Perlu Pendekatan Kriminologis dalam Penjatuhan Pidana Korupsi oleh Syarif NH
Perlu Pendekatan Kriminologis dalam Penjatuhan Pidana Korupsi
Kasus OTT PN Medan menarik perhatian kembali, mencoreng kembali, memperluas lubang ketidakpercayaan publik, meningkatkan rasa “benci” pada seragam aparat dan meyakinkan masyarakat bahwa korupsi sudah mengerak pada diri para pejabat. Yang lebih memperhatinkan lagi, yang terkena OTT adalah hakim yang tengah menangani kasus korupsi. Ini ibarat kata, pagar makan tananam. Mestinya menjaga justru menjadi pelaku kejahatan.
Sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di setiap pengadilan, yang diluncurkan MA pada 2017 lalu, terbukti tidak serta merta menutup peluang penyelewengan. PTSP hanya bersifat pencegah, dengan mengantisipasi tidak mempertemukan sekacara sitesm antara pihak pihak penegak hukum dengan pihak yang berperkara. Namun, tetap saja, jika kedua belah pihak ingin menyimpangi, maka PTSP hanya menjadi system saja, tidak lebih.
Sebenarnya telah ada Komisi Yudisial yang memiliki kewenangan pengawasan terhadap perilaku hakim. Namun KY tampak hanya seperti macan kertas, ia bisa jadi “sangar” dan besar, tapi tidak memiliki kekuatan. Bisa jadi hakim merasa khawatir adanya pengawasan dari KY, tapi hasil pengawasan KY sendiri tidak memiliki implikasi yang siginifikan pada pengendalian penyelewangan, membuat KY tidak memiliki taji. Hasil pengawasan dalam bentuk rekomendasi yang tidak otomatis eksekutabel menjadi salah satu faktor utama. MA sebagai lembaga yang lebih “Tua” daripada KY tentu ada sedikit keengganan melatakkan diri di bawah pengawasan KY, apalagi melaksanakan serta merta rekomendasi KY. Inilah wujud nyata egosektoral antar lembaga Negara.
Jika dilihat dari laporan yang masuk ke Komisi Yudisial terkait dengan perilaku hakim, dan mulai aktifnya Narahubung KY di beberapa daerah, didukung oleh beberapa kampus yang bekerjasama dengan KY serta pengawasan dan laporan langsung dari masyarakat, maka kita harus mengakui bahwa pengawasan itu berjalan dengan baik. Berdasarkan informasi yang dikeluarkan KY, sepanjang 13 tahun keberadaan KY sudah ada 16 ribu laporan yang masuk. Tahun 2017 saja sudah hamper 2.473 laporan. Namun, kasus yang ditindaklanjuti dan yang direkomendasikan masih cukup sedikit. Dengan demikian, bukan pada pengawasannya, namun pada tindak lanjut hasil pengawasan itu sendiri yang harus ditingkatkan.
Kenyataan bahwa masih ada hakim yang menerima suap, menunjukkan faktor perilaku korup itu tidak tunggal. Selain memang pelaku memiliki niat jahat, ada faktor keuntungan ekonomi, faktor kekuasaan, gensi dan maupun eksistensi. Tidak jarang kemudian, pihak-pihak pemegang kekuasaan ingin menunjukkan kuasanya antara lain dengan melakukan tindakan di luar kewenangan, agar orang lain bahwa dia powerfull. Atau pertimbangan keuntungan ekonomi. Ada kalkulasi angka yang konkrit ketika seorang pelaku melakukan korupsi, antara biaya yang dikeluarkan, perolehan hasil, dan biaya resiko jika tertangkap. Beberapa faktor ini mesti ditangkap secara tepat oleh penegak hukum.
Lalu, apa perubahan mendasar yang perlu dilakukan agar hakim bersih dari korupsi? Upaya agar hakim tidak korup sudah cukup dilakukan, mulai dari diklat integritas, mekanisme Satu Pintu, Pengawasan internal maupun ekternal dan seterusnya. Tinggal dikuatkan pada tataran eksekusinya saja. Jangan ragu dan khawatir ketika memutuskan perkara kasus korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum, termasuk hakim. Perlu pendekatan kriminologis. Faktor apa yang menjadi latar belakang perilaku korup, maka sanksi dikuatkan ke arah sana. Misalnya, jika korup untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, maka harus diputus keuntungannya dan jika perlu dibebani biaya besar untuk dan dan ganti kerugian (dimiskinkan). Jika karena gensi dan eksistensi kekuasaan, maka pemecatan dan pencabutan hak menjabat pada jabatan publik bisa ditambahkan. (mry)
Syarif Nurhidayat, S.H., M.H.
Pengajar Hukum Pidana dan Direktur Pusat Studi Kejahatan Ekonomi (PSKE) FH-UII
telah ditulis dalam majalah online watyutink