Tag Archive for: Fakultas Hukum UII Yogyakarta

Pada hari Jumat tanggal 26 April 2013, masyarakat internasional memperingati hari hak kekayaan intelektual ke-13. Dalam konteks ini seringkali peringatan ini dijadikan momentum oleh masyarakat internasional maupun negara-negara di dunia ini untuk lebih menguatkan lagi arti penting HKI dalam mendorong kemajuan peradaban manusia. Saat ini tema yang diusung oleh WIPO dalam rangka peringatan hari HKI Se-Dunia Ke-13 adalah Innovation for the Next Generation, sedangkan tema yang diangkat oleh Direktorat Jenderal HKI adalah Inovasi Tiada Henti Untuk Kejayaan Negeri.

Bagi bangsa Indonesia, HKI harusnya menjadi sebuah kesadaran kolektif guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk mencapai hal demikian, maka gerakan HKI benar-benar harus mampu melibatkan seluruh komponen anak bangsa. Gerakan HKI hendaknya tidak hanya bersifat parsial, sporadik, dan dilaksanakan oleh beberapa gelintir kelompok tanpa suatu arah yang jelas, tetapi harusnya menjadi suatu gerakan yang komprehensif, sistemik, dan melibatkan partisipasi yang seluas-luasnya dari masyarakat dengan berfokus pada suatu tujuan yakni membangun kesejahteraan masyrakat Indonesia melalui HKI.

 

Catatan atas Kesadaran HKI

Bangsa Indonesia selama ini senantiasa dipersepsikan sebagai masyarakat yang belum secara optimal memiliki kesadaran HKI. Persepsi ini sebenarnya lebih disebabkan karena beberpa alasan. Setidaknya ada dua alasan yang menguatkan hal ini, yakni; Pertama, masih maraknya pelanggaran-pelanggaran HKI yang dilakukan bangsa Indonesia. Semisal dalam kasus pelanggaran music dan lagu menurut Anggota Dewan Pengurus Asosiasi Industri Rekaman Indonesia Jusak Irwan Sutiono ada penjualan download lagu Indonesia secara ilegal sebesar lebih dari 6 juta lagu. Misalnya 1 lagu harganya Rp 3.000 maka potensi kerugian Indonesia alias industri musik per hari sebesar Rp 18 miliar/hari.; Kedua, masih rendahnya permohonan HKI yang diajukan oleh masyarakat Indonesia, khususnya dalam hal pengajuan permohonan paten. Menurut data Direktorat Jenderal HKI  paten PCT Luar Negeri berjumlah 4839, Paten PCT Dalam Negeri berjumlah 8 pada tahun 2011.

Di samping persepsi kesadaran HKI masyarakat Indonesia belum optimal, hal ini juga tidak terlepas dari lemahnya sistem pengelolaan HKI baik di Pusat maupun di Daerah. Indikasi lemahnya sistem pengelolaan HKI ini nampak terlihat manakala HKI saat ini masih dianggap menjadi urusan dari Kementerian Hukum dan HAM RI apabila ada di Pemerintah Pusat, sedangkan HKI menjadi urusan dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan apabila ada di Pemerintah Daerah.

Dengan hal demikian, maka dapat dikemukakan bahwa persoalan kesadaran HKI di Indonesia sesungguhnya masih menjadi hal serius. Keseriusan itu, disebabkan pemahaman HKI masyarakat Indonesia yang rendah tidak saja dialami oleh masyarakat yang notabenenya sebagai pelaku HKI, seperti pencipta, pendesain, inventor dan seterusnya, tetapi juga dialami juga oleh aparatur pemerintahan baik di Pusat maupun Daerah yang notabenenya aparatur pemerintahan tersebut adalah pihak yang diharapkan dapat membangun kesadaran HKI masyarakat Indonesia lebih baik lagi.

 

Gerakan Kolektif Sadar HKI

Melihat pada realitas kesadaran HKI masyarakat Indonesia, maka tegaslah saat ini masyarakat Indoensia dalam hal membangun kesadaran HKI masih dilakukan secara parsial, sporadic, tidak focus dan pihak yang terlibat pun masih sangat sedikit. Sifat parsial dari kesadaran HKI. Alhasil, gerakan sadar HKI hanyalah menjadi sebuah rutinitas dan miliki segelintir kelompok masyarakat tertentu saja.Di samping itu juga, pengembangan sistem HKI baik di Pusat maupun di Daerah berkembang secara lambat dan cenderung belum responsive dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri.

Menyadari hal tersebut, momentum peringatan hari HKI Se-Dunia Ke-13 pada tanggal 26 April 2013 semestinya dapat dijadikan oleh bangsa Indonesia sebagai titik tolak menggerakan kesadaran HKI yang sifatnya kolektif. Dengan membangun gerakan sadar HKI kolektif tentunya, HKI yang selama ini dikembangkan dan diterapkan di Indonesia pada akhirnya dapat membawa dampak terhadap upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia itu sendiri. Hal ini tentunya juga, sejalan dengan tujuan HKI yang tertuang di dalam Article 7 TRIPS Agreement bahwa HKI pada dasarnya dikembangkan dan diterapkan guna meningkatkan kesjahteraan masyarakat. Wallahu’alam bis Shawab.

