Tag Archive for: Fakultas Hukum UII

Departemen Hukum Administrasi Negara (HAN) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) menyelenggarakan Webinar Nasional dan Call for Paper yang mengusung tema “Pembaruan Hukum Administrasi Negara di Era Birokrasi Digital”. Acara tersebut dilaksanakan secara daring pada tanggal 28 September 2021, melalui media Zoom Meeting dan disiarkan juga pada kanal YouTube Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.

Kegiatan yang dilaksanakan secara daring ini dan mendapat atensi yang baik dari berbagai pihak. Dikemukakan Ketua Panitia, Ayunita Nur Rohanawati, S.H., M.H. pada Selasa (28/9), hal tersebut nampak dari banyaknya universitas maupun intansi yang bergabung dari berbagai wilayah di Indonesia. Disisi-lain, jumlah paper yang dipresentasikan di konferensi nasional ini, yaitu sebanyak 30 paper.

Pelaksanaan webinar nasional ditandai dengan sambutan dan pembukaan yang disampaikan oleh Rektor Universitas Islam Indonesia, yaitu Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D. Dalam sambutannya menjelaskan bahwa teknologi informasi berhubungan dengan hukum. Minimal ada 3 (tiga) aspek yang bisa diidentifikasi, yang pertama terkait hukum teknologi informasi sebagai produk. Hukum perlindungan data yang menjadi hal mewah. Yang kedua adalah hukum untuk TI sebagai alat bantu strategis. Misalnya terkait dengan barang dan jasa secara elektronik, terdapat juga UU ITE. Kemudian yang ketiga adalah teknologi informasi untuk penegakkan hukum.

Keynote Speaker yaitu Prof. Dr. H. Supandi, S.H., M.Hum. yang merupakan Ketua Kamar TUN Mahkamah Agung Republik Indonesia. Beliau menyampaikan materi tentang “Tantangan Peradilan Tata Usaha Negara di Era Birokrasi Digital”. Ia menjelaskan dunia mengalami perubahan, tuntutan masyarakat melakukan perubahan, karena optimalisasi penggunaan teknologi dalam era 4.0. Namun sarana dan prasarana yang belum terpenuhi secara merata mengakibatkan pihak dan SDM Pengadilan yang gagap teknologi.

Selanjutnya, Dr. Ridwan, S.H., M. Hum. merupakan dosen FH UII, departemen Hukum Administrasi Negara dalam materinya mengangkat tema “Diskresi Pemerintah di Era Birokrasi Digital”. Menurut, Dr.  Ridwan, S.H., M. Hum., penyebab kemunculan dan alasan atau tujuan penggunaan diskresi itu tidak selalu bahkan sangat jarang terjadi secara kumulatif. Hanya dengan satu alasan, misalnya mengisi kekosongan hukum (leemten in het recht), diskresi dapat digunakan. Apalagi dalam kondisi spesifik dan mendesak, penggunaan diskresi bukan sekedar dapat tetapi wajib, karena organ pemerintah dibebani kewajiban untuk melakukan tindakan demi kepentingan umum.

Pembicara kedua pada webinar ini yaitu Prof. Dr. I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, S.H., M. M., beliau merupakan seorang Guru Besar Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (HAN FH UNS). Beliau mengangkat tema, “Dinamika Kebijakan Perizinan Berusaha di Era Birokrasi Digital”.

Pembicara terakhir pada webinar ini yaitu Mokhammad Najih, S.H., M.Hum., Ph. D. beliau merupakan Ketua Ombudsman Republik Indonesia. Beliau mengangkat tema, “Pengawasan Pelayanan Publik di Era Birokrasi Digital (Kedudukan Lembaga Pengawas Eksternal Dalam Reformasi Birokrasi & E-Gov)”.

“Peran Ombudsman secara khusus dalam SPBE secara langsung tidak ada. Ombudsman hanya terlibat dalam pengembangan Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional (SP4N) dengan instrumen aplikasi SP4N-LAPOR! sebagai pengawas eksternal pelayanan public.” ujar Mokhammad Najih, S.H., M.Hum., Ph. D.

