Kami Persilahkan Saudara menuliskan artikel, berita, cerita nasihat dapat pula agenda kegiatan yang akan dilaksanakan untuk dapat dipublikasikan khususnya berhubungan dengan Kegiatan Pembelajaran di Fakultas Hukum UII.
“KPU sebagai Penyelenggara Pemilu harus mampu melaksanakan Pemilu secara berkeadilan dan berintegritas. Sayangnya, untuk mewujudakan Pemilu yang berkeadilan dan berintegritas belum tecapai.” (Disertasi Dewi Iriani)
[KALIURANG]; Sabtu (10/08), pukul 13.00 WIB, telah dilaksanakan Ujian Terbuka Disertasi Promosi Doktor pada Program Studi Hukum Program Doktor (PSHPD) Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII) atas nama Dewi Iriani S.H., M.H. dengan disertasi berjudul “POLITIK HUKUM PEMBATASAN MASA JABATAN KOMISIONER KOMISI PEMILIHAN UMUM DALAM MEWUJUDKAN PEMILIHAN UMUM YANG BERKEADILAN DAN BERINTEGRITAS.”
Ujian Terbuka Disertasi Promosi Doktor atas nama Dewi Iriani, S.H., M.H. diselenggarakan di Ruang Auditorium Lantai 4 FH UII, diketuai oleh Dekan FH UII, Prof. Dr. Budi Agus Riswandi, S.H., M.Hum., dengan promotor Prof. Dr. Muhammad Fauzan, S.H., M.H., ko promotor Dr. Sri Hastuti Puspitasari, S.H., M.H., dengan anggota penguji: Prof. Dr. Achmad Sodiki, S.H., yang bergabung secara online melalui kanal zoom meeting, Dr. Janedjri M. Gaffar, S.H., M.Si., Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum., Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M.
Dewi iriani mengangkat permasalahan tentang lamanya masa jabatan Komisioner KPU (5 tahun) yang dapat dipilih kembali pada periode berikutnya tanpa memperhatikan rekam jejak komisioner KPU. Setidaknya terdapat tiga rumusan masalah yang diusung di dalam disertasinya: 1). Bagaimana Kedudukan Komisioner Komisi Pemilihan Umum dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia; 2) Bagaimana Peran Komisioner Komisi Pemilihan Umum dalam Mewujudkan Pemilihan Umum yang Berkeadilan dan Berintegritas; 3) Bagiamana Arah Konstruksi Politik Hukum Pembatasan Masa Jabatan Komisoner Komisi Pemilihan dalam Mewujudkan Pemilihan Umum yang Berkeadilan dan Berintegritas Umum Yang Akan Datang.
Promovenda menuturkan bahwa KPU merupakan lembaga negara yang berada di lapis kedua. Meskipun berada pada lembaga lapis kedua, KPU RI memiliki peranan penting dalam penyelenggaraan Pemilu yang meliputi peran membentuk KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, penyusunan tahapan-tahapan Pemilu, membuat regulasi, dan melaksanakan tertib adminsitrasi, serta bersama sama KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/ Kota melaksanakan Pemilu sesuai tahapan yang telah ditetapkan. Secara struktural, memperlihatkan bahwa KPU RI dapat melakukan desentralisasi kewenangan tertentu, dan hal itu tampak dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daera (Pilkada) dimana pelaksanaan Pilkada dilakukan oleh KPUD di semua pemerintahan daerah, kecuali Daerah Istimewa Yogyakarta ( DIY ).
Selanjutnya, Dewi Iriani menjelaskan bahwa lamanya masa jabatan Komisioner Komisi Pemilihan Umum lebih dari 2 (dua) periode atau lebih dari 10 (sepuluh) tahun jabatan, bahkan ada yang sampai 4 (empat) periode atau 20 (dua puluh) tahun masa jabatan, tanpa memperhatikan rekam jejak dari Komisioner KPU akan berpotensi menyebabkan terjadinya abuse of power yang dilakukan oleh komisioner. Selain itu, lamanya jabatan komisioner KPU juga menimbulkan potensi terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh Komisioner KPU berupa : pelanggaran andministrasi, pelanggaran pidana Pemilu, dan pelanggaran kode terutama prinsip mandiri dan jujur sebagaimana diatur dalam Putusan DKPP Nomor 135-Pke-Dkpp/Xii/2023, Putusan DKPP Nomor 317-PKE-DPP/X/2019, Putusan DKPP Nomor 123-PKE-DKPP/X/2020, Putusan Bawaslu No.05/LP/PP.PL/ADM/ Prov/04.00/V/2019, Putusan Nomor : 35-PKE-DKPP/II/2023 dan Putusan DKKP Nomor 125-PKE-DKPP/IV/2021.
“Kontruksi politik hukum pembatasan masa jabatan Komisioner untuk mewujudkan Pemilu berkeadilan dan berintegritas pada masa yang akan datang dapat dilakukan dengan merevisi Pasal 10 angka 9 Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum direkonstruksi menjadi: “Masa jabatan Komisoner KPU hanya berlaku 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya 1 (satu) periode pada tingkatan yang sama dalam satu daerah yang sama, dengan memperhatikan rekam jejak Komisioner KPU.” Tegasnya.
