Jangkar Bernegara oleh Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M.

Jangkar Bernegara

Adakalanya dalam praktik berbangsa dan bernegara, terdapat sebuah kondisi dimana setiap cabang-cabang kekuasaan tidak mampu menjawab konflik kepentingan yang lahir dari realitas sosial. Masihkah kita mengingat,  bagaimana bisa dua pucuk lembaga peradilan melahirkan vonis yang bersebrangan? Dalam kasus pencalonan bacaleg DPD, MK menyatakan “a” kemudian tiba-tiba MA menyatakan “b”. Sontak semua bingung, vonis mana yang hendak dirujuk? Masih seputar kelembagaan DPD. Kita juga mengingat bagaimana kisruh berkepanjangan yang lahir akibat legitimasi kepemimpinan. Pertarungan itu terus terpolarisasi antara dua kubu. Kepemimpinan lama yang diwakili oleh Ratu Hemas dan kepemimpinan baru yang diwakili Oesman Sapta. Vonis MA dengan tegas menyatakan masa jabatan pimpinan DPD bukan 2.5 tahun melainkan 5 tahun. Vonis ini seharusnya memulihkan kembali kepemimpinan kubu Ratu Hemas sebagai pimpinan DPD. Namun realitas empiris justru tidak sejalan dengan skenario itu. Konflik itu terus berlanjut bahkan bermuara pada permohonan sengketa lembaga negara di MK. Pada kondisi inilah yang disebut oleh penulis praktik bernegara kita berada pada titik kulminasi dimana lembaga peradilan tidak lagi  mampu menjawab konflik kepentingan masyarakat.

Presidensialisme  

Dua tahun silam, Emha Ainun Najib  pernah menuliskan sebuah narasi kontemplatif dengan judul “Bangsa Yatim Piatu”. Cak Nun menyebutkan bahwa setelah kemerdekaan, bangsa Indonesia tak punya bapak yang disegani, dan tak ada ibu yang dicintai. (Emha Ainun Najib, Bangsa Yatim Piatu, Kompas:2017). Sewaktu bangsa kita belum merdeka, Hayam Wuruk berperan bak seorang kepala negara dan Gadjah Mada berperan bak seorang kepala pemerintahan. Ibarat sebuah kapal, Gadjah Mada berperan sebagai nahkoda, Hayam Wuruk memegang kendali terhadap jangkar. Dalam bentuk pemerintahan monarki, kita mengenal corak itu dengan penyebutan parlementarianisme. Perdana menteri menjalankan pemerintahan, sementara raja berperan sebagai simbol negara. Dalam situasi politik yang tidak stabil, kepala negara (raja) mengambil peran dengan menjaga denyut pemerintahan. Berbeda halnya dengan presidensialisme, Presiden berkedudukan sebagai single executive. Dalam corak ini Presiden mempunyai peran ganda yakni sebagai kepala negara dan juga sebagai kepala pemerintahan. Sebagai episentrum kekuasaan negara, kewenangan presiden tidak hanya menyentuh wilayah eksekutif, melainkan juga merambah pada fungsi legislasi dan kehakiman. (Jack Bell,The Presidency:Office of Power, Bacon Inc:1967). Atas dua peran ganda tersebut, itulah sebabnya Presiden dianalogikan sebagai nahkoda sekaligus pemegang kendali jangkar negara.

Jangkar Bernegara

Kembali pada soal kisruh kelembagaan DPD. Menjadi pertanyaan kemudian,  mampukah Presiden bertindak sebagai jangkar dalam memulihkan kondisi yang ada di DPD ? Memang tidak mudah bagi Presiden. Ada dua faktor yang mempengaruhi. Pertama, soal model presidensialisme kita yang berjalan mundur dari grand desainnya. Kesepakatan dasar dalam perubahan UUD yang mempertegas sistem presidensil justru jauh mengalami deviasi. Hasil perubahan justru menempatkan posisi parlemen sebagai pemenang atau pihak yang sangat diuntungkan atas hasil perubahan UUD. Itu sebabnya, terasa begitu sulit untuk memilah dan menentukan kapan seorang Presiden memainkan perannya selaku kepala negara. Semangat pembatasan kekuasaan begitu terasa hambar. Begitu banyak pengambilan kebijakan  Presiden yang harus melalui persetujuan parlemen. Namun sebaliknya, dalam pelbagai level pengambilan kebijakan di parlemen, tidak ada satupun mekanisme persetujuan atau pertimbangan yang dimintakan kepada presiden. Kedua, hilangnya kepercayaan diri seorang Presiden sebagai kepala negara. Perlu diingat  desain ketatanegaraan kita tidak lagi memberikan porsi kepada Presiden untuk menetapkan maklumat guna merespon dinamika ketatanegaraan. Akibat amandemen yang kebablasan, Presiden cenderung hanya memainkan peran sebagai kepala pemerintahan. Dalam kisruh kelembagaan DPD, Presiden hanya menyerahkan ini sebagai bagian dari proses penegakkan hukum (due process of law). Dalam kedudukannya sebagai kepala pemerintahan itu dapat dibenarkan, tetapi jangan lupa bahwa Presiden juga mempunyai kedudukan sebagai kepala negara. Ada baiknya kita memikirkan kembali pemurnian terhadap praktik presidensil. Segenap upaya itu dilakukan guna memulihkan peran Presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala negara. Bagaimanapun juga, sikap politik seorang Presiden saat ini sangat diperlukan sebagai jangkar dalam menentukan arah politik hukum kelembagaan DPD, yang semakin terombang-ambing di tengah pusaran konflik.

Dr. Idul Rishan,S.H.,LL.M.
Pengurus Asosiasi Pengajar HTN-HAN Wilayah DIY
Pengajar Hukum Konstitusi, Universitas Islam Indonesia