Senin, 20 September 2021, dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) terpilih menjadi Ketua PD APHTN-HAN DIY dengan masa pengabdian 2021-2026. Ia adalah Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum. yang merupakan Guru Besar Departemen Hukum Tata Negara (HTN) FH UII dan juga sebagai Dewan Penasihat Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK FH UII).

Allan Fatchan Gani Wardhana, S.H., M.H. selaku Direktur PSHK FH UII periode 2019-2022 dan dosen departemen HTN FH UII, berpendapat bahwa sangat menyambut baik dan apresiasi atas terpilihnya prof Nikmah sebagai Ketua PD APHTN-HAN DIY. Ia juga berharap agar Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum. senantiasa diberikan kesehatan dan kesuksesan dalam menjalankan amanah sebagai ketua.

“Sebagai murid beliau, terpilihnya Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum. merupakan bukti atas peran beliau dalam memajukan keilmuan HTN-HAN khususnya di wilayah DIY. Selain itu juga merupakan bukti bahwa beliau adalah sosok yang punya kapabilitas dan integritas. Semoga APHTN-HAN di DIY dapat berkiprah maju dan menjadi poros keilmuan” ujarnya.

Segenap keluarga besar FH UII mengucapkan selamat kepada Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum. atas diangkatnya sebagai Ketua PD APHTN – HAN DIY dengan masa Pengabdian 5 (lima) tahun. Semoga amanah yang diembah membawa keberkahan dan dapat melebarkan kebermanfaatan dalam membawa masyarakat menuju perubahan yang lebih baik. Aamiin.

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) mengadakan acara Serial Diskusi Akademik 80 Tahun Prof. Dr. Bagir Manan dengan Tema “ Peran Putusan Hakim Dalam Pembentukan Hukum Nasional” yang diselenggarakan pada hari Kamis, 17 Muharram 1443 H/ 26 Agustus 2021 tersebut terselenggara atas kerjasama antara FH dengan FH Universitas Padjajaran Bandung (UNPAD). Acara serial ini dibuka secara langsung oleh Dekan FH UII, Dr. Abdul Jamil, S.H., M.H., Pada sambutannya beliau mengatakan bahwa “ Hakim sebagai secondary lagislator, menjadikan dirinya dapat melakukan interpretasi sehingga dapat menyimpangi aturan yang dipandang tidak adil.”

Serial Diskusi Akademik 80 Tahun Prof. Dr. Bagir Manan dengan Tema “ Peran Putusan Hakim Dalam Pembentukan Hukum Nasional”, terselenggara dengan Keynote Speech disampaikan langsung oleh Menteri Politik, Hukum, dan Keamanan RI, Prof. Dr. Moh. Mahfud MD., S.H., S.U., M.IP. Beliau juga merupakan alumni dan Guru Besar FH UII.  Dalam pemaparannya, beliau menyampaikan bahwa Indonesia beberapa kali terdapat putusan yang bersifat landmark decission. Salah satunya  adalah putusan MK tentang PHPU yang menyatakan bahwa terdapat pelanggaran yang bersifat “terstruktur, sistematis, dan masif” yang mana hal ini kemudian digunakan dalam aturan-aturan seperti UU pemilu, PKPU, dsb. “Karena pada dasarnya hakim harus kreatif dalam menegakkan hukum untuk mencapai keadilan dan kemanfaatan “ungkapnya.

Tujuan dari pelaksanaan acara ini yaitu untuk memperingati hari ulang tahun ke 80 tahun Prof. Dr. Bagir Manan, guru besar FH UNPAD yang juga telah bergabung menjadi pengajar di FH UII sejak 30 tahun lalu. Prof. Bagir Manan dalam sambutannya menyampaikan bahwa peran hakim dalam pembangunan hukum dipengaruhi oleh proses pembelajaran di kampus. Acara yang diadakan secara langsung pada media zoom ini turut mengundang narasumber-narasumber yang ahli di bidangnya yaitu Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.Hum, dosen FH Udayana Bali, Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum , Guru besar FH UII, dan Prof. Simon Butt, BA., LL.B, Ph. D., Dosen University of Sydney Australia .