Selama sesi ujian berlangsung, promovenda dapat menjawab pertanyaan dengan baik dan dapat mempertahankan argumentasi dalam disertasinya. Promovenda, Dewi Iriani, S.H., M.H. sekarang resmi menyandang gelar doktor ke 174 yang lulus dari program studi hukum program doktor FH UII. Ko Promotor, Dr. Sri Hastuti Puspitasari S.H., M.H menyampaikan kesan dan pesan yang diiringi dengan rasa haru dari Dr. Dewi Iriani, S, H., M.H. mencerminkan rasa Syukur yang dalam atas proses yang dilaluinya selama penyusunan disertasi. Ko Promotor memberikan pesan bahwa gelar doktor memang membanggakan, namun jangan terlalu larut dalam kebanggaan karena dapat melahirkan kesombongan. Gelar doktor baru yang diemban kini melahirkan tanggung jawab baru untuk masyarakat, akademisi, bangsa dan negara. Tim pembimbing merasa bangga dan bersyukur dengan lulusnya Dr. Dewi Iriani, S.H., M.H.
[KALIURANG]; Sabtu (10/08), pukul 10.00 WIB, telah dilaksanakan Ujian Terbuka Disertasi Promosi Doktor pada Program Studi Hukum Program Doktor (PSHPD) Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII) atas nama Erfina Fuadatul Khlimi S.H., M.H. dengan disertasi berjudul “Rekonseptualisasi Materi Muatan Mengenai Kerukunan Umat Beragama Dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 8 Tahun 2018 Tentang Penyelenggaraan Toleransi Kehidupan Bermasyarakat.”
Promovenda, Erfina Fuadatul Khilmi menyatakan bahwa Perda Toleransi Provinsi Jawa Timur dibentuk sebagai instrumen yang diharapkan dapat mempermudah pemerintah daerah Provinsi dalam memfasilitasi dialog dan rekonsiliasi untuk mencegah terjadinya sikap intoleran dan diskriminatif terhadap persoalan fundamental masyarakat Jawa Timur terkait keragaman suku, ras, agama, golongan dan sosial ekonomi. Namun, penggunaan wewenang daerah dalam materi muatan Perda Toleransi ini telah menimbulkan euforia otonomi daerah yang berlebihan terkait urusan pemeliharaan kerukunan umat beragama.
Promovenda melanjutkan, bahwa Pasal 1 ayat (5) Perda Toleransi Provinsi Jatim memaknai toleransi sebagai kesediaan mengakui dan menghargai hak-hak sipil Masyarakat dalam menerima perbedaan terhadap keragaman agama, kultural, dan sosial serta kondisi khusus dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Istilah “kondisi khusus” dalam materi muatan Perda sarat akan resiko untuk disalahfahami karena tolak ukur yang dipakai itu adalah pengarasutamaan atas hak-hak individu sebagaimana tutntutan dalam batasan-batasan liberal, sehingga tidak dibatasi dibatasi oleh nilai-nilai toleransi yang berkeadaban dalam kehidupan bermasyarakat setempat khususnya Provinsi Jawa Timur.
Sehingga penting untuk merekonseptualisasi materi muatan mengenai kerukunan umat beragama dalam Perda Toleransi Provinsi Jawa Timur untuk mewujudkan toleransi yang berkeadaban. Setidakanya terdapat dua rumusan masalah yang diusung oleh promovenda, yakni: Mengapa materi muatan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Toleransi Kehidupan Bermasyarakat terkait perlindungan kerukunan umat beragama tidak sesuai dengan peraturan perundang- undangan di atasnya; Bagaimana rekonseptualisasi materi muatan mengenai kerukunan umat beragama dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Toleransi Kehidupan Bermasyarakat berdasarkan Pancasila.
Ujian Terbuka Disertasi Promosi Doktor atas nama Erfina Fuadatul Khilmi diselenggarakan di Ruang Auditorium Lantai 4 FH UII, diketuai oleh Dekan FH UII, Prof. Dr. Budi Agus Riswandi, S.H., M.Hum., dengan promotor Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum., ko promotor Dr. Drs. Rohidin, S.H., M.Ag.., dengan anggota penguji: Prof. Dr. Drs. H. Makhrus, S.H., M.Hum., Dr. Janedjri M. Gaffar, S.H., M.Si., Dr. Drs. Muntoha, S.H., M.Ag., Dr. Sri Hastuti Puspitasari, S.H., M.H.
Selama sesi ujian berlangsung, promovenda dapat menjawab pertanyaan dengan baik dan dapat mempertahankan argumentasi dalam disertasinya. Dr. Erfina Fuadatul Khilmi, S.H., M.H. resmi menyandang gelar doktor ke 173 yang lulus dari program studi hukum program doktor FH UII. Promotor, Prof. Dr. Ni’matul Huda S.H., M.Hum mendoakan agar gelar baru yang diperoleh menjadi keberkahan untuk Dr. Erfina Fuadataul Khilmi, S.H., M.H. dan mendoakan semoga dapat memperoleh jabatan guru besar setelah ini.
Oleh: M. David Hanief -22410457
Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Belakangan ini masyarakat Indonesia kembali dihebohkan dengan kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Hal ini dipicu dengan lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (PP Tapera) pada tanggal 20 Mei 2024. Sejatinya, Tapera bukanlah program yang baru diluncurkan oleh pemerintah tahun ini, melainkan telah ada sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat pada 24 Maret 2016. Kendati demikian, Pasal 68 Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat memberikan waktu pendaftaran kepesertaan Tapera hingga tahun 2027. Adanya jeda waktu 7 tahun sejak PP tersebut ditetapkan yang membuat isu mengenai Tapera menjadi hilang timbul dan kembali mencuat ke publik pada akhir bulan Mei kemarin. Munculnya isu Tapera ke permukaan ternyata mendapat respon negatif dari berbagai pihak, mengapa demikian?
