Tag Archive for: Departemen Hukum Pidana FH UII

[Kaliurang]; Jumat (25/02). Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar Seminar Nasional bertema “Pengembalian Kerugian Negara Menghentikan Proses Penanganan Korupsi”. Acara yang digelar secara dalam jaringan (daring) ini diikuti oleh kurang lebih 200 partisipan dengan berbagai latar belakang profesi mulai dari Praktisi Hukum, Mahasiswa Hukum, Aparatur Sipil Negara (ASN), Advokat, dan lain sebagainya. Seminar ini merupakan agenda rutin yang diadakan oleh Departemen Hukum Pidana FH UII dengan tujuan untuk menyikapi isu terkini khususnya yang bertemakan hukum pidana.

Dekan FH UII, Dr. Abdul Jamil, S.H., M.H dalam sambutannya menyoroti tentang adanya satu masalah pada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, hal ini berkaitan dengan bagaimana jika  unsur kerugian negara itu tidak ada karena sudah dikembalikan oleh pelaku tindak pidana korupsi.

Turut hadir secara daring, Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej, S.H., M.Hum sebagai keynote speaker dalam acara seminar tersebut.  Ia merupakan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Dalam sambutannya, Prof. Eddy  menyampaikan bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Konfensi PBB mengenai Anti Korupsi sama sekali tidak menyinggung terkait kerugian keuangan negara.

Ada tiga narasumber yang dihadirkan, antara lain Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M. (Guru Besar Hukum Pidana FH Universitas Padjajaran), Dr. Mudzakkir, S.H., M.H. (Dosen Hukum Pidana FH UII), dan Dr. Nurul Ghufron, S.H., M.H. (Wakil Ketua KPK RI). Acara diskusi dengan para narasumber dimoderatori oleh Dr. Mahrus Ali, S.H., M.H yang merupakan dosen Fakultas Hukum UII.

Prof. Romli memaparkan materi dengan tajuk Menyelamatkan Kerugian Keuangan Negara Hasil Tindak Pidana Korupsi. Guru besar Universitas Padjajaran dan Universitas Pasundan tersebut dalam salah satu bab menyampaikan bahwa ada tiga strategi dalam proses pemberantasan korupsi di Indonesia antara lain strategi pencegahan, strategi penghukuman, dan strategi pengembalian aset korupsi. Tujuan dari ketiga strategi tersebut adalah terciptanya kesadaran anti korupsi masyarakat. “Tapi sebetulnya dulu, kita ingin lebih jauh. Bagaimana dari elit politik sampai keluarga, RT, RW, Lurah, sadar anti korupsi.” paparnya.

Narasumber kedua adalah Dr. Mudzakkir, S.H., M.H., yang merupakan dosen Hukum Pidana FH UII. Dr. Mudzakkir menjelaskan bahwa kerugian tindak pidana korupsi itu ada dua, yaitu kerugian Immateriil dan kerugian materiil. Jenis kerugian negara yang dibahas pada seminar tersebut adalah kerugiaan materiil. Kerugiaan immateriil ini jangan sampai terlupakan dalam hukum pidana.  “Kalau kerugian materiil dihapuskan, apa bedanya dengan hukum perdata.” jelasnya.

Materi terakhir disampaikan oleh Dr. Nurul Ghufron, S.H., M.H. yang lebih menekankan pada bab penegakan hukumnya. Narasumber yang menjabat sebagai Wakil Ketua KPK RI tersebut memaparkan ada tiga isu tentang pengembalian kerugian negara dan kepentingan penegakan hukum. Isu yang pertama adalah konsekuensi pengembalian kerugian negara dalam penegakkan hukum pidana korupsi, yang kedua adalah pengaruh kerugian negara dalam penegakkan hukum tindak pidana korupsi, dan isu yang ketiga adalah syarat dan ketentuan yang dilakukan di KPK.

 

Seminar Nasional bertema “Pengembalian Kerugian Negara Menghentikan Proses Penanganan Korupsi” selengkapnya dapat dilihat pada tautan berikut https://www.youtube.com/watch?v=0_nuiG7eFYU

 

(TAMAN SISWA); Dekan Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII), Dr. Abdul Jamil, S.H., M.H. dalam sambutannya pada acara Catatan Akhir Tahun dengan tema Dinamika dan Perkembangan Hukum Pidana Sepanjang 2021 mengatakan bahwa agenda ini sangat bermanfaat karena kita bisa menyampaikan persoalan-persoalan pidan yang ada selama 2021 baik dari perkembangan hukumnya dan bagaimana kasus-kasus pidana yang berkembang di akhir-akhir ini.

