Pada hari Senin tanggal, 01 Desember 2025, Program Studi Hukum Program Sarjana (PSHPS) Program Internasional Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) kembali menyelenggarakan The 7th International Students Colloquium (ISC) 2025. Dengan mengusung tema “Navigating the Crossroads: Law, Democracy, and Constitutionalism in a Shifting Global Landscape,” kegiatan ini menghadirkan narasumber ahli dari berbagai negara.

Para narasumber tersebut antara lain Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum. (Universitas Islam Indonesia), Prof. Dr. Ildiko Bartha (University of Debrecen, Hungaria), Assoc. Prof. Dr. Kabiru Adamu (Bayero University, Nigeria), dan Prof. Dr. Ida Madieha Binti Abdul Ghani Azmi (International Islamic University Malaysia/IIUM). Adapun moderator dalam kegiatan ini adalah dosen FH UII, Muhammad Addi Fauzani, S.H., M.H. Sementara itu, Keynote Speaker dalam kegiatan ini adalah Guru Besar Universitas Udayana, Prof. Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.Hum.

Penyelenggaraan ISC tahun ini memasuki kali ketujuh dan diikuti oleh kurang lebih 30 pemakalah (presenters) yang mayoritas merupakan mahasiswa program Sarjana (S1). Para peserta berasal dari beragam perguruan tinggi, di antaranya Universitas Islam Indonesia, Universitas Surabaya, Universitas Negeri Semarang, Universitas Lampung, Universitas Prasetiya Mulya, Universitas Hasanuddin, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas Presiden, Universitas Gadjah Mada, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, University of Malaya, Universitas Banten Jaya, hingga International Islamic University Malaysia.

Dekan Fakultas Hukum UII, Prof. Dr. Budi Agus Riswandi, S.H., M.Hum., dalam sambutannya menegaskan pentingnya acara ini bagi pengembangan akademik mahasiswa. “Kegiatan ini telah berlangsung selama kurang lebih tujuh tahun dan merupakan bagian dari pengayaan serta diseminasi hasil karya mahasiswa, terutama mereka yang menempuh studi di program internasional. Ini juga bertujuan untuk memfasilitasi agar hasil karya dan penelitian mereka dapat dipublikasikan di tingkat internasional,” ujar Prof. Budi.

Senada dengan Dekan, Ketua Program Studi Hukum Program Sarjana, Dodik Setiawan Nur Heriyanto, S.H., M.H., LL.M., Ph.D., menyampaikan keistimewaan ISC tahun ini. “Kali ini International Students Colloquium terasa istimewa karena mengundang tamu dari Nigeria. Hal ini menjadi bagian dari upaya mempererat hubungan dengan mahasiswa asal Nigeria yang saat ini sedang menempuh studi di program internasional,” ungkapnya.

Isu hukum tata negara menjadi sorotan utama dalam kolokium ini, sejalan dengan rencana pembukaan bidang kekhususan Hukum Tata Negara di Program Internasional FH UII. Melalui kegiatan ini, mahasiswa diharapkan dapat menyerap ilmu dari beragam perspektif global, khususnya dari Malaysia, Hungaria, dan Nigeria.

Rangkaian acara ditutup dengan ramah tamah dan penyerahan cendera mata oleh Dekan FH UII. Agenda kemudian dilanjutkan dengan sesi call for paper yang dibagi ke dalam 7 chambers (ruang presentasi). Setiap ruang diisi oleh 4-5 presenter yang memaparkan hasil riset mereka. Luaran (output) dari kegiatan ini adalah prosiding internasional yang akan diterbitkan langsung oleh Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.

UII LEGALPRENEURSHIP adalah program kerja dari Departemen Pengembangan Karier LEM FH UII. Program ini memberikan ruang bagi mahasiswa untuk membangun jejaring dengan praktisi hukum, alumni, dan berbagai instansi, guna memperluas akses terhadap informasi, pengalaman, dan peluang kerja yang relevan di bidang hukum. Melalui kegiatan ini, mahasiswa diharapkan dapat mulai merancang jalur kariernya secara lebih terarah dengan dukungan relasi yang kuat dan wawasan yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja saat ini.

Sebagai kelanjutan dari penguatan peran tersebut, kami mengangkat tema kegiatan “Adapting to Society 5.0: Unlocking New Perspectives and Developing Adaptive Competencies for Future Legal Careers” sebagai wujud komitmen untuk menyiapkan mahasiswa/i hukum yang adaptif, responsif, dan kolaboratif. Tema ini mencerminkan urgensi pengembangan sumber daya hukum yang tidak hanya memahami teori dan praktik hukum, tetapi juga mampu berperan aktif dalam dinamika perubahan global. Dengan demikian, tema kegiatan ini dirancang untuk menyiapkan pola pikir dan kompetensi peserta agar tidak sekadar mampu beradaptasi dengan kondisi saat ini, melainkan juga siap menghadapi berbagai tantangan dan peluang di masa depan yang lebih maju. Kesiapan ini mencakup pengembangan keterampilan yang fleksibel, wawasan inovatif, serta kemampuan beradaptasi yang tinggi dalam menghadapi dinamika profesi hukum di era Society 5.0. Melalui kegiatan ini, mahasiswa/i diharapkan dapat memperkuat kapasitas intelektual, emosional, dan profesionalnya secara menyeluruh. Hal tersebut akan menjadi bekal penting dalam mewujudkan generasi jurist masa depan yang cerdas teknologi, tangguh secara moral, dan visioner dalam kontribusinya terhadap pembangunan hukum nasional maupun global.

