Harus diakui, memasuki usianya yang ke-14 tahun Mahkamah Konstitusi, kita masih tetap dalam fase pencarian format ideal pelembagaan MK. Read more
Tag Archive for: pasca sarjana
Hakim MK Negarawan oleh Jamaludin Ghafur
Jamaludin Ghafur[1]
Satu-satunya jabatan yang secara eksplisit disebutkan dalam UUD 1945 harus diisi oleh sosok negarawan adalah jabatan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal 24C ayat (5) UUD 1945 menegaskan bahwa Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. Dalam konteks bernegara, negarawan tentu merupakan kualifikasi tertinggi dalam sebuah persyaratan sebagai pejabat publik.
Tertangkapnya hakim konstitusi Patrialis Akbar oleh KPK atas dugaan menerima suap dalam perkara pengujian undang-undang menyadarkan publik bahwa tidak semua hakim MK adalah seorang negarawan. Sejak MK berdiri pada tahun 2003, kasus hukum yang menjerat hakim MK bukan baru kali ini saja terjadi. Ada sejumlah kasus hukum dan etik yang pernah terjadi sebelumnya yaitu kasus suap Akil Mochtar mantan Ketua MK yang telah divonis penjara seumur hidup; pelanggaran kode etik oleh Mantan Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi; dan Ketua MK saat ini Arief Hidayat pernah dinyatakan terbukti melanggar kode etik butir ke-8 soal kepantasan dan kesopanan sebagai hakim konstitusi karena memberikan memo kontroversial kepada mantan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Widyo Pramono.
MK dan Cita Supremasi Hukum
MK adalah anak kandung reformasi. Lembaga ini dilahirkan saat Indonesia mengalami transisi demokrasi. Sebelum MK lahir, kekuasaan kehakiman di Indonesia hanya dijalankan oleh Mahkamah Agung (MA). Banyaknya mafia peradilan di tubuh MA saat itu menjadi alasan mengapa Indonesia membutuhkan lembaga peradilan lain selain MA. Maka dibentuklah MK yang diberi tugas untuk menangani berbagai soal ketatanegaraan. Harapannya, MK dapat menjadikan hukum berdiri tegak sebagai panglima dalam mengawal perjalan bangsa di mana pada masa rezim pemerintahan sebelumnya hukum selalu di kalahkan oleh kepentingan-kepentingan politik. Melalui lembaga ini, bangsa Indonesia berharap agar keadilan dan hak-hak masyarakat dapat terlindungi.
Di periode pertama dan kedua,di bawah kepemimpinan Jimly Asshiddiqie dan Moh. Mahfud MD, harapan akan tegaknya supremasi hukum di Indonesia perlahan namun pasti mulai menunjukkan titik terang. Banyak putusan-putusan MK yang diapresiasi oleh publik karena putusannya dianggap mewakili rasa keadilan masyarakat. MK pada masa itu pernah menjadi salah satu lembaga penegak hukum yang dihormati dan berwibawa di mata masyarakat.
sayangnya, spirit perjuangan itu tidak dapat dilanjutkan oleh generasi berikutnya. Sebagian hakim pengganti tidak lagi memegang teguh nilai-nilai dan prinsip mulia yang telah dibangun dan diwariskan oleh para pendahulunya. Sejarah perjalanan MK berikutnya bukan lagi sejarah tentang prestasi dan kegigihan untuk menegakkan supremasi konstitusi, tetapi MK telah menjadi lembaga yang tidak lagi ada bedanya dengan lembaga-lembaga penegak hukum lainnya yang mulai kerasukan mafia-mafia peradilan. Bahkan sebagian mafia itu berasal dari internal hakim MK.
Evaluasi Mekanisme Seleksi Hakim MK
Lolosnya seseorang yang tidak memiliki predikat negarawan sebagai hakim MK salah satu faktornya karena ketidak jelasan prosedur dan mekanisme seleksi hakim MK. Secara konstitusional, ada tiga lembaga yang memiliki kewenangan untuk memilih hakim MK yaitu Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden. Namun demikian, ketiga lembaga tersebut tidak memiliki standar yang baku tentang tatacara seleksi hakim MK. Tidak mengherankan jika proses pemilihan hakim MK selalu berbeda dari waktu ke waktu. Praktik pengusulan, pemilihan, dan pengangkatannya masih bersifat ‘trial and error’.