Kegiatan yang dilakukan secara luring dan daring itu diselenggarakan oleh Departemen Hukum Pidana, FH UII (24/12). Acara ini dihadiri oleh 200 peserta aktif. Catatan Akhir Tahun dipandu oleh Ari Wibowo, SHI., SH., M.H. sebagai moderator dan mengundang 3 pemateri dengan topik yang berbeda-beda. Materi pertama disampaikan oleh Hanafi Amrani, SH., M.H., Ph.D. dengan topik Politik Hukum Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Beliau saat ini menjabat sebagai Wakil Dekan Bidang Sumber Daya FH UII. Kemudian dilanjutkan materi kedua, yang disampaikan oleh Ketua Departemen Hukum Pidana FH UII, Dr. Aroma Elmina Martha, SH., M.H. dengan topik bahasan Tindak Pidana Oleh Oknum Penegak Hukum Dalam Perspektif Kriminologi. Dan yang terakhir yaitu materi oleh Dr. Mahrus Ali, SH., M.H. dengan topik Viktimologi Hijau.

Tujuan dari penyelenggaraan acara ini yaitu Departemen Hukum Pidana FH UII, ingin memberikan catatan perkembangan teori, konsep dan praktek penegakan hukum pidana tahun 2021. Dilanjutkan dengan analisis secara prdeiktif dan idealitas teori, konsep, dan praktek pengakan hukum pidana di masa yang akan datang. Dan juga secara praktis acara ini dapat memperkaya dan menajamkan analisis hukum bagi mahasiswa hukum UII.

Dalam menyampaikan materi, Wakil Dekan Bidang Sumber Daya FH UII ini mengatakan bahwa Korporasi sebagai subjek hukum, namun ada korban kejahatan korporasi yaitu yang pertama negara, masyarakat, perusahaan saingan, karyawan, dan konsumen.

“Konsumen bisa sebagai korban kejahatan korporasi karena produk yang membahayakan kesehatan, kemudian penipuan melalui adventensi.” jelasnya.

Lantas pertanggungjawaban pidana korporasi, perlu dilakukan karena beberapa alasan antara lain dalam berbagai tindak pidana ekonomi keuntungan yang diperoleh oleh korporasi dan kerugian yang diderita oleh masyarakat sedemikian besar sehingga tidak seimbang kalau hanya pengurus yang dipertanggungjawabkan, dan dipidananya pengurus tidak ada jaminan bahwa korporasi
tidak akan mengulanginya lagi.

Namun, pada awal kemunculan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi terdapat masalah-masalah yang ditemukan, adanya unsur kesalahan, adanya hubungan antara perbuatan pelaku dengan sikap
batinnya berupa kesengajaan atau kealpaan. Dan yang terakhir yaitu adanya alasan pemaaf.

Hanafi Amrani juga menerangkan bahwa tahapan pertanggungjawaban pidana korporasi ada tiga tahapan. Tahap pertama pengurus sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab. Tahap kedua yaitu korporasi sebagai pembuat namun penguruslah yang bertanggungjawab. Dan tahapan terakhir yaitu pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana dan keduanya pula yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.

Selaras dengan apa yang disampaikan Hanafi Amarani, dalam pemaparannya Aroma Elmina Martha berpendapat bahwa kunci utama dalam memahami penegakan hukum yang baik adalah moralitas aparat penegak hukum.

“Moralitas barulah dapat diukur ketika seseorang mentaati hukum secara lahiriah karena kesadaran bahwa hukum itu adalah kewajiban dan bukan lantaran takut pada kuasa sang pemberi hukum, melainkan kita sendiri menyadari bahwa hukum itu merupakan kewajiban kita.” tuturnya.

Moralitas dalam pandangan Kant dipahami sebagai kesesuaian sikap dan perbuatan kita dengan norma atau hukum batiniah kita, yakni apa yang itu pandang sebagai kewajiban kita ”the agreement of an action with Ethical Laws, is its Morality”.

Pemaparan terakhir oleh Mahrus Ali membahas mengenai Viktimologi Hijau. Viktimologi Hijau lahir karena dilatarbelakangi oleh kecenderungan kajia-kajian viktimologi yang memasukkan lingkungan sebagai korban kejahatan. “Selain itu karena kerusakan dan pencemaran lingkungan yang begitu masif.” paparnya.