Menurut Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.Hum., Indonesia sangat dipengaruhi oleh Civil Law, sehingga lebih bergantung pada undang-undang yang dimana dasar pemikirannya yaitu menjamin kepastian hukum,  sehingga timbul istilah “hakim adalah hukum yang berbicara sedangkan UU adalah hakim yang diam.” Beliau juga menegaskan bahwa praktik di Indonesia lebih menggunakan praktik penalaran berdasarkan peraturan perundang undangan dan kurang mengembangkan penalaran berdasarkan asas yang ada.

Tidak hanya Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.Hum.,  Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum sebagai narasumber juga ikut berpendapat bahwa problematika dalam tindak lanjut putusan Mahkamah K0nstitusi (MK)  adalah pada political will oleh DPR dan Presiden. Menurutnya keduanya tidak menindaklanjuti atau malah membuat lagi aturan yang telah diputus inkonstitusional oleh MK.  Beliau mengungkapkan bahwa  tingkat kepatuhan terhadap putusan MK belum maksimal, salah satu contohnya Mahkamah Agung (MA)  yang tidak mau mengikuti MK dengan alasan mengikuti yurisprudensi.

“Meskipun hakim dalam common law dapat membentuk hukum, namun faktanya kebanyakan hakim terikat pada asas preseden/staredecisis, sedangkan dalam banyak hukum adat  tidak memiliki hukum tertulis dan database putusan/dokumentasi yang memadahi seperti common law system.” ucap Prof. Simon Butt, BA., LL.B, Ph. D.

Program Studi Hukum Program Doktor FH UII menyelenggarakan ujian terbuka disertasi (promosi doktor) dengan promovendus Asriadi Zainuddin, S.H.I, M.H (21/8). Promovendus Asriadi Zainuddin yang dalam kesehariannya menjadi dosen di Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Sultan Amai Gorontalo, merupakan salah satu penerima beasiswa Program Beasiswa 5.000 Doktor Kementerian Agama RI pada Tahun 2017.

Ujian terbuka disertasi yang berlangsung secara offline dan disiarkan secara online melalui Zoom dan youtube ini dibuka dan dipimpin langsung oleh Rektor UII Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc, Ph.D selaku Ketua Sidang di damping segenap Dewan Penguji lainnya yaitu Prof. Dr. Abdul Ghofur Anshori, S.H., M.H., (Promotor), Dr. Abdul Jamil, S.H., M.H. (Co-Promotor/Dekan FH UII), Prof. Jawahir Thontowi, S.H, P.hD (Kaprodi), Prof. Dr. Khoirruddin Nasution, M.A., Prof. Dr. Amir Mu’allim, M.IS., Prof. Drs. Ratno Lukito, M.A. DCL., dan Drs. Agus Triyanta, M.A., M.H., Ph.D.

Dalam pemaparannya, promovendus mengangkat judul disertasi : “Rekonstruksi Sistem Pencatatan Perkawinan dalam Upaya Pembaruan Hukum Perkawinan di Indonesia Studi Masyarakat Islam di Kota Makassar”. Hal yang melatarbelakangi promovendus mengangkat judul tersebut adalah adanya permasalahan implementasi pencatatan perkawinan di kota Makassar sebagaimana yang diamanahkan dalam Undang-Undang Perkawinan.

Hasil dari sidang tersebut, promovendus dinyatakan lulus dengan Indeks Prestasi Komulatif IPK 3,79 dengan predikat Cumloude. Hasil tersebut disampaikan oleh Rektor UII selaku ketua Sidang. “Atas nama Universitas Islam Indonesia, saya mengucapkan selamat pada Dr. Asriadi Zainuddin atas pencapaiannya. Dapat menyelesaikan program doktor kurang dari empat tahun. Mudah-mudahan dapat menginspirasi yang lain” ucapan selamat dari Rektor UII.

Penulis: Ari Wibowo, S.HI., S.H., M.H.

Dosen Fakutas Hukum UII, Departemen Hukum Pidana.