Di DPR, meskipun proses uji kelayakan dilakukan terbuka namun tidak pernah menjelaskan apa indikator penilaian dan argumentasi terpilihnya seseorang sebagai hakim MK. Seleksi calon hakim MK jalur Presiden dilakukan secara tidak konsisten. Masa pemerintahan SBY, ditunjuk langsung oleh Presiden. Sementara pada era Jokowi membentuk panitia seleksi. Sementara di Mahkamah Agung (MA), mekanisme rekrutmen calon hakim MK sangat tertutup baik dari segi siapa yang boleh mendaftar dan mekanisme seleksinya. Akibatnya, calon hakim konstitusi dari MA selalu berasal dari internal mereka yang kualifikasinya tidak pernah diketahui oleh publik.
Agar tercipta parameter yang jelas terkait kelayakan calon hakim konstitusi, ada beberapa hal yang harus dilakukan: Pertama, MA, DPR, dan Presiden harus membentuk peraturan bersama yang mengatur tentang Pedoman Kelayakan Hakim Konstitusi. Kedua, membentuk mekanisme yang sinergis dengan tahapan yang sama di dalam masing-masing lembaga agar tidak ada unsur pembeda antara seleksi melalui MA, DPR atau Presiden; ketiga, membentuk tim seleksi di masing-masing lembaga, dan oleh masing-masing lembaga dengan keanggotaan yang bersifat independen; keempat, melembagakan mekanisme fit and proper test sebagai sarana bagi publik untuk ikut berpartisipasi menjadikan proses seleksi hakim konstitusi transparan dan akuntabel.
[1] Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK) FH UII
Dalam waktu dekat kerjasama-kerjasama tersebut akan lebih ditingkatkan lagi ke arah yang lebih penting lagi, terutama yang berkaitan dengan pengembangan kelembagaan dan peningkatan kontribusi program dalam pembangunan hukum di masyarakat.

DISKUSI PANEL
KEBIJAKAN PERTANAHAN DAN MASA DEPAN PETANI INDONESIA
Departemen Hukum Administrasi Negara FH UII
Latar Belakang.
“Bila kami hendak membinasakan suatu negeri, kami jadikan orang-orang yang melampaui batas sebagai penguasa (mayoritas), kemudian mereka menyeleweng dari kebenaran, maka layaklah kutukan kami terhadap mereka, kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya” (Qs.Al-Israa:16).
Negara Indonesia adalah salah satu dari sekian besar Negara-negara dunia yang hidup dan bergantung dari sektor pertanian yang pernah diberi gelar sebagai Negara swasembada beras. Seiring berjalannya waktu dan bergantinya pemerintah yang berkuasa, masa depan kaum petani menjadi suatu problem. Hal ini tentunya tidak terlepas dari masalah tanah.
Tanah adalah masalah yang sangat berkaitan dengan masalah keadilan, karena sifat tanah yang langka dan terbatas, dan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Selama ini dalam rangka pembangunan, hukum tanah nasional mengalami banyak kritikan dan tantangan khususnya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, yang perlu dilakukan dengan pendekatan yang mencerminkan pola pikir pro-aktif dilandasi sikap kritis dan obyektif.
Pendekatan kritis diperlukan untuk memberikan pemahaman hukum dan aspirasi yang melekat pada asas hukum yang bertujuan untuk mencapai keadilan, kepastian hukum, dan manfaat bagi masyarakat.
