Oleh: M. Mustofah Bisri – 24410277

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana (International Program) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Kasus Harvey Moeis telah menjadi sorotan publik Indonesia dalam beberapa bulan terakhir. Pengusaha yang dikenal sebagai suami dari selebriti Sandra Dewi ini terlibat dalam kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah yang merugikan negara hingga Rp 300 triliun. Perjalanan hukumnya mengalami dinamika yang menarik perhatian, terutama setelah vonis awal yang dianggap ringan dan kemudian diperberat secara signifikan. 

 Kasus Harvey Moeis, yang melibatkan kerugian negara sebesar Rp 300 triliun, menjadi sorotan utama dalam konteks hukum di Indonesia. Dalam putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Harvey dihukum penjara selama 6 tahun 6 bulan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal-pasal yang diterapkan dalam kasus ini, khususnya Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 12B, menekankan pada tindakan memperkaya diri sendiri dan penerimaan suap yang merugikan keuangan negara. Meskipun jumlah kerugian sangat besar, keputusan hukuman yang dijatuhkan dianggap tidak sebanding oleh banyak pihak, menimbulkan pertanyaan tentang keadilan dan ketegasan hukum di Indonesia.

Pada Desember 2024, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman 6 tahun 6 bulan penjara kepada Harvey Moeis. Vonis ini jauh lebih rendah dibandingkan tuntutan jaksa yang menginginkan hukuman 12 tahun penjara. Selain hukuman penjara, Harvey juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp 1 miliar dan uang pengganti senilai Rp 210 miliar. Putusan ini memicu reaksi keras dari masyarakat. Banyak yang menilai hukuman tersebut tidak sebanding dengan besarnya kerugian negara yang ditimbulkan. Media sosial dipenuhi oleh kritik dan kekecewaan terhadap sistem peradilan yang dianggap tidak adil. Tagar #KeadilanUntukIndonesia sempat menjadi trending topic, menunjukkan besarnya perhatian publik terhadap kasus ini.

Menanggapi reaksi publik dan atas dasar rasa keadilan, jaksa penuntut umum mengajukan banding. Pada Februari 2025, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengabulkan permohonan tersebut dan memperberat hukuman Harvey Moeis menjadi 20 tahun penjara. Selain itu, denda yang harus dibayar tetap sebesar Rp 1 miliar, namun uang pengganti yang harus disetor meningkat menjadi Rp 420 miliar. Jika tidak dibayar dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka akan diganti dengan pidana penjara selama 10 tahun. Perubahan signifikan dalam putusan ini menimbulkan berbagai spekulasi di kalangan netizen. Banyak yang berpendapat bahwa tekanan publik dan viralnya kasus ini di media sosial berperan besar dalam peningkatan hukuman. Pandangan ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah keadilan hanya akan ditegakkan jika suatu kasus menjadi viral?

Fenomena ini bukan pertama kalinya terjadi di Indonesia. Beberapa kasus sebelumnya menunjukkan pola serupa, di mana perhatian publik yang masif memengaruhi proses hukum. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang independensi lembaga peradilan dan potensi trial by public opinion. Di sisi lain, ada juga pandangan bahwa keterlibatan publik melalui media sosial dapat menjadi alat kontrol sosial yang efektif untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam proses hukum. Namun, penting untuk dicatat bahwa dalam sistem hukum yang ideal, putusan pengadilan harus didasarkan pada fakta dan bukti yang ada, bukan pada tekanan publik. Jika pengadilan mulai terpengaruh oleh opini publik, maka prinsip independensi peradilan bisa terancam. Oleh karena itu, meskipun partisipasi publik penting dalam mengawasi jalannya proses hukum, perlu ada batasan agar tidak mengintervensi independensi peradilan.

Dalam kasus Harvey Moeis, meskipun ada anggapan bahwa viralnya kasus ini memengaruhi putusan banding, tidak ada bukti konkret yang menunjukkan bahwa hakim terpengaruh oleh opini publik. Majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam pertimbangannya menyatakan bahwa peningkatan hukuman didasarkan pada besarnya kerugian negara dan dampak luas yang ditimbulkan oleh tindakan korupsi tersebut. Kasus ini juga menyoroti peran media dalam membentuk opini publik. Media massa dan media sosial memiliki kekuatan besar dalam mengangkat suatu isu dan mempengaruhi persepsi masyarakat. Namun, dengan kekuatan tersebut datang tanggung jawab untuk menyajikan informasi yang akurat dan tidak memprovokasi. Penyebaran informasi yang tidak tepat atau berlebihan dapat memicu trial by media, di mana seseorang sudah dianggap bersalah atau tidak bersalah oleh publik sebelum ada putusan resmi dari pengadilan.

Di sisi lain, viralnya suatu kasus juga dapat membawa dampak positif, seperti mendorong penegak hukum untuk bekerja lebih transparan dan akuntabel. Dalam konteks ini, peran masyarakat sebagai pengawas jalannya proses hukum menjadi sangat penting. Namun, perlu diingat bahwa keterlibatan publik harus dilakukan dengan bijak dan tidak melanggar asas praduga tak bersalah. Kasus Harvey Moeis menjadi refleksi bagi sistem peradilan Indonesia tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara independensi peradilan dan keterlibatan publik. Transparansi dalam proses hukum harus ditingkatkan agar masyarakat mendapatkan informasi yang jelas dan akurat. Dengan demikian, kepercayaan publik terhadap sistem peradilan dapat terjaga tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip dasar hukum.

Pada akhirnya, kasus Harvey Moeis mengajarkan kita bahwa keadilan tidak boleh bergantung pada seberapa viral suatu kasus. Setiap individu berhak mendapatkan proses hukum yang adil dan transparan, terlepas dari besarnya perhatian publik. Sebaliknya, masyarakat juga memiliki peran penting dalam mengawasi jalannya proses hukum, namun harus dilakukan dengan cara yang bijak dan tidak mengintervensi independensi peradilan.

 

DAFTAR PUSTAKA

  • Buku

Evi Hartanti. Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika, 2023.

Feka, Mikhael, Rahmad Masturi, Citranu Citranu, I. Kadek Kartika Yase, Latifah Nur’aini, Dimas Ramadhansyah, Siti Farhani, Ahmad Rifa’i, And Anis Rifai. Buku Ajar Hukum Pidana Korupsi. Pt. Sonpedia Publishing Indonesia, 2024.

  • Jurnal/Artikel

Handayani, Putri Happy. “Rekontruksi Politik Hukum Pidana Eksaminasi Penjatuhan Hukuman Dalam Kasus Harvey Moeis.” Jurnal Hukum Dan Kebijakan Publik 7, No. 1 (January 31, 2025). Accessed March 13, 2025. Https://Journalpedia.Com/1/Index.Php/Jhkp/Article/View/4406.

Sari, Dian Permata, Laila Fatia Maharani, Mila Agustin, And Nourel Islamay Diandra. “Analisis Hubungan Antara Kasus Korupsi Harvey Moeis Dan Setya Novanto Serta Kaitannya Dengan Hukum Tata Negara Dan Undang-Undang Nri 1945.” Eksekusi : Jurnal Ilmu Hukum Dan Administrasi Negara 3, No. 1 (2025): 112–122.

Subagja, Rakha Elwansyah Giri, Zahra Febriani Nugraha, Muhammad Alwan Ramadhana, And Asmak Ul Hosnah. “Tindak Pidana Di Luar Kuhp Mengenai Pencucian Uang Berdasarkan Kasus Korupsi Timah Rp 271 T.” Jurnal Studi Multidisipliner 8, No. 6 (June 30, 2024). Accessed March 13, 2025. Https://Oaj.Jurnalhst.Com/Index.Php/Jsm/Article/View/2018.

