Perekrutan Hakim yang Baik oleh Suparman Marzuki
Perekrutan Hakim yang Baik
Korupsi dalam bentuk suap kepada hakim di pelbagai level pengadilan di Indonesia terus saja terjadi dan terungkap melalui operasi tangkap tangan KPK. Selama periode 2005-2018 saja, KPK menangkap 19 orang hakim. Jika saja angka gelap (dark number) tidak menjadi kendala serius pengungkapan kasus-kasus korupsi, sangat mungkin korupsi di pengadilan memperlihatkan angka mengerikan. Beberapa pengacara menyampaikan ke penulis bahwa OTT KPK, pemecatan hakim, pengawasan KY dan MA tidak berpengaruh sedikitpun. Perilaku oknum hakim dan atau panitera di setiap pengadilan tidak berubah.
Mereka (baca: hakim) terang-terangan minta perkaranya “dibicarakan” dari hulu ke hilir. Pembicaraan hulu mulai dari siapa majelis, panitera pengganti, waktu sidang, ruang sidang, proses sidang (tanya jawab hakim dengan terdakwa, JPU, Pengacara, tergugat, penggugat, saksi, ahli, dst), pertimbangan dalam putusan, ahli mana yang akan dikutif, mana yang tidak, amar putusan hingga dokumen-dokumen putusan.
Mereka juga menyampaikan adanya tiga golongan pengacara. Golongan pertama, adalah pengacara hunter yang setuju total lalu mengatur macam-macam hal bersama hakim dan atau panitera sebagai rangkaian memenangkan perkara. Golongan kedua, pengacara setengah hati setengah bersih. Di satu sisi dia tidak setuju dan tidak pernah melakukan sendiri, tetapi kalau prinsipalnya (klien) nya mau, si pengacara menyerahkan urusan itu kepada kliennya. Dia fokus menangani urusan hukumnya. Golongan ketiga adalah pengacara yang sepenuhnya menolak keras, dan siap memutus hubungan kerja dengan klien yang berkehendak bermain-main dalam perkara.
Saya tentu percaya dengan cerita pengacara tersebut, karena pengacara adalah salah satu pihak dalam perkara yang sangat tahu seluk beluk praktik-praktik busuk semacam itu. Lalu apa hasil 14 tahun penguatan kekuasaan kehakiman melalui satu atap (one roof system) itu? Agaknya yang menguat adalah “atap”-nya dalam pengertian harfiah maupun dalam pengertian simbolik. Secara harfiah, atap pengadilan memang makin kokoh, tidak mudah bocor, dan kuat menahan panas. Secara simbolik-pun demikian; kekuasasaan kehakiman makin kuat, besar, dan tidak lagi ada intervensi eksekutif sebagaimana era orde lama dan orde baru.
Tetapi disadari atau tidak, kebijakan satu atap (one roof system) ternyata menguatkan pula kewenangan monopolisik dan tetutup yang patut diduga menyuburkan penyalahgunaan kewenangan oleh hakim di pengadilan.
Secara teori, yang sudah terbukti dalam banyak kasus, kekuasaan apapun yang monopolistk dan tertutup dan tidak ada mekanisme pengawasan yang memadai melalui kinerja sistem akuntabilitas maka dapat dipastikan terjadi penyelewengan terhadap standar-standar etis perilaku yang diharapkan dari seorang hakim. Karena itu, kegetolan MA dan IKAHI mencegah adanya mekanisme akuntabilitas pelaksanaan kekuasaan kehakiman dengan argumen akan membahayakan independensi kekuasaan kehakiman patut dipikirkan ulang karena bisa dibaca sebagai keengganan menghilangkan kekuasaan monopolisitik dan tertutup yang terbukti mendatangkan keburukan.