Acara ini dilaksanakan selama 4 hari yaitu dari tanggal 2 – 5 Desember 2025. Hari pertama acara dibuka dengan opening ceremony dan pembukaan secara simbolis yang bertempat di Auditorium FH UII lantai 4, acara tersebut menjadi semakin meriah dengan penampilan dari Xaviera Unisi dengan menampilkan tarian sumatra yang melambangkan salam pembukaan. Kemudian acara dilanjutkan dengan penyampaian materi oleh Direktur Direktorat Pengembangan Karier dan Alumni (DPKA UII) yaitu Bapak Allan Fatchan Gani Wardhana, S.H., M.H., beliau menjelaskan bahwa era Society 5.0 membawa perubahan besar pada cara hidup dan cara kerja, termasuk di bidang hukum. Teknologi seperti AI dan big data membuat profesi hukum bertransformasi: bukan hilang, tetapi bergeser menjadi lebih strategis, analitis, dan berbasis kolaborasi manusia–AI. Karena itu, lulusan hukum perlu memiliki keunggulan yang membedakan mereka di tengah persaingan nasional maupun global. Selain itu, DPKA UII berperan membantu mahasiswa dan alumni mempersiapkan diri menghadapi perubahan ini melalui layanan konseling karir, mentoring, seminar, jaringan profesional, hingga informasi lowongan pekerjaan. Intinya, materi ini menekankan pentingnya adaptasi, peningkatan kompetensi, dan kesiapan karir di era digital yang terus berkembang. Acara dilanjutkan dengan Stadium Generale dengan mengangkat tema “Adaptive Legal Education: Character Building and Legal Competencies for Future Careers on the Path Towards Society 5.0” yang disampaikan oleh Bapak Dr. Dodi S Abdulkadir, B.Sc., S.E., S.H., M.H., beliau menyampaikan bahwa di era Society 5.0, hukum harus beradaptasi karena teknologi mengubah cara kerja, objek sengketa, dan proses penegakan hukum. Lulusan hukum perlu menguasai literasi digital, analisis data, etika digital, serta memahami isu baru seperti privasi, keamanan data, dan regulasi teknologi. Teknologi membantu proses belajar dan praktik hukum menjadi lebih cepat dan efisien, namun juga membawa tantangan seperti kesenjangan literasi, risiko etika, dan regulasi yang tertinggal. Untuk itu, dibutuhkan strategi penguatan literasi digital, etika, kemampuan analitis, dan pemanfaatan pembelajaran berbasis teknologi.

Hari kedua pelaksanaan UII LEGALPRENEURSHIP 2025, terdapat stand booth Job Fair  di Hall atau Lobby FH UII lantai 1, yang diisi oleh beberapa company dan law firm yaitu, LBH Yusuf, Sui Iuris Law Office, SNW & Partner, JRJ Law Firm, Law Is Me Law Firm, Firmly Law Firm, Cilacs, IONs Educational International. dan DPKA UII. Acara tersebut semakin meriah karena diadakannya Company Profile, sehingga mahasiswa/i dapat bertanya langsung dan mengetahui informasi dari masing masing company atau lawfirm. Selain itu, acara juga dimeriahkan dengan adanya booth LinkedIn Photo Session yang disediakan secara gratis oleh Panitia UII LEGALPRENEURSHIP 2025 yang dapat digunakan untuk menunjang karir mahasiswa/i yang ingin mempunyai foto formal/semiformal untuk digunakan dalam foto profil LinkedIn ataupun Curiculum Vitae (CV). DPKA UII juga menyediakan layanan konsultasi karier secara gratis dengan konselor psikologi yang berpengalaman dibidangnya, setelah sesi konseling diharapkan mahasiswa/i dapat menentuhkan arah jalan karirnya sesuai dengan minat, bakat dan keterampilan yang mereka punya. Selain acara tersebut, di ruang Legal Drafting lantai 3, terdapat kegiatan Workshop atau pelatihan, untuk sesi pertama yaitu “Legal Drafting Workshop: Developing Systematic, Legitimate and Efficient Legal Documents in the Era of Society 5.0” dengan pemateri yaitu Bapak Dr. M. Rasyid Ridho, S.H., M.H. dan untuk sesi kedua yaitu “Legal Tech Workshop: Developing Adaptive Legal Proficiency within the Path to Society 5.0” dengan pemateri yaitu Bapak Adam Mulyadi. Kedua pelatihan tersebut diadakan dengan harapan mahasiswa/i FH UII mendapatkan kompetensi yang dibutuhkan di era modern untuk mempersiapkan diri menghadapi tantangan dunia kerja di masa depan. Kedua pelatihan tersebut berkolabrasi dengan Jimly School Law and Government, sehingga mahasiswa/i yang mengikuti pelatihan tersebut mendapatkan e-certificate secara langsung dari Jimly School yang dapat digunakan untuk melamar kerja nantinya dan menambah portofolio mahasiswa/i. 