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang lahir pada tanggal 24 September 1960 dan dibuat pada masa Orde Lama, ternyata dalam pelaksanaannya telah mengalami penyimpangan. Nampak ketika hukum agraria yang diimplementasikan lebih banyak mengedepankan kepentingan penguasa dan para pemilik modal, sedangkan kepentingan rakyat dinegasikan demi “pembangunan”, khususnya kaum petani. Hal ini telah membawa petaka tidak hanya bagi kaum petani juga terhadap disintegrasi bangsa dan negara. Untuk itu diperlukan sebuah pemikiran yang tidak berhenti pada kuantitas peraturan namun pada kualitas kebijakan yang dihasilkan. Seperti halnya berbagai kebijakan yang diterbitkan pada dasawarsa terakhir, semakin memperlihatkan adanya kecenderungan untuk memberikan berbagai kemudahan atau hak yang lebih besar pada sebagian kecil masyarakat dan belum diimbangi dalam perlakuan yang sama bagi kelompok masyarakat yang terbanyak.
Hal yang mendasari adalah sebagaimana yang termuat dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 “…untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”, untuk dikuasainya tanah oleh Negara. Ketentuan tersebut mengandung pokok pikiran bahwa kebutuhan tanah bagi perseorangan, masyarakat dan Negara, memerlukan suatu kewenangan atau kekuasaan, kekuatan atau kemampuan, dan kecakapan yang berfungsi untuk memenuhi tujuan tersebut.
Pertanyaan yang muncul, sebagaimana dikemukakan oleh Winahyu Erwiningsih (2009) dalam disertasinya, adalah mana yang lebih didahulukan: masyarakat atau perseorangan? Apakah kebijakan pertanahan yang diterbitkan dapat merupakan perwujudan keadilan sosial bagi seluruh lapisan masyarakat?
Cita-cita UUPA adalah melaksanakan perubahan secara mendasar terhadap relasi agraria yang ada agar menjadi lebih adil dan memenuhi kepentingan rakyat petani. Terdapat tiga konsep dasar dalam UUPA (Anonim, 2002:3), yaitu: hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat; eksistensi dan wewenang Negara sebagai organisasi tertinggi bangsa dinyatakan dalam hak menguasai Negara atas bumi, air, dan ruang angkasa sebagai penjabaran Pasal 33 UUD 1945 yang digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat; serta pelaksanaan program landreform.
Cita-cita UUPA itu terlihat jelas sekali ketika konsep keadilan seperti yang pernah diungkapkan oleh Prof. Maria, bahwa di dalam hubungan antara Negara dan warga Negara, yang mengandung pemahaman bahwa warga Negara mempunyai kewajiban untuk memberikan sumbangan kepada Negara demi terwujudnya kesejahteraan umum, dan bahwa Negara berkewajiban untuk berbagi kesejahteraan kepada para warga negaranya sesuai dengan jasa atau kemampuan dan kebutuhan masing-masing (secara proporsional). Diterjemahkan dalam kebijakan pertanahan menjadi: berbagai ketentuan yang dibuat itu hendaklah memberikan landasan bagi setiap orang untuk mempunyai hak dan kesempatan untuk menerima bagian manfaat tanah baik bagi diri sendiri maupun keluarganya sehingga dapat memperoleh kehidupan yang layak.
Tujuan
1. Meningkatkan kepedulian terhadap nasib para petani Indonesia.
2. Meningkatkan ilmu pengetahuan dalam bidang Hukum Administrasi Negara, khususnya Hukum Agraria.
3. Ikut serta mewujudkan masa depan petani yang adil dan membangun Negara Indonesia yang berorientasi pada keunggulan bangsa.
Sasaran Kegiatan:
1. Akademisi.
2. Mahasiswa.
3. LSM/Organisasi yang bergerak dalam bidang pertanian/Masyarakat Petani.
4. Perwakilan pejabat/pegawai BPN se-DIY.
Pembicara:
1. Dr.Hj. Winahyu Erwiningsih, SH., M.Hum. (Dosen FH UII), dengan tema: “Hak Menguasai Negara atas Tanah untuk Mewujudkan Kesejahteraan Petani” (aspek filosofis).
2. Ir. Sri Susanti Amiyatsih, MS. (Kepala Kantor BPN DIY), dengan tema: “Kebijakan Pertanahan sebagai Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Petani”.