Pada zaman Orde Baru, istllah ‘subversi” dan “makar’ sangat tidak asing di telinga masyarakat, Bagalnrana tidak, delik subversi dan”nnkaLsant ltu sering terucap dari mulut para pejatbat untuk mengancam kelompok tertenru yang dianggap membahayakan kekuasaan. Pascareformasl, kedua istilah tersebut terdengar asing. Bahkan, Benerasi baru barangkall tak mengenalnya, “Subversi” sudah menjadi sejarah hukum yang hanya terdengar dl ruang-ruang kuliah fakultas hukum karena undang-undangnya telah dicabut. lstilah “makar’ nyaris tak pernah diucapkan lagi oleh penguasa meskipun sampai dengan saat lni pengaturannya masih eksis dalam KUHP.

Makar, terutarna yang dlatur dalam Pasal 1 07 KUHP, menl,:di salah satu delik primadona madona bagl penguasa Orde Baru untuk menghabisi musuh politiknya. Tidak jarang aktivis yang kritis dengan kebijakan penguasa dilibas dengan pasal makar karena dianggap punya maksud menggulingkan pem€rlntah yang sah. Lama tak terdengar, saat ini istilah “makar” kembali akrab di telinga publik.

Dalam beberapa kesempatan, menteri pertahanan era Presiden Jokowi kembali memopulerkan istilah “makar” kepada publik terutama saat ada beberapa orang yang menyuarakan ajakan people power.

Masyarakat pun akhlrnya mulai latah, ikut’ikutan rnenggunakan istilah “makar” yang sebenarnya tldak ia pahaml artinya. Seolah dianggap hal biasa, padahal makar merupakan kejahatan serius dengan ancaman pidana berat bagi pelakunya.

lsu makarjuga berpotensi mengakibatkan kegaduhan di tengah masyarakat. Seperti yang terjadi beberapa waktu yang lalu, adanya agenda diskusi bertajuk “Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” yang diselenggarakan sekelompok mahasiswa akhirnya dibatalkan karena ada teror kepada narasumber dan penyelenggaranya.

Padahal, darijudulnya, diskusi tersebut sama sekali tidak mengindikasikan adanya upaya makar menggulingkan pemerintah yang sah. Maka, aneh jika peneror menganggapnya sebagai makar, bahkan sampai rnengancam akan membunuh panitia penyelenggaranya.

Adanya keanehan tersebut mendorong publik untuk mencari-cari apa pemicu di balik teror tersebut. Salah satu yang ditemukan dan menjadiviral adalah artikel yang ditulis seorang akadernisi berinisial BPW dengan judul “Gerakan Makar di UGM Saat jokowi Sibuk Atasi Covid-l9”. Dalam tulisannya, BPW menilai bahwa rencana diskusi tersebut adalah makar. Meski diakuinya hanya sebatas opini sederhana, bukan berarti orang bebas dalam beropini. Ada batasan tertentu kapan opini merppakan bagian dari kebebasan berpendapat dan kapan sudah masuk dalam ranah pidana.

Jauh dari Makar

Menurut Abdul Hakirn G Nusantara (1995), hukum pidana politik merupakan sarana hukum untuk melindungi kepentingan negara dari musuh-musuh politiknya yang memiliki maksud mengubah sistem politik dan pemerintahan negara. Perbuatan yang dilarang di dalamnya dikenal dengan sebutan delik atau kejahatan politik. Sekalipun bukan merupakan istilah hukum (juridicatterm), istilah ini sudah sejak lama dikenal dalam perbincangan akadernik dan masyarakat {academic and social term).

Stephen Schafer, misalnya, mengidentifikasi setidaknya ada sembilan jenis kejahatan yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan politik, salah satunya kejahatan terhadap negara/keamanan negara. Dalam KUHP, kejahatan terhadap keamanan negara diatur dalam Bab I Buku Kedua yang salah satunya adalah makar.