Hari ketiga pelaksanaan UII LEGALPRENEURSHIP 2025 masih terdapat stand booth Job Fair, LinkedIn Photo Session, Konsultasi Karier dan Company Profile. Namun untuk lebih memeriahkan acara, terdapat entertainment berupa Photobooth gratis sehingga mahasiswa/i FH UII dapat mengabadikan momen ketika mengikuti kegiatan acara UII LEGALPRENEURSHIP 2025. Selain dari acara tersebut, di Auditorium FH UII lantai 4 juga terdapat kegiatan yaitu Seminar Lawfirm yang mengangkat tema “Embracing the Path to Society 5.0: Preparing Future Legal Careers” dengan pemateri Bapak Prof. Dr. H. KRH. Henry Yosodiningrat, S.H., M.H. beliau menjelaskan bahwa memasuki Society 5.0, calon praktisi hukum harus siap menghadapi dunia kerja yang semakin dipengaruhi AI, big data, dan teknologi digital. Banyak tugas hukum yang menjadi otomatis, sehingga nilai utama seorang sarjana hukum terletak pada kemampuan analisis, etika teknologi, pemahaman cyberlaw, dan literasi digital. Mahasiswa hukum perlu mempersiapkan diri dengan keterampilan baru, mulai dari privasi data, forensik digital, hingga pemikiran strategis, karena profesi hukum masa depan akan menuntut kolaborasi manusia dengan AI dan pengambilan keputusan berbasis data. Intinya, tema ini adalah ajakan untuk mengadaptasi kompetensi hukum agar tetap relevan di era teknologi yang terus berkembang.

Hari keempat pelaksanaan UII LEGALPRENEURSHIP 2025 yaitu dibuka dengan pelaksanaan Seminar Law Firm di Auditorium FH UII lantai 4, yang mengangkat tema “Looking to the Future: Legal Skills for Careers in Society 5.0” dengan pembicara yaitu Bapak Dr. Sangun Ragahdo Yosodiningrat, S.H., LL.M. beliau menjelaskan bahwa di era Society 5.0, teknologi seperti AI, big data, dan blockchain mengubah cara kerja profesi hukum. Banyak tugas rutin menjadi otomatis, sehingga lawyer dituntut lebih adaptif, strategis, dan paham teknologi. Tantangan baru muncul seperti privasi data, bukti digital, cybersecurity, hingga regulasi AI. Karena itu, future lawyers perlu menguasai literasi teknologi hukum, cyber law, smart contracts, serta kemampuan analitis dan etika digital. Lawyer masa depan harus berpikir lintas disiplin dan berperan sebagai problem solver sekaligus innovator. Untuk mempersiapkan diri, mahasiswa, fresh graduate, dan para praktisi muda disarankan membangun keterampilan legal tech, mengambil sertifikasi terkait data privacy/AI ethics, memperluas portofolio digital, serta aktif dalam ekosistem legal technology. Setelah acara tersebut, dilanjutkan dengan closing ceremony dan penutupan secara simbolis yang diakhir acara menampilkan tari jawa oleh Xaviera Unisi.

Pada hari Senin, 24 November 2025, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia menyelenggarakan the 2nd Postgraduate International Conference on Law, Technology & Society (The 2nd Postgraduate ICLTS). Konferensi tahun ini mengusung tema utama “Hukum, Globalisasi, dan Hak Asasi Manusia.” Acara ini diselenggarakan sebagai kolaborasi antara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Kuningan, Universiti Sains Islam Malaysia, dan Universitas Dicle Turki. Konferensi berlangsung di Auditorium Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia dan juga disiarkan langsung melalui Zoom dan YouTube. Rahadian Suwartono, Ketua Panitia The 2nd Postgraduate ICLTS, menyebutkan tujuan utama acara ini adalah untuk memperkaya forum akademik dan forum diseminasi bagi seluruh peserta.

The 2nd Postgraduate ICLTS terdiri dari tiga sesi: Sesi Pleno; Sesi Presentasi; dan Gala Dinner/Sesi Penutup. The 2nd Postgraduate ICLTS bertujuan untuk menjadi platform bagi akademisi, peneliti, dan praktisi hukum untuk terlibat dalam dialog, berbagi wawasan, dan menghasilkan rekomendasi yang relevan untuk mengatasi tantangan hukum kontemporer. Konferensi Internasional ini merupakan agenda bersama seluruh Program Studi Pascasarjana di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, sehingga menjadi kesempatan untuk berbagi akademis di antara mahasiswa Magister dan Doktor. Namun, peneliti dan dosen profesional juga dipersilakan untuk berpartisipasi.