Pasal 1 angka 1 PP Tapera menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Tapera adalah penyimpanan yang dilakukan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir. Dari definisi tersebut, sudah dapat tergambar bahwa tujuan utama dari adanya program Tapera adalah untuk menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau bagi para pesertanya. Niat baik ini secara harfiah sejalan dengan amanat Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang memberikan tanggung jawab kepada pemerintah untuk memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asas manusia setiap warga negaranya. Kebutuhan akan rumah merupakan hak dasar yang harus dimiliki oleh manusia selain pakaian dan makanan.
Keberadaan Tapera juga dapat dipandang sebagai suatu bentuk usaha dari pemerintah dalam rangka memberikan tempat tinggal yang layak kepada setiap warga negara sebagaimana amanat Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, memberikan pemenuhan kebutuhan dan ketersediaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, menghasilkan solusi atas permasalahan mahalnya biaya perumahan, dan membuat dana efektif jangka panjang untuk pembiayaan perumahan yang murah. Dalam rangka mewujudkan niat mulia ini pemerintah membentuk Badan Pengelola Tapera untuk menjalankan tugas, fungsi dan wewenangnya sebagai regulator Tapera. Dengan tujuan yang sedemikian bermanfaat, lantas mengapa terjadi penolakan terhadap Tapera di tengah masyarakat?
Penolakan terhadap program Tapera yang dikeluarkan oleh Presiden Jokowi tidak hanya berasal dari pekerja yang menjerit karena gajinya akan dipotong kembali, melainkan juga dari pengusaha itu sendiri. Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) berpandangan bahwa pemotongan gaji sebesar 3% (dengan rincian 2,5% bagi pekerja dan 0,5% bagi pengusaha) untuk iuran Tapera menambah beban bagi pekerja dan pengusaha. Mengingat, telah banyak potongan gaji yang harus disisihkan oleh pekerja dan pengusaha untuk membayar iuran jaminan sosial ketenagakerjaan. Secara logika matematika sederhana, program Tapera ini tidak dapat benar-benar mencapai tujuan utamanya yakni menyediakan rumah bagi para pesertanya. Hal ini dikarenakan potongan yang disetorkan hanya berjumlah 3% dari gaji pekerja. Jika kita mencoba menghitung untuk menarik potongan dari pekerja yang memiliki gaji sebesar 10 juta, maka setiap bulannya yang disetor sebesar 300 ribu (3% dari 10 juta). Jika kita hitung selama 50 tahun pekerja itu bekerja, maka total biaya yang disetor hanya berjumlah 180 juta. Dengan jumlah yang tidak mencapai angka 200 juta, dengan fakta bahwa harga rumah terus meningkat setiap tahunnya, apalagi 50 tahun sejak tahun sejak uang 300 ribu itu pertama kali disetor, maka program ini menjadi tidak realistis untuk mencapai tujuannya.
Fakta selanjutnya yang harus diingat baik-baik adalah Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) tertinggi di Indonesia tidak menyentuh angka 10 juta, melainkan hanya berkisar di angka Rp5.343.430.00 (UMK Bekasi). Kenyataan ini menambah sulit terwujudnya tujuan dari diadakannya Tapera itu sendiri. Jika ada yang berpikir bahwa Tapera akan menjadi realistis karena konsep yang digunakan adalah subsidi silang, dimana pekerja yang telah memiliki rumah jika ikut berpartisipasi membayar iuran dan dana yang telah diperoleh akan dikembangkan oleh pengelola Tapera, maka ini adalah sesuatu yang sangat diharapkan terjadi. Namun, sederet fakta korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara belakangan ini membuat kita harus berpikir ulang mengenai harapan keberhasilan Tapera ini. Mulai dari kasus korupsi yang dilakukan oleh Rafel Alung Sambodo yang merupakan mantan Kepala Bagian Umum Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Selatan hingga kasus Syahrul Yasin Limpo, Mantan Menteri Pertanian Republik Indonesia yang belakangan viral karena ternyata tujuan korupsinya sangat di luar nalar (terungkap dalam persidangan).
Kehadiran pemerintah dalam rangka memastikan ketersediaan rumah bagi seluruh warga negara memanglah sesuatu yang sangat mulia. Namun, jika dirasa Tapera merupakan solusi tepat yang dapat dilakukan, maka pemerintah harus menimbang-nimbang ulang terkait kesimpulan itu. Hal ini dikarenakan program Tapera ini secara logika matematika sederhana tidak masuk akal untuk dapat mencapai tujuan, apalagi kondisi ini diperparah dengan ketidakpercayaan masyarakat terhadap integritas pejabat publik dalam mengelola keuangan. Alih-alih menjadi Tabungan Perumahan Rakyat, Tapera dapat menjelma menjadi Tabungan Penderitaan Rakyat dengan hanya menjadi alat untuk memperkaya diri oknum pejabat yang di kemudian hari menyiksa masyarakat dengan iuran yang berkelanjutan. Kendati meluncurkan program Tapera, seharusnya pemerintah fokus untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat dengan menjamin pengelolaan yang baik terhadap jaminan sosial ketenagakerjaan yang selama ini telah dipotong dari gaji para pekerja. Selain itu, pemerintah juga dapat menaruh perhatian lebih untuk menyelesaikan persoalan gaji yang layak bagi para pekerja. Dengan gaji yang layak, harapannya para pekerja dapat membeli rumah sendiri dengan menyisihkan sebagian gajinya secara mandiri.
Jakarta (08/08/2024); Delegasi Fakultas Hukum UII melaksanakan kunjungan dan audiensi dengan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI) pada Hari Kamis tanggal 8 Agustus 2024. Kunjungan dan audiensi ini dilakukan oleh Delegasi Fakultas Hukum UII yang terdiri dari 6 (orang) yang dipimpin oleh Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Prof. Dr. Budi Agus Riswandi, S.H.,M.Hum. Dalam kunjungan dan audiensi MA RI, delegasi Fakultas Hukum UII diterima langsung oleh jajaran pejabat dan pimpinan MA RI yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Agung RI Prof. Dr. H.M. Syarifuddin, S.H.,M.H.