 

Budi Agus Riswandi

Direktur Eksekutif Pusat HKI Fakultas Hukum UII

 

Berita mengenai maraknya praktek plagiasi karya ilmiah di Perguruan Tinggi dengan kuantitas hingga 100 orang dosen untuk melakukan kenaikan pangkat dari jenjang lektor, lektor kepala hingga guru besar menjadi sesuatu yang memprihatinkan sekaligus memilukan dalam konteks masa depan pendidikan tinggi di Indonesia. Betapa, tidak perguruan tinggi yang notabene-nya merupakan institusi yang mencetak generasi penerus bangsa dan diharapkan dapat menghasilkan intelektual yang sejati baik dari sisi knowledge maupun integritas telah dinodai dengan perbuatan plagiasi yang dilakukan oleh dosen selaku pendidik di perguruan tinggi.

Oleh karena itu, menjadi sangat wajar manakala terjadi perbuatan plagiasi yang sedemikian rupa ini seharusnya mulai direnungkan kembali bagaimana bangsa ini mensikapi maraknya perbuatan plagiasi.

Plagiasi dan Ketidakjujuran

Plagiasi atau plagiat merupakan sebuah peristilahan yang sangat dikenal dikalangan ilmuwan dan intelektual. Istilah plagiasi sendiri sebenarnya merujuk pada suatu perbuatan dalam konteks pembuatan karya ilmiah yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah dan etika penulisan karya ilmiah. Semisal, mengutip pendapat orang dengan tidak menyebutkan sumbernya. Sementara itu, orang yang melakukan perbuatan plagiasi sering disebut dengan plagiator.

Ada hubungan antara perbuatan plagiasi dengan persoalan moralitas bangsa ini. Praktek plagiat dikalangan ilmuwan dan intelektual pada dasarnya merupakan suatu perbuatan yang dianggap tidak beretika/bermoral. Bentuk konkrit dari perbuatan tidak bermoral ini terrepresentasikan dalam hal adanya ketidakjujur ilmuwan atau intelektual atas ilmu yang ia kembangkan.

Apabila diperhatikan bentuk ketida jujuran merupakan basis moral yang kini sangat langka ditemukan di Indonesia. Rasanya di negara ini sangat sulit menemukan orang jujur daripada menemukan orang pintar. Oleh karena itu, menjadi persoalan serius manakala, perbuatan plagiasai ini eskalasinya terus meningkat di Indonesia. Betapa seriusnya persoalan ini karena diyakini dengan maraknya sikap tidak jujur dari kalangan pendidik/dosen dalam membuat karya ilmiah akan berdampak lanjutan pada ketidak jujuran lainnya dalam pengembangan pendidikan di Indonesia. Akibatnya, tidak mengherankan apabila kualitas integritas hasil pendidikan saat ini menjadi sangat rendah.

Maka, tidak mengherankan dalam praktek kehidupan sehari-hari banyak ditemukan masyarakat Indonesia hampir sebagian besar, berikut para penyelenggaraan pemerintahannya saat ini hidupnya penuh dengan kepura-puraan kalau tidak dikatakan mereka hidup dengan penuh ketidakjujuran. Contoh yang paling dekat saat ini, dapat dilihat pada kasus penangkapan ketua MK, di mana ia seorang yang bergelar doktor kemudian tertangkap tangan oleh KPK sedang melakukan korupsi. Padahal, sebelumnya ia nampak garang dengan gejala korupsi yang ada di Indonesia. Ini adalah fakta yang tidak dapat kita abaikan.

Gerakan Sosial Anti Plagiasi

Melihat implikasi dari perbuatan plagiasi terhadap masa depan bangsa yang sangat berbahaya ini, maka harusnya pemerintah dan institusi terkait lainnya, seperti institusi pendidikan harusnya dengan serius melakukan langkah-langkah strategis guna menghilangkan perbuatan plagiasi itu sendiri. Setidaknya perbuatan plagiasi dapat ditekan sedemikian rupa keberadaannya.

Salah satu yang perlu dilakukan dalam konteks ini adalah menjadikan gerakan anti plagisasi sebagai gerakan sosial. Gerakan sosial anti plagiasi merupakan perluasan dari gerakan hukum dan merupakan pengejawantahan dari langkah-langkah strategis dalam menekan perbuatan plagiasi itu sendiri. Adapun gerakan sosial yang dimaksudkan adalah dengan cara mengajak seluruh komponen bangsa ini untuk sepakat menyatakan tidak pada segala bentuk perbuatan plagiasi.

Diharapkan dengan adanya gerakan sosial semacam ini, maka sanksi sosial akan dapat memperberat sanksi hukum. Bagaimanapun, dua sanksi ini dapatlah dijadikan sarana efektif ke depan dalam mencegah perbuatan plagiasi yang telah menjadi akar dari kebobrokan bangsa ini secara moral. Di samping itu, dengan adanya dua macam sanksi ini diharapkan bangsa ini benar-benar dapat mewujudkan apa yang menjadi komitmen para founding fathers bangsa ini, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mensejahterakan masyarakat Indonesia.

 

Budi Agus Riswandi

Direktur Eksekutif Pusat HKI FH UII

 

Masih ingatkah kasus Merek Sulotco Kalosi Toraja Coffee dengan gambar rumah Toraja yang didaftar dan dimiliki oleh IFES Inc. Corporation California dengan Nomor Pendaftaran 74547000. Hal ini tentu, menjadi pembelajaran yang amat luar biasa. Salah satunya, banyak ternyata pihak-pihak asing yang saat ini menaikan daya saing produk mereka melalui pendomplengan atas nama-nama produk-produk khas dan berkualitas bangsa Indonesia. Dari hal ini sangat penting kiranya nama-nama produk khas dan berkualitas ini dapat dilindungi melalui sistem indikasi geografis Indikasi (IG) dalam rangka meningkatkan daya saing produk.