Sesi pertama adalah seminar internasional dengan pidato utama dan berbagi pengalaman dari empat pembicara terkemuka dari Indonesia, Malaysia, Belanda, dan Swiss. Sesi dibuka dengan pidato utama yang disampaikan oleh Thomas Trikasih Lembong, Mantan Menteri Perdagangan Republik Indonesia (2015–2016), diikuti oleh presentasi dari Prof. Abu Bakar bin Munir (Profesor Hukum dan Pakar Hukum Siber dan Hukum Perlindungan Data, Universitas Malaya) tentang “Perlindungan Data Pribadi, Hukum Siber, dan Tantangan Kontemporernya”; Tamalin Bolus (Penasihat Hukum Regional di ICRC, Swiss) akan membahas “Hukum Humaniter Internasional dan Tantangan Kontemporer”; Christopher Michael Cason, JD. (Dosen Senior di Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia) akan membahas “Investasi Langsung Asing: Hukum dan Tantangan Kontemporer”; dan Prof. Aurelia Colombi Ciacchi (Profesor Hukum dan Tata Kelola di Universitas Groningen) akan membahas “Penilaian Dampak Hak Asasi Manusia dalam Revolusi Digital dan Globalisasi.”

Sesi kedua menampilkan presentasi penelitian oleh peserta terpilih. Sesi ini dihadiri oleh lebih dari 100 peserta, baik secara langsung maupun daring. Peserta dibagi menjadi sembilan kelompok, masing-masing berfokus pada tema tertentu: Teknologi, Bisnis, dan Pemerintah dalam Hukum dan Globalisasi; Konstitusionalisme, Hukum Lingkungan, dan Globalisasi; Hukum Pidana, Hukum Kenabian, dan Hak Asasi Manusia; Pemerintah, Hukum Internasional, dan Globalisasi; Hukum Pidana dan Hak Asasi Manusia; Hukum Islam dan Keluarga; Krisis Lingkungan dan Tantangan Kontemporer; Hukum, Teknologi, dan Hak Asasi Manusia dalam Globalisasi; dan Hukum Islam, Kenabian, dan Internasional tentang Globalisasi. Sesi presentasi diikuti oleh 65 makalah dan lebih dari 200 presenter dari seluruh dunia, dari Indonesia, Nigeria, Malaysia, Inggris Raya, Australia, dan Turki.

Rangkaian acara The 2nd Postgraduate ICLTS diakhiri dengan Upacara Perpisahan dan Makan Malam Gala sebagai sesi penutup. Agenda berjalan lancar, dan penyelenggara berharap acara ini dapat berfungsi sebagai platform untuk dialog di antara akademisi, praktisi, dan peneliti, sekaligus berkontribusi untuk mengatasi tantangan hukum kontemporer.

[KALIURANG]; Prestasi gemilang kembali diukir oleh mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII) dalam ajang UNESA 5 Law Fair (U5LF) 2025 dengan mengangkat tema “The Welfare of the People is The Supreme Law” yang diselenggarakan oleh Universitas Negeri Surabaya pada Sabtu, 20 September 2025 silam. Adapun tim dari FH UII terdiri atas Raihan Restu Putra (24410188), Nisrina Hanif Fadhila (22410228), dan Muhammad Rifqi Firdaus (22410887) yang tergabung dalam delegasi tim debat dan meraih juara 3 cabang lomba debat.

Dalam wawancaranya, Rifqi menyampaikan bahwa lomba debat kali ini sedikit berbeda dari lomba debat biasanya karena babak penyisihan dilakukan dengan lomba essay. “Kita mengambil (sub tema) hukum dan hak asasi manusia yang dimana kita ngambil salah satu kasus dari aparat penegak hukum, yaitu seorang polisi yang menembak seorang siswa SMK di Semarang dimana ia menyalahgunakan senjata api. Sebagai solusi, kita mengadopsi weapon system programming,” jelas Rifqi.

Melalui babak penyisihan yang ketat tersebut, tim delegasi FH UII berhasil lolos menuju babak round robin. Tantangan yang mereka alami dalam menjalani babak ini adalah mosi debat baru dirilis saat akan bertanding dan mereka hanya diberi waktu 20 (dua puluh) menit untuk melakukan case building.

Ketika ditanya mengenai motivasi mengikuti lomba, Nisrina menjadikan lomba ini sebagai ajang untuk menciptakan pengalaman baru di dunia perkuliahan. Di samping itu, Raihan turut membagikan perasaannya, “Sebenernya ingin merasakan offline-nya itu. Gimana rasanya berdebat secara langsung dilihat oleh juri dan berhadapan langsung dengan lawan.” Rifqi pun turut menguatkan apa yang telah disampaikan oleh Nisrina dan Raihan.

Pada akhir wawancaranya, tim debat ini mengutarakan pesan, khususnya kepada mahasiswa FH UII yang lain, bahwa mengikuti lomba debat dapat meningkatkan potensi diri ke kemampuan yang sebelumnya tidak pernah diduga. Terlebih lagi, lomba debat dapat memperluas pengetahuan dan pemahaman tentang isu-isu publik yang mungkin tidak banyak didapatkan di ruang kelas.

“Menurutku debat seasik itu loh karena kita di ajang debat akan dites untuk mengeluarkan argumentasi. Jangan takut. Debat itu enggak semengerikan yang di layar. Mungkin orang cerita debat itu serem karena argumen kita akan dibidas oleh lawan, tapi di lapangan ketika kita dibidas maka otak kita akan lebih jalan dibanding sebagaimana umumnya,” pungkas Nisrina.

