Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) memiliki jaringan alumni yang kuat dan solid, oleh karenanya FH UII tidak ada lelahnya untuk terus menciptakan jaringan alumni yang kuat dengan mengadakan temu alumni meskipun di tengah pandemi. Setalah mengadakan temu alumni untuk Chapter Hakim pada Sabtu, 25 September 2021 yang lalu, sekarang FH UII mengadakan temu alumni untuk Chapter Jaksa&Polisi pada hari Sabtu, 02 Oktober 2021 dan Chapter Advokat pada hari Sabtu, 09 Oktober 2021. Temu alumni ini diadakan secara virtual dengan menggunakan media Zoom Meeting, dan diikuti oleh alumni-alumni, pusat studi FH UII, dan ketua departemen FH UII.

Acara temu alumni berlangsung dengan sangat hangat dan kekeluargaan, acara ini dihadiri oleh alumni-alumni yang berprofesi sebaagai jaksa, polisi, maupun yang berprofesi sebagai advokat baik yang berkarya di Yogyakarta maupun di luar kota Yogyakarta. Adanya beberapa generasi yang mengikuti acara tersebut berpendapat bahwa masih memiliki ikatan batin antara alumni dengan dosen-dosen FH UII. FH UII mengadakan acara ini betujuan unutk meningkatkan kualitas komunikasi, juga ingin adanya kerja sama antara para alumni dalam beberapa hal, seperti kolaborasi dengan mahasiswa.

Temu alumni FH UII Chapter Jaksa dan Polisi turut mengundang Yunan Harjaka, S.H., M.H.  sebagai Keynote Speaker. Beliau merupakan seorang Sesjampidum Kejaksaan Agung.

Dalam sambutannya, beliau menyatakan bahwa seorang jaksa harus mampu menginternalisasi perkembangan hukum yang baru di setiap tuntutannya.

“Seperti, satu menentukan siapa yang bisa dituntut terkait subjek hukum dan bukan hanya orang namun juga korperasi serta bagaimana menghadirkan subjek hukum korperasi dalam surat tuntutan. Kedua, menginternalisasi hasil penelitian kemasyarakatan dan meletakannya sebagai dokumen penting dalam memberikan gambaran bagi peradilan mengapa anak melakukan tindak pidana serta sanksi apa yang dibutuhkan agar dapat membuatnya kembali meraih masa depannya. Yang ketiga menginternalisasi hak-hak korban, seperti perlunya pendamping, juru bahasa, penilaian personal bagi penyandang disabilitas. Keterangan korban yang memiliki nilai utama untuk membuktikan kesalahan terdakwa apabila ditambah dengan alat bukti sah lainnya dan sebagainya.”

Dalam sambutannya ia juga menyapaikan harapan ke Fakultas Hukum yaitu, agar dapat mengembangkan mata kuliah klinik hukum dengan Satuan Kredit Semester (SKS) yang cukup. Hal ini menjadi penting karena memberikan kesempatan kepada mahasiswa belajar menjadi praktisi dibawah supervisi dosen dan mentor. Nantinya hasilnya adalah menampilkan peradilan semu yang berkaitan dengan permasalahan-permasalahan nyata yang terjadi di masyarakat. Sehingga diharapkan mahasiswa dapat mempelajari cara mensikapi masalah tersebut dengan mengaplikasikan pengetahuan hukum yang telah diperoleh selama perkuliahan.

Dalam rangkaian acara Temu Alumni, pada chapter hakim, terdapat Focus Group Discussion (FGD) yang dibuka oleh Dekan FH UII yaitu Dr. Abdul Jamil, S.H., M.H.  dan di moderator oleh Ari Wibowo, S.HI., S.H., M.H.

Selanjutnya serangkaian acara temu alumni tersebut dilanjutkan dengan Chapter Advokat. Pada kesempatan kali ini, FH UII mengundang Dr. Ari Yusuf Amir, S.H., M.H. sebagai Keynote Speaker. Saat ini beliau menjabat sebagai Sekjen DPP IKA UII.

Dalam sambutannya, Dr. Ari Yusuf Amir, S.H., M.H. membawakan materi dengan tema “Menjadi Pengacara Arsitek”. Advokat memiliki posisi penting, ia menyebutkan penting profesi tersebut dengan beberapa alasan yaitu profesi advokat berperan dalam penegakan hukum. Setiap proses hukum, baik pidana, perdata, tata usaha negara, bahkan tata negara selalu melibatkan profesi advokat yang kedudukannya setara dengan para penegak hukum lainnya. Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Selanjutnya dalam Pasal 1 butir 1 dijelaskan bahwa advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang.