3. Prof.Dr. Mochammad. Maksum (Guru Besar Teknologi Pertanian UGM), dengan tema: “Peran Negara dalam Meningkatkan Kesejahteraan Petani”
Waktu Pelaksanaan:
Kamis, 30 Juli 2009, 09.30-13.00 wib., di Ruang Sidang Utama lt.3, FH UII, jalan Tamansiswa nomor 158, Yogyakarta (55151).
Manual Acara:
Kamis, 30 Juli 2009
09.30 – 10.00 : Registrasi Peserta.
10.00 – 13.00 : Pokok Acara ( Diskusi Panel).
Susunan Kepanitiaan:
Penanggungjawab: Dekan FH UII
SC: Masyhud Asyhari, SH., M.Kn.
E. Zainal Abidin, SH., MPA.
Moh. Hasyim, SH., M.Hum.
Mila Karmila Adi, SH., M.Hum. (ex officio)
OC:
Ketua : Mila Karmila Adi, SH., M.Hum.
Sekretariat : Sihminten
Andri Irawan
Bendaha : Karnen
Pubdekdok : Amir
Acara & Umum : Hernando
Reza.
Dimas
Penutup.
Demikian proposal ini dibuat untuk dapat disetujui dan dilaksanakan sesuai rencana.
Yogyakarta, 1 Juli 2009
Ketua Departemen HAN,
ttd
H.Moh.Hasyim, SH., M.Hum.
PROFIL PENGURUS
|
NAMA |
HERIYANTO |
TEMPAT |
: SITUBONDO |
|
TANGGAL LAHIR |
: 28 AGUSTUS 1987 |
|
JABATAN |
: KETUA |
|
NO. MAHASISWA |
: 05.410.422 |
|
E MAIL |
|
NAMA |
ARDIANSYAH
|
TEMPAT |
: BALIKPAPAN |
|
TANGGAL LAHIR |
: 03 SEPTEMBER 1987 |
|
JABATAN |
: SEKRETARIS JENDRAL |
|
NO. MAHASISWA |
: 05.410.500 |
|
E MAIL |
![]() |
NAMA |
MUHAMMAD RIZAL
|
TEMPAT |
: YOGYAKARTA |
|
TANGGAL LAHIR |
: 29 JULI 1987 |
|
JABATAN |
: KETUA KOMISI I |
|
NO. MAHASISWA |
: 05.410.179 |
|
E MAIL |
![]() |
NAMA |
YUDI SURYA HARIYANTO
|
TEMPAT |
:YOGYAKARTA |
|
TANGGAL LAHIR |
: 14 Januari 1987 |
|
JABATAN |
: ANGOTA KOMISI I |
|
NO. MAHASISWA |
: 05.410.025 |
|
E MAIL |
![]() |
NAMA |
M. GUNTUR PAKSI BHUWANA
|
TEMPAT |
: YOGYAKARTA |
|
TANGGAL LAHIR |
: 28 DESEMBER 1986 |
|
JABATAN |
: KETUA KOMISI II |
|
NO. MAHASISWA |
: 05.410.460 |
|
E MAIL |
![]() |
NAMA |
RIA NOVIKA SARI
|
TEMPAT |
: BANTUL |
|
TANGGAL LAHIR |
: 19 NOVEMBER 1987 |
|
JABATAN |
: KETUA KOMISI III |
|
NO. MAHASISWA |
: 05.410.280 |
|
E MAIL |
![]() |
NAMA |
ANDREE JADTRA WIJAYANTO
|
TEMPAT |
: SLEMAN |
|
TANGGAL LAHIR |
: 29 JULI 1987 |
|
JABATAN |
: ANGOTA KOMISI III |
|
NO. MAHASISWA |
: 05.410.452 |
|
E MAIL |
Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia
Jl. Kaliurang KM. 14,5 Sleman Yogyakarta 55584
Telepon: +62 274 7070222 ext. 5200
Email: fh[at]uii.ac.id