Indikasi Geografis: Tanda Kawasan untuk Produk /Khas

Barangkali selama ini kita sudah mengetahui di Indonesia terdapat beberapa produk yang punya kekhasan dan berkualitas dan hal ini sekaligus menjadi produk unggulan. Beberapa produk tersebut seperti, Salak Pondoh Sleman, Kopi Kitamani Bali, Lada Putih Muntok, Tembakau Mole Sumedang dan banyak lagi yang lainnya. Produk-produk tersebut pada dasarnya merupakan produk yang memiliki potensi didaftarkan IG-nya.

IG merupakan suatu tanda yang digunakan terhadap barang yang memiliki asal geografis tertentu dan juga memiliki kualitas atau reputasi yang ditimbulkan oleh tempat asal tersebut. Pada umumnya IG terdiri dari nama tempat asal barang tersebut. Tujuan dari pendaftaran IG agar produk tersebut dapat dilindungi secara hukum. Perlindungan terhadap IG bersifat kolektif, yaitu merupakan perlindungan yang diberikan terhadap suatu produk yang dihasilkan oleh suatu produk yang dihasilkan oleh suatu wilayah tertentu (Sugiono Moeljopawiro dan Surip Mawardi, 2010).

IG muncul dan lahir beberapa abad yang lalu di Eropa. IG sendiri mencakup pada nama tempat dari asal barang. IG adalah suatu tanda yang digunakan pada barang yang mempunyai asal wilayah spesifik dan memiliki kualitas dan reputasi yang diakibatkan oleh asal tempat (Dora de Teresa, 2003). Di dunia telah banyak produk-produk dengan yang memiliki kualitas dan reputasi disebabkan oleh tempat dimintakan IG. Hal ini seperti; anggur champagne (perancis),  keju parmigiano (italia), brandy pisco (peru)—produk-produk ini telah terdaftar sebagai ig di Indonesia (Riyaldi, 2012).

Dengan memperhatikan pada pengertian IG, maka jelaslah bahwa IG itu merupakan tanda yang digunakan untuk produk yang memiliki khas dan berkualitas, dimana tanda tersebut mengacu kepada nama kawasan dari produk tersebut.

Implikasi Sertifikasi IG terhadap Peningkatan Daya Saing Produk

IG pertama kali muncul dalam World Trade Organization (WTO) sebagai bagian  dari Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPs), khususnya dalam Pasal 22 ayat (1) TRIPs Agreement. IG biasanya digunakan untuk menandai produk yang memiliki kekhasan dan kualitas yang disebabkan oleh faktor geografis, baik faktor alam dan/atau manusia. Untuk diperolehnya IG, maka harus dilakukan pendaftaran.

Pendaftaran IG sendiri merupakan sebuah mekanisme hukum yang dilakukan dengan cara  melakukan pelabelan atas produk ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementrian Hukum dan HAM dimana untuk mendapatkan label tersebut harus ada suatu standar produk baik dari sisi kelembagaan dan tata kelola serta mutu dan karakteristik produk yang dituangkan dalam buku persyaratan. Buku persyaratan merupakan suatu syarat pendaftaran IG, di mana memiliki fungsi apabila label IG atas suatu produk khas disetujui oleh Dirjen HKI, maka produk khas tersebut harus diproduksi oleh komunitas produk tersebut dengan mengacu kepada buku persyaratan tersebut.

Dengan memperhatikan hal-hal di atas, maka IG pada dasarnya dapat dipersamakan dengan upaya menstandarisasi produk khas suatu daerah/kawasan. Pemahaman ini dapat diketahui karena untuk mendapatkan sertifikat IG, sebuah komunitas produk khas hendaknya terlebih dahulu memiliki standar-standar mutu produk yang dapat menjelaskan kekhasan dari produk tersebut.

Selanjutnya, dengan dilakukan pendaftaran IG atas produk khas dan berkualitas, maka akan diperoleh manfaat sebagai berikut: Pertama, secara makro diharapkan akan meningkatkan kesejahteraan komunitas produk khas dan berkualitas serta masyarakat lainnya yang ada disekitar komunitas produk khas dan berkualitas tadi; Kedua, secara hukum, produk-produk khas dan berkaualitas yang ada di masing-masing daerah dapat dilindungi secara hukum; dan Ketiga, secara mutu dan kualitas, maka produk-produk khas dan berkualitas yang ada di daerah masing-masing akan dapat ditingkatkan lagi daya saingnya.

Wallahu’ala’bis shawab

 

Budi Agus Riswandi

Direktur Eksekutif Pusat HKI UII dan Ketua Umum ASKII

Penulis: Ayunita Nur Rohanawati, S.H., M.H.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Administrasi Negara

PANDEMI yang tak kunjung usai memberikan dampak luar biasa bagi pekerja di Indonesia. Berbagai permasalahan muncul di masing-masing perusahaan tempat pekerja bekerja. Seperti penjatuhan PHK saat pekerja menjadi penyintas Covid-19, tidak dibayarkan upah saat mengalami serangan Covid-19, pemaksaan melakukan pekerjaan saat terjangkit Covid-19 hingga menyebabkan besarnya penularan di lingkungan kerja.