“Profesi advokat adalah banyak diminati tetapi profesi ini tidak bisa dianggap main-main. Karena dalam menjalankan profesi kita disumpah, maka ada pertanggungjawabannya. Menjalani profesi advokat tidak semudah itu. Faktanya kartu nama dan plang nama kantor tidak menjadi jaminan sukses menjalankan profesi mulia ini. Belum lagi, rumitnya birokrasi dalam sistem penegakan hukum kesemuanya menjadi tantangan tersendiri. Lalu alih-alih menjadi advokat professional, mendapatkan kasus saja sulit. Masyarakat cenderung lebih percaya pada advokat ternama, karena dianggap berkemungkinan menang dalam menangani perkara.” tutur Sekjen DPP IKA UII.

Dalam menjadi pengacara arsitek, advokat harus memiliki beberapa kemampuan antara lain percaya diri, berani, problem solving, kecerdasan intelektual dan moral, kemampuan bahasa, dan kemampuan menulis.  Percaya diri seorang advokat dapat dibangung dengan tekad yang kuat, menguasai materi perkara, banyak belajar dan pengalaman. Kemudian berani dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan terhadap kasus yang ditangani. Seorang advokat harus memiliki kebenarian mental dalam menghadapi setiap tekanan, intimidasi, dan bahkan ancam yang kerap kali muncul.

Selanjutnya, memiliki kemampuan problem solving. Karena banyak mahasiswa hukum setelah menjadi advokat justru sering kali dinilai tidak siap kerja. Salah satu penyebabnya adalah materi tentang peningkatan kemampuan untuk menganalisa dan memecahkan masalah sangat kurang. Selain harus memiliki kemampuan tersebut, advokat juga dituntut memiliki kecerdasan intelektual dan moral secara seimbang dalam menangani setiap perkara. Kecerdasan intelektual mengacu pada kemampuan memetakan perkara, sedangkan kecerdasan moral mengacu pada integritas dan kejujuran seorang advokat.

Kemampuan bahasa asing yang dimiliki advokat juga perlu diperhatikan sebab berguna dalam percakapan dengan klien, dan juga dalam pembuatan dokumen hukum. Dalam pembuatan dokumen hukum dan laporan tidak lepas dari kemampuan menulis. Namun faktanya tidak semua advokat dapat menulis dokumen hukum dengan sistematis, jelas, dan akurat. Maka dari itu, perlu adanya meningkatkan kemampuan menulis karena advokat bukan berarti hanya mendapatkan perkara dan menemukan pemecahannya. Tapi juga menulis dokumen hukum yang terkait dengan perkara dengan baik.

Temu alumni FH UII pada chapter Advokat ini, tetap terdapat FGD dan pada kesempatan kali ini Mukmin Zakie, S.H., M.Hum., Ph.D. salah satu dosen FH UII berperan menjadi moderator. Acara ini ditutup dengan doa yang dipimpin oleh Drs. Dr. Muntoha, S.H., M.Ag. selaku Wakil Dekan Bidang Keagamaan, mahasiswa, dan alumni FH UII.

Lima mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) berhasil meraih juara 1 dan Best Paper dalam Academic Constitutional Drafting MPR RI Tahun 2021. Kelima mahasiswa tersebut ialah Arrival Nur I, Atika N., Jihan S. P., P Adibil A., dan yang terakhir yaitu M. Anugerah P. Mereka merupakan mahasiswa merupakan mahasiswa angkatan 2018. Mahasiswa-mahasiswa tersebut mengikuti lomba didampingi oleh dosen FH UII yaitu Allan Fatchan Gani Wardhana, S.H., M.H. beliau merupakan dosen FH UII dari Departemen Hukum Tata Negara (HTN). Tidak sendirian, Ayunita Nur Rohanawati, S.H., M.H. dosen FH UII dari Departemen Hukum Administrasi Negara (HAN) juga ikut membantu mendampingi tim tersebut dalam menyiapkan diri sebelum perlombaan.

Dr. Abdul Jamil, S.H., M.H. selaku Dekan FH UII menyampaikan kompetisi ini bagi mahasiswa hukum termasuk yang bergengsi, sebab hal ini menjadi ajang mahasiswa calon pemimpin masa depan untuk mengerti secara langsung bagaimana wakil rakyat  dalam mempersiapkan Constitusional Drafting.

“Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) merupakan lembaga pelaksana kedaulatan rakyat oleh karena anggota MPR adalah para wakil rakyat yang berasal dari pemilihan umum yang salah satu tugasnya adalah Mengubah dan menetapkan undang-undang dasar. Kompetisi ini tentu akan menambah pengalam mahasiswa sebagai bekal bagaimana cara mengubah UUD yang benar dan baik Ketika dia menjadi sarjana dan bekerja dilingkungan MPR RI dan DPR RI baik sebagai Tenaga Ahli (TA) atau Aparatur Sipil Negara (ASN).” tutur Dekan FH UII.

Dalam kesempatan kali ini tim Fakultas Hukum UII mengadakan wawancara kepada tim pemenang diwakili oleh Arrival Nur I atau yang akrab dipanggil Rival. Rival sebagai ketua tim menjelaskan tentang perlombaan ini. Lomba Constitutional Drafting merupakan lomba mengenai pembentukan naskah akademik tentang perubahan konstitusi.

“Singkatnya perlombaan ini mengenai bagaimana membentuk naskah akademik dan rancangan perubahan UUD NRI 1945.” ujarnya.

Kelima mahasiswa FH UII mengikuti perlombaan tersebut karena didasari beberapa alasan, yang pertama adalah ikhtiar untuk mengembangkan kemampuan dalam bidang hukum terutama dalam hal menulis dan berpikir logis.

Sebagai mahasiswa hukum sudah sepatutnya memiliki kemampuan dalam bidang menulis dan cara berpikir yang bagus. Maka dari itu perlombaan inilah wadahnya.  Kedua yaitu mengharumkan nama FH UII dan Forum Kajian dan Penulisan Fakultas Hukum UII.

Ada beberapa tahapan yang perlu dilalui sebelum akhirnya kelima mahasiswa FH UII mengikuti perlombaan tersebut, seperti yang disampaikan Rival melalui wawancara.  Kelima mahasiswa tersebut mempersiapkan bahan-bahan kajian, kemudian mencari permasalahan dan alasan-alasa mengenai tema yang diperlombakan.

“Misalnya, dalam hal perlombaan Constitutional Drafting MPR temanya ialah Pokok-Pokok Haluan Negara. Maka yang wajib dipersiapkan ialah ketetapan MPR mengenai GBHN, dan UU SPPN beserta turunannya. Selain itu, dalam melakukan persiapan yang terpenting lainnya ialah mencari dosen pembimbing untuk dibina selama perlombaan sehingga dalam melakukan kajian lebih terarah dan terjadwal dengan baik.” sambungnya.

Secara umum seluruh perlombaan memerlukan pendampingan dosen baik diisyaratkan dalam administrasi perlombaan ataupun hanya untuk membimbing selama persiapan.  Namun untuk perlombaan Academic Contitutional Drafing ini memerlukan peran serta dosen karena permasalahan yang kompleks dan dosen pembimbing tersebut bertugas untuk memberi arahan dalam proses pembuatan draft. Mahasiswa FH UII yang ingin mengikuti perlombaan akan difasiklitasi oleh Forum Kajian dan Penulisan Hukum, setelahnya akan diberikan pilihan dosen pembimbing yang sesuai dengan tema kegiatan tersebut.

Perlombaan Constitutional Drafting MPR RI 2021 memiliki proses yang panjang dari awal pendaftaran hingga sesi presentasi. Selayaknya lomba karya tulis ilmiah yang lainnya, perlombaan ini memiliki 2 (dua) tahapan yakni tahapan pemberkasan dan tahapan presentasi.

“Tahapan pemberkasan. Pada tahap ini seluruh tim dari seluruh universitas di Indonesia mengirimkan berkas mengnai naskah akademik perubahan UUD NRI 1945 kepada MPR. Setelah dikirim, MPR akan melakukan penilaian terhap seluruh berkas dan hanya 10 naskah terbaik yang berhak untuk maju dalam tahapan berikutnya yakni tahapan presentasi. Salah satu dari 10 tim terbaik ialah delegasi FH UII yang berhasil untuk masuk kedalam tahapan presentasi. Kemudian tahapan presentasi. Agenda pada tahapan ini ialah mempresentasikan berkasnya kepada para dewan juri yang terdiri dari akademisi, hingga pimpinan badan pengkajian MPR. Setelah dilakukan presentasi, kegiatan berikutnya ialah prosesi tanya jawab atas naskah atau berkas yang telah dibuat oleh masing masing tim.” jelas Rival.

Delegasi FH UII berhasil mendapatkan gelar sebagai pemilik naskah akademik perubahan UUD NRI 1945 terbaik sekaligus menjadi juara 1 dalam perlombaan tersebut. Hal ini berarti dalam kedua tahapan tersebut delegasi FH UII mampu untuk menjadi yang terbaik.