Dalam kunjungan dan audiensi ini, Fakultas Hukum UII menyampaikan harapannya kepada pihak MA RI untuk dapat melaksanakan kegiatan kolaborasi pengembangan kualitas sumber daya manusia di bidang hukum, baik yang ada di lingkungan MA RI khususnya maupun masyarakat hukum Indonesia pada umumnya. Harapan ini disampikan karena Fakultas Hukum UII menyadari bahwa jika ingin memperbaiki hukum dan penegakan hukum di Indonesia, maka pendidikan harus dijadikan salah satu solusinya. Adapun bentuk solusi dari perbaikan hukum dan penegakan hukum melalui dunia pendidikan juga harus mendapatkan dukungan dari semua pihak yang terkait, termasuk MA RI.
Prof. Dr. Budi Agus Riswandi, S.H.M.Hum mengatakan ada tiga isu penting dalam peningkatan kualitas SDM di bidang hukum, yaitu pendidikan tinggi hukum bagi para hakim, pendidikan advokat dan pendidikan mediator. Pendidikan tinggi hukum dijadikan agenda penting dalam peningkatan kualitas para hakim. Bagaimanapun, hakim saat ini dituntut untuk terus dapat mengembangkan kapasitas keilmuannya di bidang hukum mengingat semakin kompleksnya permasalahan hukum yang ada di masyarakat, ujar Prof. Budi
Prof budi selaku dekan Fakultas Hukum UII juga memberikan pandangannya pendidikan advokat dan pendidikan mediator. Dua macam pendidikan hukum ini menurutnya merupakan pendidikan hukum non degree, tetapi memiliki nilai strategis untuk proses penegakan hukum yang adil dan bermartabat saat ini. MA RI pada konteks ini tentunya diharapkan dapat ikut serta memberikan dukungan dalam rangka mendorong dan mewujudkan dua pendidikan hukum ini memiliki standar dan berkualitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini logis, mengingat MA RI pada dasarnya merupakan institusi yang akan berhubungan dengan dua profesi yang dihasilkan dari pendidikan ini, sehingga pastinya perlu concern atas persoalan atau isu yang ada dalam dua pendidikan ini.
Dalam kesempatan ini juga, Ketua MA RI Prof. Dr. H.M Syarifuddin, S.H.,M.H menyampaikan respon yang positif atas insiatif Fakultas Hukum UII untuk melakukan audiensi ke MA RI. Ketua MA RI menyampaikan bahwa untuk pendidikan tinggi hukum tentu menjadi kabar positif bagi MA RI mengingat MA sendiri saat ini sedang terus mendorong para hakim yang ada di lingkungan MA untuk mempunyai standar pendidikan tinggi yang tidak hanya pada level sarjana hukum, tetapi diharapkan dapat sampai pada level magister hukum. Keuntungan dari didorongnya para hakim untuk meraih jenjang pendidikan magister hukum ini akan sangat terbuka memberikan kesempatan hakim-hakim dapat menjadi hakim agung yang mempersyaratkan jenjang pendidikannya minimal magister hukum.
Di lain pihak, terkait pendidikan advokat dan mediator, pihak MA RI berpandangan sangat mendukung adanya peningkatan pendidikan advokat dan mediator. Untuk pendidikan advokat sendiri disarankan pihak Fakultas Hukum UII melakukan komunikasi yang intensif dengan organisasi advokat yang ada dikarenakan secara kewenangan penyelenggaraan pendidikan advokat masih menjadi tanggung jawab dari organisasi advokat, sedangkan untuk pendidikan mediator, MA sangat mendorong kampus Fakultas Hukum UII, memiliki lembaga mediasi yang terakreditasi oleh MA, sehingga kedepannya Fakultas Hukum UII dapat menyelenggarakan pendidikan mediator secara mandiri, dan juga memberikan layanan hukum mediasi untuk masyarakat. Jika hal ini dapat dilakukan MA pastinya akan sangat terbantu dalam menyelesaikan perkara hukum yang ada di masyarakat, ujar ketua MA RI.
Pertemuan antara Fakultas Hukum UII dan MA RI ini berjalan dengan hangat dan baik dan berjalan kurang lebih 2 jam. Dalam pertemuan ini juga dilakukan diskusi meliputi tiga isu di atas dengan pejabat atau pimpinan MA RI yang hadir.
Pertemuan akhirnya ditutup setelah dianggap cukup mendiskusikan tiga isu yang disampaikan oleh Fakultas Hukum UII, dan diakhiri dengan penyerahan cindera mata oleh kedua belah pihak. Wallahu’alam bis shawab.
Oleh: Ahmad Kushay – 22410697
Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Dunia saat ini terus berkembang dan mengalami peningkatan kekayaan yang pesat. Pada saat yang sama, pemahaman masyarakat tentang keadilan juga terus berkembang dan menyebar luas. Maka, sangatlah miris mengamati realita di mana semua perkembangan ini hanya dinikmati oleh sebagian kecil orang, sementara mayoritas masyarakat justru semakin tertindas dan menurun kualitas hidupnya. Dalam konteks ekonomi internasional, teknologi dan globalisasi memungkinkan terbentuknya banyak perusahaan yang meraup keuntungan amat besar dari aktivitas bisnis mereka. Namun, keuntungan ini seringkali diperoleh melalui pelanggaran HAM, mengeksploitasi dan menindas golongan masyarakat yang paling rentan.