Kaliurang; Kamis, 26 Juni 2025, Pukul 13.00 WIB telah dilaksanakan Ujian Terbuka Disertasi Promosi Doktor pada Program Studi Hukum Program Doktor (PSHPD) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia atas nama Yulia Kurniaty, S.H., M.H. bertempat di Ruang Auditorium Lantai 4 FH UII, dengan ketua penguji Prof. Dr. Budi Agus Riswandi, S.H., M.Hum., promotor Prof. Dr. Rusli Muhammad, S.H., M.H., Co Promotor Dr. Aroma Elmina Martha, S.H., M.H., anggota penguji yang terdiri dari: Prof. Dr. Dra. Mg. Endang Sumiarni, S.H., M.Hum., Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum., Prof. Dr. M. Syamsudin, S.H., M.H., dan Dr. M. Arif Setiawan, S.H., M.H.

Promovenda mempresentasikan disertasinya yang berjudul “Model Ideal Penanganan dan Sanksi Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi yang Berkeadilan” selama kurang lebih 10 menit di awal sesi ujian. Ia mengemukakan bahwa penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pelaksanaan penanganan kekerasan seksual di Perguruan Tinggi, dikarenakan sejak diterbitkannya Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi senyatanya tidak menyurutkan angka kejadian, sehingga pemerintah perlu menerbitkan Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penaganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Dalam penelitian disertasinya, Promovenda menyampaikan berdasarkan permasalahan sebagaimana disebutkan di atas terdapat 3 rumusan masalah yang diajukan. Pertama, bagaimana penanganan kekerasan seksual di Perguruan Tinggi saat ini?; Kedua, apa persamaan, perbedaan, dan hambatan dalam penanganan kekerasan seksual di Perguruan Tinggi?; Ketiga, bagaimana model ideal penanganan dan sanksi kekerasan seksual di Perguruan Tinggi saat ini?. Berdasarkan rumusan masalah tersebut kemudian terdapat tiga hasil penelitian yakni, Pertama, penanganan kekerasan seksual oleh Satuan Tugas dari Perguruan Tinggi yang menjadi sampel cukup beragam bergantung dari kemampuan pengalaman dan kedalaman menganalisis kasus oleh sumber daya manusia yang menjadi anggota Satuan Tugas serta dukungan dana dari universitas. Kedua, persamaan dalam menangani kasus kekerasan seksual adalah telah sesuai alur pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Permendikbudristek dan mengutamakan media social sebagai sebagai sarana pelaporan. Perbedaan dalam menangani kasus kekerasan seksual adalah teknis pelaksanaannya seperti ada Satuan Tugas yang membagi anggotanya dalam bberapa tim pemeriksa dan ada yang tidak, kelengkapan informasi yang ada di Instagram beragam, tidak semua perguruan tinggi memiliki unit pendukung penanganan misalnya, klinik Kesehatan, klinik konseling, atau Lembaga bantuan hukum. Hambatan dalam menangani kasus adalah keterbatasan waktu anggota Satuan Tugas dikarenakan tugas utamanya sebagai Dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan sudah padat; dukungan dana dan fasilitas dari universitas belum memadai; Ketiga, model ideal penanganan kekerasan seksual di Perguruan Tinggi yang berkeadilan adalah mengacu pada Model Integrasi Keseimbangan Kepentingan yang mengedepankan keseimbangan kepentingan terlapor, korban, Perguruan Tertinggi, dan warga kampus. Adapun model ideal sanksi adalah mendasarkan bahan pertimbangan penjatuhan sanksi pada aspek kesalahan, aspek dampak, aspek kerugian korban, aspek keuntungan yang diperoleh pelaku, serta keadaan yang memberatkan dan meringankan. Kelima aspek tersebut menjadi acuan dalam menganalisis kasus dan merumuskan rekomendasi sanksi agar pilihan sanksi yang dijatuhkan bermanfaat bagi korban sebab dipulihkan kerugiannya, bermanfaat bagi pelaku sebab timbul rasa jera dan bermanfaat bagi Perguruan Tinggi sebab tidak ada keberulangan kasus.

Selama sesi ujian berlangsung, promovenda dapat menjawab dengan baik atas pertanyaan pertanyaan yang diberikan oleh penguji serta dapat mempertahankan argumentasi dalam disertasinya. Dr. Yulia Kurniaty, S.H., M.H. sekarang resmi menyandang gelar doctor hukum ke 187 dengan system pembelajaran terstruktur pada Program Studi Hukum Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.

Di Akhir sesi ujian, Co Promotor (Ibu dr. Aroma Elmina Martha, S.H., M.H.) memberikan ucapan selamat dan mendoakan agar ilmu yang diperoleh bermanfaat bagi bangsa dan agama serta membawa keberkahan bagi sesama.

Oleh: Barlian Najma Elhanuna – 24410720

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Reguler Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

 

Lagu “Bayar Bayar Bayar” dari Grup Band Sukatani asal Purbalingga Jawa Tengah menarik perhatian publik tidak hanya karena melodinya, tetapi juga karena liriknya, seperti “mau korupsi, bayar polisi” yang dianggap mencerminkan realitas sosial di Indonesia. Dalam lagu ini banyak mengundang pro dan kontra dari masyarakat karena menyoroti praktik korupsi atau suap yang melibatkan aparat kepolisian. Kritik sosial melalui seni musik semacam ini sebenarnya memiliki peran penting dalam mendorong kesadaran publik tentang masalah sistemik yang perlu diperbaiki. Di balik kontroversi tersebut, lagu ini juga menimbulkan pertanyaan tentang apakah lagu “Bayar Bayar Bayar” termasuk ke dalam kritik sosial atau hate speech (ujaran kebencian)? dan bagaimana implikasi lagu tersebut terhadap kebebasan berekspresi di Indonesia?

Kritik sosial sejatinya berperan sebagai wahana yang merupakan wujud ekspresi dalam masyarakat yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol terhadap jalannya sistem sosial. Hal ini sebagai upaya menjaga keteraturan sistem sosial yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Melalui kritik sosial, berbagai perilaku sosial suatu kelompok dan individu yang menyeleweng dari norma atau tatanan moral dapat diidentifikasi dan dicegah agar sistem sosial tetap berjalan sesuai dengan asas keadilan dan kepatutan. Lagu “Bayar Bayar Bayar” merefleksikan hal ini dengan menyoroti praktik korupsi dan suap. Terlepas dari pro dan kontra yang ada, esensinya adalah upaya konstruktif untuk mendesak pembenahan sistem.

Hate speech biasanya merujuk pada ekspresi yang mengandung ujaran kebencian atau stigmatisasi terhadap kelompok atau individu tertentu yang dapat menyebabkan permusuhan. Dilihat dari segi tujuan maupun dampaknya diatas, kritik sosial dan hate speech merupakan dua hal yang berbeda. Kritik sosial sendiri merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan merupakan hak asasi yang dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) tepatnya dalam Pasal 28E ayat (3) yang berbunyi: “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.  Dalam konteks lagu “Bayar Bayar Bayar”, meskipun liriknya dinilai keras dan menyindir, namun, pihak Band Sukatani telah mengklarifikasi bahwa isi dari lagu tersebut tidak ditujukan untuk menyindir institusi kepolisian secara keseluruhan, melainkan hanya mengkritik oknum-oknum tertentu yang terlibat dalam praktik korupsi atau suap.

Dalam analisa penulis, lirik lagu “Bayar Bayar Bayar” dari Band Sukatani bukan merupakan hate speech. Dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Pasal 28 ayat (2) jo. Pasal 45A ayat (2) tentang ujaran kebencian dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 310-311 tentang pencemaran nama baik. Ada beberapa hal yang dapat menjadi bahan acuan bahwa lagu tersebut tidak mengandung unsur hate speech: Pertama, lirik tidak mengandung kata-kata yang bersifat menyerang, memaki atau merendahkan suatu kelompok atau individu. Kedua, niat dan tujuan di balik lirik lagu dimaksudkan untuk mengkritik atau menyampaikan isu sosial. Ketiga, lirik tidak mengusung kekerasan atau tindakan diskriminatif terhadap suatu kelompok atau individu. Dengan demikian, lagu ini tidak memenuhi unsur-unsur ujaran kebencian dan lebih tepat dikategorikan sebagai kritik sosial daripada hate speech, karena tujuannya adalah menyoroti ketidakadilan yang merujuk pada penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang oleh oknum polisi tertentu untuk kepentingan pribadi atau kelompok.

