Kampanye SARA oleh Allan Fatchan Gani Wardhana, S.H., M.H.

Penyelenggaraan Pemilu serentak saat ini sedang memasuki tahapan kampanye. Semua berharap bahwa penyelenggaraan pemilu serentak ini harus terlaksana secara demokratis, bermartabat, serta menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Namun upaya untuk mewujudkan pemilu yang demokratis serta bermartabat tidak mudah dan terus berhadapan dengan berbagai tantangan, salah satunya ialah merebaknya kampanye berbau Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA).

Catatan dari Bawaslu, kasus kampanye dengan muatan SARA di antaranya, ditemukan dalam spanduk kampanye di Kalimantan Barat serta kasus di Jawa Barat ketika tersebar isu SARA melalui media sosial (twitter). Dalam Buku Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) 2019, Bawaslu telah memetakan bahwa hingga saat ini, isu kampanye SARA (sekaligus ujaran kebencian) telah terjadi di 27 kabupaten/kota. Adapun Kabupaten Lombok Timur Nusa Tenggara Barat, Kabupaten Teluk Bintuni Papua Barat, dan Kabupaten Alor Nusa Tenggara Timur ditempatkan sebagai daerah yang rawan merebaknya kampanye bermuatan SARA.

Jika ditarik kebelakang, catatan Bawaslu di atas berkorelasi dengan survei yang dilakukan LIPI (bulan Agustus 2018) yang mengemukakan bahwa potensi kampanye SARA dan politik identitas akan terjadi dalam pemilu dengan kemungkinan sebesar 23,6 persen. Bahkan menurut paparan survei tersebut, kampanye SARA masih dianggap sebagai senjata ampuh bagi para kontestan pemilu untuk mengeksploitasi dan mempengaruhi sensitifitas perilaku pemilih.

Regulasi

Adapun larangan kampanye SARA sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 280 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam pasal tersebut diatur bahwa pelaksana, peserta, dan tim kampanye dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain. Selain itu juga tidak boleh menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat. Bagi yang melanggar larangan tersebut dapat dipidana penjara maksimal 2 tahun dan denda paling banyak 24 juta rupiah.

Meski sudah ada regulasinya, namun Kampanye SARA sulit untuk dihindari. Persaingan yang sangat keras antar paslon dalam pilpres dan antar partai politik dalam pileg menjadi akar permasalahan. Persaingan yang sangat keras ini pada akhirnya membuat masing-masing peserta pemilu tidak percaya diri dengan gagasan, ide, serta visi-misi yang dijualkan kepada publik. Sehingga kampanye SARA dijadikan sebagai senjata jitu dalam kampanye untuk meraup suara. Selain itu, rendahnya komitmen baik peserta pemilu maupun masyarakat dalam menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan kebangsaan juga turut menjadi sebab. Rendahnya komitmen ini menjadi ancaman serius dalam berdemokrasi. Merebaknya kampanye SARA dapat merusak upaya semua pihak untuk mewujudkan pemilu yang demokratis dan berintegritas.

Pencegahan & Penindakan

Ada dua solusi untuk mengatasi kampanye SARA ini. Pertama, di sektor pencegahan. Harus ada kerja sama antara penyelenggara pemilu, pemerintah, dan masyarakat sipil untuk mengantisipasi kampanye bernuansa SARA.  Caranya adalah dengan membangun komunikasi dan koordinasi secara intensif dengan lembaga Penyelenggara Pemilu serta stakeholder Pemilu terutama Pemerintah Daerah, Kepolisian Daerah, Perguruan Tinggi, serta tokoh agama/tokoh masyarakat terkait dengan antisipasi penggunaan isu-isu SARA dalam kampanye. Disisi lain KPU dapat berkolaborasi dengan Perguruan Tinggi dalam mengoptimalkan sosialisasi, penyediaan informasi publik, dan pendidikan politik kepada masyarakat, tim kampanye, relawan, serta pasangan calon, baik melalui kegiatan koordinasi maupun menggunakan media massa maupun media sosial. Bawaslu juga dapat mengefektifkan pengawasan partisipatif untuk melakukan pencegahan kampanye SARA. Kedua, di sektor penindakan. Kepolisian harus menindak dengan tegas bagi siapapun yang melakukan kampanye berkonten SARA. Penindakan yang tegas ini merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan penegakan hukum pemilu yang berkeadilan.

Upaya di atas semoga dapat membangkitkan kesadaran bahwa kampanye SARA merupakan ancaman serta tantangan serius dalam berdemokrasi. Apapun alasannya, kampanye SARA merupakan cara kampanye yang destruktif dan tidak pantas untuk dipertahankan. Dalam kampanye, perbedaan suku, agama, ras, dan golongan bukan untuk dipertentangkan, namun dapat dijadikan sebagai alat untuk mempersatukan. Begitulah kampanye yang sehat dan menyehatkan.

Terbit di Koran KR Edisi 17 Januari 2019