Bahkan tak terpenuhinya hak jaminan sosial bagi pekerja serta hak memperoleh keselamatan dan kesehatan kerja yang layak menyesuaikan kondisi pandemi yang terjadi saat ini. Ketika pekerja menjadi penyintas Covid-19 adalah suatu hak bagi pekerja tersebut untuk beristirahat dan menjadi kewajiban untuk melakukan isolasi guna mencegah penularan virus ini. Perlu diingat bahwasanya yang sedang dihadapi dunia bukan sekadar penyakit biasa, melainkan wabah. Wabah yang mudah menular dari satu orang ke orang yang lain. Sehingga perlu penyikapan khusus terkait dengan kondisi yang saat ini terjadi.

Hukum Ketenagakerjaan Indonesia mengenal sebuah asas no work, no pay yang bermakna jika pekerja tidak bekerja, maka tidak akan mendapatkan upah. Hal ini juga sebagaimana yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, pada Pasal 40 ayat (1). Pasal ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab pada pekerja atas amanah pekerjaan yang dimilikinya di tempat kerja.

Ketentuan tersebut harus dipahami lebih lanjut sebagaimana yang telah disebutkan dalam pasal-pasal lanjutan tentang adanya pengecualian kondisi terkait pemberlakuan no work, no pay ini. Pada Pasal 40 ayat (2) dan (3) PP No 36 Tahun 2021 disebutkan bahwasanya pengecualian atas no work, no pay tersebut salah satunya dalam kondisi pekerja berhalangan melaksanakan pekerjaan karena sakit sehingga menyebabkan pekerja tidak dapat melakukan pekerjaan. Pengecualian tersebut bermakna, pekerja tetap memperoleh haknya berupa upah walaupun tidak melaksanakan pekerjaan karena kondisi sakit. Sehingga tidak dibenarkan adanya pemberlakuan no work, no pay dalam suatu tempat kerja bagi para pekerja yang menjadi penyintas Covid-19.

Pada kasus-kasus yang terjadi di lapangan terkait kondisi pekerja yang dipaksa tetap bekerja walau sedang terpapar Covid-19 yang dianggap tidak bergejala berat tidak dapat dibenarkan. Karena hal ini sama dengan melenggangkan persebaran virus dan tentunya merugikan banyak pihak termasuk perusahaan itu sendiri.

Pemenuhan alat keselamatan dan kesehatan kerja yang sesuai dengan kondisi pandemi saat ini juga menjadi hal yang sangat penting. Keselamatan yang bermakna kondisi lingkungan kerja yang tidak membahayakan pekerja dalam masa pandemi Covid-19, misalnya dengan memastikan dan menjamin tempat kerja memiliki sirkulasi udara yang baik sehingga dapat meminimalisasi penyebaran virus. Kemudian kondisi keselamatan pekerja dalam melaksanakan pekerjaan di masa pandemi ini dengan menyediakan alatalat yang mencegah penularan virus. Seperti masker, disinfectan spray, handsanitizer, pemberian multivitamin, dan sebagainya.

Regulasi telah mengatur sedemikian rupa tentang pengecualian ketentuan no work, no pay. Hanya saja ketentuan ini belum menjadi sempurna karena tidak ada ancaman sanksi administratif maupun pidana manakala tidak dipatuhi. Hal ini bukan menjadi alasan untuk tidak menegakkan ketentuan. Karena pada UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mengatur mengenai upaya hukum yang dapat ditempuh, manakala terjadi sengketa hubungan industrial. Juga diatur mengenai mekanisme penyelesaian sengketa terkait dengan sengketa hubungan industrial yang terjadi di Indonesia. Termasuk sengketa hubungan industrial yang terjadi saat pandemi ini.

Tulisan ini sudah dimuat dalam rubrik Analisis KR, 29 Juli 2021.

(Yogyakarta) Mangga arumanis memang telah dikenal luas sebagai mangga yang berkualitas karena memiliki rasa manis. Termasuk manga arumanis yang terdapat di Kabupaten Pemalang. Mangga Arumanis Pemalang memiliki pamor dan ciri khas tertentu yang disebabkan karena faktor alam dan faktor manusia. Bahkan pemasaran Mangga Arumanis Pemalang tidak hanya di dalam negeri saja, tetapi sudah menembus pasar mancanegara.

Logo Indikasi Geografis Mangga Arumanis Pemalang

 

Kesadaran masyarakat Pemalang akan potensi Mangga Arumanis Pemalang inilah yang mendasari untuk memberikan perlindungan hukum terhadap produk khas yang mereka miliki. Perlindungan hukum ini utamanya untuk menghindari persaingan usaha tidak sehat, selain itu juga guna peningkatan pendapatan yang akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Sehingga kelompok petani dan pengepul manga yang tergabung dalam Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis Mangga Arumanis Pemalang memohon pendaftaran indikasi geografis dengan nama Mangga Arumanis Pemalang dengan pendampingan Konsultan HKI Dr. Budi Agus Riswandi, SH., M.Hum dari Pusat Hak Kekayaan Intelektual, Hukum, Teknologi dan Bisnis Fakultas Hukum UII. Proses pendampingan terutama dalam menyusun buku persyaratan yang kemudian akan menjadi panduan indikator Mangga Arumanis Pemalang tersebut. Mangga arumanis yang tidak sesuai dengan buku persyaratan, maka tidak akan mendapat perlindungan indikasi geografis. Kemudian permohonan oleh PHKIHTB diajukan ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual.

Kawasan Indikasi Geografis Mangga Arumanis Pemalang

 

Lokasi pesebaran Mangga Arumanis Pemalang terletak di Kecamatan Kecamatan Taman, Pemalang dan Petarukan Kabupaten Pemalang Mangga (Mangivera Indica) Arumanis Pemalang adalah mangga arumanis dengan jenis kron 21 dan 143 yang dicirikan secara fisik tekstur halus daging tebal dan warna daging yang dekat dengan biji berwarna orange tua.