Kelima mahasiswa FH UII tersebut merasa senang karena berhasil mengharumkan nama FH UII di kancah nasional. Mereka berhasil mejadi bagian dari FH UII yang bertradisi keilmuan. FH UII memiliki kondisi lingkungan yang mendukung dan mengayomi baik dari dosen maupun lembaga kampus.

Sebagai kalimat pamungkas, Rival memberikan pesan kepada mahasiswa-mahasiswa FH UII untuk terus berkarya. Berkarya baik untuk FH UII, Indonesia, dan agama.

Penulis: Ayunita Nur Rohanawati, S.H., M.H.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Administrasi Negara

Pandemi covid-19 dan globalisasi mewarnai kondisi bangsa saat ini. Saat globalisasi dahsyat menjalar ke seluruh masyarakat dunia, pandemi hadir dan semakin mengobrak abrik kondisi masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Dampak dari pandemi yang terjadi bagi masyarakat Indonesia, khusunya pekerja di sektor swasta sangat besar, terutama bagi pekerja yang bekerja di perusahaan yang tidak mampu mempertahankan hingga harus melakukan pemutusan hubungan kerja dengan pekerjanya. Selain itu juga muncul berbagai permasalahan terkait disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, selanjutnya disebut UUCK, di mana salah satu ketentuan yang diatur di dalamnya ialah diperbolehkannya melakukan kesepakatan upah antara pemberi kerja dan pekerja.

Hukum Ketenagakerjaan lahir dalam posisi di antara hukum publik dan hukum privat. Hal ini terlihat dari hukum ketenagakerjaan yang di dalamnya memuat tentang hubungan kerja di mana hubungan tersebut didasarkan pada sebuah perjanjian kerja antara pekerja dan pengusaha. Relasi yang terjalin antara pengusaha dan pekerja tersebut merupakan relasi yang sifatnya privat, namun dalam relasi yang terjalin ini perlu diketahui bahwasanya ada ketimpangan kedudukan antara dua belah pihak yang terlibat dalam perjanjian kerja ini. Adanya ketimpangan tersebut perlu dinetralisir dengan hadirnya pemerintah dalam relasi privat yang terjalin. Kehadiran pemerintah ini menjadi salah satu bentuk proteksi bagi pekerja yang memiliki kedudukan yang lebih rentan dalam sebuah relasi kerja.

Seiring dengan permasalahan globalisasi dan pandemi covid-19 yang berdatangan, memunculkan berbagai macam regulasi baru yang menyesuaikan kondisi tersebut, dalam bidang ketenagakerjaan muncul permasalahan baru yang meresahkan pekerja terkait adanya sebuah “kesepakatan upah”. Mengapa sebuah kesepakatan upah menjadi sebuah masalah baru? Jika dikupas dari sudut pandang hukum ketenagakerjaan, upah adalah salah satu unsur yang disepakati dalam sebuah perjanjian kerja, selain pekerjaan dan perintah. Hal tersebut sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, atau yang dikenal dengan UUK.

Hanya saja yang perlu diingat bahwasanya, upah yang disepakati sebagaimana dimaksud dalam UUK bukan tanpa batasan dan bukan murni dari kehendak para pihak dalam hubungan kerja seperti layaknya perjanjian biasa. Dalam sebuah perjanjian kerja, upah adalah hal inti yang menjadi tujuan pekerja dalam bekerja, demi mencapai kesejahteraan pekerja dan keluarganya. Oleh karena itu, terdapat pengaturan terkait upah minimum. Tujuan dari upah minimum ini ialah untuk memberikan batas bawah dari jumlah pemberian upah yang dilakukan oleh pengusaha pada pekerja, atau disebut sebagai jaring pengaman.

Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan mengatur tentang kesepakatan upah ini berlaku bagi pelaku usaha mikro kecil yang tidak lagi diwajibkan menerapkan upah minimum sebagai batasan pengupahan yaitu dengan batasan 50% dari rata-rata konsumsi masyarakat di tingkat provinsi dan nilai upah yang disepakati paling sedikit 25% di atas garis kemiskinan di tingkat provinsi. Lebih lanjut disebutkan data-data sebagaimana dimaksudkan di atas adalah data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.