Laporan dari World Benchmarking Alliance (WBA) yang dirilis awal bulan Juli ini menunjukkan bahwa 90% dari 2000 perusahaan paling berpengaruh di dunia gagal menegakkan HAM. Secara spesifik, kurang dari 10% perusahaan menggaji pekerjanya dengan upah layak hidup (living wage), dan persentase yang sama juga berlaku untuk kepatuhan terhadap standar jam kerja yang ditetapkan oleh International Labor Organization (ILO). Lebih lanjut, hanya sekitar 20% perusahaan yang memonitor keamanan dan kesehatan di tempat kerja atau melakukan tindakan uji tuntas (due diligence) terkait penegakan HAM di tempat kerja mereka.
Hal ini sangatlah disayangkan mengingat kewajiban menegakkan HAM yang telah disetujui dalam banyak perjanjian internasional. Pasal 7 dari International Covenant of Civil, Economic and Social Rights (ICESCR) menetapkan hak atas kondisi kerja yang adil, termasuk gaji yang cukup, lingkungan kerja yang aman dan sehat, dan jam kerja yang masuk akal. Norma dari kovenan ini juga tercerminkan dalam perjanjian internasional lain seperti European Convention on Human Rights (ECHR), dan hukum nasional seperti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Jelas terdapat ketidakselarasan antara idealita dan realita terkait pemenuhan hak ini. Menurut penulis, terdapat dua faktor utama yang menyebabkan ketidakselarasan tersebut; Pertama, terkait dengan perusahaan itu sendiri. Kedua, dari konsumen.
Perusahaan, terutama perusahaan yang besar, seringkali memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap suatu negara, dan dapat bertindak seenaknya meskipun tindakannya menindas masyarakat yang rentan. Hal ini disebabkan berbagai alasan; di antara lain, lobi yang membuat aparat pemerintah menutup mata akan aktivitas
perusahaan yang melanggar hukum, atau bahkan dengan mengancam akan melitigasi negara dan menarik investasi mereka kecuali bila negara tersebut membebaskan perusahaan dari berbagai macam kewajiban, termasuk kewajiban menegakkan HAM.
Studi kasus yang paling terkenal akan hal ini adalah pertikaian antara Philip Morris International dengan Togo. Pertikaian ini berawal dari pemerintah Togo yang berencana menerapkan regulasi pengendalian tembakau yang lebih ketat, melalui, di antara lain, pencantuman gambar peringatan kesehatan di kemasan rokok, selaras dengan Framework Convention on Tobacco Control yang ditetapkan World Health Organization (WHO). Sebagai respon dari kebijakan tersebut, Philip Morris International, bersama dengan konglomerat tembakau lainnya, mengancam akan melitigasi Togo dan menarik investasi mereka. Karena Togo merupakan negara terbelakang dengan kemampuan ekonomi yang lemah, pada akhirnya pemerintah Togo membatalkan kebijakan tersebut. Hingga saat ini, kemasan rokok di Togo hanya mencantumkan peringatan kesehatan merokok dalam bentuk teks – di negara yang sekitar sepertiga populasinya buta huruf. Studi kasus ini hanyalah satu contoh. Terlihat bahwa keserakahan dari perusahaan yang disetir oleh mentalitas keuntungan diatas segalanya merupakan sebuah masalah besar.
Masalah dari perusahaan tersebut sebenarnya dapat ditangani dengan baik bila terdapat aksi kolektif dari masyarakat. Sebagai konsumen, masyarakat memiliki daya tawar terhadap perusahaan, dan dapat membuat perusahaan pelanggar HAM rugi melalui pemboikotan produknya. Sayangnya, kesadaran masyarakat untuk menginisiasi aksi kolektif tersebut masih minim. Kehidupan pada zaman ini sangat nyaman dan serba instan. Akibatnya, masyarakat seringkali sekedar mengkonsumsi suatu produk tanpa mengecek apakah pembuatan produk tersebut melibatkan praktek pelanggaran HAM. Lebih parahnya lagi, setelah praktek pelanggaran HAM diketahui pun seringkali masyarakat cenderung apatis dan tidak peduli. Korban pelanggaran HAM ini dilihat sebagai orang lain semata, dan bukan sebagai sesama manusia yang layak mendapatkan bantuan.
Lihat saja AICE. Perusahaan ini telah sering terdokumentasi menerapkan praktek bekerja yang buruk. Pelanggaran HAM seperti larangan cuti hamil dan cuti sakit, kondisi bekerja yang buruk bagi kesehatan, paksaan bekerja lama tanpa istirahat yang cukup, pemberian gaji lembur yang lebih sedikit dari yang dijanjikan, dan masih banyak masalah lainnya telah sering diberitakan media massa. Namun, AICE masih menjadi merek yang populer di Indonesia. AICE bahkan dapat menjadi sponsor es
krim resmi untuk acara besar seperti Asian Games. Hal ini menunjukkan bahwa apatisme konsumen juga merupakan isu yang harus diselesaikan dalam upaya penegakan HAM di lingkungan kerja.
Kedua faktor yang telah dijabarkan diatas tentu tidak mencakup semua tantangan dalam upaya penegakan HAM di lingkungan kerja. Namun, tetap terlihat bagaimana pentingnya meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mendorong perilaku yang lebih baik dari perusahaan pelanggar HAM. Untungnya, situasi sekarang tidak terlihat terlalu putus asa. Terdapat peningkatan dalam kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi produk yang diproduksi dengan praktek bekerja yang baik. Masyarakat di Uni Eropa semakin selektif dalam menentukan produk apa yang mereka konsumsi, dan hanya memilih produk yang memiliki sertifikasi tertentu (contoh: sertifikasi lingkungan). Terlebih lagi, budaya viral di media sosial saat ini juga dapat berkontribusi untuk menegur perusahaan yang melanggar HAM dan mendorong mereka untuk menghentikan pelanggaran tersebut. Tentunya semua hal ini masih merupakan suatu proses yang panjang. Maka dari itu, orang-orang yang sadar akan isu ini, seperti golongan akademisi, perlu menjadi garda terdepan dalam menyuarakan masalah ini dan melakukan apa yang kita bisa untuk mewujudkan pemenuhan HAM sebagaimana mestinya.