Oleh: Najwa Amelia Mumtaz – 22410347

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Reguler Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Pekerja Rumah Tangga (PRT) merupakan jenis pekerjaan yang banyak dilakukan oleh masyarakat di negara berkembang, salah satunya adalah Indonesia. Pasalnya, PRT dianggap sebagai pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian khusus karena termasuk pada jenis pekerjaan domestik (Ilhamullah, 2023). Anggapan tersebut sejalan dengan International Labor Organization Convention (ILO) Number 189 yang mendefinisikan pekerjaan rumah tangga sebagai pekerjaan yang dilakukan di lingkungan rumah, misalnya seperti memasak, mencuci, mengepel, merawat keluarga, berkebun, dan membersihkan rumah. Sebagai jenis pekerjaan domestik, umumnya PRT didominasi oleh perempuan. Situasi tersebut tidak terlepas dari adanya paradigma patriakial yang menempatkan perempuan sebagai penanggung jawab dalam urusan domestik karena anggapan bahwa secara alamiah perempuan terlahir dengan sifat lemah lembut, memelihara, rajin, dan telaten (Sofiani, 2020). 

Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) memperkirakan bahwa pada tahun 2022, jumlah PRT di Indonesia mencapai angka 5 juta orang (Andriansyah, 2022). Sebanding dengan itu, tingginya angka PRT juga diikuti pula dengan banyaknya kasus pelanggaran hak-hak PRT maupun kasus kekerasan yang dialami oleh PRT, utamanya bagi PRT perempuan. Data Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan menunjukkan bahwa selama periode 2019 – 2023 setidaknya terdapat sebanyak 25 kasus yang diadukan ke Komnas Perempuan terkait kekerasan yang dialami oleh PRT (Bincang Perempuan, 2024). Di samping itu, kasus yang dialami oleh PRT berkaitan dengan upah yang tidak dibayarkan hingga pada jam kerja yang berlebihan pun masih marak terjadi. Sutini contohnya, seorang PRT di Yogyakarta selama 6 tahun yang harus bekerja selama 19 jam per hari dan menerima perlakuan kasar hingga penganiayaan dari majikannya (Luviana, 2022). Pelanggaran hak-hak PRT juga dialami oleh Ludiah yang selama bekerja sebagai PRT tidak pernah diberi upah oleh majikannya (Dhewy, 2017). 

Tingginya angka kasus kekerasan dan pelanggaran terhadap hak-hak PRT memiliki keterkaitan erat dengan status PRT yang masih abu-abu (grey area) dalam sistem hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) yang hingga saat ini belum secara tegas mengklasifikasikan status PRT sebagai jenis pekerja formal. Pada dasarnya, PRT memenuhi unsur definisi “pekerja” pada Pasal 1 angka (2) UU Ketenagakerjaan yang berbunyi “setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”. Lebih lanjut, hubungan antara PRT dengan pemberi kerja memenuhi kriteria hubungan kerja sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan, yakni adanya pekerjaan, upah, dan perintah. Kendati demikian, penyebutan frasa “pengusaha” pada definisi “pemberi kerja” dan “hubungan kerja” menyebabkan kekaburan status PRT dalam UU Ketenagakerjaan karena pemberi kerja atau majikan PRT bukanlah “pengusaha” sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 angka 5 UU Ketenagakerjaan (Sofiani, 2020). 

Ketidakjelasan status PRT sebagai pekerja dalam UU Ketenagakerjaan melahirkan presepsi bahwa PRT diklasifikasikan sebagai jenis pekerja informal. Karakteristik dari pekerja informal adalah pekerjaan yang cenderung bersifat privat atau keperdataan (Anugrah & Ruslie, 2024). Akibatnya, pemerintah sulit melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan hubungan kerja antara PRT dan pemberi kerja karena lingkup kerja PRT yang cenderung tertutup dan privat (Organisasi Perburuhan Internasional, 2006.) Selain itu, ketiadaaan keharusan bagi PRT dan pemberi kerja untuk mendasarkan hubungan kerja berdsarkan kesepakatan tertulis sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan berakibat pada banyaknya pelaksanaan hubungan kerja yang didasarkan pada kesepakatan tidak tertulis (Anugrah & Ruslie, 2024). Kondisi tersebut berakibat pula pada sulitnya bagi PRT untuk membuktikan hak-hak mereka ketika terjadi perselisihan atau pelanggaran terhadap hak-hak dasar mereka (Anugrah & Ruslie, 2024). 

Kekaburan status PRT dalam UU Ketenagakerjaan serta kurangnya kepastian hukum bagi PRT menunjukkan bahwa pemerintah belum berupaya secara optimal untuk melaksanakan pelindungan bagi PRT (Nurpradana, 2025). Salah satu penyebab ketidakpastian hukum bagi PRT adalah lambannya proses legislasi untuk merumuskan dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). Pasalnya, pemerintah tidak segera mengesahkan RUU PPRT yang sudah dirumuskan sejak tahun 2004 dan di sisi lain, PRT tidak termasuk sebagai pekerja formal menurut UU Ketenagakerjaan. Hal demikian berakibat pada adanya kekosongan hukum (recht vacuum) terhadap perlindungan hukum bagi PRT, sehingga sangat rentan terjadi kekacauan hukum (rechtsonzekerheid) (Muhammad, 2025). 