 

Dengan semakin meningkatnya kesadaran hukum masyarakat akan indikasi geografis, PHKIHTB bertekad untuk terus memberikan pelayanan dan pendampingan demi kesejahteraan masyarakat. (Putri Yan Dwi Akasih)

(Yogyakarta) Indikasi Geografis sebagai salah satu rezim hak kekayaan intelektual berpotensi memajukan perekonomian masyarakat di kawasan tertentu. Kabupaten Magelang telah melahirkan satu produk Indikasi Geografis yaitu Beras Mentik Wangi Susu Sawangan. Beras ini diproduksi di Kecamatan Sawangan Kabupaten Magelang Jawa Tengah.

Kawasan Indikasi Geografis Beras Mentik Wangi Susu Sawangan

Permohonan pendaftaran Indikasi Geografis ini dilakukan oleh Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis Beras Mentik Wangi Susu Sawangan (MPIGBMWSS) dan sudah terbentuk susunan kepengurusannya, yang terdiri dari anggota petani beras mentik wangi sawangan.  Permohonan pendaftaran Indikasi Geografis yang saat ini sedang dalam proses sertifikasi di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Logo Indikasi Geografis Beras Mentik Wangi Susu Sawangan

Pendaftaran Indikasi Geografis ini didampingi secara langsung oleh Pusat Hak Kekayaan Intelektual, Hukum, Teknologi dan Bisnis (PHKIHTB) Fakultas Hukum UII. Direktur PHKIHTB Dr.Budi Agus Riswandi, SH.,M.Hum selaku konsultan HKI secara langsung mengawal dan mendampingi proses melengkapi persyaratan baik substantif maupun administratif. Mulai dari penentuan nama Indikasi Geografis yang digunakan, Standart Operating Procedure (SOP), dan seluruh kelengkapan buku persyaratan.

Penggunaan nama Beras Mentik Wangi Susu Sawangan pun sebenarnya merupakan nama dari varietas unggul beras nasional yakni Beras Mentik Wangi Susu. Namun, karena memang ada ciri khas yang berasal karena faktor alam dan faktor manusia dan beras tersebut diproduksi di Kecamatan Sawangan maka nama yang diambil dan disepakati yaitu Beras Mentik Wangi Susu Sawangan. (Putri Yan Dwi Akasih)

Penulis: Ayunita Nur Rohanawati, S.H., M.H.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Administrasi Negara

PEMBAHASAN omnibus law RUU Cipta Kerja kian mem anas di Indonesia. Bidang ketenagakerjaan yang menjadi salah satu pembahasan dalam RUU Cipta Kerja tentu tak lep as dari permasalahan. Pada klaster ketenagakerjaan terdapat degradasi nilai kesejahteraan bagi pekerja di Indonesia, mu atannya tidak lebih baik dari yang diatur dalam regulasi sebe lumnya yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan atau yang lebih dikenal dengan UUK. Problematika tersebut antara lain mengenai Tenaga Kerja Asing (TKA), Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), alih daya (outsourcing), upah, dan sebagainya.

Pemerintah berkeyakinan, pembentukan RUU Cipta Kerja dengan metode omnibus law ini mampu meningkatkan investasi di Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan perekonomian di Indonesia. Hanya, pemerintah tidak boleh melupakan bahwasanya regulasi di Indonesia disusun dengan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila didalamnya yang merupakan dasar falsafah negara (philosofische grondslag). Termasuk dalam bidang ketenagakerjaan Indonesia.

Hubungan Industrial Indonesia yang merupakan ruh ketenagakerjaan di Indonesia sejatinya berjalan berlandaskan Pancasila. Ada nilai-nilai Pancasila yang terkandung dan diimplementasikan dalam regulasi ketenagakerjaan Indonesia.

Sila pertama Pancasila diimplementasikan dalam UUK tentang larangan melakukan PHK ketika pekerja sedang melaksanakan kewajiban agama menurut agama dan keyakinan masing-masing. Sila kedua Pancasila, sebagaimana tergambar dalam UUK bahwasanya kedudukan pekerja laki-laki dan perempuan adalah sama. Tidak ada pembedaan hak bagi pekerja laki-laki dan perempuan. Sila ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia diimplementasikan dalam UUK pada norma larangan PHK bagi pekerja yang memiliki perbedaan suku dengan pemberi kerja.

Selanjutnya, sila keempat Pancasila menggambarkan bahwasanya pembentukan UUK dilakukan lembaga legislatif sebagai wakil rakyat dan mengakomodasi kepentingan pihakpihak dalam hubungan industrial, yaitu pemerintah, pemberi kerja dan pekerja. Jaminan sosial sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945 merupakan perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial di Indonesia lahir dengan latar belakang untuk mampu menyelenggarakan jaminan sosial bagi seluruh akyat Indonesia tanpa terkecuali, termasuk pekerja.

Founding fathers mencitakan Pancasila sebagai penawar atas segala permasalahan bangsa. Namun hal ini tidak diimplementasikan dengan baik dalam omnibus law RUU Cipta Kerja. Dalam bidang ketenagakerjaan terdapat penurunan nilai kesejahteraan bagi pekerja. Hak bekerja bagi warga negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 mengalami penurunan dalam hal penghapusan jenis pekerja tetap menjadi pekerja kontrak untuk keseluruhan. Selain itu, alih daya bukan lagi untuk jenis pekerjaan noncore melainkan diperbolehkan untuk segala jenis pekerjaan.