Lalu bagaimanakah pengukuran yang dapat dilakukan dengan gambaran yang diberikan pasal dalam PP Pengupahan terbaru tersebut? Hal tersebut masih menjadi tanda tanya besar. Pemerintah sebagai pihak yang dapat memberikan rasa aman bagi pekerja dalam menjalin sebuah hubungan kerja dengan pengusaha, hendaknya dalam hal ini perlu memberikan sebuah gambaran teknis yang tegas yang dapat dilaksanakan terkait dengan penerapan regulasi tersebut dalam wujud regulasi yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dan terdapat sanksi jika ada pelanggaran atas regulasi pengupahan tersebut. Jika sebuah aturan tentang upah tidak diimbangi dengan keberadaan sanksi maka akan membuka peluang terjadinya pelanggaran yang berakibat tidak terpenuhinya hak pekerja yang paling fundamental dan tentunya berpengaruh terhadap kesejahteraan pekerja dan keluarga yang ingin dicapai.

Tulisan ini sudah dimuat dalam rubrik Analisis KR, Koran Kedaulatan Rakyat, 08 Oktober 2021.

 

 

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Salam hormat,

Program Internasional Program Studi Hukum Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia berkolaborasi dengan  Juridical Council of International Program (JCI) secara bangga mempersembahkan International Student Colloquium 2021, sebuah konferensi Internasional yang setiap tahun dilaksanakan oleh Program Internasional Program Studi Hukum Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Konferensi Internasional ini akan diselenggarakan pada 15 Desember 2021, dengan tema “The Interface between Law and Technology in the time of Pandemic”. Akan ada beberapa agenda dalam acara event, yaitu lomba paper internasional, seminar internasional, gala ceremony, dan penghargaan-penghargaan yang akan dianugerahkan oleh para mahasiswa Program Internasional, Program Studi Hukum Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Secara lengkap kami informasikan pelaksanaan International Student Colloquium 2021 sebagai berikut:

 

Pelaksanaan Acara

Akan ada  dua  acara inti dalam International Student Colloquium 2021, yaitu: Seminar Internasional dan International Paper Competition.

Seminar Internasional terbuka bagi umum, baik mahasiswa, dosen, maupun akademisi dan praktisi hukum, yang akan dilaksanakan secara daring. Seminar Internasional ini akan mendatangkan para profesor dari penjuru dunia, yang akan memaparkan mengenai peran dan tantangan Cyber Law dari perspektif negara mereka.

The International Paper Competition terbuka bagi mahasiswa hukum program sarjana dari perguruan tinggi di seluruh dunia. Paper yang terpilih akan dipresentasikan dalam acara International Conference dan akan mendapatkan berbagai kejuaraan, yaitu: 1st Best Paper, 2nd Best Paper, 3rd Best Paper, and 4th Best Paper. For presentation: 1st Best Presenter, 2nd Best Presenter, and 3rd Best Presenter. For Participant: 1st Best Participant and 2nd Best Participant.

 

Pendaftaran

Untuk bergabung dalam Seminar Internasional silahkan klik:

https://bit.ly/ISC2021InternationalConference

Untuk mendaftar dalam kompetisi paper internasional silahkan klik:

https://bit.ly/ISC2021InternationalPaperSubmission

 

Batas pengiriman Paper untuk kompetisi paper internasional sampai dengan 30 November 2021. Untuk informasi lebih lengkap silahkan klik pada:

https://bit.ly/ISC2021GuidebookforPaper.

 

Paper terpilih akan mendapatkan kejuaraan berupa:

Awards
Best paper 1 ( Voucher @ IDR 1.000.000 + Backpack + Merchandise + medals)
Best paper 2 ( Voucher @ IDR 800.000 + Backpack + Merchandise + medali)
Best paper 3 ( Voucher @ IDR 600.000 + Backpack + Merchandise + medali)
Best paper ( Voucher @ IDR 400.000 + Backpack + medali)

Best presenter 1 ( Voucher @ IDR 500.000 + Merchandise + medali )
Best presenter 2 ( Voucher @ IDR 300.000 + Merchandise + medali )
Best presenter 3 ( Voucher @ IDR 200.000 + Merchandise + medali )

Best participant:
Best participant 1 ( Backpack + Merchandise)
Best participant 2 ( Merchandise)

 

Untuk informasi lebih lanjut, silahkan hubungi contact person kami:

M. Agastya Mahendra Ma’ruf ([email protected])

Tata Angelia ([email protected])

 

Terima kasih atas perhatiannya dan kami tunggu kehadiran anda.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,

 

Hormat kami,

The Committee of the International Students Colloquium 2021

Departemen Hukum Tata Negara (HTN) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) pada hari Kamis, (7/10) mengadakan acara Dialektika Konstitusi #1 yaitu kuliah umum yang mengangkat tema “Amandemen Konstitusi dan Konsolidasi Demokrasi”. Acara ini di gelar secara virtual dengan media Zoom.