Kebebasan berekspresi memungkinkan Band Sukatani untuk menyampaikan kritik sosial melalui medium musik, menjadikan karya mereka sebagai kritik sosial yang terjadi di masyarakat. Namun, perlu diperhatikan untuk dipahami bahwa kebebasan ini tidak bersifat mutlak. Terdapat batasan-batasan hukum yang mengatur kebebasan berekspresi, seperti dalam UU ITE Pasal 28 ayat (2) jo. Pasal 45A ayat (2) dan KUHP Pasal 310-311. Batasan tersebut pada hakikatnya dimaksudkan untuk melindungi hak dan reputasi pihak lain, tetapi sering kali disalahartikan atau disalahgunakan untuk membungkam suara kritis. Band Sukatani sendiri dikabarkan menghadapi berbagai bentuk tekanan, seperti mendapat intimidasi hingga penghapusan terhadap lagu “Bayar Bayar Bayar”, yang memunculkan perdebatan serius mengenai pembatasan kebebasan berekspresi di Indonesia. Alih-alih menjadi alat untuk menjaga ketertiban, regulasi tersebut justru rentan digunakan sebagai alat represif untuk membatasi ruang ekspresi seniman dan kreator musik. Hal ini menimbulkan kekhawatiran atas masa depan kebebasan ruang berekspresi khususnya bagi karya seni yang bersifat kritik sosial.

Dari pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa lagu “Bayar Bayar Bayar” hendaknya disikapi secara positif bahwa itu adalah bentuk ekspresi Grup Band Sukatani sebagai kritik sosial. Adapun implikasi dari kasus ini terhadap kebebasan berekspresi di Indonesia cukup berpengaruh. Terutama di era digital di mana media sosial menjadi sarana utama menyebarkan suatu gagasan. Seniman sudah semestinya memiliki hak untuk dapat dengan bebas, namun, tidak melewati batas dalam menyampaikan kritik sosial melalui karyanya selama kritik tersebut dapat meningkatkan suatu sistem menuju perubahan yang positif. Selain itu, regulasi yang menjadi payung hukum juga harus ditegakkan agar hak dari pihak kritikus dan target kritik tetap terlindungi. Kasus Grup Band Sukatani mengingatkan kita akan urgensi menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dengan regulasi yang menjadi payung hukum. Tanpa ruang untuk berekspresi, masyarakat mungkin kehilangan salah satu alat penting untuk mengadvokasi perubahan dan memastikan akuntabilitas institusi publik.

 

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5952)

 

Artikel Jurnal

Akbar, Ahmad Zaini. “Kritik Sosial, Pers Dan Politik Indonesia.” Unisia 17, no. 32 (2016): 44–51. https://doi.org/10.20885/unisia.vol17.iss32.art5.

Ilmu, Jurnal, Komunikasi Dan, and Sosial Politik. “Framing Media , Kebebasan Ekspresi , Dan Sistem Politik Pada Pencabutan Lagu Bayar Bayar Bayar” 02, no. 03 (2025): 850–54.

Karo Karo. “Hate Speech: Penyimpangan Terhadap UU ITE, Kebebasan Berpendapat Dan Nilai-Nilai Keadilan Bermartabat.” Jurnal Lemhannas RI 10, no. 4 (2023): 52–65. https://doi.org/10.55960/jlri.v10i4.370.

Susanti, Winda, and Eva Nurmayani. “Kritik Sosial Dan Kemanusiaan Dalam Lirik Lagu Karya Iwan Fals.” Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia 3, no. 1 (2020): 1–8.

 

Website

Febriari, S. (2025). Lagu “Bayar Bayar Bayar” Viral, Sukatani Band Buat Klarifikasi Permintaan Maaf. Metro TV News. https://www.metrotvnews.com/play/K5nC7DRW-lagu-bayar-bayar-bayar-viral-sukatani-band-buat-klarifikasi-permintaan-maaf

Maharani, D. (2025). Lirik Lagu Bayar Bayar Bayar dari Band Sukatani. Kompas.Com. https://www.kompas.com/hype/read/2025/02/20/162617766/lirik-lagu-bayar-bayar-bayar-dari-band-sukatani

Munawaroh, N. (2024). Pasal-Pasal Ujaran Kebencian dalam Hukum Positif Indonesia. Hukum Online. https://www.hukumonline.com/klinik/a/pasal-pasal-ujaran-kebencian-dalam-hukum-positif-indonesia-lt5b70642384e40/

Pada hari Selasa, 10 Juni 2025, telah diselenggarakan kerja sama antara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) dengan International Red Cross and Red Crescent (ICRC) perwakilan Indonesia. Kerja sama tersebut tidak hanya berkaitan dengan kegiatan pengajaran tetapi juga berkaitan dengan penelitian dan pengabdian masyarakat. Dalam kesempatan ini Dekan Fakultas Hukum UII ditemani oleh beberapa pimpinan lain, seperti Wakil Dekan Bidang Keagamaan, Kemahasiswaan, dan Alumni (KKA), Kaprodi Program Studi Hukum Program Sarjana (PSHPS) serta Sekretaris Program Studi Hukum Program Sarjana (PSHPS). Delegasi dari ICRC dipimpin oleh Johan Guillaume, selaku Wakil Kepala Delegasi Regional, adapun untuk delegasi lainnya yaitu Christian Donny Putranto dan Ursula Langouran, selaku Legal Adviser di ICRC Indonesia. Serta untuk delegasi yang mewakili dari bagian Global Affairs yaitu,  Maysa Sonia Alam Rahman dan Novriantoni Kaharudin. Agenda Pertemuan dan Penandatanganan MoU dengan ICRC ini berlangsung di Faculty Lounge, lantai 2, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.

Dalam pertemuan ini Prof. Dr. Budi Agus Riswandi, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum UII menyampaikan bahwa “Fakultas Hukum UII sangat menyambut baik kerja sama dengan ICRC Indonesia. Kita berharap bahwa salah satu nilai yang ada di UII khususnya berkaitan dengan nilai kemanusiaan dapat dikembangkan, khususnya dalam menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan baik di Indonesia maupun di dunia internasional. Fakultas Hukum UII siap untuk menjadi mitra dari ICRC Indonesia dalam melakukan diseminasi, kolaborasi penelitian maupun kegiatan yang berkaitan dengan kemanusiaan.” demikian kata Dekan Fakultas Hukum UII. 

Hal yang sama juga diutarakan oleh Kaprodi PSHPS FH UII, beliau sangat menyambut baik dan menyampaikan bahwa “Program Studi Hukum Program Sarjana Fakultas Hukum UII sangat berterima kasih kepada ICRC Indonesia yang meskipun belum ada kerja sama yang dilakukan secara formal, namun telah merealisasikan beberapa program diseminasi dan kegiatan ilmiah tentang Hukum Humaniter Internasional dan Hak Asasi Manusia. Sehingga mahasiswa banyak memahami dan belajar tentang aplikasi Hukum Humaniter Internasional dan Hak Asasi Manusia, di hari yang sama akan diadakan kegiatan Halaqoh Fiqih Siyar 2025, episode 1 dengan tema “Bedah Kitab Fiqih Kehidupan Seri ke-17 Islam dan Hukum Humaniter Internasional Karya Ahmad Sarwat” oleh Ust. Ahmad Sarwat dari Rumah Fiqih Indonesia. Acara ini merupakan kolaborasi antara Insania (Asosiasi Pengajar dan Pengkaji Hukum Islam dan Humaniter Internasional di Indonesia) dengan ICRC. Acara yang bertempat di Masjid Ulil Albab UII diharapkan dapat membawa manfaat besar bagi pengembangan hukum humaniter internasional serta hak asasi manusia di Indonesia. Selain itu, kami juga siap menjadi tuan rumah International Humanitarian Law Moot Court Competition di akhir tahun ini, yang akan diselenggarakan pertama kali di Fakultas Hukum UII.” 

Setelah itu, acara dilanjutkan dengan penandatanganan kerja sama (MoU) antara Fakultas Hukum UII dengan ICRC Indonesia dan dilakukanlah serah terima kenang-kenangan dan juga foto bersama.

