Daulat Pemilih sebuah Opini Idul Rishan

Daulat Pemilih

Dalam satu bulan terakhir, masyarakat disuguhkan dengan geliat elit partai politik (Parpol) dalam menjaring nama cawapres untuk masing-masing pasangan calon yang akan bertarung pada kontestasi pilpres 2019. Bak drama yang tak kunjung usai, lobi-lobi politik semakin gencar dilakukan antara masing-masing kubu sebelum pendaftaran capres dan cawapres ditutup pada tanggal 10 Agustus 2018. Siasat politik terus dikonsolidasikan guna memantapkan strategi pemenangan pilpres. Banyak figur-figur baru yang bermunculan. Namun dalam satu tarikan nafas, seluruh elemen pemilih hanya bisa menonton geliat politik tersebut, tanpa terlibat sedikitpun dalam ajang penjaringan capres maupun cawapres.

Demokrasi Prosedural

Dalam beberapa literatur ilmiah, tidak ada satupun bentuk yang dapat memberikan sebuah konsep yang utuh bagaimana menerapkan sebuah sistem pemilu yang demokratis. Bahwa benar adanya, adagium yang menyebutkan bahwa demokrasi tidak dapat dimaknai sama antara satu negara dengan negara lainnya (one size for all). Bisa dilakukan melalui pemilihan umum secara langsung, maupun melalui sistem perwakilan. Langgam tersebut digunakan dalam konteks yang bersifat prosedural. Dalam artian model dan cara apa yang hendak dicapai dalam membangun sebuah tatanan sistem pemilu yang demokratis. Bangsa kita telah melewati sekaligus menerapkan dua langgam tersebut. Sistem perwakilan untuk orde baru, kemudian pemilihan langsung (direct election) sebagaimana disepakati setelah transisi politik hingga kini. Semangat ini dibangun atas dasar memulihkan daulat pemilih.

 

Kedaulatan & Demokrasi Substansial

 Tak ayal kemudian cara pandang ini menjadi faktor pendorong mengapa UUD pasca amandemen menyepakati bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat tidak lagi sepenuhnya di tangan MPR.  Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah setelah era reformasi sistem pemilu kita telah menjamin demokrasi yang substansial? Tidak cukup nalar untuk membenarkan hal tersebut. Dalam konteks pilpres, penentuan pasangan calon (Paslon) masih sepenuhnya menjadi otoritas tunggal partai politik. Tiga rangkaian ajang pilpres (2004-2009 -2014) yang telah dilalui, pasangan capres dan cawapres diterima sebagai sesuatu yang bersifat  kado  (given) dari Parpol pengusung. Dalam konteks ini pemilih hanya berkedudukan sebagai perpanjang tangan kedaulatan partai. Kita masih terjebak dalam mode demokrasi formal, tetapi tetap tidak demokratis secara substansi. Padahal senyatanya, sebuah sistem pemilu yang disebut demokratis bilamana rakyat memiliki kesempatan untuk menentukan pasangan capres maupun cawapres. Noam Chomsky (How The World Works: 2016) menyebutkan dalam kontestasi pilpres, “partai-partai politik cenderung merefleksikan kepentingan bisnis untuk waktu yang lama”. Bahaya laten ini kemudian dikhawatirkan jika paslon yang terpilih cenderung mengabdikan diri pada kepentingan Parpol semata, dibanding kepentingan masyarakat secara luas.

 

Demokratisasi Internal Parpol

Lantas bagaimana upaya untuk mengatasi  pembajakan daulat pemilih oleh elit Parpol ? Pasal 6A menyatakan “Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik peserta pemilihan umum…”. Tafsir konstitusi tersebut tentu tidak dapat dimaknai sebagai “cek kosong” untuk Parpol pengusung. Patut diingat, memaksakan cara-cara privat dalam menentukan figur capres dan cawapres cenderung menghambat tumbuhnya demokrasi substansial.  Oleh karena itu diperlukan proses penjaringan dan pelibatan partisipasi masyarakat untuk terlibat dalam menentukan Paslon terpilih. Semua tahapan perlu dilakukan secara transparan dan objektif.  Amerika Serikat bisa menjadi alternatif percontohan penjaringan Capres maupun Cawapres. Melalui mekanisme Pra Pemilu, Negara-negara bagian di AS memberikan kesempatan secara langsung kepada masyarakat untuk terlibat dalam penentuan figur capres maupun cawapres yang hendak diusung. Meskipun tidak persis sama secara konsep, Partai Golkar di tahun 2004 dan Partai Demokrat di tahun 2014, pernah melakukannya melalui model Konvensi Partai. Sayangnya cara ini cenderung memuai karena pengaturannya dalam UU Pemilu dan UU Parpol tidak terlembagakan dengan baik. Untuk itu diperlukan pengaturan secara detail terkait model dan mekanisme penjaringan capres maupun cawapres secara objektif, transparan, dan partisipatif. Langkah konkrit ini perlu mendapatkan perhatian serius sebab, adakalanya negeri ini lupa bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat bukan di tangan elit Parpol.  

Idul Rishan,S.H.,LL.M.
Pengajar Muda Hukum Konstitusi, Universitas Islam Indonesia