Sosok Negarawan oleh Idul Rishan

Sosok Negarawan

Berakhirnya masa jabatan hakim konstitusi Maria Farida pada Agustus 2018, mendorong Presiden untuk menyiapkan nama sebagai calon pengganti hakim konstitusi dari unsur Presiden. Demi menjamin tegaknya proses yang transparan dan akuntabel, Presiden Jokowi telah menandatangani Keppres No 71P/ Tahun 2018 Tentang Pembentukan Panitia Seleksi (Pansel) Calon Hakim Konstitusi yang di ajukan oleh Presiden. Pada titik ini, Pansel dituntut untuk melakukan penjaringan dan seleksi terlebih dahulu, sebelum menyerahkan calon hakim konstitusi kepada Presiden. Jika melihat kondisi faktual pada saat ini, tugas Pansel jauh lebih berat  dari biasanya. Sosok yang dibutuhkan tidak hanya memiliki integritas dan kapabilitas, tetapi juga mampu memperhatikan sejumlah masukan dari sebagian elemen masyarakat yang mendorong pentingnya  keterwakilan perempuan dalam komposisi sembilan hakim konstitusi.

Kriteria calon hakim konstitusi

Jika mencermati dan memahami ketentuan yang diatur dalam UUDN Tahun 1945, Pasal 24C ayat (5) menegaskan bahwa “hakim konstitusi harus memiliki integritas dan keperibadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan…..”. Jika dimaknai secara tekstual, frasa imperatif ini ditujukan pada calon berjenis kelamin laki-laki. Sebab, istilah “negarawan” merupakan istilah yang disematkan pada calon berjenis kelamin laki-laki. Namun jika pencermatan dilakukan secara kontekstual, istilah negarawan tentu tidak hanya dapat disematkan pada calon yang berjenis kelamin laki-laki, melainkan juga pada calon berjenis kelamin perempuan. Pengalaman praktik ketatanegaraan kita telah membenarkan hal tersebut. Maria Farida merupakan sosok pertama sebagai wakil perempuan yang duduk sebagai hakim konstitusi. Menjadi pertanyaan kemudian ialah apakah kriteria implisit yang ditetapkan Pansel sebagai pengganti Hakim Maria ialah perempuan ?

Gender & Hakim Konstitusi

Ada contoh manarik jika melihat pola pengangkatan hakim di berbagai negara. Afrika Selatan misalnya. Sebelum melewati fase transisi politik, pengangkatan hakim di negara tersebut selalu diisi oleh orang berkulit putih. Namun imbas gelombang demokratisasi  di awal tahun 90an mendorong Afrika Selatan memutus rantai rasialisme dengan menyepakati bahwa syarat pencalonan hakim tidak lagi membatasi persoalan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik, dan status sosial. Langkah yang di ambil Afrika Selatan ternyata mampu mempengaruhi dunia internasional. Beijing Statement of Priciples of the Independence of Judiciary 1997 mulai mengadopsi cara pandang demikian.  Bahwa pencalonan hakim agung ataupun hakim konstitusi tidak boleh bias gender. Laki-laki ataupun perempuan hendak mendapatkan kesempatan yang sama untuk duduk sebagai seorang hakim. Bagaimana dengan bangsa kita ? Tentu nama-nama hakim seperti hakim Suparni, Sorta Ria Neva, Albertina Ho, dan Maria Farida, ialah beberapa diantara perempuan hebat yang menduduki jabatan sebagai seorang hakim. Dalam konteks hakim konstitusi, Maria Farida kerap dikenal memiliki cara pandang yang unik dalam menyikapi persoalan konstitusionalitas terhadap kasus-kasus yang erat kaitannya dengan kepentingan perempuan. Beberapa di antaranya Putusan Tentang Hak Asuh Anak, Larangan Menikah terhadap teman sekantor, ataupun komposisi keterwakilan perempuan di parlemen. Sosok Maria kerap memberikan warna baru dalam setiap pertimbangan yang dibangun terhadap Putusan MK. Maria dikenal sebagai sosok yang  memiliki integritas, kapabilitas, dalam mengemban tugas sebagai pemegang palu keadilan.

Pansel & Kriteria Implisit

Kini Pansel telah melaksanakan separuh dari seluruh rangkaian uji kompetensi dan kepatutan terhadap calon hakim konstitusi dari unsur Presiden. Sembilan nama telah berhasil di jaring antara lain, Enny Nurbaningsih, Hesti Armiwulan, Jantje Tjiptabudy, Lies Sulistiani, Ni’matul Huda, Ratno Lukito,Susi Dwi Harijanti, dan Taufiqurrahman Syahuri. Dari sembilan nama yang muncul, kecenderungan terhadap calon hakim konstitusi dari kalangan perempuan tampak semakin menguat. Hal ini dilihat dari jumlah keterwakilan perempuan yang mencapai enam nama calon, sementara laki-laki hanya terisi tiga nama calon. Namun patut diingat bahwa, Pansel tidak boleh terjebak dalam isu gender semata. Pencermatan terhadap rekam jejak dan kapabilitas calon tetap harus dilakukan secara objektif. Terkait dengan menguatnya isu gender, laki-laki ataupun perempuan tetap memiliki probabilitas yang sama dalam menduduki dan mengemban jabatan sebagai hakim konstitusi. Sosok negarawan yang berintegritas dan memiliki pemikiran progresif tentu patut menjadi kriteria yang perlu dikedepankan Pansel dibanding terjebak dalam isu gender. Artinya, yang paling utama ialah sosok negarawan yang dihasilkan mampu menjawab dan melindungi hak-hak konstitusional warga negara, serta mampu mengkonstruksikan putusan yang tidak bias gender.

 

Idul Rishan,S.H.,LL.M.

Pengajar Muda Hukum Konstitusi, Universitas Islam Indonesia

Telah diterbitkan di media Koran Kedaulatan Rakyat Yogyakarta