Oleh: Ahmad Harland Fadhilah – 24410398

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana (Reguler) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Kebebasan berekspresi adalah salah satu hak asasi manusia (HAM) yang telah diakui secara universal. Hak ini memungkinkan setiap orang untuk bersuara, tanpa ada rasa takut akan pembungkaman dari pihak yang dikritik. HAM sendiri merupakan hak paling mendasar yang diberikan oleh Tuhan pada manusia sejak manusia itu diciptakan. Di Indonesia sendiri kebebasan untuk menyuarakan pendapatan ataupun kritikan telah menjadi bagian penting dari panjangnya perjalanan demokrasi pasca-Reformasi tahun 1998. Akan tetapi di bawah rezim yang baru ini, tentunya kebebasan ini mendapat tantangan yang baru pula dan membawa kekhawatiran di kalangan masyarakat.

Sejarah HAM di Indonesia memiliki perjalanan yang panjang. Pada era Orde Baru, kisaran tahun 1970 sampai periode 1980an masalah terkait HAM mengalami kemunduran, karena kebebasan bersuara dibatasi oleh rezim yang ada kala itu dengan menggunakan berbagai instrumen hukum dan bahkan kekuatan militer untuk membungkam krtitik. Pada masa Presiden Habibie, Indonesia mengalami kemajuan yang signifikan dalam hal kebebasan berekspresi dengan adanya TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan disahkannya (diratifikasi) sejumlah konvensi HAM. Di era kepemimpinan Presiden Prabowo, kebebasan berekspresi Kembali menjadi sorotan. Meski Indonesia telah meratifikasi berbagai instrumen HAM, praktik di lapangan menunjukan adanya upaya pembungkaman suara, terutama terhadap kelompok maupun individu yang dianggap terlalu mengkritisi pemerintah. 

Beberapa kasus muncul sebagai bukti pembungkaman kebebasan berekspresi di era Presiden Prabowo Subianto. Mulai dari pelarangan lagu Sukatani yang berjudul Bayar Bayar Bayar, yang dianggap lirik lagunya terlalu mengkritik institusi kepolisian. Meskipun lagu tersebut sebenarnya mencerminkan suara hati banyak masyarakat yang muak dengan ketidakadilan, pihak berwenang justru memilih untuk membungkamnya dengan alasan bahwa liriknya dianggap menyinggung dan tidak pantas. Ada juga kasus lain seperti Pameran Lukisan Yos Suprapto yang Gagal Digelar di gedung Galeri Nasional Indonesia, dengan judul Kebangkitan: Tanah Untuk Kedaulatan Pangan.  Lukisan-lukisan tersebut dianggap terlalu kritis terhadap kebijakan pemerintah, khususnya yang berkaitan dengan isu agraria dan kedaulatan pangan. Alih-alih membungkam, pemerintah seharusnya merespons dengan dialog terbuka dan solusi konstruktif. Pembungkaman hanya akan memperkuat citra otoriter dan merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah. 

Secara konstitusional, kebebasan berekspresi dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Secara ideal sudah diatur dalam pasal diatas akan tetapi seringkali realitanya tidak sesuai dengan pasal tersebut. Dari perspektif HAM internasional, pembungkaman suara merupakan pelanggaran terhadap standar global yang diatur dalam Deklarasi Universal HAM pasal 19 yang secara eksplisit menyatakan: “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas”. Dan diatur juga dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politika, atau yang biasa dikenal dengan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), dalam pasal 19 ayat 2 yang menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi; hak ini mencakup kebebasan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan gagasan apa pun, terlepas dari batasan, baik secara lisan, tertulis, atau tercetak, dalam bentuk seni, atau melalui media lain sesuai pilihannya.” Kebebasan individu untuk bersuara seharusnya tidak boleh dihalangi, yang harus dihalangi ialah kepentingan individu berbasis oligarki.

Pembungkaman kebebasan berekspresi memiliki dampak yang amat serius terhadap demokrasi negara kita. Pilar institusional demokrasi bisa tergerus, seperti kebebasan pers. pers yang bebas adalah penjaga demokrasi (the fourth estate). Ketika kebebasan pers dibatasi, fungsi kontrol terhadap pemerintah melemah, dan ruang untuk investigasi dan pelaporan isu-isu publik menjadi sempit. Dan partisipasi publik, pembungkaman suara menciptakan iklim ketakutan di mana masyarakat takut untuk menyuarakan pendapat mereka. Hal ini mengurangi partisipasi dalam diskusi publik, protes damai, atau bahkan dalam proses pemilihan, yang pada akhirnya melemahkan legitimasi demokrasi.

Mempertahankan kebebasan berekspresi di tengah tekanan politik dan sosial memerlukan langkah-langkah konkret dari berbagai pihak, yang paling utama adalah pemerintah harus menghentikan penggunaan undang-undang yang represif, seperti UU ITE dan pasal-pasal karet dalam KUHP, yang digunakan untuk membungkam suara kritis. Langkah ini penting untuk memastikan bahwa kebebasan berekspresi tidak dikorbankan demi kepentingan politik jangka pendek. Selain itu, lembaga seperti Komnas HAM perlu diberikan kewenangan yang lebih besar dan independensi untuk menangani kasus-kasus pelanggaran HAM secara efektif, termasuk kasus pembungkaman suara. Tanpa dukungan struktural dan politik yang memadai, upaya Komnas HAM akan terus terbentur oleh keterbatasan. Di sisi lain, masyarakat sipil memainkan peran krusial dalam mempertahankan ruang demokrasi. Masyarakat harus terus meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya kebebasan berekspresi melalui kampanye edukasi, diskusi publik, dan advokasi media. Selain itu, komunitas internasional juga dapat memberikan tekanan dan dukungan kepada pemerintah Indonesia untuk mematuhi standar HAM global, baik melalui diplomasi, laporan HAM, maupun kerja sama teknis. Dengan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan komunitas internasional, kebebasan berekspresi dapat terus dijaga sebagai pilar penting demokrasi Indonesia.

 

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-undangan:

Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 mengatur tentang kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Buku:

Gerung Rocky, Habis Dungu Terbitlah Bajingan Tolol Filsafat untuk Indonesia Selamat, Ctk.1, Komunitas Bambu, Depok, 2024.

Herdiawanto Heri, dkk., Kewarganegaraan dan Masyarakat Madani, Ctk. 1, PRENADAMEDIA GROUP, Jakarta, 2019.

Jurnal:

Julianja Sufiana, “Pembatasan Kebebasan Berkespresi dalam Bermedia Sosial : Evaluasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Perspektif Hak Asasi Manusia”, Padjadjaran Law Review Volume 6, Desember 2018, hlm. 21. (https://jurnal.fh.unpad.ac.id/index.php/plr/article/view/387/271). 

Berita:

Nurmalasari Titik, ”Sederet Kasus Pembungkaman Seni di Awal Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto”, 

(https://www.tempo.co/teroka/sederet-kasus-pembungkaman-seni-di-awal-pemerintahan-presiden-prabowo-subianto-1211374).

Web:

KOMNASHAM, “DEKLARASI UNIVERSAL HAK-HAK MANUSIA”, (https://www.komnasham.go.id/files/1475231326-deklarasi-universal-hak-asasi–$R48R63.pdf).

 

[KALIURANG]; Salah satu Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Muhammad Irfan Dhiaulhaq AR, atau biasa disapa Irfan lulus dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,73 dalam waktu yang terbilang singkat, yakni 3 tahun 3 bulan secara hitungan akademik. Ia mengikuti prosesi wisuda pada hari pertama Acara Wisuda Periode IV Tahun Akademik 2024/2025 (UII) pada hari Sabtu (26/04) di Auditorium Abdul Kahar Muzakkir. Menariknya, Irfan merupakan mahasiswa yang lulus tanpa skripsi, dengan konversi Tugas Akhir (TA) berupa jurnal bersama dosen pembimbingnya, Dodik Setiawan Nur Heriyanto, S.H., M.H., LL.M., Ph.D.