[KALIURANG]; Pada hari Senin (5/8), Program Studi Hukum Program Sarjana (PSHPS) Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII) kembali menunjukkan komitmennya dalam mendukung mobilitas mahasiswa melalui penyelenggaraan Acara Pelepasan Mahasiswa dan Program Persiapan Keberangkatan (Pre-Departure Program). Program ini ditujukan bagi mahasiswa yang terpilih untuk mengikuti program Joint Degree UII-Coventry University, CTP UII-IIUM, dan IISMA Co-Founding 2024. Adapun nama-nama mahasiswa tersebut yaitu, Meeran Hameed (20410902), Muhammad Davin Wicaksono (21410478) merupakan mahasiswa peserta Joint Degree-Top-up Degree/Coventry University, UK. Belvani Melitaviana (22410591) IISMA Co-Funding di University of Pécs, Hungary. Allysa Zahra Safira (21410054) IISMA Co-Funding di Korea University, South Korea. Selanjutnya, Ridlo Ifran Addiasar (22410090), Jihan Sri Hardiman (21410061), dan Muhammad Rafi Fadhilah (22410586), merupakan mahasiswa CTP-Credit Transfer Program IIUM, Malaysia.
Sebelumnya kegiatan Persiapan Keberangkatan Program (PDP) ini berlangsung selama 2 hari, yang dilaksanakan pada hari Kamis-Jumat, 1-2 Agustus 2024. Kegiatan ini bertujuan untuk membekali peserta dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan selama menjalani studi di luar negeri. Adapun untuk materi yang disampaikan mencakup berbagai aspek, mulai dari materi (1) Komitmen Ke-UII-an oleh Prof. Dr. Budi Agus Riswandi, S.H., M.Hum., (2) Persiapan Keberangkatan (Non-Akademik) dan Penjelasan Sistem Joint Degree dan Credit Transfer Program, oleh Dodik Setiawan Nur Heriyanto, SH, MH, LL.M, Ph.D. (3) Komitmen Akademik Selama Study di Luar Negeri, oleh Dodik Setiawan Nur Heriyanto, SH., MH, LL.M.,Ph.D., dan Dr. Aroma Elmina Martha, S.H., M.H. (4) Pemantapan Ibadah dan Akhlak selama Studi di Luar Negeri, oleh Bagya Agung Prabowo, SH., M.Hum, Ph.D. (5) Sharing Session Pengalaman Belajar di Luar Negeri, oleh Muhammad Rifqi Abiyyu dan Maheswari Laksita Sari. (6) Psychological Readiness Peserta Joint Degree Program dan Program Kredit Transfer, oleh Dr.rer.nat. Dian Sari Utami, S.Psi., M.A. Selain itu, para peserta juga berkesempatan untuk berinteraksi dengan alumni yang telah menyelesaikan program serupa, sehingga dapat memperoleh informasi yang lebih komprehensif.
Selanjutnya untuk Acara Pelepasan Mahasiswa dilaksanakan di hari Senin, 05 Agustus 2024 yang bertempat di Mini Auditorium Lt. 4, Fakultas Hukum UII. Pada Acara Pelepasan ini, diberikan Health Kit dan juga kenang-kenangan, dan juga beasiswa settlement allowance dari PSHPS serta Al-Qur’an oleh Dekan Fakultas Hukum UII, Prof. Dr. Budi Agus Riswandi, S.H, M.Hum. Acara ini dihadiri oleh beberapa pimpinan baik dari UII dan juga Fakultas Hukum UII, yaitu: Perwakilan dari Universitas Islam Indonesia, Nihlah Ilhami, S.Pd., selaku perwakilan dari KUI UII, Prof. Dr. Budi Agus Riswandi, S.H., M.Hum, selaku Dekan FH UII, Dr. Sri Hastuti Puspitasari, S.H., M.H., selaku Wadek Sumber Daya, dan Drs. Agus Triyanta, M.A., M.H., Ph.D., selaku Wadek KKA. Kaprodi PSHPS, Sekprodi PSHPS Program Sarjana dan Reguler, dan Sekprodi PSHBPS. Seluruh Pejabat Unit dan Divisi FH UII, mahasiswa peserta program dan juga orang tua/wali dari mahasiswa peserta program.
Dalam Sambutannya, Kaprodi Program Studi Hukum Program Sarjana, Dodik Setiawan NH, S.H.,M.H.,LL.M.,Ph.D., menjelaskan bahwa, “Beberapa waktu yang lalu kami menyelenggarakan sosialisasi dan seleksi sehingga anak-anak yang hadir pada hari ini, mereka sudah melewati banyak serangkaian seleksi yang dilakukan oleh Program Studi Hukum Program Sarjana mulai dari program sosialisasi khusus untuk kredit transfer program ke Ahmad Ibrahim Kuliah of Laws yang ada di Universitas Islam internasional Malaysia. Kemudian juga ada sosialisasi dan pendampingan untuk mahasiswa yang akan berangkat untuk mendapatkan hibah melalui IISMA, termasuk juga khusus untuk pendampingan dan juga sosialisasi mengikuti Joint Degree Program yang ada di Coventry University selama kurang lebih 1 tahun nanti belajar di UK. Sosialisasi tersebut berjalan dengan baik kita berkolaborasi dengan mitra-mitra internasional kami dan alhamdulillah telah kurang lebih 8 mahasiswa untuk mengikuti program outbound mobility untuk semester ganjil 2024-2025. Peserta Program Kredit Transfer ke Ahmad Ibrahim Kulliyyah of Laws , IIUM terdapat mahasiswa dengan nama Ridlo Ifran Addiasar, Jihan Sri Hardiman, dan Muhammad Rafi Fadhilah. Kemudian Peserta Kredit Transfer (IISMA Co-Funding) ke Hungaria dan Korea Selatan terdapat Belvani Melitaviana di University of Pécs, Hungary dan Allysa Zahra Safira di Korea University, South Korea. Dilanjutkan dengan Peserta Joint Degree Program ke Coventry University, UK terdapat Meeran Hameed dan Muhammad Davin Wicaksono.”