Penulis: Ari Wibowo, S.HI., S.H., M.H.

Dosen Fakutas Hukum UII, Departemen Hukum Pidana.

Pada zaman Orde Baru, istllah ‘subversi” dan “makar’ sangat tidak asing di telinga masyarakat, Bagalnrana tidak, delik subversi dan”nnkaLsant ltu sering terucap dari mulut para pejatbat untuk mengancam kelompok tertenru yang dianggap membahayakan kekuasaan. Pascareformasl, kedua istilah tersebut terdengar asing. Bahkan, Benerasi baru barangkall tak mengenalnya, “Subversi” sudah menjadi sejarah hukum yang hanya terdengar dl ruang-ruang kuliah fakultas hukum karena undang-undangnya telah dicabut. lstilah “makar’ nyaris tak pernah diucapkan lagi oleh penguasa meskipun sampai dengan saat lni pengaturannya masih eksis dalam KUHP.

Makar, terutarna yang dlatur dalam Pasal 1 07 KUHP, menl,:di salah satu delik primadona madona bagl penguasa Orde Baru untuk menghabisi musuh politiknya. Tidak jarang aktivis yang kritis dengan kebijakan penguasa dilibas dengan pasal makar karena dianggap punya maksud menggulingkan pem€rlntah yang sah. Lama tak terdengar, saat ini istilah “makar” kembali akrab di telinga publik.

Dalam beberapa kesempatan, menteri pertahanan era Presiden Jokowi kembali memopulerkan istilah “makar” kepada publik terutama saat ada beberapa orang yang menyuarakan ajakan people power.

Masyarakat pun akhlrnya mulai latah, ikut’ikutan rnenggunakan istilah “makar” yang sebenarnya tldak ia pahaml artinya. Seolah dianggap hal biasa, padahal makar merupakan kejahatan serius dengan ancaman pidana berat bagi pelakunya.

lsu makarjuga berpotensi mengakibatkan kegaduhan di tengah masyarakat. Seperti yang terjadi beberapa waktu yang lalu, adanya agenda diskusi bertajuk “Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” yang diselenggarakan sekelompok mahasiswa akhirnya dibatalkan karena ada teror kepada narasumber dan penyelenggaranya.

Padahal, darijudulnya, diskusi tersebut sama sekali tidak mengindikasikan adanya upaya makar menggulingkan pemerintah yang sah. Maka, aneh jika peneror menganggapnya sebagai makar, bahkan sampai rnengancam akan membunuh panitia penyelenggaranya.

Adanya keanehan tersebut mendorong publik untuk mencari-cari apa pemicu di balik teror tersebut. Salah satu yang ditemukan dan menjadiviral adalah artikel yang ditulis seorang akadernisi berinisial BPW dengan judul “Gerakan Makar di UGM Saat jokowi Sibuk Atasi Covid-l9”. Dalam tulisannya, BPW menilai bahwa rencana diskusi tersebut adalah makar. Meski diakuinya hanya sebatas opini sederhana, bukan berarti orang bebas dalam beropini. Ada batasan tertentu kapan opini merppakan bagian dari kebebasan berpendapat dan kapan sudah masuk dalam ranah pidana.

Jauh dari Makar

Menurut Abdul Hakirn G Nusantara (1995), hukum pidana politik merupakan sarana hukum untuk melindungi kepentingan negara dari musuh-musuh politiknya yang memiliki maksud mengubah sistem politik dan pemerintahan negara. Perbuatan yang dilarang di dalamnya dikenal dengan sebutan delik atau kejahatan politik. Sekalipun bukan merupakan istilah hukum (juridicatterm), istilah ini sudah sejak lama dikenal dalam perbincangan akadernik dan masyarakat {academic and social term).

Stephen Schafer, misalnya, mengidentifikasi setidaknya ada sembilan jenis kejahatan yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan politik, salah satunya kejahatan terhadap negara/keamanan negara. Dalam KUHP, kejahatan terhadap keamanan negara diatur dalam Bab I Buku Kedua yang salah satunya adalah makar.