Mereka membuat jurnal dengan judul “Striking A Balance Between Job Creation And Sustainability: The Need To Establish A True Environmental Protection Authority in Indonesia” (https://doi.org/10.22437/home.v7i1.317) yang telah di-submit di Jambe Law Journal dengan Edisi No. 1 Tahun 2024 yang merupakan salah satu jurnal yang terverifikasi SINTA 2 dan menjadi konversi TA Irfan. Penelitian ini mengangkat isu terkait Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja merusak keseimbangan antara kegiatan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan dengan menyederhanakan izin lingkungan dan mengurangi kewajiban AMDAL. Penelitian ini, dengan pendekatan hukum normatif, menilai ketidaksesuaian undang-undang tersebut dengan prinsip perlindungan lingkungan. Diperlukan pembentukan Otoritas Perlindungan Lingkungan untuk memastikan setiap aktivitas usaha di Indonesia mematuhi kewajiban keberlanjutan dan mencegah kerusakan lingkungan yang tak terkendali.

Dalam pembuatan jurnal ini, mereka membutuhkan waktu 6 bulan dari bulan September 2024 hingga Maret 2025. Waktu 6 bulan tersebut meliputi persiapan, revisi mayor dan minor yang berasal dari internal dan reviewer, serta proses pengumpulannya. Irfan mengaku penelitiannya ini cukup padat dan seru, karena penelitiannya menunjukkan kebaharuan.

“Sangat padat dan seru tentunya, karena penelitian menunjukkan kebaharuan bidang yang belum dikaji sebelumnya. Tentunya untuk tahap persiapan sudah dimulai jauh-jauh hari sejak semester 5,” ucap Irfan saat diwawancarai.

Tentunya dalam prosesnya, terdapat tantangan yang harus dilalui, yakni konsistensi data dengan rumusan masalah. Menurutnya hal ini menjadi tantangan yang paling berat karena data yang ia peroleh berasal dari luar negeri, yakni Australia. 

“Karena data yang saya dapat terkhusus kepada Australia, jadi terkemudian selalu sering cek web dari australianya atau menerima nara sumber dari sananya, bisa melalui seminar yang diadakan secara bebas maupun email pribadi kepada institusi terkait,” ujarnya.

Dengan jurnal inilah menjadi salah satu cara Irfan menyelesaikan studinya dalam durasi yang terbilang singkat. Ia pun memberikan tips agar dapat menyelesaikan studi dalam waktu singkat.  Pertama, mengakhiri segala kesibukan di semester 6, serta memperbaiki manajemen waktu dan fokus pada bidang yang akan menjadi tujuan penulisan tugas akhir. Kedua, bersungguh-sungguh dalam mata kuliah Metode Penelitian, serta mengusahakan proposal tugas akhir sudah fiks dan dapat diajukan setelah semester 6 selesai. Ketiga, temukan dosen yang cocok dengan bidang yang diminati, karena hal ini akan mempengaruhi proses bimbingan. Keempat, memilih teman dengan bijak, terutama yang memiliki keinginan untuk lulus tepat waktu. Terakhir, memperbanyak ibadah, serta meminta doa dan dukungan orang tua agar perkuliahan berjalan lancar. 

Ia juga berpesan pada teman-teman mahasiswa lainnya untuk menjaga semangatnya untuk menggapai kesuksesan. “Tetap semangat, berusaha untuk sukses dan bisa menulis untuk bermanfaat bagi banyak orang,” pungkasnya. (FMTZ)

Oleh: Raditya Alif Akmal – 22410003

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Reguler Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (UU Tipikor) mendefinisikan korupsi sebagai perbuatan yang merugikan keuangan negara. Indriyanto Seno Adji menyebutkan korupsi sebagai White Collar Crime dengan modus operandi yang dinamis. Korupsi masih terus berkembang dengan berbagai modus baru yang tidak hanya melibatkan pejabat negara, tetapi juga aparat hukum dan sektor swasta, menunjukkan bahwa korupsi telah mengakar dalam sistem pemerintahan. Berdasarkan laporan ICW tahun 2023, terdapat 791 kasus dengan 1.695 tersangka, termasuk di sektor BUMN. Korupsi dalam proyek strategis dapat menyebabkan kerugian negara hingga triliunan rupiah, menghambat pertumbuhan ekonomi, dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Bicara tentang korupsi. baru baru ini, PT Pertamina terlibat dalam kasus dugaan korupsi. Kerugian yang dialami oleh negara tidaklah sedikit. Kejaksaan Agung mengungkapkan bahwa kerugian yang dialami mencapai Rp193,7 triliun yang mana itu merupakan kerugian negara dalam satu tahun, apabila dihitung dari tahun 2018 hingga 2023 maka kerugian yang dialami Rp980 triliun. Kejaksaan Agung telah menetapkan 9 orang tersangka kasus tindak pidana korupsi tata kelola minyak mentah dan produksi kilang di PT Pertamina, Sub Holding, dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), yang enam di antaranya merupakan pejabat Sub Holding PT Pertamina, sedangkan tiga diantaranya dari pihak swasta.

Kasus korupsi oleh PT Pertamina ini menimbulkan pertanyaan di khalayak umum. Pertanyaannya adalah hukuman apa yang akan dijatuhkan kepada para tersangka, ditambah lagi banyak media berita yang memberitakan bahwa para tersangka dapat dijatuhi hukuman mati. Masalahnya apakah para tersangka bisa dijatuhi hukuman mati? Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin memang telah membuka kemungkinan tersebut, mengacu pada Pasal 2 Ayat (2) UU Tipikor, yang memungkinkan hukuman mati bagi pelaku korupsi dalam keadaan tertentu. Namun, hingga kini belum ada keputusan final mengenai penjatuhan hukuman mati , dan hal tersebut masih sebatas pertimbangan yang akan ditentukan berdasarkan hasil penyelidikan lebih lanjut. Apakah langkah ini akan benar-benar diambil, mengingat dalam sejarah hukum Indonesia, hukuman mati bagi koruptor belum pernah diterapkan.

Dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disebutkan bahwa dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu, maka pelaku dapat dijatuhi hukuman mati. Penjelasan pasal tersebut memuat bahwa yang dimaksud keadaan tertentu mencakup perbuatan korupsi terhadap salah satunya adalah bencana nasional. Keadaan bencana nasional termasuk bencana non-alam, seperti pandemi COVID-19, dapat memenuhi unsur “keadaan tertentu”.

Hal ini diperkuat dengan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 yang menetapkan COVID-19 sebagai bencana nasional non-alam. Adapun pengertian bencana nasional merujuk pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, khususnya Pasal 7 ayat (1) huruf c, yang memberi wewenang kepada pemerintah pusat untuk menetapkan status dan tingkat suatu bencana sebagai nasional. Maka dari itu, apabila terjadi tindak pidana korupsi terhadap dana bantuan dalam situasi yang telah ditetapkan sebagai bencana nasional, termasuk non-alam seperti pandemi, pelaku dapat dikenakan pidana mati karena telah memenuhi kualifikasi keadaan tertentu menurut hukum.

Pada masa pandemi pemerintah berjuang mengalokasikan anggaran untuk pemulihan ekonomi dan kesehatan, namun korupsi pertamina ini justru menambah beban untuk pemerintah. Modus seperti pengadaan minyak mentah sebesar 13-15% secara impor,dan mengesampingkan minyak mentah dalam negeri, serta memanipulasi harga BBM menyebabkan potensi lonjakan harga energi. Sedangkan pada masa pandemi, hidup masyarakat saat itu sedang dalam krisis karena mengalami kesulitan ekonomi, peningkatan pengangguran, dan penurunan daya beli. Mempertimbangkan faktor-faktor di atas, sangat jelas bahwa korupsi di PT Pertamina terjadi dalam kondisi bencana nasional dan berdampak luas terhadap ekonomi negara serta kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, penerapan hukuman mati bagi para tersangka dalam kasus ini, seharusnya dapat menjadi opsi yang dipertimbangkan secara serius.

