Tidak Merekrut Caleg Eks Koruptor Soal Komitmen Parpol oleh Anang Zibaidy, S.H., M.Hum.
Tidak Merekrut Caleg Eks Koruptor Soal Komitmen Parpol
Siapapun warga negara mempunyai hak konstitusional dan dijamin undang-undang untuk melakukan pengujian terhadap produk hukum, baik terhadap PKPU Nomor 20 Tahun 2018 atau peraturan perundang-undangan yang lain. Persoalan apakah uji materi dikabulkan atau tidak, itu merupakan kewenangan Mahkamah Agung yang akan menentukan.
UUD 1945 itu sifat pengaturannya hanya umum, tidak detail. Aturan penjabarannya diatur dalam undang-undang. Misalnya, konstitusi mengatur bahwa setiap warga negara punya hak untuk memilih dan dipilih, kemudian ada penyelenggaraan pemilu. Nah, pengaturan teknisnya dalam undang-undang sebagai penjabaran dari konstitusi.
Hanya saja, aturan main yang dimuat dalam undang-undang tidak boleh bertentangan dengan norma dasar yang ada dalam konstitusi. Misalnya, tidak boleh ada pembatasan hak yang sebenarnya di dalam konstitusi itu tidak dibatasi, kecuali ada pertimbangan-pertimbangan tertentu yang cukup rasional untuk melakukan pembatasan hak. Ini dibolehkan oleh UUD 1945, khususnya dalam Pasal 28 J ayat (2). Pasal ini mengatur mengenai dimungkinkannya pembatasan hak warga negara, tetapi syaratnya adalah diatur dengan undang-undang berdasarkan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Rasionalitas argumen KPU mengenai pelarangan mantan narapidana korupsi untuk mencalonkan diri jadi anggota legislatif, harus dilihat apakah argumen tersebut berdasarkan rasionalitas hukum atau rasionalitas publik. Kalau berdasarkan rasionalitas publik kita pasti sepakat bahwa korupsi adalah penyakit yang harus diberantas. Tetapi kita harus mencermati Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Ayat (2) berbicara tentang kedaulatan rakyat, sementara ayat (3) bicara tentang kedaulatan hukum. Jadi, Negara Indonesia adalah negara demokrasi berdasarkan hukum. Artinya, rasionalitas publik juga harus didudukkan pada rasionalitas hukum.
Kaitannya dengan PKPU Nomor 20 Tahun 2018, bagaimana peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengaturnya? Apakah UU Pemilu memuat larangan eks koruptor nyaleg? Kalaupun memang tidak memuat, paling tidak ada larangan untuk dimuat. Sejauh ini yang saya pahami, KPU sudah melakukan tafsir terhadap uji UU Pemilu. KPU menangkapnya bahwa di dalam UU Pemilu tidak ada larangan PKPU mengatur tentang larangan caleg bagi mantan koruptor.
Namun berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, rasionalitas hukumnya mengatakan bahwa larangan pencalegan itu dibatasi (undang-undang tidak bisa membatasi siapapun bahkan pelaku tindak pidana korupsi). Selanjutnya, kita harus paham bahwa hak seseorang itu tidak bisa dicabut kecuali melalui putusan pengadilan. Putusan pengadilan pun tidak bisa mencabut hak politik selamanya.
Kalau kita membaca PKPU yang sudah ditandatangani Menkumham, sebenarnya PKPU ini tidak secara tegas mempersyaratkan bukan mantan koruptor dalam persyaratan administratifnya. Tetapi screening-nya harus dilakukan oleh partai politik. Artinya, ini menjadi tanggung jawab partai politik. Jangan sampai kepercayaan publik terhadap publik hilang gara-gara tidak mampu merekrut caleg-caleg terbaik, karena hanya merekrut orang-orang lama yang sudah jelas divonis pernah melakukan tindak pidana korupsi. Hal ini menjadi ujian partai politik untuk mampu menjalankan peran pendidikan politiknya bahwa kontestasi yang akan dihadapi dalam Pileg dan Pilpres 2019 bukan sekadar untuk mencari kemenangan, tetapi juga untuk mendidik masyarakat bagaimana cara mendapatkan kemenangan dengan cara-cara yang baik dan legal.
Sehingga, komitmen tidak memasukannya daftar caleg yang sudah pernah terpidana korupsi harus menjadi pemahaman di semua partai politik. Uniknya, awalnya yang menolak PKPU ini adalah partai politik, seolah-olah tidak siap membersihkan diri dari stigma masyarakat bahwa partai politik adalah sarang koruptor. (mry)
Telah diterbitkan di watyutink.com
Anang Zubaidy, SH., MH
Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) UII