirani Desi Ekowati, S.E. mengikuti Kompetisi Tendik Akademik Berprestasi Nasional di Convention Center Hall Jakarta Pusat. Bersaing dengan 10 tendi berprestasi lain yang berasal dari Perguruan Tinggi baik negeri maupun swasta. Prestasi yang membanggakan bagi UII yang telah mengantarkan 2 tendik terbaiknya dalam kompetisi kancah nasional.

Mirani Desi bersama Riyanto berangkat ke Jakarta pada Sabtu, 26 Oktober 2019 dengan mengemban amanah mempresentasikan program pengembangan pelayanan Tugas Akhir berbasis Teknologi Informasi.


Penulis: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Jika hasil revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) telah resmi diundangkan, Mahkamah Konstitusi (MK) akan menerima sejumlah permohonan pengujian dari berbagai pihak. Mungkin, mulai dari kelompok akademisi, pegiat antikorupsi, sampai dengan tokoh masyarakat. Meskipun permohonan diajukan dari golongan yang beragam, substansi kerugian konstitusionalnya akan sama. Memohon kepada majelis hakim, agar pasal-pasal revisi UU KPK dinyatakan inkonstitusional dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum   secara mengikat. Dalam logika penulis, pengujian revisi UU KPK bukan perkara yang mudah. Meskipun hasil revisi mendapatkan tekanan publik secara masif, pandangan majelis hakim belum tentu sejalan dengan kelompok mayoritas yang menolak revisi UU KPK. Ada sejumlah tantangan yang perlu diperhatikan bagi para pemohon, termasuk dalam membangun logika kerugian konstitusional di MK.

 

Logika Pengujian

Dalam logika pengujian, ada dua alasan yang menjadi basis utama pengujian undang-undang di MK. Pertama, ialah alasan formil. Melihat keabsahan prosedur pembentukan rancangan undang-undang itu dilakukan. Kemudian kedua, ialah alasan materil. Melihat kesesuaian materi muatan undang-undang terhadap norma yang lebih tinggi (dalam hal ini UUD). Secara formil, proses pembentukan revisi UU KPK dinilai cacat formil karena dikebut hanya dalam tiga belas hari, dan tidak berada pada daftar prioritas prolegnas. Tidak heran jika para pegiat antikorupsi menyebut bahwa pembentukan dan pembahasan revisi UU KPK cenderung dilakukan secara “ugal-ugalan”. Minus partisipasi, naskah akademik yang tidak transparan, dan tajam akan kepentingan parpol. Jika merujuk UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 45 mensyaratkan setiap RUU baik dari DPR dan Presiden disusun berdasarkan program legislasi nasional. Di samping itu, Pasal 44 juga mengatur bahwa  setiap RUU yang diusulkan wajib disertai dengan naskah akademik. Namun perlu diperhatikan.  Di saat yang sama, akhir masa bakti anggota DPR 2014-2019 juga mengesahkan revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam revisi UU yang baru, diatur dalam Pasal 23 ayat (2) bahwa dalam keadaan tertentu DPR atau Presiden dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas. Dengan alasan keadaan luar biasa, konflik, bencana alam, atau keadaan tertentu lainnya, yang memastikan adanya urgensi nasional. Kehadiran pasal ini, membuka ruang bagi DPR dan Presiden,  untuk mengusulkan dan membahas secara cepat RUU atas alasan kondisi tertentu. Konsekuensinya, hal ini akan membawa tantangan baru bagi pemohon atas dalil-dalil formil yang akan diajukan di MK.

Selain tantangan pada asepk formil, para pemohon juga akan dihadapkan dengan sejumlah tantangan pada aspek materil. Para pemohon akan dihadapkan pada situasi yang tidak mudah, mengingat KPK tidak memperoleh legitimasi kewenangan secara langsung berdasarkan UUD. Ia dibentuk berdasarkan UU, yang pada prinsipnya merupakan sebuah kebijakan politik hukum terbuka (open legal policy). Sifat pengujian di MK tentu akan bersandar pada kesesuaian norma lebih rendah terhadap norma yang lebih tinggi. Dalam yurisprudensi MK, ada empat putusan yang menyatakan bahwa meskipun KPK dibentuk berdasarkan UU, tetapi KPK mempunyai sifat penting dalam struktur ketatanegaraan (constitutional importance).  Sebagaimana tertuang dalam Putusan No 012-016-019/PUU-IV/2006, Putusan No 37-39/PUU-VIII/2010, Putusan No 5/PUU/IX/2011, dan Putusan MK No 49/PUU-XI/2013. Bahwa KPK merupakan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, sebagaimana bunyi Pasal 24 ayat (3) UUDN RI. Tantangan yang kemudian muncul ialah, dalam Putusan terakhir MK No 36/PUU-XV/2017, majelis mengubah pendiriannya dengan menyatakan bahwa KPK bercorak eksekutif, karena alasan melaksanakan fungsi eksekutif. Artinya ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi para pemohon untuk membangun silogisme konstitusional, bahwa pasal-pasal kontroversial dalam revisi UU KPK bertentangan dengan UUD. Selain aspek formil materil, tantangan lain yang perlu diperhatikan ialah perihal imparsialitas hakim konstitusi. Dalam prinsip independensi peradilan, para majelis hakim tidak boleh terpengaruh dengan besarnya tekanan publik atas perkara yang disidangkan (Contini & Mohr:2007). Bisa jadi, gelombang penolakan mahasiswa secara masif tidak akan memengaruhi pendirian hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Logika sederhananya, pengujian undang-undang yang menuai begitu banyak penolakan publik, belum tentu bertentangan dengan norma yang lebih tinggi.