Ketidakadilan akan terjadi manakala RUU Cipta Kerja disahkan yang memuat penghapusan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) menjadi Upah Minimum Provinsi (UMP) yang notabene besaran UMP lebih kecil dari UMK. Saat ini diberlakukannya UMK tidak menjamin pemberi kerja taat untuk melaksanakannya, lalu bagaimana jika ada penghapusan? Bagaimana bentuk keadilan bagi pekerja yang telah melaksanakan kewajibannya?

Degradasi nilai kesejahteraan bagi pekerja di Indonesia yang sangat terlihat jelas dalam RUU Cipta Kerja menggambarkan adanya pengesampingan nilai-nilai Pancasila sebagaimana yang dicitakan founding fathers. Hubungan Industrial yang terjalin antara pemerintah, pemberi kerja dan pekerja sejatinya harus berjalan secara harmonis. Pemberi kerja dan pekerja dapat mengimpelmentasikannya dengan melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing dengan fair dan baik. Pemerintah dapat mewujudkannya dengan membuat kebijakan yang tidak berat sebelah. Menjadikan Pancasila sebagai pakem utama tanpa meninggalkan satu nilai apapun dari Pancasila. Menjaga bersama Pancasila, demi keutuhan bangsa.

Tulisan ini sudah dimuat dalam rubrik Analisis KR, 3 Oktober 2020.

Penulis: Ayunita Nur Rohanawati, S.H., M.H.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Administrasi Negara

 

INDONESIA — juga sekitar 200 negara lain — menghadapi ancaman global pandemi corona virus disease 2019 (Covid-19). Bukan hanya dampak kesehatan, namun seluruh sektor termasuk perburuhan di Indonesia, terkena dampak. Kebijakan work from home ( WFH) tentu berpengaruh terhadap kondisi jalannya suatu usaha yang juga berdampak pada situasi perburuhan di lapangan. Bahkan kebijakan dan imbauan pemerintah untuk WFH dan social distancing juga tidak serta merta dapat dilaksanakan sepenuhnya. Pada jenis-jenis pekerjaan tertentu yang membutuhkan kontinuitas dalam proses produksinya.

Pandemi menyerang berbagai lini kehidupan. Di Indonesia, roda perekonomian semakin melambat, permintaan akan barang dan jasa di masyarakat tentu berkurang yang berimbas pada menurunnya faktor produksi. Permintaan yang menurun tentu mempengaruhi modal yang pasti angkanya mengalami penurunan secara signifikan. Tenaga kerja sebagai motor penggerak dalam proses produksi keberadaannya semakin lemah. Karena dampak dari pandemi bermuara pada ketidakmampuan pemberi kerja dalam membayar upah dalam kondisi pandemi.

Tanggal 17 Maret 2020 Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia mengeluarkan Surat Edaran Nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19. Pada intinya berisi pencegahan penyebaran dan penanganan Covid-19 di lingkungan kerja
serta pelindungan pengupahan bagi pekerja dalam kondisi pandemi. SE tersebut sejalan dengan Pasal 93 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK) tepatnya Pasal 93. Bahwasanya pengusaha tetap diberi kewajiban membayar upah dalam hal pekerja sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan.
Namun dalam situasi yang berkembang saat ini, terjadi peningkatan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan secara sepihak oleh pengusaha karena ketidakmampuan membayar upah pekerja. Pekerja tidak dapat menuntut banyak karena situasi dan kondisi dalam ketidakjelasan kapan berakhir. Dampak dari PHK sepihak ini semakin meningkatkan jumlah pengangguran di Indonesia. Tak ghanya pada sektor formal, dampak pandemi ini sangat dirasakan pekerja informal yang notabene tidak memiliki hubungan dengan siapapun.

Tak kalah mirisnya kondisi pekerja informal yang semakin lesu dari hari ke hari sejak di berlakukannya WFH dan imbauan social distancing. Bagi pengemudi ojek, hanya satu dua orang atau bahkan sama sekali tidak ada penumpang. Bagi pemilik warung makan, hiruk-pikuk pembeli di warung makan sudah tidak ada lagi. Setiap harinya berusaha mengurangi porsi jualan yang berujung pada tutupnya warung makan, padahal di satu sisi uang kontrakan warung harus tetap dibayar. Penjual-penjual kecil yang menjajakan dagangannya di tempat wisata ternyata tidak ada lagi wisatawan yang menyambanginya. Sungguh pemandangan yang membuat trenyuh.

Relasi perburuhan Indonesia melibatkan pemerintah di dalamnya, terutama dalam kondisi pandemi seperti saat ini. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 disebutkan bahwasanya pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia dan menjaminkan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Sejauh mana peran pemerintah dalam relasi perburuhan dalam situasi seperti sekarang ini? Menjadi tanda tanya besar melihat kondisi perburuhan di lapangan yang semakin tak menentu.

Saat ini yang dibutuhkan para pekerja di Indonesia adalah jaminan kesejahteraan berupa terpenuhinya kebutuhan sehari-hari, obat-obatan serta kemudahan memperoleh fasilitas kesehatan. Pascapandemi ini berakhir diharapkan akan ada jaminan bagi pekerja untuk mempertahankan pekerjaan serta memperoleh pekerjaan (kembali) guna keberlangsungan hidup pekerja dan keluarganya. Suatu harapan besar masyarakat Indonesia khususnya pekerja di Indonesia tentang langkah tegas pemerintah dalam menghadapi permasalahan ini. Ada hak-hak pekerja yang perlu diperhatikan dan dilindungi pemerintah sebagai pemangku kewajiban perlindungan pekerja dalam relasi perburuhan di Indonesia.

