Berdasarkan Keputusan Badan Kehormatan (BK) Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Ratu Hemas diberhentikan sementara sebagai senator DPD. Badan Kehormatan mengambil langkah tegas, sebab Ratu Hemas dinilai melanggar etika dan profesionalisme sebagai seorang senator. Ketidakhadirannya dalam beberapa rapat paripurna sebenarnya bukan tanpa alasan. Baginya, kepemimpinan Osman Sapta Odang di DPD tidak memiliki legitimasi yang absah. Ratu Hemas merujuk pada Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 20/PHUM/2017. Dalam putusannya, MA menyatakan masa jabatan pimpinan DPD bukan 2,5 tahun melainkan 5 tahun. Tanpa disadari, kisruh ini kembali membuka pertarungan lama antara dua kubu. Read more
Penulis: M. Syafi’ie, S.H., M.H.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara
Komisi Pemilihan Umum (KPU) hampir pasti menolak keberatan salah satu partai dan beberapa orang yang mempertanyakan atas masuknya orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dalam daftar pemilih tetap (DPT). KPU menyatakan memiliki landasan yang kuat untuk memasukkan ODGJ dalam daftar pemilih. Namun, ada persyaratan tambahan yang harus dilengkapi ODGJ ketika mau memilih, yaitu harus memiliki surat keterangan sehat dari dokter.
Respon penulis terhadap KPU ada dua, pertama, apresiasi karena lembaga ini telah menghormati hak politik dan kewarganegaraan ODGJ, yang di dalam UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas telah dimasukkan sebagai bagian dari difabel mental. Kedua, persyaratan surat sehat dari dokter sebagai bagian pemenuhan hak pilih difabel mental perlu didiskusikan lebih jauh. Persyaratan sehat jasmani dan rohani bagi difabel sudah lama menjadi momok menakutkan, dalam praktek persyaratan ini berdampak pada diskriminasi dan penghilangan hak-hak difabel.
Terkait dengan hak pilih difabel –dalam hal ini salah satunya ODGJ– secara spesifik hak ini telah dijamin dalam Undang-Undang yang secara spesifik mengatur hak-hak difabel. Dalam Pasal 13 UU No. 8 Tahun 2016 dinyatakan bahwa hak politik bagi difabel diantaranya adalah hak memilih dan dipilih dalam jabatan; memilih partai politk dan/atau individu yang menjadi peserta dalam pemilihan umum; berperan serta aktif dalam sistem pemilihan umum pada semua tahap dan/atau bagian penyelenggaraannya; memperoleh akesibilitas sarana prasarana penyelenggaraan pemilihan umum, pemilihan gubernur, bupati/walikota, dan pemilihan kepala desa atau nama lain; dan memperoleh pendidikan politik.
Begitu pentingnya hak politik bagi difabel, maka Pasal 75 ayat (1) dan (2) Undang-Undang ini memandatkan kewajiban kepada pemerintah pusat dan daerah untuk menjamin agar difabel dapat berpatitisipasi secara efektif dan penuh dalam kehidupan politik, dan menjamin hak dan kesempatan difabel untuk memilih dan dipilih. Pemerintah pusat dan daerah yang dalam hal ini tanggungjawabnya dijalankan oleh KPU dan KPUD agar memperhatikan keragaman disabilitas dan memastikan prosedur, fasilitas dan alat bantu pemilihan bersifat layak, dapat diakses, mudah dipahami dan dapat digunakan oleh difabel.
Norma hukum yang secara khusus juga menjamin hak pilih difabel adalah UU No. 19 Tahun 2011 tentang 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas. Pasal 29 Konvensi ini menegaskan bahwa negara harus menjamin hak politik difabel dan memastikan difabel menikmati hak-hak tersebut atas dasar kesetaraan dengan orang-orang lain. Karena itu negara wajib menjamin prosedur, fasilitas, dan materi yang memadai, dapat diakses, mudah dipahami dan digunakan. Termasuk adalah jaminan untuk untuk memilih secara rahasia.