Penalaran Hakim

Terlepas dari segala tantangan yang akan di hadapi para pemohon, hal yang tidak kalah pentingnya ialah mengurai metode penalaran yang akan digunakan para hakim di mahkamah.   Disadari atau tidak, sembilan hakim di MK memiliki preferensi ilmiah yang berbeda-beda. Sebagaimana dituliskan Dahl, bahwa preferensi ilmiah menjadi dasar  keyakinan hakim dalam menjatuhkan vonisnya (Robert Dahl:1963). Tidak heran jika dalam sebuah perkara pengujian undang-undang di MK, adakalanya putusan tidak di ambil secara bulat. Ada yang dissenting, bahkan mungkin ada yang concurrent. Masing-masing akan memiliki basis keyakinan dan interpretasi yang berbeda (Keith E. Whittington:1999). Bagi para penganut judicial restraint, beberapa ketentuan norma undang-undang dan putusan peradilan, menjadi dasar utama menegakkan pertimbangan hukum. Sementara bagi para penganut  judicial activism, hakim bisa saja melampaui beberapa ketentuan tertulis dalam hukum positif. Para hakim bersikap aktif dalam melakukan penemuan hukum. Bahkan tidak menuntut kemungkinan, menghasilkan suatu penerobosan hukum dengan memperhatikan rasa keadilan yang berkembang di masyarakat. Perdebatan dua kelompok itu yang akan mewarnai pertimbangan sembilan hakim konstitusi dalam pengujian revisi UU KPK. Dengan melihat komposisi hakim konstitusi saat ini, penulis merasa bahwa putusan nanti tidak akan jatuh secara bulat.

Tulisan ini pernah dimuat dalam REPUBLIKA, 14 Oktober 2019.

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia bekerjasama dengan Universitas Muhammadiyah Magelang (UM Magelang) menyelenggarakan International Synposium bertajuk The 1st Borobudur International Symposium 2019 (BIS2019), pada hari Rabu 16 Oktober 2019. Berlokasi di Ballroom Grand Artos Hotel &Convention , Magelang Symposiym dibagi menjadi dua sub; yang pertama 1st Borobudur International Symposium on Applied Sciences and Engineering (1st BIS ASE) dan 1st Borobudur International Symposium on Humanities, Economics, and Social Sciences (1st BIS HESS ).
Fakultas Hukum Universita Islam Indonesia menjadi saah satu co host dalam peyelenggarakan BIS 2019. Menurut Sekretaris Program Studi Hukum Program Internasional Fakultas Hukum UII, Dodik Setiawan Nur Heriyanto, S.H.,LL.M., Ph.D, bentuk kerjasama antara UII dengan UM Magelang adalah sebagai penyelenggara BIS 2019. Fakultas Hukum menjadi co host dalam penyelenggaraan BIS 2019 tercantum dalam Memorandum of Understanding (Mou).
Menurut Dodik Setiawan, ada dua hal yang mendasari terjadinya kerjasama Fakultas Hukum dengan UM Magelang. Pertama Fakultas Hukum UII ingin meningkatkan jumlah publikasi dosen di tingkat internasional. Melalui BIS 2019, khusunya 1st BIS HESS, pengumpulan karya tulis nantinya akan dipublikasikan melalui proses index dan website sains Yang kedua, kerjasama ini diharapkan menjadi salah satu langkah untuk meningkatkan jaringan kerjasama antara Fakultas Hukum UII dengan Universitas lain di seluruh Indonesia. “ Penambahan jaringan kerjasama dengan Universitas yang ada di Indonesia, “kata Dodik Setiawan.

Fakultas Hukum UII mengirimkan enam paper untuk berpartisipasi di BIS 2019. Enam paper yang dikirimakn merupakan manifestasi gagasan dari sivitas akademika dan dosen FH UII. Dosen yang berpartisipasi diantarnya Dr. Budi Agus Riswandi, SH., MH., Dodik Setiawan Nur Heriyanto, SH., MH., LL.M., Ph.D., Prof. Ni’matul Huda, SH., M.Hum., Mahrus Ali, SH., MH., Bagya Agung Prabowo, SH., MH., Ph.D., and Siti Ruhama Mardhatillah, SH., MH.

BIS 2019 diselenggarakan dalam tiga bagian. Bagian pertama adalah sesi meja bundar/round table, yang kedua sesi pembukaan yang kemudian dilanjutkan dengan seminar Internasional. Yang terahir adalah sesi kedua round table.

Dalam sesi seminar internasional menghadirkan pakar dari seluruh negeri. Pembicara utama pada seminar internasional adalah Prof. Tony Lucey, Ph.D. dari Curtin University, Australia, Rajesh Ranolia, B.Com., MBA dari Institut Nasional Teknologi Informasi, India, dan Prof. Ts DR. Noreffendy Tamaldin dari Universiti Teknik Malaysia Malaysia Melaka, Malaysia.
Acara ini dihadiri oleh ratusan pembicara dari berbagai perguruan tinggi. Para pembicara dibagi menjadi beberapa kelompok kecil dan menempati meja bundar. Konsep meja bundar cukup baru. Pembicara mempresentasikan dan menanggapi makalah satu sama lain yang dipimpin oleh moderator.