Tulisan ini sudah dimuat dalam rubrik Analisis KR, 4 April 2020.

Penulis: Ayunita Nur Rohanawati, S.H., M.H.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Administrasi Negara

AWAL 2020 mencuat kabar adanya mogok kerja yang dilakukan pekerja PT AFI, produsen es krim. Aksi dilakukan karena beberapa hal. Di antaranya tahun 2019 ada tingkat keguguran dan kematian bayi sebanyak kurang lebih 20 kasus. Mencuatnya kembali kasus terkait tidak terpenuhinya alat-alat keselamatan dan kesehatan kerja di perusahaan. Serta terlalu ketatnya waktu kerja yang terbagi atas shift. Padahal, 2017 menjadi saksi bisu mogok kerja yang dilakukan perusahaan tersebut. Karena banyaknya jumlah pekerja yang mengalami kecelakaan kerja akibat tidak diberikannya alat-alat keselamatan kerja dalam bekerja.

Sebagaimana diatur Pasal 78 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan atau yang lebih dikenal dengan UUK, buruh yang sedang hamil dilarang untuk dipekerjakan pada shift malam. Hal ini berkaitan dengan kondisi kesehatan. Sebab perempuan hamil membutuhkan perhatian yang lebih terkait dengan kondisi kesehatannya. Ini terkait ada janin yang sedang tumbuh di dalam rahimnya.

Regulasi Perburuhan

Wacana pemerintah untuk membuat regulasi dengan mekanisme omnibus law dengan salah satu RUU yang masuk adalah RUU Cipta Kerja, bertentangan dengan kondisi perburuhan Indonesia saat ini. Jika benar nantinya RUU Cipta Kerja ini disahkan, tak ada lagi tempat buruh menaikkan posisi tawarnya di depan pengusaha. Selain posisi pemerintah lemah pada regulasi ini, RUU Cipta Kerja menghapus sanksi pidana bagi pengusaha.

Jika pembiaran terhadap ketidakadilan ada di lapangan, apakah efektif sebuah regulasi disusun dengan posisi berat sebelah? Belum diberlakukan RUU tersebut, ternyata masih ada kondisi perburuhan yang masih jauh dari kata adil dan sejahtera. Bagaimana jika benar adanya RUU itu nantinya disahkan? Keseimbangan posisi antara buruh dan pengusaha dalam perjanjian kerja hanyalah semu belaka.

Sejatinya, buruh bekerja untuk memperoleh penghidupan yang layak demi menyejahterakan keluarganya. Hanya saja, praktik di lapangan dalam bekerja, tujuan buruh untuk mencapai kedua tujuan tersebut masih ada yang mengalami kesukaran. Dalam proses ini sangat diperlukan itikad baik dari pengusaha dalam memberi kerja serta kesadaran pengusaha akan tujuan Hubungan Industrial Indonesia yang sejalan dengan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 yaitu Warga Negara Indonesia berhak untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak.

Perempuan Buruh

Bukan kali pertama di Indonesia permasalahan perempuan buruh terenggut haknya untuk hamil dan melahirkan secara damai. Angan-angan menimang anak seketika runtuh dengan berbagai kondisi kerja yang dialami sehingga harus mengikhlaskan kehilangan janin dan bayi. Perempuan memang tidak memiliki kedudukan utama sebagai pencari nafkah dalam keluarga, namun ada kondisi-kondisi yang mengharuskan perempuan mengambil peranan untuk bekerja dan memperoleh penghasilan.

Dalam UUK ketentuan perlindungan bagi buruh perempuan yang melahirkan sudah tertera di sana dengan sangat jelas. Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) UUK yang menyebutkan bahwasanya buruh perempuan memiliki hak istirahat melahirkan selama 3 bulan, kemudian berlanjut pada kewajiban pengusaha untuk mengikutsertakan pekerjanya pada jaminan sosial di mana berkaitan erat dengan cakupan biaya melahirkan. Selain itu berlanjut pada hak si jabang bayi berupa tunjangan anak yang juga menjadi komponen gaji yang berhak didapatkan buruh tersebut.

Kondisi itukah yang melatarbelakangi pengusaha memberikan beban kerja yang semakin berat pada buruh perempuan yang hamil sehingga mengakibatkan kematian janin dan bayi dalam kandungan, demi menghindari tumpukan kewajiban-kewajiban bagi pengusaha yang berdampak pada kondisi keuangan perusahaan? Bukankah Indonesia telah mengatur dengan indahnya dalam hitam di atas putihnya pada Pasal 28A UUD NRI 1945 tentang jaminan hak hidup warga negara?

Tulisan ini sudah dimuat dalam rubrik Opini, Koran Kedaulatan Rakyat, 14 Maret 2020.

 

 

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Banyak orang yang salah memahami, atau sengaja memelintir, sebuah isu atau pernyataan yang sebenarnya sudah jelas struktur logika dan argumentasinya. Masalah keberlakuan hukum Islam di dalam kerangka hukum nasional yang pernah saya kemukakan, misalnya, bisa dielaborasi sebagai contoh

Dalam sebuah dialog interaktif di televisi, saya pernah mengutip pernyataan Bung Karno bahwa jika orang-orang Islam ingin agar di Indonesia keluar hukum-hukum Islam, rebutlah kursi-kursi kepemimpinan agarhukum-hukum di Indonesia bisa memuat aspirasi Islam.