Perekrutan hakim baik
Upaya menguatkan independensi kekuasaan kehakiman sudah sepatutnya diorientasikan kepada penguatan integritas personaliti hakim melalui rekrutmen dan seleksi yang akuntabel, baik hakim pengadilan tingkat pertama, tingkat banding dan MA. Rekrutmen hakim PN hendaknya selektif dengan menekankan syarat integritas dan kompetensi calon dengan melibatkan institusi luar guna memastikan akuntabilitas proses sehingga dalam jangka panjang tersedia sumber daya manusia calon hakim agung berintegritas;. Promosi ke hakim tinggi juga mengutamakan rekam jejak yang baik dan berkualitas, yang juga menyertakan intitusi luar, misalnya KY agar prosesnya objektif.
Sementara rekrutmen hakim agung melalui pintu karier dan pintu non-karier patut memperhatikan hal-hal berikut. Pertama, MA tidak melakukan seleksi materiil tentang integritas, independensi, imparsialitas dan kompetensi calon secara transparan dan akuntabel. MA hanya mengajukan atau menyetujui nama-nama yang memenuhi syarat administratif (umur, pendidikan, dan pengalaman) untuk ikut seleksi di KY. Kedua, hakim karier yang memenuhi kualifikasi materiil dan administratif tidak bisa mengajukan diri sendiri untuk ikut seleksi tanpa diajukan atau seijin MA. Ketiga, calon yang tersedia selama ini hingga 15 tahun ke depan adalah hakim-hakim hasil seleksi yang tidak transparan dan akuntabel. Kelima, persyaratan 3 (tiga) tahun menjadi hakim tinggi menghambat calon yang memiliki integritas untuk ikut seleksi hakim agung.
Sementara itu, rekrutmen jalur non-karier sudah sangat terbuka. Siapa saja yang berminat dan memenuhi syarat bisa mendaftar. Problemnya: Pertama, jelas tidak akuntabel karena mekanisme pengajuan calon terbuka tidak tersedia mekanisme penyaringan. Rekomendasi yang diberikan tokoh-tokoh dalam berkas pencalonan lebih karena kedekatan sehingga tidak bernilai sama sekali. Kedua, pencalonan melalui institusi tidak berjalan. Sebagian besar calon mengajukan dirinya. Ketiga, pintu non-karier tidak mampu mendorong figur-figur tertentu yang memenuhi kualifikasi untuk mendaftar. Ketiga, perguruan tinggi, oragnisasi profesi hukum dan NGO kurang aktif mencari dan mengajukan calon.
Harapan ke depan, Pertama, proses rekrutmen/pengajuan calon jalur karier oleh MA dilakukan transparan dan akuntabel dengan cara MA membentuk Tim Rekrutmen dari mantan-mantan hakim agung, akademisi dan praktisi hukum yang memiliki rekam jejak baik untuk memilih calon yang layak disertakan ikut seleksi di KY. Kedua, hakim karier yang telah 20 tahun menjadi hakim (termasuk hakim tinggi) diberi kesempatan ikut serta rekrutmen tanpa perlu ijin MA. Ketiga, untuk calon non-karier sebaiknya KY bekerjasama dengan institusi perguruan tinggi tertentu sebagai mitra melakukan rekrutmen agar yang ikut seleksi KY benar-benar calon yang memenuhi syarat integritas dan kompetensi.
Dengan demikian, upaya rekrutmen dan seleksi hakim yang baik, di tengah menguatnya ketidakpercayaan pada institusi pengadilan, menjadi pilihan utama paling realistis. Hanya hakim berintegritas dan kompeten yang bisa benar-benar independen, berani dan dipercaya dapat memeriksa, mengadili dan memutus perkara tanpa suap.
Senyampang RUU Jabatan hakim sedang dalam proses pembahasan di DPR, maka kesempatan untuk membenahi secara mendasar proses rekrutmen hakim dimaksud sangat diharapkan bisa diatur dalam RUU Jabatan hakim.
Oleh: Suparman Marzuki
Ketua Komisi Yudisial Periode 2013-2015
Telah diterbitkan di Kompas, 25 September 2018