Acara ini menggandeng dua narasumber yang ahli di bidangnya. Dr. Saifudin S.H., M. Hum. sebagai narasumber pertama, beliau merupakan seorang dosen HTN FH UII. Beliau mengangkat tema “Qou Vadis Amandemen Konstitusi”. Kemudian sebagai narasumber kedua pada acara ini yaitu Dr. Abdul Gaffar Kari, S. IP., M.A. adalah seorang dosen Fisipol Universitas Gajah Mada (UGM). Ia mengangkat tema “Konsolidasi Demokrasi di Indonesia”. Acara diskusi ini berjalan dengan lancar, dan dipandu oleh moderator yatu Dr. Jamaluddin Ghafur, S.H., M.H. seorang dosen HTN FH UII.

Dr. Saifudin S.H., M. Hum. dalam acara tersebut mengatakan bahwa melihat pada naskah original intens UUD 1945 produk proklamasi yang disusun oleh para founding fathers, merupakan naskah singkat yang terdiri dari 16 BAB, 37 Pasal, 4 Pasal peralihan dan 2 Pasal Tambahan. Menurut Soepomo, UUD 1945 produk proklamasi disusun berdasarkan pilihan (staatsidea integralistik) yang diterjemahkan sebagai bahasa kekeluargaan. Dalam sudut pandang Negara, sebagai Negara dalam satu kesatuan yang integral yang melindungi berbagai pendiri di atas berbagai golongan.

Kemudian struktur ketatanegaraan dimunculkan adanya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara yang memiliki kewenangan merubah UUD 1945, menetapkan GBHN dan melaksanakan kedaulatan rakyat lainnya. Dalam kewenangan menetapkan GBHN, maka GBHN harus dilaksanakan oleh Presiden, di sini lah muncul istilah Presiden sebagai mandataris MPR. Sehingga apabila Presiden menyimpang dari GBHN yang telah ditetapkan, Presiden dapat diminta pertanggungjawabannya. Oleh karena itu, banyak pendapat yang mengatakan bahwa UUD 1945 produk proklamasi menganut sistem pemerintahan campuran, yaitu sistem pemerintahan presidensiil yang tampak dari kekuasaan eksekutif yang dipegang oleh Presiden. Sedangkan sistem parlementer tampak pada pertanggungjawaban Presiden kepada MPR apabila Presiden dalam melaksanakan GBHN menyimpang maka dapat diberhentikan.

“Setelah 20 tahun perjalanan reformasi, mengenai program pembangunan terkait arah kebijakan-kebijakan yang diambil menunjukkan diskontiunitas program-program pembangunan yang sebelumnya. Hal ini karena tiap Presiden lebih memilih program pembangunan sesuai selera berdasarkan kampanye pilpres.” ujar  Dr. Saifudin S.H., M. Hum.

Oleh karena itu, perlu adanya amandemen lanjutan bagaimana kemudian memasukkan PPHN ke dalam konstitusi. Pemilihan nomenklatur PPHN bukan GBHN untuk menunjukkan sebagai Negara Republik adanya pembaharuan yang bisa diterima oleh publik, selain itu untuk menunjukkan adanya perbedaan PPHN berbeda dengan GBHN, apabila penggunaan GBHN terkesan bahwasahnya kembali pada model sistem lama yang bertumpu pada MPR sebagai lembaga tertinggi negara.

Sejalan dengan Dr. Saifudin S.H., M. Hum. pada kesempatannya Dr. Abdul Gaffar Kari, S. IP., M.A.  mengatakan bahwa amandemen konstitusi adalah wujud renegosiasi kontrak sosial, yang harus dikelola secara sakral (dalam bentuk kehendak rakyat). Namun dalam praktinya, posisi kehendak rakyat itu tidak terjalankan melainkan kehendak elite politik.

“Renegosiasi Kontrak Sosial adalah proses sosial-politik dimana para actor melakukan peninjauan ulang terhadap kesepakatan yang sebelumnya ada, untuk diagntikan dengan kesepakatan yang baru, baik secara menyeluruh maupun sebagian.” pungkas Dr. Abdul Gaffar Kari, S. IP., M.A.

