Putusan MK dan UU Pemilu Perlu Dikritisi oleh Anang Zubaidy, S.H., M.Hum.
Putusan MK dan UU Pemilu Perlu Dikritisi
Pasal 12 huruf c UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menegaskan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) bertugas menyusun Peraturan KPU (PKPU) untuk setiap tahapan pemilu. Kemudian pada Pasal 13 huruf c UU Pemilu ditegaskan bahwa KPU berwenang menetapkan PKPU untuk setiap tahapan pemilu.
Selanjutnya, Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menegaskan bahwa PKPU termasuk dalam kualifikasi peraturan perundang-undangan, karena KPU merupakan organ konstitusi (Pasal 22E ayat (5) UUD 1945) dan dipertegas dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Merujuk Pasal 8 ayat (2), PKPU adalah sah dan mengikat. Pun diakui keberadaannya, karena kedudukan PKPU adalah ketentuan pelaksana bagi UU Pemilu. Oleh karenanya, semestinya tidak bertentangan dengan UU Pemilu.
Berdasarkan pertimbangan di atas, sejatinya PKPU hanya peraturan teknis yang menjabarkan UU Pemilu. PKPU tidak diperkenankan memunculkan norma yang bersifat membatasi hak warga Negara. Pembatasan tersebut hanya bisa dilakukan oleh Undang-Undang (vide Pasal 28J ayat (2) UUD 1945). Lalu seberapa pantas mantan napi kasus korupse nyaleg? Kita perlu mengulas tiga Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yaitu:
Pertama. Putusan MK Nomor 14-17/PUU-V/2007 menguji ketentuan larangan mantan napi di dalam UU Pilpres, UU MK, UU MA, UU Pemda, dan UU BPK. Menurut MK, larangan itu tidak bertentangan dengan konstitusi sepanjang ketentuan tersebut diartikan tidak mencakup tindak pidana yang lahir karena kealpaan ringan (culpa levis) dan tindak pidana karena alasan politik tertentu, serta dengan mempertimbangkan sifat jabatan tertentu yang memerlukan persyaratan berbeda.
Kedua. Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 menguji larangan mantan terpidana di dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu dan UU Nomor 12 Tahun 2008 jo UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemda. Menurut MK, norma-norma di dalam kedua Undang-Undang dinyatakan inkonstitusional bersyarat yang ditentukan oleh MK. Menurut MK, norma-norma di atas akan bertentangan dengan konstitusi jika tidak dipenuhi syarat-syarat; Pertama, tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials). Kedua, berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya. Ketiga, dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Keempat, bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Ketiga. Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015 menguji larangan mantan terpidana di dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 jo UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada. Menurut MK, ketentuan ini bertentangan dengan konstitusi sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara jujur dan terbuka mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan merupakan mantan terpidana.
Melihat putusan di atas, maka putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015 justru “meringankan” persyaratan dibandingkan dengan putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009. Persyaratan konstitusionalitas norma dalam putusan ini tidak memberikan kualifikasi tindak pidana yang dilakukan oleh mantan terpidana. Putusan ini selanjutnya diadopsi oleh Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, menyatakan: “tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”.
Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015 dan UU Pemilu yang tidak memberikan pembedaan bagi terpidana korupsi dengan pidana lainnya merupakan catatan yang perlu dikritisi. Jika kita menginginkan anggota legislatif yang bersih, semestinya perlu mempertimbangkan pembedaan bagi pelaku kejahatan berat seperti korupsi dibandingkan dengan kejahatan lainnya.
Namun demikian, jika KPU memiliki pandangan ingin mengatur pembatasan bagi mantan terpidana korupsi, tentu tindakan ini tidak tepat karena PKPU hanya peraturan teknis. Hal yang mungkin dilakukan oleh KPU adalah menetapkan peraturan yang menjabarkan mengenai bentuk pernyataan terbuka bagi mantan terpidana yang akan dicalonkan sebagai anggota legislatif. (mry)