Masa Depan Perda
Dalam semua rezim Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, selalu memberikan kewenangan kepada Pemerintah Pusat untuk menilai dan membatalkan peraturan daerah. Dalam ilmu hukum, model ini dikenal dengan executive review yaitu kewenangan badan eksekutif untuk meninjau kembali. Jika suatu peraturan daerah dinilai bertentangan dengan kehendak pemerintah pusat atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka perda tersebut dapat dibatalkan oleh presiden (yang prakteknya dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri). Jika pemerintah daerah keberatan dengan Keputusan pembatalan perda dari pemerintah pusat, maka pemerintah daerah dapat menggugat Keputusan tersebut ke Mahkamah Agung (MA). Putusan MA ini lah yang nanti menjadi final dan mengikat, sayangnya hal ini jarang dilakukan mengingat kendali atas finansial masih menjadi kewenangan absolut pemerintah pusat.
Pada tahun 2016 lalu publik pernah diguncangkan dengan keputusan Presiden Jokowi yang membatalkan 3.143 Peraturan Daerah yang dianggap bermasalah. Tentu saja fenomena keputusan presiden ini mendapatkan perhatian serius dari banyak ahli hukum. Puncaknya, di tahun yang sama, ketentuan mengenai kewenangan pemerintah pusat membatalkan perda ini di-judicial review kan ke Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016 memutus bahwa pembatalan peraturan daerah tidak lagi menjadi kewenangan pemerintah pusat, melainkan sepenuhnya kewenangan Mahkamah Agung.
Putusan MK ini sendiri sesungguhnya bukan tanpa masalah, setidaknya kita dihadapkan pada tiga persoalan utama: Pertama, Indonesia memiliki lebih dari 500 Kabupaten/Kota ditambah dengan 34 Provinsi, dapat dibayangkan bagaimana menumpuknya perkara yang akan diajukan ke MA, sedangkan di MA sendiri menurut informasi yang penulis terima ada lebih dari 2.000 perkara yang sedang mengantri. Tentu saja MA harus menyiapkan mekanisme tersendiri untuk secara khusus menghadapi fenomena pengujian perda ini. Kedua, pengetahuan dan kesadaran hukum masyarakat harus dipahami masih sangat rendah, terutama di daerah-daerah terpencil luar Jawa, jika pada suatu ketika muncul peraturan daerah yang “sangat” bermasalah, maka kecil kemungkinan akan ada masyarakat yang berani dan mau menggugat perda tersebut ke MA. Harapan sebenarnya ada pada pemerintah pusat untuk bersedia mengajukan permohonan pembatalan ke MA, namun dengan sekian banyak perda yang ada, apakah pemerintah mau untuk menjalani sidang berkali-kali di MA? Ketiga, letak MA yang berada di ibu kota negara Jakarta membutuhkan akses dan pembiayaan yang tidak sedikit bagi daerah-daerah yang lokasinya jauh dari Jakarta. Ini tentu menjadi pertimbangan utama masyarakat untuk bersedia menjadi pemohon, meskipun di MA sendiri setelah berkas perkara diajukan, pemohon tidak perlu datang ke Jakarta untuk menghadiri persidangan karena cukup diperiksa dan diputus oleh hakim MA saja.
Namun demikian, ketentuan ini sesungguhnya dalam konteks negara hukum yang demokratis adalah jauh lebih fair dan menjamin keadilan sunstantif. Harus dipahami bersama bahwa perda juga dibentuk dengan prosedur yang hampir sama dengan pembentukan undang-undang, hanya saja cakupan berlakunya yang hanya untuk daerah tertentu saja sedangkan undang-undang untuk seluruh wilayah Indonesia. Suatu perda disetujui bersama oleh Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Kepala Daerah dan DPRD ini juga memiliki legitimasi yang sama dengan Presiden dan DPR, yaitu dipilih secara lansung oleh rakyat. Oleh karena itu, tidak bisa jika produk hukumnya hanya dibatalkan oleh lembaga yang kedudukan sama sebagai pemerintah di bidang eksekutif. Sejatinya, sebagaimana halnya suatu produk hukum, hanya boleh dibatalkan oleh lembaga yudikatif (MA dan MK).
Kemudian pada awal tahun 2018 ini, pemerintah dan DPR mengesahkan revisi atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang memunculkan banyak kewenangan baru kepada lembaga-lembaga tersebut. Salah satu kewenangan itu adalah terkait dengan kewenangan DPD sebagaimana tercantum dalam Pasal 249 Ayat (1) huruf J di mana DPD berwenang memantau dan mengevaluasi peraturan daerah. Tentu saja ini menjadi rezim baru bagi keberadaan peraturan daerah, yang patut disikapi dengan tidak kalah seriusnya. Patut menjadi perhatian apakah yang dimaksud dalam frasa “memantau dan mengevaluasi” dalam pasal tersebut, lalu bagaimana kekuatan dari hasil evaluasi yang dimaksud, apakah mengikat atau tidak? Jika mengikat tentu menjadi tidak tepat setidaknya karena dua hal, pertama DPD sendiri adalah nomenklatur pemerintah pusat yang mewakili masing-masing daerah untuk menyuarakan aspirasi daerah, bukan malah mengevaluasi pemerintah daerah. Kedua, harus diingat bahwa DPD adalah lembaga legislatif bukan lembaga yudikatif, maka jika hasil evaluasinya mengikat, adalah kurang tepat.
Daerah merupakan tiang bagi tegaknya Negara Kestauan Republik Indonesia (NKRI), sedangkan peraturan daerah (perda) adalah tiang bagi berlansungnya pemerintahan daerah. Oleh karena itu, keberadaan perda patut menjadi perhatian utama karena kesejahteraan tiap-tiap daerah adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Masa Depan Perda Sebuah Opini Despan Heryansyah
(Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) dan Mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum UII YOGYAKARTA)