Menimbang Meminang JK oleh Anang Zubaidy, S.H., M.Hum.
Menimbang Meminang JK
Sebagian masyarakat, setidaknya yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa dan Perkumpulan Rakyat Proletar untuk Konstitusi, menginginkan Jusuf Kalla (JK) kembali dicalonkan sebagai wakil presiden. Hal itu setidaknya terlihat dari adanya permohonan judicial review yang diajukan oleh keduanya ke Mahkamah Konstitus (MK) untuk meminta tafsir ketentuan Pasal 7 UUD 1945. Keinginan ini tentu bukan hanya milik kedua organisasi dimaksud tetapi juga patut diduga oleh sebagian politisi.
Meminang JK menjadi wapres untuk ketiga kalinya tentu didasarkan beberapa pertimbangan. JK dipandang sosok yang berpengalaman dalam memimpin negara. Kemampuannya sebagai penyelesai konflik sudah pernah terbukti. Juga, JK dianggap akan mampu menjadi pendulang suara dari kelompok Islam. Namun, pada saat yang sama, JK adalah sosok politisi gaek yang tentu berusia tidak muda lagi. Usia JK dinilai sudah tidak produktif lagi. Belum lagi, adanya permasalahan konstitusionalitas dapat atau tidaknya JK dicalonkan menjadi wapres untuk ketiga kalinya.
Sesungguhnya ketentuan Pasal 7 UUD 1945 sudah cukup jelas membatasi jabatan presiden dan/atau wakil presiden untuk menjabat lebih dari dua kali. Ketentuan Pasal 7 dimaksud berbunyi: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. Pasal 7 ini berbeda dengan ketentuan Pasal 7 sebelum amandemen yang berbunyi: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali”.
Amandemen atas ketentuan Pasal 7 UUD 1945 di atas ditetapkan dalam masa amandemen tahap I pada tahun 1999. Jika dilihat dari masa perubahan yang terjadi pada tahun 1999 (amandemen tahap I), maka dapat dipahami bahwa ketentuan Pasal 7 UUD dimaksud dibuat dalam suasana dan keinginan untuk membongkar total praktik absolutisme yang terjadi pada orde-orde sebelumnya. Melalui ketentuan Pasal 7 UUD sebelum amandemen, jabatan presiden dan wakil presiden menjadi seolah tak terbatas. Dan hal itu sudah terbukti pada masa kepemimpinan Presiden Sukarno dan Presiden Soeharto yang menjabat sebagai presiden untuk masa yang seolah tak terbatas.
Amandemen Pasal 7 UUD 1945 dan beberapa pasal lain dalam UUD dapat dipahami sebagai pembongkaran paradigma konstitusi Indonesia dari yang sebelumnya executive heavy menuju legislative heavy. Sehingga tidak berlebihan jika yang tampak adalah upaya untuk “mempreteli” kewenangan presiden untuk kemudian dialihkan menjadi kewenangannya DPR.
Tindakan untuk “mempreteli” kewenangan presiden dalam amandemen konstitusi Indonesia bukan hal yang keliru mengingat kekuasaan presiden (tidak terbatas pada masa jabatan) sebelum amandemen terbukti memunculkan absolutisme. Karena, sejatinya konstitusi harus menjamin adanya perimbangan kekuasaan antar cabang kekuasaan.
Konstitusi yang merupakan resultante harus menjamin tidak ada kekuasaan yang lebih dominan di atas cabang-cabang kekuasaan yang lain dalam kerangka jaminan perlindungan hak asasi manusia. Konstitusi harus menjamin terselenggaranya kehidupan Negara yang memastikan adanya check and balances antar cabang kekuasaan.
Berdasarkan hal demikian, maka sesungguhnya upaya yang dilakukan oleh Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa dan Perkumpulan Rakyat Proletar untuk Konstitusi tidak mencerminkan semangat untuk membongkar absolutisme jabatan presiden dan wakil presiden yang sudah diperjuangkan pada masa amandemen UUD. Untuk itu, menurut hemat saya, permohonan judicial review yang mereka lakukan tidak memiliki dasar argumentasi yang kuat sehingga sudah selayaknya tidak dikabulkan. (mry)
Tulisan ini telah diterbitkan di majalah online watyutink.com
Ditulis oleh Anang Zubaidy, S.H., M.Hum.
Direktur PSHK FH UII