Oleh: Hadiid ’Adn Wana Santosa – 23410810
Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Reguler Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Perubahan definisi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam UU No. 1 Tahun 2025 dilatarbelakangi oleh kebutuhan untuk menyesuaikan pengelolaan BUMN dengan perkembangan ekonomi dan tata kelola perusahaan yang lebih modern dan efisien. Perubahan ini mencakup pergeseran makna kekayaan BUMN, perluasan kriteria BUMN, serta penyesuaian terhadap pertanggungjawaban direksi BUMN. Pengesahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) menjadi tonggak penting dalam pembaruan sistem hukum korporasi negara. Di tengah tuntutan globalisasi ekonomi dan persaingan bisnis yang semakin tajam, BUMN dituntut untuk tidak hanya menjalankan fungsi sosial, tetapi juga menjadi aktor bisnis yang kompetitif dan profesional. UU No. 1 Tahun 2025 membawa perubahan paradigma yang signifikan dalam tataran hukum korporasi negara, khususnya dalam pengeloaan risiko dan pertanggungjawaban atas kerugian negara. Sedikitnya ada 11 (sebelas) substansi pokok yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 2025 salah satunya Business Judgement Rule (BJR). Pasal 9F dan Pasal 9G UU No. 1 Tahun 2025 mengadopsi doktrin BJR ke dalam UU No. 1 Tahun 2025 yang sebelumnya hanya diatur secara implisit dalam UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Peraturan Pemerintah No.23 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No.45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran BUMN. Dalam Doktrin BJR direksi tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum secara pribadi atas keputusan yang telah diambilnya sekalipun keputusan tersebut menimbulkan kerugian bagi perusahaan selama keputusan tersebut dilakukan dengan itikad baik (good faith). (Wijayati, Berutu, & Sitohang, 2025, pp. 268-269)
Business Judgment Rule adalah prinsip hukum yang berasal dari praktik hukum korporasi di Amerika Serikat. Prinsip ini memberikan perlindungan bagi direksi dari tanggung jawab hukum atas keputusan bisnis yang berakhir buruk, selama keputusan tersebut diambil dengan iktikad baik, kehati-hatian, dan tanpa konflik kepentingan. Menurut Yahya Harahap, BJR bertujuan untuk memastikan bahwa pengadilan tidak mencampuri ranah manajerial korporasi selama tindakan direksi dilakukan sesuai prinsip kehati-hatian dan dalam kerangka tujuan korporasi. (Harahap, 2016) Penerapan BJR memberikan keleluasaan bagi direksi untuk mengambil risiko bisnis dalam batas-batas profesionalitas yang wajar. Konsep Business Judgment Rule merupakan konsep dari sistem hukum Common Law yang diadopsi oleh Indonesia lebih tepatnya dalam UUPT, Pasal 97 ayat 5 UUPT mengatur bahwa anggota direksi terbebas dari tanggung jawab akibat kerugian yang dialami perseroan, hal tersebut tercatut pada klausul Pasal 97 ayat 3 apabila dapat membuktikan: 1) Kerugian timbul bukan karena kesalahan atau kelalaiannya. 2) Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan Terbatas. 3) Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurus yang mengakibatkan kerugian. 4) Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut. (Noer & Handoko, 2023, p. 1400) Dalam menjalankan kepengurusannya, Direksi memiliki BJR. BJR timbul akibat dari telah dilaksanakannya prinsip fiduciary duty dari seorang direksi yaitu prinsip duty of skill and care maka kesalahan yang timbul setelah dijalankannya prinsip ini memperoleh konsekuensi direksi mendapat pembebasan tanggungjawab secara pribadi bila terjadi kesalahan dalam keputusannya. Fiduciary duty di Indonesia dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 5 dan Pasal 97 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2007 dan Pasal 1 angka 9 UU No. 1 Tahun 2025 yang mengatur bahwa dalam melaksakan tugasnya direksi wajib menjalankannya sesuai dengan kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, sesuai dengan anggaran dasar disertai itikad baik dan penuh tanggungjawab (yang dimaksud dengan penuh tanggung jawab adalah memperhatikan perseroan dengan saksama dan tekun). (Wijayati, Berutu, & Sitohang, 2025, p. 273) Fiduciary duty ini sangat penting bagi anggota Direksi karena memastikan bahwa mereka selalu bertindak sesuai dengan kepentingan perusahaan. Dengan demikian, mereka dapat menjaga integritas perusahaan, meningkatkan kepercayaan stakeholder, dan melindungi kepentingan semua pihak yang berkepentingan dengan perusahaan. (33, 2024)
Salah satu pasal penting dalam UU No. 1 Tahun 2025 adalah Pasal 9F yang secara eksplisit mengadopsi prinsip Business Judgment Rule (BJR). Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa direksi dan dewan komisaris BUMN tidak dapat diminta ganti kerugian atas kerugian investasi sepanjang keputusan bisnis tersebut diambil berdasarkan pertimbangan yang rasional, tanpa kepentingan pribadi, dan dengan iktikad baik untuk kepentingan perusahaan. (Riyandanu, 2025) Hal ini secara normatif memberikan kepastian hukum dan mendorong profesionalisme dalam pengambilan keputusan bisnis di tubuh BUMN.
Keberadaan pasal ini telah mendorong transformasi tata kelola BUMN agar setara dengan praktik korporasi swasta. Pasalnya, selama ini banyak keputusan direksi yang enggan diambil karena khawatir akan berujung pada tuntutan hukum, meskipun keputusan tersebut berlandaskan analisis bisnis yang logis. Dengan perlindungan hukum BJR, direksi lebih leluasa menjalankan aksi korporasi seperti ekspansi, merger, akuisisi, maupun diversifikasi usaha, tanpa ketakutan akan konsekuensi pidana jika hasilnya merugi.