Aspek kunci renegosiasi kontrak sosial berjalan di tiga aspek:

  1. Individu : komposisi, pola relasi, sirkulasi
  2. Otoritas : pimpinan, format kenegaraan (Indonesia pernah beberapa kali melakukan format ketatanegaraan)
  3. Norma : konstitusi, regulasi

Syarat renegosiasi norma

  1. Sejalan dengan kehendak rakyat; (syarat etik)
  2. Memenuhi ketentuan yang berlaku untuk mematuhi kehendak rakyat; (syarat legal)
  3. Disepakati oleh kekuatan-kekuatan politik utama (syarat politik)

Ketiga syarat ini harus dikawal dengan tiga rangkaian yaitu, proposal (ada ide atau tujuan untuk mengubah amandemen konstitusi sebagian atau menyeluruh), process (rencana perubahan tersebut ditindaklanjuti dengan adanya proses dan ketentuan), dan approval (rakyat harus dipastikan tau, diketahui dan dilaksanakan oleh rakyat).

Assalamualaiakum Wr.Wb.

Diinfokan kepada seluruh mahasiswa/I matakuliah Praktik Peradilan Pidana dan Praktik Peradilan Perdata Semester Ganjil TA.2021/2022 (Mahasiswa Reguler dan Program Internasioanl), bahwa mulai hari Jumat 8 Oktober 2021 akan dimulai Kegiatan Mengikuti Persidangan Di Pengadilan Negeri.
Berikut kami lampirkan link Google Form untuk permohonan pelaksanaan kegiatan mengikuti persidangan di Pengadilan Negeri secara luring :
https://forms.gle/7FEspJRUqBKjKXAw7

Kemudian Surat Pernyataan telah mendapat izin dari orang tua, Hand Out dan Rekaman Pembekalan tekhnis kegiatan dapat diakses di link berikut :
https://drive.google.com/drive/folders/1hxN7sUmqcZLk9XDhpRxKx3M8W6KKupp8?usp=sharing
(harap login Gmail menggunakan akun UII)

Demikian informasi ini disampaikan atas perhatiannya diucapkan terima kasih.
Wassalamualaikum Wr.Wb.

(TAMAN SISWA); Juridical Council of International Program (JCI) Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII) pada hari Rabu, 29 September 2021 menggelar kajian aktual dengan mengangkat tema “Efektivitas dalam Penegakan Sanksi Pidana terhadap Kekerasan Anak” yang dibawakan langsung oleh Ari Wibowo, S.H.I.,S.H.M.H. selaku dosen FH UII, departemen Hukum Pidana. Kegiatan dilaksanakan secara daring melalui zoom dan dihadiri oleh kurang lebih 50 peserta

Pada kesempatan kajian kali ini Ari Wibowo membahas mengenai instrument hukum yang mengatur tentang perlindungan terhadap anak dan seberapa efektif dampak dari hukum tersebut di msyarakat. Ketika ancaman pidananya terlalu ringan sehingga dinilai kurang efektif, para pembentuk UU telah mencoba mengubah dan menguatkan UU Perlindungan Anak yang ada dengan menambahkan pemberatan ancaman pidananya sebanyak 1/3 dari sanksi pidana sebelumnya. Dengan adanya perubahan ini diharapkan dapat menimbulkan efek penjeraan bagi pelaku agar tidak mengulang perbuatannya di masa yang akan datang dan memberikan peringatan bagi masyarakat agar tidak melakukan perbuatan yang serupa.

Beliau juga menambahkan mengenai tanggapannya  mengapa indonesia memilih kebiri kimia untuk menjatuhi hukuman, sedangkan di luar negeri kebiri kimia merupakan hal yang sudah dianggap biasa, seperti seseorang yang memang tidak mau menikah dan untuk mengurangi hawa nafsu, mereka akan mendatangi dokter untuk disuntikan kimia tersebut. Sedangkan di indonesia malah dijadikan deterrent effect? dalam menjawab pertanyaan tersebut menurut Ari Wibowo kebijakan pemberatan pidana berupa kebiri kimia sebagai sanksi tindakan dalam Perpu No.1 tahun 2016 adalah secara tidak langsung telah mempresentasikan bahwa tujuan dari pemidanaan bukan semata-mata sebagai ajang pembalasan atau penjeraan, melainkan sebagai bentuk rehabilitasi atau pemulihan kondisi pelaku agar tidak mengulang kesalahan yang sama.

Dodik Setiawan Nur Heriyanto, S.H.,M,H.,LL.M.,Ph.D yang merupakan sekretaris prodi hukum program sarjana IP juga turut hadir. Beliau mengakui ada banyak ilmu baru yang didapatkan dari sesi pemaparan materi. Diharapkan dengan diangkatnya tema ini peserta dapat lebih peduli mengenai isu kekerasan terhadap anak.