Dengan melihat konstelasi politik saat ini, pasal makaryang potensial digunakan penguasa atas nama melindungi kepentingan negara adalah pasal 107, yakni makar yang dilakukan dengan maksud menggulingkan pernerintah yang sah. Maksud menggulingkan pemerintah yang sah di sini dapat berupa perbuatan mengubah bentuk pemerintahan dengan cara tidak sah, mengubah tata cara penggantian kepala negara dengan cara tidak sah, atau mengubah sistem pemerintahan dengan cara tidak sah.

Pasal 107 KUHP inilah yang digunakan untuk menjerat beberapa pihak yang menyuarakan ajakan people powerselepas pemilihan presiden dan wakil presiden pada 2019 lalu. Pasal ini pula yang tampaknya oleh BPW dianggap layak digunakan untuk menjerat para pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan diskusi hanya karena dalam judulnya menyantumkan frasa “pemecatan presiden”.

Tidak sesederhana itu. KUHP memang tidak memberikan definisi mengenai makar (aanslag). Namun, Pasal 87 KUHP menjelaskan bahwa “makar untuk melakukan suatu perbuatan” dianggap ada apabila niat untuk itu telah ternyata dengan dilakukannya perbuatan permulaan pelaksanaan.

Dalam berbagai literatur hukum pidana, suatu perbuatan dlkatakan sudah sampai pada tahap perrnulaan pelaksanaan jika perbuatannya benar-benar telah mendekatkan pada delik yang dituju atau dimaksud dan harus tidak ada keraguan lagi bahwa apa yang telah dilakukan ditujukan atau diarahkan untuk mewujudkan delik yang diinginkan.

Dari ciri tersebut, agenda diskusiyang akan membahas pemberhentian presiden sangat jauh dari makar karena sama sekali tidak ada perbuatan yang dekat dengan upaya menggulingkan presiden secara tidak sah. Bahkan, indikasi niat ke arah sana saja belum ada. Apalagi, dalam judul diskusi jelas disebutkan “ditinjau dari sistem ketatanegaraan” dan dalam UUD 1945 menrang ada pengaturan mengenai pemakzulan presiden sehingga mendiskusikannya merupakan hal yang wajar.

Perlu Ada Pelajaran

Dalam kasus teror terkait agenda diskusi pemberhentian presiden, setidaknya ada dua pihak yang bisa diproses secara hukum. Pertama, pihak peneror. Kedua, BPW. Pihak peneror dapat dikenakan ketentuan Pasal 45B7uncro Pasal 29 UU ITE yang mengatur perbuatan dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang berlsi ancaman kekerasan atau menakuti-nakuti yang ditunjukkan secara pribadi. Karena peneror melakukan perbuatannya menggunakan telepon seluler dan nomor yang digunakan sudah pasti tidak aktif lagi, tentu akan ada hambatan untuk melacaknya.

Meski ada hambatan, hal ini menjadi tantangan bagi pihak kepolisian untuk menemukan penerornya. Terlebih, dalam pesan yang sudah tersebar, peneror mengaku berasal dari salah satu ormas keagamaan besar di lndonesia. Pengakuan tersebut sangat konyol dan secara nalar nyaris mustahil ada peneror yang ‘Jujur” menyebut afiliasinya. Selain itu, ormas tersebut belakangan ini banyak menunjukkan sikap kritis terhadap pemerintah, mulai dari RUU minerba, RUU cipta lapangan kerja, RUU revisi UU KPK, hingga kebijakan pemerintah dalam
penanganan pandemi Covid-19.

Dari sinilah publik mulai berasumsi ada campur tangan penguasa di balik aksi teror tersebut. Terlebih, pola teror semacam ini pernah identik dengan penguasa pada era Orde Baru. Asumsi publik tersebut dapat ditepis jika kepolisian berhasil menangkap pelakunya, apalagi jika di pengadilan dapat dibuktikan bahwa aksi tersebut steril clari campur tangan penguasa. Namun, sebaliknya, jika kepolisian gagal menangkap pelakunya, bukan mustahil asumsi itu akan semakin menguat, seperti yang terjadi pada kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan, dan pada gilirannya akan menurunkan martabat pemerintah di mata publik.