Berdasarkan kapasitasnya sebagai regulator dan pengawas dalam hubungan kerja, maka menjadi suatu keharusan bagi negara untuk berperan aktif, mengingat adanya bargaining power position yang menempatkan PRT sebagai pihak yang lemah serta adanya dominasi perempuan selaku kelompok rentan yang menjadi PRT. Jika berbicara dalam aspek hukum ketenagakerjaan, campur tangannya negara menyebabkan terjadinya pergeseran sifat keperataan hukum ketenagakerjaan menjadi hukum publik yang disebut sebagai socialisering process (Saprudin, 2012). Mariam Darus Badrulzman menyebut istilah socialisering process sebagai “proses pemasyarakatan” (vermaatschappelijking) berupa pergeseran sifat hukum perdata ke hukum publik akibat campur tangan pemerintah dalam ranah hukum perdata (Saprudin, 2012). Namun, socialisering process belum tampak jelas terlaksana dalam hubungan kerja PRT dengan pemberi kerja lantaran UU Ketenagakerjaan tidak menjangkau PRT sebagai pekerja formal dan pengaturan mengenai PRT masih minim. Untuk itu, pemerintah perlu segera mengesahan RUU PPRT serta merevisi pasal-pasal yang berpotensi merugikan PRT, sehingga nantinya RUU PPRT diharapkan mampu melindungi dan menjangkau pemenuhan hak-hak dasar PRT (Komnas Perempuan, 2022).

Oleh: Gavran Ziksan – 23410654

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Reguler Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Fenomena migrasi tenaga kerja menjadi bagian tak terpisahkan dari lanskap sosial, ekonomi, dan kebijakan hukum di Indonesia. Ribuan warga negara Indonesia, atau yang dikenal sebagai Pekerja Migran Indonesia (PMI), mempertaruhkan nasib di berbagai belahan dunia dengan harapan mendapatkan kehidupan yang lebih layak dan prospek masa depan yang lebih cerah bagi keluarga mereka di tanah air. Kontribusi ekonomi mereka melalui remitansi tak dapat dipungkiri, menjadi salah satu faktor penting dalam perolehan devisa negara. Namun, di balik narasi keberhasilan dan harapan, tersimpan pula realitas pahit yang kerap menimpa para pekerja ini, yaitu jerat penipuan dan penempatan ilegal yang berujung pada eksploitasi hingga perdagangan orang.

Permasalahan penempatan PMI secara non-prosedural bukanlah isu baru, namun kompleksitas dan dampaknya terus berkembang. Jaringan sindikat yang terorganisir rapi kerap memanfaatkan minimnya informasi, kerentanan ekonomi, dan harapan besar para calon pekerja migran. Dengan iming-iming gaji fantastis dan proses keberangkatan yang mudah tanpa melalui jalur resmi, mereka menjerumuskan PMI ke dalam situasi yang tidak aman dan melanggar hukum  tidak hanya mencoreng citra perlindungan tenaga kerja Indonesia di mata internasional, tetapi juga menimbulkan kerugian besar, baik secara material, fisik, maupun psikologis, bagi individu dan keluarga yang terdampak. Banyak dari mereka yang akhirnya bekerja di luar sektor yang dijanjikan, tanpa kontrak yang jelas, bahkan menjadi korban kekerasan dan bentuk perbudakan modern.

Perdagangan manusia merupakan salah satu bentuk kejahatan kemanusiaan yang terus berkembang. Batam dan wilayah Kepulauan Riau yang dikenal sebagai pintu gerbang Nusantara menuju Asia Tenggara menjadi salah satu titik rawan yang strategis bagi sindikat perdagangan manusia lintas negara. Letak geografis yang dekat dengan Singapura dan Malaysia menjadikan wilayah ini bukan hanya jalur transit, tetapi juga tujuan praktik perdagangan manusia.

Tulisan ini menyoroti sebuah kasus nyata yang berhasil diungkap di Batam pada Mei 2025. Aparat penegak hukum dari Polsek Nongsa dan Sagulung berhasil membongkar praktik penempatan PMI ilegal yang terstruktur. Pengungkapan ini berawal dari laporan masyarakat yang mencurigai adanya aktivitas pengiriman calon PMI secara non-prosedural di sebuah rumah di Perumahan Azure Gardenia, Batam. Dalam operasi tersebut, polisi mengamankan seorang perempuan berinisial SNI yang diduga menjadi pelaku utama. Di lokasi, petugas menemukan tiga calon PMI perempuan, masing-masing berinisial HH, UF, dan S, yang telah dipersiapkan untuk diberangkatkan ke luar negeri tanpa prosedur resmi. Ketiganya berasal dari Jakarta, Ciamis, dan Pringsewu. Selain pelaku, polisi juga menyita sejumlah barang bukti, termasuk tiga paspor atas nama korban dan tiket pesawat. Kapolsek Sagulung, Iptu Rohandi Parlindungan Tambunan, menegaskan komitmennya dalam memberantas praktik penempatan PMI ilegal. Pelaku dijerat dengan Pasal 81 Jo Pasal 83 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

Indonesia telah mengadopsi kerangka hukum yang kuat untuk melindungi warganya. Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang mendefinisikan perdagangan manusia sebagai segala bentuk tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang yang dilakukan dengan cara kekerasan, ancaman, penipuan, atau penyalahgunaan kekuasaan. Untuk memberikan perlindungan ini, Indonesia mengadopsi beberapa asas penting:

  1. Asas Keterpaduan: Perlindungan PMI harus mencerminkan sinergi antar seluruh pemangku kepentingan.
  2. Asas Persamaan Hak: Calon PMI dan/atau PMI mendapatkan perlakuan, hak, dan kesempatan yang sama.
  3. Asas Pengakuan atas Martabat dan HAM: Perlindungan PMI harus menghormati harkat dan martabat manusia.
  4. Asas Anti-Perdagangan Manusia: Tidak adanya tindakan yang mengarah pada eksploitasi.
  5. Asas Berkelanjutan: Perlindungan PMI harus mencakup seluruh tahapan, mulai dari sebelum, selama, hingga setelah bekerja.

Dalam konteks hukum dan ketatanegaraan, bekerja merupakan hak setiap individu dan warga negara, sebagaimana tertuang dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak”. Data dari Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menunjukkan tingginya jumlah PMI yang ditempatkan di luar negeri. Sepanjang tahun 2024, tercatat 297.434 jiwa pekerja migran ditempatkan di berbagai negara (BP2MI, 2024). Tingginya angka ini membawa manfaat ekonomi, namun di sisi lain, juga meningkatkan risiko. Sepanjang tahun 2024, BP2MI telah menerima sebanyak 1.500 pengaduan dari PMI, dengan pengaduan terbanyak berasal dari Malaysia, Taiwan, Arab Saudi, Hong Kong, dan Kamboja. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah telah melakukan berbagai upaya. Imigrasi, sebagai salah satu unsur dalam Satuan Tugas Pencegahan PMI Non-prosedural, memegang peranan penting. Pencegahan dini dilakukan melalui pengawasan dokumen paspor dan pemberangkatan di daerah embarkasi. Tujuannya adalah memastikan paspor tidak disalahgunakan untuk bekerja secara ilegal di negara tujuan.

Pemerintah juga mengeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Imigrasi Nomor: IMI-0277.GR.02.06 Tahun 2017 tentang Pencegahan Tenaga Kerja Indonesia Non-Prosedural. Surat edaran ini menyoroti maraknya WNI di luar negeri yang menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Selain upaya di dalam negeri, perlindungan PMI juga bergantung pada implementasi hukum internasional. Setiap negara memiliki kewajiban untuk melindungi warga negaranya yang berada di luar negeri, sebuah konsep yang dikenal sebagai perlindungan diplomatik. Prinsip Exhaustion of Local Remedies dan Link of Nationality menjadi landasan dalam memberikan perlindungan ini. Untuk mendukung operasional perlindungan di luar negeri, Indonesia telah membentuk Citizen Service di 24 perwakilan RI di luar negeri.

Pekerja Migran Indonesia memberikan kontribusi signifikan terhadap devisa negara melalui remitansi, namun mereka sering kali menghadapi risiko serius seperti penipuan, penempatan ilegal, eksploitasi, dan perdagangan orang. Kasus yang diungkap di Batam menjadi bukti nyata betapa pentingnya penguatan sistem perlindungan. Perlindungan hukum bagi PMI tidak hanya bergantung pada peraturan domestik, tetapi juga membutuhkan ratifikasi perjanjian internasional. Selain itu, peran aktif masyarakat dan instansi seperti Imigrasi dalam pencegahan dini melalui pengawasan dokumen paspor dan pemberangkatan sangat krusial untuk meminimalkan risiko penempatan ilegal dan perdagangan orang. Pemahaman mendalam terhadap kasus-kasus semacam ini sangat penting sebagai dasar perumusan strategi perlindungan yang lebih efektif, penguatan penegakan hukum, dan edukasi masif bagi masyarakat. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa setiap PMI dapat bekerja dengan aman, bermartabat, dan hak-hak mereka terlindungi secara menyeluruh, baik di tanah air maupun di tanah rantau.

Oleh: Bunga Pratista Nastiti – 24410834

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Reguler Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Di balik dinding rumah-rumah yang terlihat aman, jutaan perempuan dan anak di Indonesia hidup dalam kondisi yang nyaris tidak terdeteksi oleh sistem hukum. Mereka adalah Pekerja Rumah Tangga (PRT), kelompok yang tidak hanya menjalankan aktivitas domestik, tetapi juga menopang kestabilan ekonomi mikro. Mereka membersihkan rumah, menyiapkan makanan, merawat lansia, dan mengasuh anak-anak; tugas-tugas penting yang sering kali diremehkan. Ironisnya, meski kontribusinya vital, negara hampir tidak mengakui keberadaan mereka secara hukum. Tanpa perlindungan hukum yang layak, PRT kerap menjadi sasaran eksploitasi, kekerasan, dan penyiksaan yang terus berulang.

Data dari Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) mencatat bahwa hingga 2023, lebih dari 2,5 juta PRT di Indonesia belum mendapatkan perlindungan hukum yang memadai (JALA PRT, 2023). Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) juga melaporkan bahwa sepanjang tahun 2023 terdapat 2.503 kasus kekerasan terhadap PRT, menjadikan mereka sebagai salah satu kelompok dengan angka kekerasan tertinggi di ranah domestik (Komnas Perempuan, 2023).