Meski begitu apakah penjatuhan hukuman mati untuk para tersangka benar-benar dapat dilakukan? Apabila kita melihat kasus korupsi yang lain dengan kurun waktu yang sama dengan Korupsi PT Pertamina, seperti korupsi dana bantuan sosial (bansos) COVID-19, di mana pejabat negara melakukan mark-up harga sembako yang seharusnya diberikan kepada rakyat yang terdampak pandemi. Korupsi ini, menyebabkan kerugian negara hingga Rp5,9 triliun dan menghambat penyaluran bantuan bagi masyarakat yang sangat membutuhkannya. Apabila kita mengacu pada keadaan tertentu ketika negara mengalami bencana alam nasional seharusnya kasus tersebut sudah memenuhi kriteria dari keadaan tertentu dan terpidana Juliari Peter Batubara dapat dijatuhi hukuman mati. Namun nyatanya sesuai dengan putusan nomor 29/Pid.Sus Tpk/2021/PN.Jkt.Pst hakim tidak memutus hukuman mati dan hanya dijatuhi hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta saja.

Pasal 2 Ayat (2) UU Tipikor memang memungkinkan penerapan hukuman mati bagi koruptor dalam keadaan tertentu, namun pada realitasnya penerapan hukuman ini masih menghadapi berbagai kendala. Salah satu hambatan utama adalah interpretasi yang fleksibel terhadap istilah “keadaan tertentu”, yang tidak dijelaskan secara rinci dalam undang-undang. Ketidakjelasan akan batasan untuk menentukan suatu tindak pidana korupsi telah memenuhi “keadaan tertentu” ini menjadi pertanyaan besar bagi penegak hukum di Indonesia, yaitu siapa yang berwenang untuk menentukan kondisi “keadaan tertentu”? Secara hierarki dalam sistem peradilan, hakim memang menduduki posisi tertinggi dalam fungsi yudikatif, karena mereka memiliki kewenangan untuk melakukan interpretasi hukum. Kendati demikian hakim dalam memutus suatu perkara hanya dapat menginterpretasikan hukum dalam suatu perkara secara yuridis saja. Sedangkan unsur “keadaan tertentu” ini, merupakan aspek non yuridis yang bukan kewenangan hakim. Maka dari itu penulis tidak setuju jika apabila jaksa menuntut hukuman mati kepada para tersangka kasus korupsi PT Pertamina ini, karena kendati dituntut hukuman mati oleh Penuntut umum, hakim tidak akan berani untuk menjatuhkan hukuman mati, dikarenakan seperti yang telah dipaparkan diatas, karena untuk menjatuhkan hukuman mati diperlukan interpretasi diluar dari yuridis dan tuntutan dari jaksa akan sia sia.

 

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia. (1999). Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor 140.

Indonesia. (2001). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 134.

Indonesia. (2020). Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran COVID-19 sebagai Bencana Nasional.

Indonesia. (2007). Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. 

Indonesia. (1991). Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. 

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (2010). Putusan No. 46/PUU-VIII/2010. 

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. (2021). Putusan No. 29/Pid.Sus-Tpk/2021/PN.Jkt.Pst. Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Jurnal

Arianto, H. (2012). Peranan hakim dalam upaya penegakkan hukum di Indonesia. Lex Jurnalica, 9(3), 151-162.

Jupri, J. (2019). Diskriminasi hukum dalam pemberantasan korupsi politik di daerah. Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis Dan Investasi, 11(1), 114–131. https://doi.org/10.28932/di.v11i1.1997

Katimin, Herman, Somarwidjaya, dan Dewi Kania Sugiharti. “Faktor-Faktor Sulitnya Penerapan Hukuman Mati Pada Korupsi Terkait Kerugian Keuangan Negara Dalam Studi Kasus Keadaan Tertentu.” Jurnal Ilmiah Galuh Justisi, Vol. 9, No. 2, 2021.

Sabila, N. I., Syadida Az Zahro, M. Q., & Putriga, B. R. (2023). Dilematika “keadaan tertentu” dalam penjatuhan sanksi pidana mati terhadap koruptor di Indonesia. Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum, 12(2). https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/legitimasi 

Artikel

Kompas.com. (2025, Februari 25). Korupsi Pertamina rugikan negara Rp 193,7 triliun, bagaimana awal kasus ini? https://www.kompas.com/tren/read/2025/02/25/144500565/korupsi-pertamina-rugikan-negara-rp-193-7-triliun-bagaimana-awal-kasus-ini 

Kompas.com. (2025, Maret 6). Soal hukuman mati tersangka korupsi Pertamina, Jaksa Agung tunggu hasil. https://nasional.kompas.com/read/2025/03/06/17335791/soal-hukuman-mati-tersangka-korupsi-pertamina-jaksa-agung-tunggu-hasil 

Tempo.co. (2024, Februari 5). ICW catat sepanjang 2023 ada 791 kasus korupsi, meningkat signifikan 5 tahun terakhir. https://www.tempo.co/hukum/icw-catat-sepanjang-2023 ada-791-kasus-korupsi-meningkat-singnifikan-5-tahun-terakhir-57431

Oleh: Bagus Putra Handika Pradana-23410912

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Reguler Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Mengutip dari Indonesia Corruption Watch (ICW) pada Juni 2024 bahwa RUU Perampasan Aset sudah disusun sejak tahun 2008 dan baru masuk di Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada tahun 2023.Meninjau prospek positif dari perampasan aset ini, masyarakat sangat mendukung agar DPR segera menjadikan RUU ini prioritas agar cepat disahkan dan diundangkan karena sampai sekarang masyarakat sudah khawatir banyaknya korupsi yang menjerat para pejabat kerah putih (white collar criminal).

Melihat data dari ICW pada Juni 2023, negara telah mengalami kerugian yang dilakukan oleh pejabat kerah putih terkhusus dalam tindak pidana korupsi, dengan nominal sebanyak Rp238, 14 triliun. Ditambah dengan adanya korupsi dari PT. Pertamina, PT. Antam, dan BLBI yang telah merugikan negara sebanyak Rp1.368,5 triliun. Melihat fakta tersebut pentingnya RUU segera berlaku menjadi hukum positif karena RUU Perampasan aset mempunyai mekanisme yang berbeda dengan peraturan yang lain dalam menyelesaikan kasus korupsi.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana akan diharmonisasikan dengan adanya UU Perampasan aset. Walaupun penegak hukum, seperti Jaksa, KPK, dan Polri telah menggunakan tiga peraturan tersebut dalam menangani perkara tipikor tetap saja belum bisa memaksimalkan dalam penyidikan dan pemberian sanksi.

Pasal 6 huruf (f) dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi memberikan kewenangan bagi KPK dalam melakukan tindakan hukum setelah putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Akan tetapi, pada kasus Lukas Enambe yang meninggal dunia selama persidangan kasasi diajukan, ketika belum ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap maka KPK yang bertanggung jawab atas tindakan hukum perihal korupsi, maka tidak dapat berbuat apapun.

Praktik ini memperlihatkan bahwasanya tidak ada kepastian hukum dalam tindakan penyitaan dan meminta mengganti kerugian. Melihat kasus tersebut kita merasa bingung karena kasus itu belum mendapatkan putusan berkekuatan hukum tetap dari hakim karena pelakunya telah meninggal dunia, jelas bahwa KPK tidak mempunyai otoritas dalam melaksanakan perbuatan hukum untuk menyita dan mengganti kerugian yang seharusnya dapat diberlakukan

Selanjutnya, Jaksa Pasal 18 UU Tipikor menjelaskan bahwa Jaksa dapat mengajukan gugatan perdata untuk mengembalikan kerugian negara yang terjadi karena tindak pidana korupsi. Pengajuan gugatan perdata di pengadilan perdata diharuskan dipisah dengan proses penyelesaian pidana yang sedang berlangsung. Jaksa berwenang untuk menggugat terdakwa atau pihak ketiga yang telah mendapatkan harta hasil korupsi, agar mengganti kerugian yang muncul karena perbuatannya.

Kemudian, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) berperan penting dalam perampasan aset dan selalu dipastikan berhasil dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Polri menjadi garda terdepan ketika mengungkap tindak pidana, mengumpulkan bukti, dan mengamankan aset hasil tindak pidana. Dalam penyelidikan polri dapat bekerja sama dengan KPK dan Kejaksaan ketika ada kasus korupsi yang melibatkan dua negara. Polri berperan ketika ada pelacakan aset yang didapat secara ilegal dan berhak menyita sebagaimana yang diatur pada peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya, ada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga berperan penting dalam menganalisis transaksi keuangan yang kurang valid sebelum pemberian laporan kepada penegak hukum. Berdasarkan pengamatan penyidik, pengadilan berhak untuk memutuskan terkait harta kekayaan yang diduga didapatkan dari hasil tindak pidana korupsi, maka aset tersebut berhak dikembalikan kepada negara.