Pernyataan saya itu dipertentangan dengan pernyataan saya yang lain ketika saya mengatakan, ada upaya untuk memberlakukan hukum Islam sebagai hukum yang eksklusif dengan gerakan tertentu yang berbau radikal. Di media sosial kemudian dikembangkan isu bahwa saya membuat pernyataan yang tidak konsisten. Padahal, pernyataan saya itu panjang dan konsisten tetapi diamputasi.

Memotong pernyataan

Para pembuat hoax sengaja memotong pernyataan yang saya ucapkan secara jelas. Saya mengutip pernyataan Bung Karno bahwa jika orang-orang Islam ingin agar hukum Islam berlaku di Indonesia, rebutlah kursi-kursi kepemimpinan DPR presiden, gubernur, dan lain-lain) agar aspirasi hukum Islam masuk ke dalam hukum Indonesia
Pernyataan ini dipotong begitu saja dari sambungannya yang tak terpisahkan, yakni isi pernyataan Bung Karno yang disadur dengan kalimat, “Begitu juga jika orang-orang Kristen ingin agar letter-letter Kristen menjadi hukum Indonesia, berjuanglah agar kursi-kursi kepemimpinan dan lembaga perwakilan diduduki oleh orang-orang Kristen.” Sambungan kalimat penting inilah yang diamputasi dari keseluruhan pernyataan saya.

Selain jelas bahwa kutipan pernyataan saya adalah dalam konteks untuk memilih pemimpin, jelas juga bahwa upaya perjuangan merebut kursi-kursi kepemimpinan nasional dan daerah di sejumlah lembaga negara berlaku juga bagi para pemeluk agama-agama lain.

Ekletisasi Hukum

Pernyataan Bung Karno pada pidato tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) yang saya kutip tersebut jelas memberi dua kesimpulan.

Pertama, bukan hanya orang-orang Islam yang berhak memperjuangkan hukum agamanya, tetapi juga pemeluk agama-agama lain: Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan sebagainya. Nilai-nilai hukum agama dan keyakinan serta budaya apa pun bisa masuk ke dalam nasional melalui proses demokratis.

Kedua, pembentukan hukum nasional kemudian diolah melalui proses eklektis di lembaga legislatif, yakni memilih nilai-nilai hukum dari berbagai agama, keyakinan, dan kultur yang disepakati sebagai kalimatun sarwa (pandangan yang sama) oleh para wakil rakyat dan pemimpin negara yang terpilih untuk kemudian diberlakukan sebagai hukum negara.

Produk dari proses eklektisasi itu kemudian bisa dikelompokkan menjadi dua Pertama, untuk hukum-hukum publik diberlakukan unifikasi hukum, yakni memberlakukan hukum-hukum yang sama untuk seluruh warga negara tanpa membedakan agama, ras, suku, dan kelompok sosialnya. Dalam hal khusus tentu bisa berlaku perkecualian sesuai dengan asas “lex specialis derogat legi generali

Kedua, untuk hukum-hukum privat (dan perdata pada umumnya) berlaku hukum agama, kepercayaan, dan adat masing-masing komunitas golongan penduduk. Sebenarnya hukum perdata Islam dan Adat sudah diberlakukan sejak zaman kolonial Belanda (1848) sehingga sejak dulu pun kita sudah mempunyai lembaga peradilan agama.

Hukum-hukum publik yang harus sama itu, misalnya, hukum tata negara, hukum administrasi negara, huicum pidana, hukum lingkungan, hukum pemilu, dan seba gainya. Adapun dalam lapangan hukum perdata, misalnya, ada hukum perka winan, hukum peribadatan (ritual). hukum waris dan wasiat, hukum penguburan jenazah, dan sebagainya.

Ada juga hukum-hukum agama di bidang keperdataan yang dituangkan di dalam UU tetapi hanya untuk memfasilitasi dan memproteksi bagi yang ingin melakukannya tanpa memberlakukan mewajibkan atau melarang) substansinya, misalnya UU Zakat, UU Ekonomi Syariah, UU Haji, dan sebagainya, yang keberlalu an substansinya tetap berdasar kesukarelaan. Itu pun tetap harus melalui proses ekletisasi.

Dengan demikian, nilai-nilai hukunt agama bisa menjadi sumber hukum dalam arti sebagai bahan pembuatan hukum (sumber hukum materiil) tetapi tidak otomatis menjadi sumber hukum formal (peraturan perundang-undangan) atau hukum yang berdiri sendiri.

Sumber hukum materiil tidak dengan sendirinya menjadi sumber hukum formal atau hukum yang berbentuk peraturan perundang-undangan. Ia hanya bisa menjadi hulum formal setelah melalui proses eklektisasi. Ajaran Islam memang menjadi sumber hukum, tetapi ia bukan satu-satunya sebab ajaran agama-agama dan keyakinan lain yang hidup di Indonesia juga menjadi sumber hukum.

Nilai-nilai hukum agama apa pun bisa masuk ke dalam hukum publik (nasional) jika disepakati oleh lembaga legislatif dalam proses eklektisasi. Adapun hukum privat (perdata) bisa berlaku dengan tanpa harus dijadikan hukum formal. Untuk hukum-hukum Islam yang tidak bisa menjadi hukum publik, nilai-nilai substantifnya tetap bisa dimasukkan, yakni ma qushid al syar’i atau tujuan syariahnya yang meliputi kemaslahatan umum dan tegaknya keadilan.

Tulisan ini telah dimuat dalam koran KOMPAS, 22 Juni 2018.