Adapun untuk BPW, artikelnya sudah mengarah pada ujaran kebencian sehingga masuk ke ranah pidana. la bisa dikenai Pasal 45A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) UU ITE atas perbuatannya yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA.

Pasal tersebut dirumuskan sebagai delik formil. Artirrya, tidak harus telah menimbulkan akibat tertentu, tetapi cukup ada unsur kehendak untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan. Ada juga inclikasi bahwa artikel itu menjadi pemicu terjadinya tindakan teror kepada narasumber dan penyelenggara diskusi. Meskipun semua itu nanti bergatung pada pembuktian di pengadilan, paling tidak fakta dan indikasi yang ada dapat menjadi dasar bahwa BPW layak untuk diproses secara hukum.

Proses hukum terhadap dua pihak tersebut penting dilakukan. Jika pengadilan menyatakan bersalah, pidana yang dijatuhkan nantinya bukan sebagai bentuk pembalasan, melainkan untuk kebaikan pelaku sendiri dan masyarakat. Sebagaimana dikatakan Plato: “nemo prudents punit, quia peccatum, sed ne peccetur’ (seorang bijak tidak menghukum karena dilakukannya dosa, tetapi agar tidak lagi dilakukan dosa). Jadi, melakukan proses hukum dalam kasus ini merupakan jalan kemuliaan.

 

Tulisan ini sudah dimuat dalam REPUBLIKA.co.id,  2 Juni 2020.

Dalam memperingati 70 Tahun Hari Hak Asasi Manusia (HAM) sedunia yang jatuh pada tanggal 10 Desember 2018, Fakultas Hukum UII berkolaborasi dengan Pusat Studi Hak Asasi Manusia (PUSHAM), Norwegian Centre of Human Right (NCHR) dan Base for International Law and ASEAN Legal Studies (BILALS) sukses menyelenggarakan Seminar Internasional yang bertajuk “70 Years After UDHR: Indonesian American, and Norwegian on progress perspectives”. Seminar internasional ini mengundang tiga pakar Hak Asasi Manusia yang memiliki latar belakang kewarganegaraan yang berbeda, yaitu Eko Riyadi S.H.,M.H (Indonesia), Aksel Tomte (Norwegia), dan Cristopher Cason JD (Amerika Serikat). Read more

Sejak mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Salahuddin Uno mengundurkan diri pada 9 Agustus 2018, sampai saat ini penggantinya masih misteri.

Partai Gerindra dan PKS sebagai partai yang memiliki hak me ngu sulkan dua nama kandidat wagub baru un tuk dipilih melalui DPRD DKI Ja karta belum bersepakat hingga saat ini. Kekosongan posisi wagub dalam waktu yang lama dan dibiarkan tanpa kejelasan seperti saat ini mengindikasikan satu hal, yakni bahwa secara keta ta ne ga raan posisi wakil kepala daerah sesung guhnya tidak penting. Setidak nya ada tiga alasan yang dapat dijadikan parameter bahwa posisi wakil kepala daerah tidak begitu urgen. Pertama, tidak terdapat dampak apapun dari kekosongan kursi wagub DKI yang cukup lama. Read more

Penguatan Sistem Pengawasan

Hingga Oktober 2018, setidaknya ada sembilan belas (19) kepala daerah yang ditangkap KPK karena kasus korupsi. Kasusnya beragam, mulai dari menjual jabatan, suap pelaksanaan proyek, dan suap meloloskan APBD, setidaknya tiga modus perkara di atas yang paling banyak dilakukan. Bahkan di satu daerah, ada 41 dari 45 wakil rakyat melakukan korupsi jamaah bersama dengan kepala daerah. Kondisi ini, tentu dapat dilihat dari banyak perspektif, ongkos politik yang mahal, moral pemimpin yang bobrok, budaya masyarakat yang tidak mendukung, dan lain sebagainya. Tulisan ini akan melihatnya dari sistem pengawasan yang lemah. Read more

Tag Archive for: Fakultas Hukum UII

Nothing Found

Sorry, no posts matched your criteria