Lembaga yang lain, ada pejabat pegawai negeri sipil (PPNS), jika dilihat dari faktor yuridis semua PPNS sekarang sudah mempunyai dasar hukum yang kuat dalam melakukan penyidikan TPPU yang diduga dari tindak pidana asal, PPNS sekarang dapat menyuruh lembaga yang berwenang untuk memblokir rekening dan mengumpulkan bukti, seperti harta kekayaan yang diduga merupakan hasil dari tindak pidana asalnya. Pasal 71 ayat (1) PPTPPU, bahwa “penyidik, penuntut umum, dan hakim berwenang memerintahkan pihak pelapor untuk melakukan pemblokiran harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana TPPU. 

Maka dari itu, Pembentukan lembaga ad hoc untuk mengatasi potensi permasalahan yang dapat timbul di masa yang akan datang, terutama dalam implementasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. Dalam RUU ini, terdapat lima lembaga yang berwenang melakukan penyidikan, namun mereka semua tidak mempunyai batasan kewenangan yang jelas. Ketidakjelasan tersebut dapat memicu tumpang tindih kewenangan (overlapping function) serta potensi tarik-menarik atau saling merebutkan kasus. Oleh karena itu, keberadaan lembaga ad hoc diharapkan mampu mengurangi dampak dari overlapping function dan konflik kewenangan dalam implementasi RUU Perampasan Aset apabila dapat disahkan di kemudian hari.

Konsep lembaga ad hoc ini mempunyai dua prinsip utama. Pertama, anggota lembaga ad hoc diambil dari perwakilan masing-masing lima lembaga yang telah mempunyai kewenangan berdasarkan undang-undang yang mengatur para lembaga yang berwenang mulai dari tahap penyelidikan sampai perampasan aset. Dengan demikian, setiap lembaga tetap berperan dalam proses penyidikan tanpa kehilangan otoritasnya.

Kedua, kepemimpinan dalam lembaga ad hoc akan ditentukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). BPK akan menentukan lembaga yang mempunyai kapasitas terbaik untuk memimpin jalannya penyidikan kasus korupsi tersebut. Dengan adanya lembaga ad hoc ini, diharapkan implementasi RUU Perampasan Aset dapat berjalan lebih efektif, transparan, serta menghindari konflik kewenangan yang dapat menghambat proses penyidikan sampai dengan perampasan aset.

 

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1999, Tambahan Lembaga Negara Nomor.3874.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

Pencucian Uang, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010, Tambahan Lembaran

Negara Nomor. 5164.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2019, Tambahan Lembaran Negara Nomor. 6409.

 

Jurnal

Arianto, Andhie Fajar. (2024). Peran Lembaga Penegak Hukum Dalam Proses Perampasan Aset, Jurnal USM Law Review, Vol. 7, No. 3, 1609-1610.

Astaman. (2023). Tindakan Penyelidikan Kepolisian Terhadap Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Terkait Dugaan Tindak Pidana Korupsi, Indonesian Journal of Legality of Law, Vol. 6, No. 1.

Afandi. (2018). Profesionalisme Penegak Hukum Terhadap Penetapan Tersangka Setelah Putusan Praperadilan Yang Menyatakan Tidak Sahnya Penetapan Tersangka, Jurnal Bina Mulia Hukum, Vol. 2, No.2.

Daenunu, Annisa. (2023). Analisis Batas Kewenangan Antara Penyidik Kepolisian Republik

Indonesia dan BNN Dalam Melakukan Koordinasi Penyidikan Kasus Tindak Pidana Narkotika, Jaksa: Jurnal Kajian Ilmu Hukum dan Politik, Vol.1, No.4.

Lutfi, Khoirur Rizal dan Retno Anggoro Putri. (2020). Optimalisasi Peran Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi, Undang: Jurnal Hukum,Vol. 3, No.1.

Saputro, Heri Joko dan Tofik Yanuar Chandra. (2021). Urgensi Pemulihan Kerugian Keuangan Negara Melalui Tindakan Pemblokiran Dan Perampasan Aset Sebagai Strategi Penegakan Hukum korupsi, Mizan: Jurnal of Islamic Law, Vol.5, No. 2.

Tanjung, Zikril Akbar. (2024). Perampasan Aset Pelaku Tindak Pidana Korupsi, National Journal of Law, Vol. 8, No.1.

Sleman, 11 Juni 2025 — Departemen Hukum Administrasi Negara (HAN) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) menggelar Seminar Nasional bertajuk “Meneropong Masa Depan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia” di Auditorium Lantai 4 FH UII, Jl. Kaliurang Km. 14,5 Sleman, D.I Yogyakarta. Lebih dari 350 peserta menghadiri kegiatan ini baik secara luring maupun daring. Antusiasme ini dapat diperhatikan dengan dihadirinya pelbagai kalangan mulai dari kalangan aktivis, praktisi, akademisi, birokrat, bahkan purna Pekerja Migran Indonesia (PMI) dan PMI yang berasal dari pelbagai negara.

Seminar nasional dibuka dengan sambutan Dekan FH UII, Prof. Dr. Budi Agus Riswandi, S.H., M.Hum. yang menyampaikan bahwa isu PMI merupakan isu strategis karena di samping PMI sebagai penyumbang devisa negara juga menjadi kelompok yang rentan sehingga harus dilindungi oleh negara. “Mudah-mudahan hasil seminar nasional ini menjadi bahan pertimbangan untuk menyusun Rancangan Undang-Undang Pelindungan Pekerja Migran (RUU PPMI),” ungkapnya.

Adapun acara ini dipandu oleh Dr. Despan Heryansyah, S.H.I., S.H., M.H., selaku moderator pada seminar nasional ini. Acara seminar nasional ini menghadirkan keynote speaker, Dato Indera Drs. Hermono, M.A yang merupakan Duta Besar Luar Biasa Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Malaysia. Sementara, pemaparan materi disampaikan oleh Dr. Ahsanul Minan, selaku Staf Khusus Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia; Wahyu Susilo, selaku Direktur Eksekutif Migrant CARE; Eni Lestari Andayani Adi, Tim Kerja Divisi PMI Indonesian Diaspora Network (IDN) Global dan Ketua International Migrants Alliance; serta Mustika Prabaningrum Kusumawati, S.H., M.H., selaku dosen Departemen HAN FH UII.

Dalam speech-nya, Dato Indera Drs. Hermono menyoroti problematika pelindungan PMI di Indonesia disebabkan oleh pandangan pro terhadap penempatan bercokol sejak dahulu. Konsekuensinya PMI hanya dipandang sebagai fungsi ekonomi (economic interest). Oleh sebab itu, PMI harus dipandang sebagai subjek sehingga pelindungan tersebut berbasis pada kacamata harkat dan martabat manusia (human dignity).

“Apabila mengedepankan pandangan penempatan yang hanya berfokus pada Memorandum of Understanding (MoU) maka posisi bargaining power Indonesia lebih lemah dari negara tujuan penempatan, sedangkan bila pelindungan dikedepankan akan memberikan bargaining power Indonesia lebih tinggi sebagaimana praktik di Malaysia,” tegasnya.

Bergeser pada pemaparan materi yang disampaikan oleh Dr. Ahsanul Minan, mengemukakan saat ini sedang terjadi transformasi kelembagaan yang semula BP2MI (Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia) menjadi Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI). Lebih lanjut, dalam pemaparannya menegaskan adanya reformasi kebijakan yang berbasis berbasis digitalisasi layanan, peningkatan literasi hukum dan keuangan, hingga integrasi desk pelindungan lintas negara. Sebab, Dr. Ahsanul Minan dalam paparannya menyatakan, “Perlindungan itu bukan soal shelter, tapi sistem. Kita butuh satu sistem yang profesional, responsif, dan empatik terhadap pekerja migran sebagai warga negara penuh, bukan objek kasihan.”