Penerapan prinsip BJR dalam UU No. 1 Tahun 2025 ini memberikan dampak yang signifikan terhadap praktik aksi korporasi di lingkungan BUMN. Keputusan-keputusan penting seperti investasi besar, pembentukan anak usaha, akuisisi, dan restrukturisasi dapat dilakukan dengan lebih progresif. Dalam praktiknya, selama keputusan tersebut didukung oleh kajian yang memadai dan tidak melanggar prinsip GCG (Good Corporate Governance) maka perlindungan BJR berlaku.
Namun, penerapan prinsip ini tetap harus diawasi dengan ketat. Tanpa standar penilaian yang obyektif, prinsip BJR bisa disalahgunakan untuk melindungi keputusan yang tidak bertanggung jawab. BJR kerap disalahgunakan oleh direksi untuk menutupi itikad buruk atau kelalaian berat. Direksi dapat berdalih bahwa kerugian yang timbul hanyalah konsekuensi wajar dari dinamika bisnis, padahal kerugian tersebut sesungguhnya merupakan akibat dari tindakan yang tidak transparan, konflik kepentingan, atau penyalahgunaan wewenang. BJR tidak boleh dijadikan dalih pembenaran atas kerugian yang diakibatkan oleh tindakan direksi yang beritikad buruk. Perlindungan hukum yang diberikan BJR bukanlah perisai absolut, melainkan bersyarat. Direksi harus mampu membuktikan bahwa keputusan diambil dengan niat tulus, informasi memadai, dan tanpa konflik kepentingan. Jika tidak, maka BJR gugur, dan direksi wajib bertanggung jawab secara pribadi. Oleh karena itu, penting adanya peran aktif dari auditor independen, dewan pengawas, dan lembaga peradilan untuk menguji penerapan prinsip BJR secara substantif, bukan hanya formal.
Meskipun prinsip BJR memberikan angin segar dalam pengambilan keputusan bisnis BUMN, terdapat sejumlah tantangan lainnya dalam penerapannya. Dalam prakteknya, sudah banyak Direksi dan pejabat struktural BUMN yang menjadi pesakitan karena tersandung kasus korupsi terkait dengan abainya penerapan Business Judgment Rule. Sayangnya masih banyak dari mereka tersebut tidak bisa membela diri secara maksimal karena tidak bisa membuktikan telah menjalankan Business Judgment Rule BUMN secara baik dan benar, sehingga harus menanggung akibatnya sebagai terpidana, bahkan tidak sedikit yang harus membayar ganti kerugian dan disita asetnya untuk negara. Hal ini juga makin diperparah karena menunjuk advokat yang tidak paham akan Business Judgment Rule BUMN.
Dalam praktik pembelaan di pangadilan, Business Judgment Rule sering kali disalahpahami oleh advokat sebagai ”murni” Business Judgment. Padahal penekanannya adalah ”aturan”-nya bukan kepada keputusan bisnisnya. Padahal, ini adalah standar peninjauan yudisial, hanya memerlukan sedikit peninjauan keputusan bisnis. Kesalahpahaman ini sering dilakukan oleh advokat ketika melakukan pembelaan atas kliennya, baik disengaja maupun tidak. (M. Branson, 2002)
Business Judgment Rule memiliki banyak sisi. Paling umum, Business Judgment Rule bertindak sebagai anggapan yang mendukung tindakan manajer perusahaan. Lebih kuat lagi, aturan tersebut menyediakan Pelabuhan yang aman yang membuat direktur dan tindakan mereka tidak tersingkir jika prasyarat tertentu telah dipenuhi. Dalam litigasi, aturan tersebut adalah sarana untuk melestarikan sumber daya yudisial, sehingga memungkinkan pengadilan untuk tidak terperosok dalam mengulangi Keputusan yang secara inheren subyektif dan tidak sesuai untuk para hakim. Yang terakhir, aturannya adalah implementasi hukum dari kebijakan ekonomi secara luas. (Zulmawan, 2025, p. 77)
Masih terbatasnya pemahaman aparat penegak hukum mengenai prinsip ini berpotensi menimbulkan kriminalisasi atas keputusan bisnis yang sebenarnya rasional. BUMN harus membangun dokumentasi keputusan yang kuat dan transparan, agar dapat membuktikan bahwa keputusan telah diambil secara profesional dan tanpa konflik kepentingan.
Untuk itu diperlukan pelatihan khusus kepada aparat kejaksaan, BPK, KPK, dan lembaga lain agar memiliki perspektif yang sama tentang batas-batas intervensi hukum dalam ranah keputusan bisnis. Selain itu, penting untuk menyusun pedoman teknis pelaksanaan BJR sebagai acuan bagi manajemen BUMN.
Business Judgment Rule dalam UU No. 1 Tahun 2025 tentang BUMN merupakan kemajuan hukum yang penting dalam konteks penguatan tata kelola korporasi negara. Dengan memberikan perlindungan hukum terhadap keputusan bisnis yang rasional dan beritikad baik, prinsip ini mendorong keberanian dan profesionalisme dalam pengambilan keputusan strategis. Namun demikian, implementasi BJR harus didukung oleh sistem pengawasan yang kuat, edukasi hukum yang merata, dan komitmen untuk menjaga integritas proses bisnis. Jika dijalankan dengan benar, BJR akan menjadi instrumen kunci dalam mendorong BUMN sebagai motor penggerak ekonomi nasional yang sehat dan adaptif.






