Dengan melihat konstelasi politik saat ini, pasal makaryang potensial digunakan penguasa atas nama melindungi kepentingan negara adalah pasal 107, yakni makar yang dilakukan dengan maksud menggulingkan pernerintah yang sah. Maksud menggulingkan pemerintah yang sah di sini dapat berupa perbuatan mengubah bentuk pemerintahan dengan cara tidak sah, mengubah tata cara penggantian kepala negara dengan cara tidak sah, atau mengubah sistem pemerintahan dengan cara tidak sah.

Pasal 107 KUHP inilah yang digunakan untuk menjerat beberapa pihak yang menyuarakan ajakan people powerselepas pemilihan presiden dan wakil presiden pada 2019 lalu. Pasal ini pula yang tampaknya oleh BPW dianggap layak digunakan untuk menjerat para pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan diskusi hanya karena dalam judulnya menyantumkan frasa “pemecatan presiden”.

Tidak sesederhana itu. KUHP memang tidak memberikan definisi mengenai makar (aanslag). Namun, Pasal 87 KUHP menjelaskan bahwa “makar untuk melakukan suatu perbuatan” dianggap ada apabila niat untuk itu telah ternyata dengan dilakukannya perbuatan permulaan pelaksanaan.

Dalam berbagai literatur hukum pidana, suatu perbuatan dlkatakan sudah sampai pada tahap perrnulaan pelaksanaan jika perbuatannya benar-benar telah mendekatkan pada delik yang dituju atau dimaksud dan harus tidak ada keraguan lagi bahwa apa yang telah dilakukan ditujukan atau diarahkan untuk mewujudkan delik yang diinginkan.

Dari ciri tersebut, agenda diskusiyang akan membahas pemberhentian presiden sangat jauh dari makar karena sama sekali tidak ada perbuatan yang dekat dengan upaya menggulingkan presiden secara tidak sah. Bahkan, indikasi niat ke arah sana saja belum ada. Apalagi, dalam judul diskusi jelas disebutkan “ditinjau dari sistem ketatanegaraan” dan dalam UUD 1945 menrang ada pengaturan mengenai pemakzulan presiden sehingga mendiskusikannya merupakan hal yang wajar.

Perlu Ada Pelajaran

Dalam kasus teror terkait agenda diskusi pemberhentian presiden, setidaknya ada dua pihak yang bisa diproses secara hukum. Pertama, pihak peneror. Kedua, BPW. Pihak peneror dapat dikenakan ketentuan Pasal 45B7uncro Pasal 29 UU ITE yang mengatur perbuatan dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang berlsi ancaman kekerasan atau menakuti-nakuti yang ditunjukkan secara pribadi. Karena peneror melakukan perbuatannya menggunakan telepon seluler dan nomor yang digunakan sudah pasti tidak aktif lagi, tentu akan ada hambatan untuk melacaknya.

Meski ada hambatan, hal ini menjadi tantangan bagi pihak kepolisian untuk menemukan penerornya. Terlebih, dalam pesan yang sudah tersebar, peneror mengaku berasal dari salah satu ormas keagamaan besar di lndonesia. Pengakuan tersebut sangat konyol dan secara nalar nyaris mustahil ada peneror yang ‘Jujur” menyebut afiliasinya. Selain itu, ormas tersebut belakangan ini banyak menunjukkan sikap kritis terhadap pemerintah, mulai dari RUU minerba, RUU cipta lapangan kerja, RUU revisi UU KPK, hingga kebijakan pemerintah dalam
penanganan pandemi Covid-19.

Dari sinilah publik mulai berasumsi ada campur tangan penguasa di balik aksi teror tersebut. Terlebih, pola teror semacam ini pernah identik dengan penguasa pada era Orde Baru. Asumsi publik tersebut dapat ditepis jika kepolisian berhasil menangkap pelakunya, apalagi jika di pengadilan dapat dibuktikan bahwa aksi tersebut steril clari campur tangan penguasa. Namun, sebaliknya, jika kepolisian gagal menangkap pelakunya, bukan mustahil asumsi itu akan semakin menguat, seperti yang terjadi pada kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan, dan pada gilirannya akan menurunkan martabat pemerintah di mata publik.

Adapun untuk BPW, artikelnya sudah mengarah pada ujaran kebencian sehingga masuk ke ranah pidana. la bisa dikenai Pasal 45A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) UU ITE atas perbuatannya yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA.