Sementara itu, Eni Lestari dalam forum seminar nasional menyoroti absennya pemerintah dalam memberikan pelindungan PMI selama ini. Eni Lestari menjelaskan permasalahan PMI tidak hanya terjadi pada satu tahap saja melainkan di setiap tahap mulai dari sebelum keberangkatan, saat keberangkatan, bahkan kembali ke negara asal. Hal ini disebabkan oleh lemahnya posisi tawar PMI yang mana diidentikan sebagai pekerja dengan upah yang murah bahkan lebih rendah ketimbang standar upah bagi pekerja lokal di negara tujuan penempatan. Lebih lanjut, Eni Lestari menerangkan fakta realita bahwasanya, “PMI pulang dalam keadaan terluka, tidak punya pekerjaan, dan dianggap ‘bekas buruh’ oleh masyarakatnya sendiri.” Bagi Eni Lestari perlu adanya perubahan UU PPMI yang lebih aspiratif dan partisipatif dengan melibatkan PMI.

Adapun dari sudut pandang Wahyu Susilo menyampaikan adanya lonjakan PMI ini diakibatkan oleh Pandemi COVID-19 yang mendorong terjadinya gelombang migrasi ke pelbagai negara. “Perdagangan orang saat ini meluas di mana sebelumnya menargetkan orang-orang dengan ekonomi lemah, miskin, dan tidak berpendidikan. Kini, berubah menjadi orang-orang yang memili ekonomi memadai, perkoataan, dan berpendidikan. Sebab, korban akan dijadikan sandera oleh pelaku untuk memeras orang tua korban. Selain itu, hal tersebut diperburuk pula dengan inkonsistensi buka tutup keran yang terjadi pada masa pandemi COVID-19,” pungkasnya.

Bahkan menurut Wahyu Susilo, PMI yang sangat rentan ialah mereka yang bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang didominasi oleh perempuan sehingga kesejahteraannya masih dipertanyakan. Wahyu Susilo menegaskan pentingnya sinkronisasi antar-peraturan perundang-undangan nasional juga dengan konvenan internasional seperti International Labour Organization Covenant Number 189.

Sementara, Mustika Prabaningrum dari sisi akademisi menyoroti gap besar antara idealita dan realita. Idealnya, PMI mendapatkan informasi, pelatihan, kontrak kerja yang adil, dan jaminan keselamatan. Faktanya, banyak yang diberangkatkan secara undocumented, tidak tahu haknya, dan terjebak praktik overcharging. “Reformasi sistem harus dimulai dari hulu, yakni pemberdayaan desa migran dan vokasi yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja global,” tegas Mustika dalam penyampaiannya.

Tidak hanya berhenti pada seminar nasional saja, departemen HAN FH UII juga mengadakan konferensi nasional Call for Paper yang diikuti oleh 29 instansi, seperti Universitas Gadjah Mada, Badan Riset dan Inovasi Nasional Republik Indoensia (BRIN), Koordinasi Purna Pekerja Migran Indonesia (KPPMI). Zakiul Fikri, S.H., M.A., LL.M dalam sambutannya selaku Ketua Panitia menyebutkan terdapat 43 paper yang lolos seleksi dari berbagai instansi yang berpartisipasi. 43 paper tersebut dipresentasikan pada kesempatan itu dengan pembagian  2 chamber online, 1 chamber hybrid, dan 2 chamber offline.

Dengan demikian, agenda seminar nasional dan presentasi hasil karya ilmiah ini bersifat inklusif yang dihadiri pelbagai kalangan untuk merefleksikan dan memberikan masukan kepada Pemerintah, kebijakan apa yang tepat untuk memperbaiki pelindungan bagi PMI di masa depan.

[KALIURANG]; Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM) Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII) Periode 2024/2025 resmi dilantik pada Rabu (07/05). Acara pelantikan yang berlangsung khidmat di Auditorium Lantai 4, Gedung FH UII ini menandai pengesahan struktur kepengurusan baru yang siap mengemban amanah selama satu periode kedepan.

Acara diawali dengan pembacaan Surat Keputusan mengenai pengesahan struktur kepengurusan LEM FH UII periode 2024/2025, yang kini dipimpin oleh Muhammad Rayyan Syahbana sebagai Ketua Umum. Ia didampingi oleh Bentarrio sebagai Sekretaris Umum, Aullya Putri Pramitha sebagai Wakil Sekretaris Umum 1, Adhwa Kamilah sebagai Sekretaris Umum 2, Putri Jasmine Azzahra sebagai Bendahara Umum, dan Anggieta Rahma Fadhilah sebagai Wakil Bendahara Umum 1.

Momen penting lainnya adalah serah terima jabatan dari pengurus demisioner LEM FH UII periode 2023/2024 kepada pengurus terpilih periode 2024/2025. Kegiatan ini turut dihadiri oleh tamu undangan dari lingkungan FH UII dan Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) UII periode 2024/2025, serta para anggota DPM FH UII dari periode sebelumnya. Hadir pula Drs. Agus Triyanta, M.A., M.H., Ph.D., selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Keagamaan, dan Alumni (KKA) FH UII, beserta sejumlah undangan lainnya.

Ketua Umum LEM FH UII periode 2023/2024, Manfred Abel Alberi, mengawali sambutannya dengan menyampaikan rasa terima kasih atas dukungan yang telah diberikan selama masa kepengurusannya. Ia berharap kepengurusan yang baru dapat terus mengembangkan LEM FH UII ke arah yang lebih baik, membawa dampak positif, serta tetap berperan sebagai penghubung kebijakan antara lembaga kemahasiswaan dan seluruh elemen kampus. “Organisasi adalah wadah pengembangan diri, bukan arena kompetisi. Saya yakin amanah kepemimpinan kini berada di tangan yang tepat. Semoga pengurus baru dapat memberikan yang terbaik demi pengalaman dan perubahan positif yang menjadi kebanggaan bersama,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua Umum terpilih, Muhammad Rayyan Syahbana dalam sambutannya menyampaikan rasa syukur dan hormat atas amanah yang diberikan.

“Kami berkomitmen untuk menjalankan roda organisasi LEM FH UII dengan penuh tanggung jawab, melanjutkan program-program baik dari kepengurusan sebelumnya, serta berinovasi untuk memberikan kontribusi yang lebih signifikan bagi mahasiswa dan fakultas. Sinergi dan kolaborasi akan menjadi kunci dalam mewujudkan visi dan misi LEM FH UII,” ungkapnya.

Ketua DPM FH UII, Muh. Gerald Khaidil Fitra, turut menyampaikan ucapan selamat kepada pengurus baru. Ia mengibaratkan LEM FH UII sebagai bahtera yang siap berlayar dengan awak dan nahkoda baru, ia menekankan pentingnya kesatuan visi dan misi untuk mencapai kesuksesan. “LEM adalah wadah implementasi dan pengembangan diri menuju insan ulil albab, serta tempat mempererat relasi duniawi dan ukhrawi. Semoga Ketua Umum baru dapat melanjutkan dan menyempurnakan kinerja organisasi, menjadikan LEM FH UII sebagai tempat pengembangan diri yang rahmatan lil ‘alamin,” ucapnya.
Dalam sambutannya, Drs. Agus Triyanta menekankan bahwa pergantian kepengurusan adalah proses alami yang membawa energi baru serta gaya kepemimpinan yang beragam. “Antusiasme mahasiswa dalam berorganisasi merupakan bukti aktivitas yang sehat di tengah era disrupsi. Kepemimpinan dan kemampuan sosial adalah keterampilan krusial yang tak tergantikan, sebagaimana tercermin dari kesuksesan para alumni FH UII,” ujarnya.
Acara pelantikan ditutup dengan doa, memohon kelancaran dan keberkahan bagi kepengurusan LEM FH UII periode 2024/2025 dalam menjalankan program-program kerja mereka demi kemajuan mahasiswa dan FH UII. Dengan dilantiknya kepengurusan baru ini, diharapkan LEM FH UII dapat semakin aktif dalam mewadahi aspirasi mahasiswa dan berkontribusi positif bagi lingkungan kampus dan masyarakat luas. (MFHH)