PSHK FH-UII bekerja sama dengan Mahkamah Konstitusi RI
PSHK Fh Bahas ”Upaya Menjamin Hak Konstitusional Warga Negara”Jogjakarta Plaza, Selama setengah hari, Sabtu (20/3) 2010, Pusat Studi Hukum dan Konstitusi bekerja sama dengan Mahkamah Konstitusi (MK) RI gelar Seminar Nasional dengan tema “Constitutional Complaint Sebagai Jaminan Konstitusional Warga Negara Dalam Rangka Supremasi Konstitusi”.
Acara ini menghadirkan empat nara sumber diantaranya Fajrul Falakh, SH., MA, Dosen dari Universitas Gadjah Mada, dan Hakim Mahkamah Konstitusi RI, Hamdan Zoelva, SH., MH, Ketua Komnas HAM, Ifdhal Kasim, SH., LLM, dan Direktur PUSHAM UII, Suparman Marzuki, SH., M.Si. Seminar yang dijadualkan berlangsung sampai pukul 12.00 siang ini sebelumnya dibuka oleh Rektor UII Prof DR. Drs. Edy Suandi Hamid ,MEc. Edy yang terpilih menjadi rektor untuk kali kedua ini memberikan sambutan sekitar perlunya ada jaminan kontitusional bagi warga negara di Indonesia. Du era yang semakin terbuka dan transparan ini masyarakat semakin berani dan pintar memperjuangkan hak-haknya baik kepada para penguasa,pejabat maupun kepada tatanan yang dirasa merugikan masyarakat umum. Sehingga menjadi penting adanya sebuah lembaga yang menangani masalah hak kontitusional warga negara ini. Oleh karena itulah Pusat Studi Hukum dan Konstitusi Fakultas Hukum UII menggelar sebuah seminar yang konseptual dan aktual ini guna merespon masalah tersebut.
Seminar yang terdiri dua sesi ini diawali dengan studium general yang dibawakan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi RI, Prof DR Mahfud MD SH. Pada kesempatan itu Mahfud memaparkan perlunya sebuah lembaga yang menangani jaminan kontitusional warga negara Indonesia. Selama ini ada sekitar seratus lebih kasus aduan yang masuk ke MK yang bisa dikategorikan kedalam ranah kontitusional complain yang belum ditangani. Kepastian wewenang dari Mahkamah konstitusi perlu diatur secara pasti, hal ini bisa belajar dari komparasi implementasi dari negara-negara lain untuk bisa diterapkan di Indonesia. Banyaknya pengaduan konstitusional ini seharusnya menjadi pertimbangan untuk memasukkan materi ini menjadi salah satu kewenangan MK secara tegas. “Sejauh ini, dari banyaknya pengaduan itu, tidak banyak yang dapat diproses karena, meskipun secara tersirat aturan yang sudah ada dapat ditafsirkan, namun tetap menjadi rancukarena tidak ada penegasan”, papar Mahfud.
Kesimpulan dari seminar yang dipaparkan oleh empat pemateri mengakui pentingnya menanggapi dan merealisasikan wacana constitutional complaint ini menjadi satu kewenangan lembaga tertentu. Keempat pemateri sepakat untuk penyelesaian perkara pengaduan institusional dari masyarakat, meskipun dua pembicara pertama, Fajrul Falakh dan Hamdan Zoelva tidak menegaskan lembaga negara manakah yang dapat memprosesnya. Adapun dua pembicara lainnya, secara tegas menginginkan agar pengaduan konstitusional ini harus dijadikan sebagai penambahan kewenangan MK. (Dra. Sariyanti)