OTT Hakim dan Problem Pengawasan disampaikan oleh Ali Rido
OTT Hakim dan Problem Pengawasan
UNTUK sekian kalinya, lembaga peradilan kembali tergerus integritasnya dengan adanya operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap hakim di Pengadilan Negeri (PN) Tangerang, Banten, Senin (12/3).
OTT tersebut menjadi anomali nyata masih adanya oknum hakim pencari uang, bukan sebagai wakil pemberi keadilan. Ironisnya, praktik pelanggaran etika dan hukum dilakukan hakim di tengah kenyataan bahwa hakim dipantau secara kontinu oleh dua lembaga mapan, yaitu Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY). Hal itu pula kiranya semakin memiriskan keberadaan lembaga peradilan kini.
Problem Pengawasan
Lemahnya pengawasan terhadap hakim diduga menjadi titik konvergensi bahwa dua mekanisme pengawasan yang ada saat ini belum bisa dikatakan baik. Asumsi itu tentu dapat dibenarkan mengingat sekitar 42,2% hakim terlibat kasus penyuapan, perselingkuhan 28,9%, indisipliner 11,1%, narkotika 6,7%, memainkan putusan 4,4%, dan lainnya 6,7%.
(Komisi Yudisial, 2017). Data tersebut mengartikan kedua model pengawasan (internal dan eksternal) hakim ternyata masih sama-sama memiliki kelemahan. Salah satu titik lemah pengawasan internal kini dilakukan MA disebabkan pihak yang diberikan fungsi mengawasi merupakan orang mendapat pendidikan tentang profesi yang diawasi.
Dengan kata lain, pengawas merupakan orang-orang yang hanya tahu satu bidang disiplin ilmu, yaitu ilmu hukum. Sementara pengawasan yang orientasinya pada pencegahan, diperlukan disiplin keilmuan lain selain ilmu hukum.
Dengan keadaan demikian, maka ketika mengawasi perilaku atau mengaudit kinerja lembaganya bisa dipastikan tidak berjalan efektif karena miskin ilmu berkenaan dengan pengawasan.
Setali tiga uang, pada level pengawasan eksternal yang dilakukan KY pun dibenturkan dengan kondisi rasio tak seimbang antara jumlah hakim yang diawasi dengan pengawasnya.
Sebab telah menjadi pemahaman kolektif bahwa keberadaan KY memang terpusat di Ibu Kota, sementara sebaran hakim sampai pada tingkat kabupaten/kota. Persoalan pun digenapi dengan jumlah personel terbatas yang dimiliki KY hanya ada tujuh komisioner. Disparitas jumlah antarkeduanya akhirnya berdampak pada KY yang sering mengalami kecolongan dalam mengawasi hakim.
Selain minimnya jumlah personel pengawas KY, persoalan lain masih berkelindan ialah berkenaan dengan paradigma hakim itu sendiri dalam memahami pengawasan etik termaktub dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945.
Pengawasan etik hakim oleh KY rupanya dipandang oleh sebagian hakim hanya sebagai sampiran yang seolah kurang berkonsekuensi pada karier dan martabat hakim. Menurut penulis, hakim justru lebih merasa terawasi dan takut pada lembaga seperti KPK ketimbang KY itu sendiri. Padahal esensi dari pengawasan etik, derajatnya lebih tinggi ketimbang pengawasan hukum.
Pada ranah ini, maka pengawasan oleh KY sering menjadi tidak efektif. Terlebih produk pengawasan KY yang hanya berupa rekomendasi tentu kecil kemungkinan bermetamorfosis menjadi hukuman mematikan bagi sang hakim.
Dua Langkah
Guna mengurai benang kusut problem pengawasan hakim di atas, maka setidaknya perlu dilakukan dua langkah. Pertama, pada level pengawasan eksternal oleh KY, maka optimalisasi peran KY Penghubung di daerah mutlak dilakukan. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 ayat (2) UU Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial bahwa KY dapat mengangkat penghubung di daerah sesuai dengan kebutuhan.
Dalam praktiknya, KY Penghubung di daerah yang telah terbentuk kurang lebih sebanyak 11 (sebelas) KY Penghubung. Hanya kiprah KY Penghubung belum begitu terlihat taringnya. Ada sejumlah faktor sangat mungkin menjadi penyebabnya di antaranya: 1) atribusi kewenangan pada KY Penghubung yang setengah hati; 2) dukungan (support) anggaran yang kurang memadai; 3) kapasitas sumberdaya manusia (SDM) yang minim.
Berpijak pada uraian di atas, maka keberadaan KY Penghubung daerah perlu dilakukan penguatan kelembagaan yang meliputi aspek kewenangan, porsi SDM yang memadai dengan mempertimbangkan luas daerah, dan pendanaan yang proporsional.
Khusus berkenaan dengan kewenangan, maka perlu diperkuat pada level kewenangan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim serta tindak lanjut aduan atau laporan masyarakat. Dalam konteks itu, maka kewenangan KY pusat sesungguhnya tidak seluruhnya didesentralisasikan pada KY Penghubung daerah.
Filosofi dibentuknya KY Penghubung daerah sesungguhnya merupakan kesadaran penuh dari pembentuk undang-undang yang jika hanya mengandalkan KY pusat tentu pengawasan hakim sulit dijalankan secara efektif. Oleh karena itu, undang-undang membuka peluang dibentuknya KY Penghubung daerah sebagai organ bantu dalam mengefektifkan kerja KY pusat melakukan pengawasan hakim.
Atas spirit tersebut, maka memaksimalkan peran KY Penghubung dengan terlebih dahulu menguatkan kelembagaannya tentu menjadi keniscayaan dalam menjawab problem pengawasan hakim saat ini.
Kedua, pada lingkup pengawasan internal, kiranya perlu memasukkan unsur atau pihak yang paham berkenaan dengan manajemen kelembagaan organisasi ke dalam tubuh badan pengawasan hakim di MA. Hal ini perlu dilakukan sebagai antitesa atas tesis “jeruk makan jeruk” (hakim mengawasi hakim). Masuknya unsur atau ahli itu diharapkan akan terbangun kolaborasi antara ahli hukum dan manajemen kelembagaan organisasi sehingga dapat terpola model pengawasan efektif yang bermuara pada pencegahan.
Melalui dua langkah di atas diharapkan nanti kredibilitas hakim akan terjaga dan praktik korupsi dalam wujudnya suap dan sejenisnya tidak lagi terulang. Karena hadirnya hakim adalah betul-betul sebagai Wakil Sang Maha Adil. Semoga.
ALI RIDO, SH,MH
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Artikel ini terbit di Koran Sindo edisi Rabu, 14 Maret 2018