“Kegiatan Pelepasan Mahasiswa Peserta Mobilitas Internasional Tahun 2024 ini merupakan rangkaian dari kegiatan mobilitas internasional yang diselenggarakan oleh Program Studi Hukum Program Sarjana. Mulai dari tahapan seleksi, kemudian lolos seleksi, lalu diberikan pembekalan sampai kepada pelepasan dan tentunya adik-adik yang sudah terpilih untuk mengikuti program ini akan berangkat menjalankan kegiatan ini dengan sebaik-baiknya dan semoga berhasil sukses dan sekaligus bisa kembali ke Indonesia dengan baik dan selamat. Program mobilitas internasional itu sebenarnya ini bagian dari program ya diselenggarakan oleh program studi hukum program sarjana sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari program kampus Merdeka,” sepenggal sambutan oleh Dekan FH UII, Prof. Dr. Budi Agus Riswandi, S.H., M.Hum.
Fakultas Hukum UII berharap program ini dapat menjadi bekal yang bermanfaat bagi mahasiswa dalam meraih kesuksesan selama studi di luar negeri. Dengan bekal yang memadai, diharapkan para mahasiswa dapat mengharumkan nama Fakultas Hukum UII di kancah internasional.
[KALIURANG]; Lima orang mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana (PSHPS) Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII), Muhammad Alfata Birza, Abdullah Widy Asshidiq, Zein Ahmad, Raden Mahdum, dan Agung Gilang Pratama, menggugat Pasal 523 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi dan meminta agar pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengingat.
Dalam sidang perkara nomor 59/PUU-XXII/2-24 di Ruang Sidang MK, Jakarta, para pemohon menyatakan bahwa pasal dan ayat-ayat yang diujikan tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945, sebab dinilai tidak memberikan kepastian hukum kepada relawan yang melakukan tindak pidana politik uang. Pasal 523 ayat (1) dan (2) UU Pemilu tidak dapat menjerat relawan yang melakukan tindak pidana politik uang, sebab yang dapat dipidana hanya peserta dan tim kampanye yang secara resmi terdaftar di KPU.
Padahal di lapangan, yang membagi-bagikan uang, serangan fajar, dan berbagai suap politik lainnya kepada pemilih adalah relawan. Hal tersebut terbukti dalam kasus bagi-bagi uang yang dilakukan oleh Gus Miftah saat Pilpres 2024 lalu. Gus Miftah berdalih bahwa dirinya tidak dapat dikenakan pasal politik uang karena buka tim kampanye, melainkan hanya simpatisan.
Dalam sidang pendahuluan, Selasa, 16 Juli 2024, pemohon meminta agar Pasal 523 ayat (1) dan (2) UU Pemilu yang mengandung frasa “setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye” dinyatakan inkonstitusional karena tidak berlalu bagi setiap orang. Hal tersebut tentu akan menjadi celah bagi langgengnya politik uang di setiap Pemilu. Politik uang dinilai sebagai sumber mala petaka bagi tindak pidana korupsi dan rusaknya demokrasi di Indonesia.
Dalam sidang perbaikan (30/7), para pemohon telah melakukan sejumlah perbaikan berdasarkan saran dan masukan dari para hakim Mahkmah Konstitusi. Terdapat 12 posita baru untuk memperkuat gugatan dan meyakinkan Mahkamah Konstitusi agar mengabulkan semua permohonan. Selain itu juga ada penambahan pemohon baru atas nama Muhammad Syafiq Wafi, S.H, Mahasiswa FH UII.
[KALIURANG]; Tim delegasi dari Komunitas Peradilan Semu (KPS) Program Studi Hukum Program Sarjana (PSHPS) Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII), berhasil meraih Juara 1 pada perlombaan Paper Tingkat Nasional Ubaya Lawference yang diselenggarakan oleh Universitas Surabaya dengan judul karya “Peran Digital Forensik dalam Pengungkapan Men Behind The Keyboard Pada Tindak Pidana Peretasan”. Tidak hanya sebagai juara biasa, tim ini menyandang berkas terbaik dan presentator terbaik.
Anggota delegasi yang menjuarai perlombaan ini adalah Rayana Mahdavikia (2240637) dan Aldian Yoga Atna Wijaya (22410379). Mereka Melakukan registrasi pada bulan Juli, kemudian mempersiapkan berkas yang dilombakan kurang lebih 1 bulan. Adapun tahapan yang dilalui berupa tahapan pendaftaran, pengerjaan dan pengumpulan berkas, dan babak final.