Pernah Menjadi Polemik
Hak pilih ODGJ pernah ditiadakan secara hukum pada tahun 2015. Peniadaan secara struktural ini kemudian dikasuskan di Mahkamah Konstitusi. Pada waktu itu, Perhimpunan Jiwa Sehat yang dipimpin Jenny Rosanna Damayanti, Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat (PPUA PENCA) yang dipimpin Arini, dan Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM) yang dipimpin Titi Anggraini melakukan judicial review pasal 57 ayat (3) huruf a UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
Pasal 57 ayat (3) huruf a menyatakan bahwa salah satu persyaratan warga negara Indonesia yang bisa didaftar sebagai pemilih adalah orang yang sedang “tidak terganggu jiwa/ingatannya”. Ketentuan ini oleh para pemohon dinilai berpotensi menghilangkan hak seorang warga negara untuk terdaftar sebagai pemlih dan memberikan suaranya dalam penyelenggaraan pemilihan. Pasal ini dinilai merugikan hak konstitusional yang telah dijamin pada Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, dan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Setelah dilakukan pemeriksaan permohonan dan alat bukti diantaranya mendengarkan keterangan saksi, mendengarkan keterangan ahli dan keterangan para pihak, Mahkamah Konstitusi lewat Putusan Nomor 135/PUU-XIII/2015 menyatakan mengabulkan permohonan untuk sebagian. Pasal 57 ayat (3) huruf a dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang frasa “terganggu jiwa/ingatannya” tidak dimaknai sebagai “mengalami gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan permanen yang menurut bidang kesehatan jiwa telah menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam pemilihan umum”
Membaca Putusan Mahkamah Konstitusi yang kita kenal sebagai pelindung konstitusi (the guardian of constitution), pengawal dan pelindung hak-hak konstitusional warga negara maka kita akan mengerti bahwa ODGJ tidak bisa digeneralisasi dan tidak semua ODGJ tidak memiliki hak pilih. Keputusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pada prinsipnya ODGJ memiliki hak pilih sepanjang ‘gangguan jiwa atau ingatan’ tidak permanen. Keputusan Mahkamah Konsitusi ini didasarkan pada pendapat professional di bidang kesehatan bahwa hilangnya ingatan atau gangguan jiwa yang permanen bisa dimaknai juga menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam pemilihan umum.
Merujuk pada putusan Mahkamah Konsitutusi, maka sudah selayaknya KPU-KPUD memikirkan bagaimana cara mengidentifikasi permanen atau tidaknya seorang ODGJ dan bagaimana cara yang tepat memfasilitasi hak pilih difabel ODGJ. Terkait hal ini, sudah selayaknya KPU-KPUD mengajak diskusi aktifis dan pendamping difabel mental yang ada di Indonesia. Tujuan besarnya adalah menampung bagaimana cara mengenali difabel mental yang ternyata tidak tunggal, belajar bagaimana cara yang tepat untuk berinteraksi, dan terpenting menelaah bagaimana model fasilitasi yang harus dipersiapkan oleh para petugas pemilihan umum. Hal ini penting agar tidak terjadi diskriminasi berulang-ulang kepada difabel mental yang diberikan hak pilihnya.
Pada sisi yang lain, analisis normatif hak pilih difabel dan tinjauan putusan Mahkamah Konstitusi di atas memberikan pesan agar tidak ada lagi pihak yang mempertanyakan hak pilih difabel ODGJ. Sama dengan manusia pada umumnya, ODGJ juga memiliki hak pilih. Lebih jauh, hak ini merupakan sarana bagi komunitas difabel mental untuk memperbaiki nasib mereka dengan memilih pemimpin yang memikirkan hak-hak mereka yang tercerabut. Selama ini, keberadaan mereka disingkirkan dalam pikiran dan wacana publik, dan tidak pernah diperhatikan dengan serius oleh pemangku kebijakan, sehingga banyak di antara mereka harus menjadi korban kekerasan di jalanan, diperkosa oleh orang-orang tidak bertanggungjawab, dan dipermainkan dalam dalam beberapa momen kekerasan. Pertanyaannya, betulkah hak pilih akan menjawab problem dan hak-hak kaum ODGJ? Belum tentu. Tapi hak ini adalah sarana awal pengakuan eksistensi kaum paling marginal di negeri ini.
Tulisan ini telah dimuat dalam Koran SINDO.
Sejak mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Salahuddin Uno mengundurkan diri pada 9 Agustus 2018, sampai saat ini penggantinya masih misteri.
