Integritas Hakim oleh Allan Fatchan Gani Wardhana, S.H., M.H.
Integritas Hakim
Dunia peradilan kembali dilanda persoalan integritas para hakimya. Dua berita mengejutkan di akhir tahun ini menjadi refleksi bersama betapa integritas hakim semakin rusak dan susah untuk diharapkan tegak. Pertama, baru saja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan Operasi tangkap tangan terhadap Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam OTT tersebut, Ketua Majelis Hakim dan satu hakim anggota menerima suap berkaitan dengan perkara perdata yang sedang ditanganinya terkait pembatalan perjanjian akuisisi PT Asia Pacific Mining Resources dan PT Citra Lampia Mandiri. Kedua, terbongkarnya kasus perselingkuhan antara Hakim dengan pegawai pengadilan yang terjadi di Pengadilan Negeri Bali. Meski kasus perselingkuhan ini telah dilaporkan ke Mahkamah Agung, tetapi sampai saat ini belum ada tindak lanjutnya.
Dua kasus di atas bukan pertama kali terjadi dan semakin menambah daftar panjang hakim yang cacat moral serta rusak integritasnya. Isu korupsi, jual beli perkara, hingga kasus selingkuh seolah menjadi hal yang ramah dalam dunia peradilan kita. Dengan bangga para hakim yang ‘bermasalah’ itu mengesampingkan integritas dan tetap menepuk dada bahwa dirinya merupakan wakil Tuhan.
Persoalan ini tentu membahayakan bagi penegakan hukum di Indonesia. Betapa hakim sangat mudah memperdagangkan hukum sekaligus abai terhadap persoalan perilaku mereka baik di dalam maupun diluar pengadilan. Hakim yang seharusnya bertugas menegakkan hukum dan keadilan justru terperosok dalam kasus hukum dan moral itu sendiri.
Jika melihat model pendidikan untuk hakim di Indonesia, integritas itu selalu digaungkan dan menjadi topik sentral. Dalam dunia peradilan, integritas itu sendiri merupakan hal yang fundamental bagi tegaknya hukum dan keadilan karena integritas itu berkaitan dengan kepatuhan dan ketaataan terhadap nilai-nilai yang ada. Jefrey M. Sharman dalam “Judicial Ethics: Independence, Impartiality, and Integrity” menegaskan bahwa prinsip integritas dalam lembaga peradilan (khususnya yang dimiliki hakim) merupakan hal yang sangat penting.
Melihat Negara Lain
Begitu pentingnya integritas itu, hampir di berbagai negara mengatur terkait syarat integritas yang harus dimiliki oleh para hakimnya. Di Selandia Baru dalam New Zealand Government, Crown Law Office, ‘Judicial Appointments Protocol‘ Tahun 2013 diatur bahwa seorang hakim harus memiliki sifat jujur dan integritas. Di Elsavador, hakim harus memiliki ‘well-known morality and competence’, sementara di Ghana, seorang hakim haruslah memiliki ‘high moral character and proven integrity”. Adapun di Kenya, integritas dilekatkan dengan prinsip kekuasaan kehakiman dan merupakan suatu hal yang harus ada dalam sistem peradilan (IDEA, 2014). Di negara-negara Amerika Latin, Eropa Timur, dan Asia hampir semuanya mengatur terkait syarat integritas seorang hakim dan itu diatur dalam konstitusi sebagai hukum tertinggi (the supreme law of the land).
Bagi para hakim di Amerika Serikat berlaku standar integritas dan perilaku etis yang jauh lebih tinggi standarnya, jika dibandingkan dengan standar perilaku profesi pengacara ataupun standar bagi orang-orang lainnya yang tidak diberikan mandat untuk menduduki jabatan yang didasarkan atas kepercayaan publik.
Lalu bagaimana di Indonesia? Kita juga punya kode etik untuk para hakim yang bertugas di Pengadilan yang merujuk pada The Bangalore Principles. Syarat hakim harus berintegritas merupakan syarat utama untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang independen dan imparsial. Ditempatkannya integritas sebagai syarat utama karena integritas menjadi penentu jalannya kekuasaan kehakiman yang bebas dan independen. Maka tidak salah bahwa penegakan hukum dalam suatu negara itu tergantung pada kekuasaan kehakiman yang independen dan imparsial yang didasarkan atas sikap jujur dan integritas para hakimnya.
Penguatan Integritas
Agar kedepan dua kasus di atas tak terulang, maka perlu upaya penguatan integritas. Pertama, menanamkan kuat integritas melalui pola pembinaan calon hakim. Integritas harus diwujudkan melalui sikap batin yang mencerminkan keutuhan dan keseimbangan kepribadian setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas jabatannya. Keutuhan kepribadian mencakup sikap jujur, setia, dan tulus dalam menjalankan tugas profesionalnya, disertai ketangguhan batin untuk menepis dan menolak segala bujuk rayu, godaan jabatan, kekayaan, popularitas, ataupun godaan-godaan lainnya.
Kedua, belajar dari Inggris, Belanda, Canada, dan Amerika Serikat masa jabatan hakim adalah during good behavior (selama bertingkah laku baik) sampai dengan batasan usia tertentu. Jika ada hakim yang berperilaku menyimpang sekecil apapun, maka segera diberhentikan tanpa menunggu usianya tua atau pensiun. Ketiga, mengoptimalkan peran masyarakat dalam pengawasan terhadap institusi pengadilan. Caranya dengan aktif memantau dan mau melaporkan hakim yang bermasalah. Dalam hal ini, masyarakat dapat berkolaborasi dengan Komisi Yudisial.
Berbagai upaya di atas merupakan ikhtiar untuk menguatkan integritas hakim agar tetap terjaganya kehormatan, keluhuran martabat serta terhindar dari penyalahgunaan wewenang yang dimilikinya.
Telah diterbitkan di koran Sindo, 4 Desember 2018
Allan Fatchan Gani Wardhana, S.H., M.H.
Dosen Muda Fakultas Hukum UII Yogyakarta dan Peneliti Muda PSHK FH UII