MANUAL ACARA PEMBEKALAN MATA KULIAH PEMAGANGAN

Disampaikan kepada mahasiswa mata kuliah Pemagangan Program Studi Hukum Program Sarjana pada Semester Ganjil T.A. 2021/2022, Selanjutnya akan diselenggarakan acara Pembekalan Peserta Pemagangan yang akan dilaksanakan pada:

Hari/Tanggal : Sabtu, 9 Oktober 2021
Pukul : 09.30 – 12.00 WIB
Media : Daring (via Zoom)

Adapun pembagian ruang (link zoom) dan jadwal pembekalan sebagaimana informasi di bawah:

Loader Loading...
EAD Logo Taking too long?

Reload Reload document
| Open Open in new tab

Download Rundown Pembekalan [475.38 KB]

Narahubung :
Admin Pemagangan –> 0858 7525 0408 (WhatsApp)

Disampaikan kepada seluruh Mahasiswa Mata Kuliah Pemagangan, untuk memperhatikan pengumuman berikut :

Pemagangan Mandiri:

Loader Loading...
EAD Logo Taking too long?

Reload Reload document
| Open Open in new tab

Pemagangan Reguler :

Loader Loading...
EAD Logo Taking too long?

Reload Reload document
| Open Open in new tab

Download [809.55 KB]

Internship Class (IP) :

Loader Loading...
EAD Logo Taking too long?

Reload Reload document
| Open Open in new tab

Download [537.79 KB]

Narahubung :
Admin Pemagangan –> 0858 7525 0408 (WhatsApp)

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) Program Magister dan Doktor bekerjasama dengan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menyelenggarakan Kuliah Umum, “Masa Depan Demokrasi Presidensial Indonesia” pada Sabtu (2/10). Acara ini menghadirkan pembicara, Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., M.P.A. yang saat ini menjabat sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi RI.

Wakil Rektor Bidang Pengembangan Akademik dan Riset UII, Dr. Drs. Imam Djati Widodo, M. Eng. Sc. dalam sambutannya mengatakan bahwa dengan adanya acara seperti ini diharapkan mahasiswa dapat memiliki kemampuan yang lebih dibidang praktis yang tidak hanya berdasarkan teori dan berdasarkan refrensi tetapi langsung dari aktor-aktor di posisi yang memang menentukan proses hukum di Indonesia.

Senada dengan Y. M. Dr. Suhartoyo, S.H., M.H. selaku Hakim Mahkamah Konstitusi RI, bahwa smartboard yang dapat digunakan sebagai persidangan jarak jauh, bisa menjadi subyek hukum yang bisa memberikan kontribusi orang untuk mencari keadilan. Oleh karena itu, nilai-nilai hukum Mahkamah Konstitusi untuk mendatangkan alat ini mempermudah saran komunikasi dan esensial yaitu bagaimana Mahkamah Konstitusi bisa menjangkau para pencari keadilan.

Mahkamah Konstitusi melalui kaki tangannya yang merupakan lembaga-lembaga yang diajak berkerja sama termasuk seperti salah satunya UII menjadi bagian yang tak terpisahkan, satu kesatuan dengan unsur yang mendukung akses to justice, jadi kemudahan-kemudahan mencari peradilan dalam medapatkan keadilan.

Selanjutnya Kuliah Umum ini dipandu oleh moderator yaitu Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M selaku dosen FH UII Departemen Hukum Tata Negara. Dalam penyampaian materinya, Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., M.P.A. mengatakan bahwa sistem yang dihasilkan oleh para pendiri adalah sistem presidensial murni.

“Pembangunan pemerintah bermasalah apakah karena tidak ada GBHN? Belum tentu. Daerah mengapa tidak bisa sinkron dengan pemerintah pusat? Pertama problem yang ada saat ini adalah kepala-kepala daerah berbeda partai dengan presiden, lalu bagaimana caranya membuat desain dalam penyelenggaraan pemerintahan? Kedua, kalau ada program-program daerah yang dalam bentuk produk hukum, yang dibuat daerah kemudian bertentangan dengan pemerintah pusat, pemerintah pusat dapat menggunakan pengawasan preventif, seperti diberi peringatan.” ujar Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., M.P.A.

Dengan memilih sistem presidensil, kita memanag harus siap melihat ada perbedaan terus menerus antara pemegang kekuasaan eksekutif dengan pemegang kekuasaan legislatif. Tidak mungkin suatu negara tidak ada program perencanaan, perlu program perencanaan. Program perencanaan ini jangan sampai menjebak dan merusak kita dalam sistem presidensil.