Kendala yang dirasakan dan dihadapi anggota delegasi berupa “salah satu kendala utama dalam penelitian ini adalah terbatasnya referensi lokal terkait digital forensik. Meskipun Indonesia telah memiliki ahli di bidang ini, seperti Muhammad Nuh al-azhar, literatur ilmiah yang spesifik dan mendalam dalam bahasa Indonesia masih sangat terbatas. Oleh karena itu, penelitian ini perlu menggabungkan sumber-sumber dari jurnal-jurnal internasional untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif mengenai topik ini.”, ujar Rayana. Ditambah tantangan berat harus dihadapi Rayana dan Aldian karena mereka harus mengikuti lomba di tengah-tengah kesibukan mengerjakan UAS.
Proses mengerjakan berkas ini tidak hanya mengajarkan kami untuk mengelola waktu dengan baik, tetapi juga menanamkan nilai kesabaran dan ketekunan. Rasa puas yang kami rasakan saat melihat hasil akhir merupakan buah dari kerja keras dan doa. Pencapaian ini adalah berkat dukungan dari orang tua, teman-teman, dosen, dan semua pihak yang telah membantu kami.
Rayana pun berpesan kepada mahasiswa lain yang memiliki ambisi yang sama “untuk tidak terpaku pada status perguruan tinggi, melainkan fokus pada pengembangan diri secara optimal. Melalui membaca, berdoa, dan kerja keras, kita dapat membuktikan bahwa mahasiswa swasta memiliki potensi yang sama besar untuk meraih kesuksesan.”
[KALIURANG]; Diyarbakir (16/07/2024), Delegasi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (Fakultas Hukum UII) Yogykarta pada melakukan kunjungan ke Fakultas Hukum Dicle University Turkey pada hari senin-rabu, tanggal 15-17 Juli 2024. Delegasi Fakultas Hukum UII dipimpin oleh Dekan Fakultas Hukum UII (Prof. Dr. Budi Agus Riswandi, S.H.M.Hum) dan disertai anggota delegasi yaitu Wakil Dekan Kemahasiswaan, Keagamaan dan Alumni Fakultas Hukum UII (Drs. Agus Triyanta, M.H.,M.A.,Ph.D), Ketua Program Studi Kenotariatan Program Magister (Dr. Nurjihad, S.H.,M.H) dan Koordinator Pembelajaran PascaSarjana (Dr. Idul Rishan, S.H.,LL.M).
Kunjungan yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UII ini dalam rangka mewujudkan beberapa rencana kerjasama, yaitu; 1). Pematangan pelaksanaan program double degree untuk program magister hukum; 2). Persiapan pelaksanaan The 1 St Postgraduate International Conference on Law, Technology and Society; 3. Penjajakan kerjasama credit transfer atau double degree untuk program studi kenotariatan program magister; dan 4 pejajakan kerjasama riset dan publikasi.
Prof. Dr. Budi Agus Riswandi, S.H.,M.Hum sebagai dekan menyatakan bahwa kunjungan ini merupakan kunjungan balasan dari pihak Fakultas Hukum UII. Hal ini sekaligus menegaskan keseriusan Fakultas Hukum UII dalam menjalin kerjasama internasional dengan pihak Fakultas Hukum Dicle University, Turkey.
Dalam pelaksanaan kunjungan balasan ini delegasi Fakultas Hukum UII disambut langsung oleh Rektor Dicle University Turkey, Prof. Dr. Mehmet Korkoc beserta tim dari Kantor Urusan Internasional dan Fakultas Hukum Dicle University, Turkey.
Rektor Dicle University, Turkey, Prof. Dr. Mehmet Karakoc dalam pertemuannya di ruang senat Dicle University menyatakan sangat senang mendapatkan kunjungan dari delegasi Fakultas Hukum UII. Dalam kesempatan yang sama, Rektor Dicle University menyampaikan bahwa kerjasama internasional Dicle University, Turkey sudah lama di bangun dengan beberapa universitas di dunia. Adapun kali ini, Dicle University, Turkey menganggap bahwa kerjasama dengan universitas di Indonesia menjadi salah satu prioritas. Oleh karena itu, Fakultas Hukum UII menjadi salah satu institusi pendidikan tinggi yang diharapkan menjadi pelopor dalam jalinan kerjasama internasional Dicle university, Turkey dan hal ini diharapkan akan diperluas pada institusi pendidikan tinggi lainnya di UII maupun di Indonesia.
Dalam kesempatan itu, Prof. Dr. Budi Agus Riswandi, S.H.M.Hum menyampaikan bahwa pada tahun 2024 ini rencananya Fakultas Hukum UII akan melaksanakan dua agenda kerjasama yang sangat strategis, yaitu; Pertama, pelaksanaan program double degree untuk Program Studi Hukum Program Magister. Untuk program ini, sudah ada beberapa mahasiswa yang tertarik dan mengikuti program ini. Rencananya, pada akhir tahun akan dikirim beberapa mahasiswa program double degree untuk mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Dicle University Turkey; dan Kedua, pelaksanaan The 1 St Postgraduate International Conference on Law, Technology and Society. Untuk pelaksanaan internasional conference ini, pihak Fakultas Hukum Dicle University, Turkey sangat tertarik dan akan mendukung pelaksanaan program ini dalam dua hal berupa pelibatan dosen sebagai partisipan, dan juga dimungkinkannya dukungan dana dari pihak Fakultas Hukum Dicle University, Turkey. Untuk merealisasikan hal ini, maka pihak Fakultas Hukum Dicle University, Turkey akan menjadi salah satu co-host dalam acara tersebut. Di samping mitra-mitra perguruan tinggi lainnya, baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Akhirnya, kunjungan delegasi Fakultas Hukum UII dilanjut dengan melakukan peninjauan kampus Dicle University, Turkey serta ramah tamah dengan seluruh dosen di lingkungan Fakultas Hukum Dicle University, Turkey.