Partai Gerindra dan PKS sebagai partai yang memiliki hak me ngu sulkan dua nama kandidat wagub baru un tuk dipilih melalui DPRD DKI Ja karta belum bersepakat hingga saat ini. Kekosongan posisi wagub dalam waktu yang lama dan dibiarkan tanpa kejelasan seperti saat ini mengindikasikan satu hal, yakni bahwa secara keta ta ne ga raan posisi wakil kepala daerah sesung guhnya tidak penting. Setidak nya ada tiga alasan yang dapat dijadikan parameter bahwa posisi wakil kepala daerah tidak begitu urgen. Pertama, tidak terdapat dampak apapun dari kekosongan kursi wagub DKI yang cukup lama. Read more
Penguatan Sistem Pengawasan
Hingga Oktober 2018, setidaknya ada sembilan belas (19) kepala daerah yang ditangkap KPK karena kasus korupsi. Kasusnya beragam, mulai dari menjual jabatan, suap pelaksanaan proyek, dan suap meloloskan APBD, setidaknya tiga modus perkara di atas yang paling banyak dilakukan. Bahkan di satu daerah, ada 41 dari 45 wakil rakyat melakukan korupsi jamaah bersama dengan kepala daerah. Kondisi ini, tentu dapat dilihat dari banyak perspektif, ongkos politik yang mahal, moral pemimpin yang bobrok, budaya masyarakat yang tidak mendukung, dan lain sebagainya. Tulisan ini akan melihatnya dari sistem pengawasan yang lemah. Read more
Kampanye Pemilu dan Janji Politik
Jakarta -Di antara 11 tahapan pemilu, tahapan kampanye seharusnya menjadi hal yang paling penting bagi rakyat. Melalui kampanye para calon presiden dan wakil presiden serta calon anggota legislatif memberitahukan kepada warga masyarakat tentang apa yang akan dilakukannya jika kelak dirinya terpilih. Bagi rakyat, informasi ini menjadi sangat penting sebagai referensi dalam menentukan pilihan pada hari pencoblosan kelak. Read more
Integritas Hakim
Dunia peradilan kembali dilanda persoalan integritas para hakimya. Dua berita mengejutkan di akhir tahun ini menjadi refleksi bersama betapa integritas hakim semakin rusak dan susah untuk diharapkan tegak. Pertama, baru saja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan Operasi tangkap tangan terhadap Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam OTT tersebut, Ketua Majelis Hakim dan satu hakim anggota menerima suap berkaitan dengan perkara perdata yang sedang ditanganinya terkait pembatalan perjanjian akuisisi PT Asia Pacific Mining Resources dan PT Citra Lampia Mandiri. Kedua, terbongkarnya kasus perselingkuhan antara Hakim dengan pegawai pengadilan yang terjadi di Pengadilan Negeri Bali. Meski kasus perselingkuhan ini telah dilaporkan ke Mahkamah Agung, tetapi sampai saat ini belum ada tindak lanjutnya. Read more
Pemilihan umum (Pemilu) sudah memasuki tahapan kampanye hingga 13 April 2019 mendatang. Menurut UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, kampanye diartikan kegiatan peserta Pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta Pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri peserta Pemilu. Read more
MA dan Keadilan Kita
Dalam tiga bulan terakhir, sudah tiga kali Putusan Mahkamah Agung (MA) menuai begitu banyak sorotan publik. Pertama, kita masih ingat bagaimana MA menjatuhkan Putusan terhadap pengujian PKPU. MA membolehkan mantan narapidana korupsi untuk maju sebagai calon legislatif. Dengan tegas MA menyatakan bahwa pelarangan terhadap mantan napi korupsi dalam PKPU dinilai bertentangan dengan UU Pemilu. Dalam perkara ini, interpretasi hakim dibangun dengan pendekatan originalis yang mengutamakan struktur hukum atau kebenaran formil (Phillip Bobbit: Constitutional Fate,1991). Read more
Polemik Mutasi Aparatur Sipil Negara
Maraknya kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Kepala Daerah menjadi catatan kelam bagi kinerja Kepala Daerah. Terakhir pada Oktober lalu, KPK melakukan OTT terhadap Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisasatra yang antara lain terkait dengan kasus dugaan suap jual beli jabatan dalam hal mutasi jabatan Aparatur Sipil Negara (ASN). Begitu pula dalam kasus OTT Kepala Daerah sebelumnya, kasus suap jual beli jabatan dalam hal mutasi jabatan ini sering menjadi penyebab dijadikannya Kepala Daerah sebagai tersangka. Jika merujuk kepada perundang-undangan mengenai Apartur Sipil Negara, yaitu di Undang-Undang No.5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara dan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2017 Tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, pejabat yang berwenang untuk menetapkan mutasi disebut dengan Pejabat Pembina Kepegawaian.
Menyoal Ambang Batas Calon Pegawai Negeri Sipil
Penyelenggaraan proses seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) 2018 baik di Pusat maupun di daerah yang masih berjalan hingga bukan tanpa kendala. Pasalnya terdapat problem ambang batas atau “Passing Grade” dalam tahapan Seleksi Kompetensi Dasar (SKD) yang dinilai terlalu tinggi untuk para peserta ujian seleksi CPNS. Terutama untuk penerimaan CPNS di Daerah. Read more
Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia
Jl. Kaliurang KM. 14,5 Sleman Yogyakarta 55584
Telepon: +62 274 7070222 ext. 5200
Email: [email protected]