Pasal tersebut dirumuskan sebagai delik formil. Artirrya, tidak harus telah menimbulkan akibat tertentu, tetapi cukup ada unsur kehendak untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan. Ada juga inclikasi bahwa artikel itu menjadi pemicu terjadinya tindakan teror kepada narasumber dan penyelenggara diskusi. Meskipun semua itu nanti bergatung pada pembuktian di pengadilan, paling tidak fakta dan indikasi yang ada dapat menjadi dasar bahwa BPW layak untuk diproses secara hukum.

Proses hukum terhadap dua pihak tersebut penting dilakukan. Jika pengadilan menyatakan bersalah, pidana yang dijatuhkan nantinya bukan sebagai bentuk pembalasan, melainkan untuk kebaikan pelaku sendiri dan masyarakat. Sebagaimana dikatakan Plato: “nemo prudents punit, quia peccatum, sed ne peccetur’ (seorang bijak tidak menghukum karena dilakukannya dosa, tetapi agar tidak lagi dilakukan dosa). Jadi, melakukan proses hukum dalam kasus ini merupakan jalan kemuliaan.

 

Tulisan ini sudah dimuat dalam REPUBLIKA.co.id,  2 Juni 2020.

 Fakultas Hukum UII, Kamis 28 April 2012. Bertempat di Ruang Pertemuan AVA SMA Negeri 3, Departemen Hukum Pidana FH UII menyelenggarakan Seminar dan Focus Group Disscussion (FGD) dengan tema “Penanganan Tindak Kekerasan pada Remaja sebagai Pelaku dan Korban disekolah”.

Pada Seminar dan FGD tersebut menghadikan Pembicara Seminar Prof. Dr. Ki Supriyoko. MM.Pd (Pakar Pendidikan Ketua Pendidikan dan Kebudayaan Majelis Luhur Taman Siswa Yogyakarta) dan Dr. Salman Luthan, SH., M.H. (Dosen Hukum Pidana FH UII – Hakim Agung RI) serta Fasilitator FGD Dr. Aroma Elmina Martha, SH., MH.,(Direktur Program International Program FH UII – Dosen Hukum Pidana FH UII) dan M. Abdul Kholiq, SH., M.Hum. (Ketua Departemen Hukum Pidana FH UII – Dosen Hukum Pidana FH UII).
Seminar dan FGD yang dibuka oleh Wakil Dekan FH UII, Dr. Saifudin, SH., M.Hum. tersebut menurut beliau merupakan salah satu kegiatan untuk menjalankan fungsi dharma perguruan tinggi yang berupa pengabdian pada masyarakat. Kegiatan ini dilatari dari perkembangan IT yang begitu pesat sehingga neyebabkan semakin meningkatnya kenakalan remaja seperti pergaulan bebas, narkoba, perkelahian, pengeroyokan sampai geng motor. Karena ini sudah  menjadi tugas kita semua untuk menanganinya maka melalui FGD ini secara bersama-sama peserta dapat mempelajari substansinya,  untuk mencegah dan menangani kenakalan remaja. Untuk mendukung suksesnya Seminar dan FGD ini Departemen Hukum Pidana FH UII menghadirkan pembicara dan  dan fasilitator FGD yang kompeten di bidangnya.
Sedangkan Drs. Sumantri mewakili Kepala Sekolah SMA Negeri 3 Yogyakarta sangat menyambut baik atas kegiatan yang digagas oleh Departemen Pidana FH UII. Lebih jauh dikatakan oleh Drs. Sumantri yang juga merasa prihatin atas meningkatnya kenakalan remaja pada akhir-akhir ini, namun alhamdulillah menurut beliau, di SMA Negeri 3 unsur-unsur kekerasan tersebut tidak pernah ditemukan, kalau toh itu ada hanya sedikit dan karena pengaruh dari luar. Menurut beliau kenakalan remaja semakin meningkat dikarenakan pendidikan kognitif di sekolah-sekolah lebih diutamakan dari pada pendidikan budi pekerti sehingga perilaku dan sikap anak menjadi kurang mempunyai unggah-ungguh meskipun pada dasarnya mereka semua adalah anak yang baik.
Pada Seminar dan FGD tersebut Prof. Dr. Ki Supriyoko. MM.Pd menyampaikan materi dengan tema “MENCEGAH KEKERASAN DI SEKOLAH DALAM PENDEKATAN PENDIDIKAN” sedangkan Dr. Salman Luthan, SH., MH., menyampaikan materi dengan tema “KEKERASAN KEPADA ANAK  SEBAGAI PELAKU DAN KORBAN DI SMA”