Kondisi ini mencerminkan kelemahan mendasar dalam sistem ketenagakerjaan nasional. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang seharusnya menjadi dasar perlindungan pekerja, justru mengecualikan PRT dari lingkup pengaturannya. Akibatnya, muncul ruang gelap hukum yang membuat hak-hak dasar PRT diabaikan. Suratman (2010) menyebut bahwa tidak adanya regulasi spesifik bagi pekerja informal seperti PRT menempatkan mereka dalam posisi tawar yang lemah. Hubungan kerja yang informal, tanpa kontrak tertulis, tanpa jaminan sosial, dan tanpa perlindungan ketika terjadi pelanggaran, membuat PRT seakan tak terlihat oleh hukum.

Faktanya, kekerasan terhadap PRT bukan hanya potensi, melainkan kenyataan yang mengerikan. Salah satu kasus yang membuka mata publik adalah Kasus Mawar (nama samaran), seorang PRT di Tangerang, membuka mata publik tentang kekejaman yang terjadi di ruang domestik. Ia disiksa oleh majikannya selama satu tahun, disiram air panas, dipukul dengan setrika, dan dikurung. Luka bakar dan trauma psikologis yang dideritanya menunjukkan kegagalan negara dalam melindungi warganya (Kompas.com, 2023). Di tahun sebelumnya, seorang PRT asal Garut disiksa oleh majikannya di Cimahi, Jawa Barat (Detik.com, 2022). Di luar negeri, PRT migran asal Indonesia pun menghadapi kekerasan dan eksploitasi serupa, sebagaimana dicatat oleh Migrant Care (2023).

Padahal, Konstitusi Indonesia secara tegas menjamin hak setiap warga negara atas pekerjaan dan perlakuan yang adil. Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak atas pekerjaan dan perlindungan hukum. Lebih lanjut, Pasal 28I ayat (1) menjamin kebebasan dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat manusia. Namun, semua jaminan konstitusional ini akan tetap menjadi janji kosong yang tak bermakna jika tidak diwujudkan secara konkret dalam regulasi teknis yang melindungi kelompok rentan seperti PRT. Trianah Sofiani (2014) menekankan bahwa tanpa perlindungan hukum berbasis hak konstitusional, PRT akan terus menjadi kelompok yang termarjinalkan dan dilupakan.

Sementara itu di tingkat internasional, Konvensi ILO Nomor 189 Tahun 2011 secara eksplisit mengakui PRT sebagai pekerja dengan hak yang setara. Konvensi ini mengatur berbagai aspek penting seperti jam kerja, upah minimum, hak istirahat, jaminan sosial, dan perlindungan dari kekerasan. Sayangnya, hingga kini Indonesia belum meratifikasi konvensi tersebut. Meski demikian, semangat dan prinsip dalam konvensi itu seharusnya bisa menjadi dasar penyusunan kebijakan nasional yang berpihak pada keadilan sosial (ILO, 2011).

Disinilah letak pentingnya pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). RUU ini telah diperjuangkan selama lebih dari dua dekade oleh berbagai organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan para PRT itu sendiri. Draf RUU ini mencakup ketentuan fundamental seperti kontrak kerja tertulis, jam kerja yang jelas, upah minimum, hak atas cuti, jaminan sosial, serta mekanisme penyelesaian sengketa. Tak kalah penting, RUU ini juga secara eksplisit mengatur sanksi bagi pelaku kekerasan terhadap PRT (JALA PRT, 2023). Abdul Khakim (2012) menekankan pentingnya hukum ketenagakerjaan yang adaptif terhadap dinamika sosial dan mampu merespons kebutuhan kelompok rentan, sesuatu yang hanya bisa diwujudkan melalui keberanian politik untuk mengesahkan RUU ini.

Pengesahan RUU PPRT bukan sekadar langkah legislatif; ini adalah pernyataan sikap negara terhadap martabat manusia. Ini tentang pengakuan atas hak-hak pekerja yang selama ini diabaikan. Ini tentang menghadirkan keadilan di ruang yang paling aman. Tanpa itu, PRT akan terus menjadi korban kekerasan sistemik yang dibiarkan berulang, tahun demi tahun.

Mendesak pengesahan RUU PPRT adalah mendesak hadirnya negara di sisi warganya yang paling rentan. Ini adalah tuntutan untuk membalik realitas yang selama ini gelap dan menyakitkan menjadi terang yang memberi harapan: bahwa tidak ada lagi yang disiksa diam-diam, dan tidak ada lagi yang tak diakui oleh negara hanya karena mereka bekerja di rumah, bukan di kantor.

Oleh: Farros Ariq Nasandaputra – 21410231

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Reguler Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Kisah fiksi dalam Superman (2025) sesungguhnya merefleksikan realitas sosial-politik dunia, di mana tirani kekuasaan kerap menindas kelompok lemah melalui kontrol informasi dan manipulasi hukum. Film ini menampilkan bagaimana kebenaran dapat dibelokkan oleh mereka yang menguasai media, sehingga suara keadilan dibungkam dan identitas yang berbeda dianggap ancaman. Ancaman terbesar bagi masyarakat bukan lagi sekadar kekuatan fisik, melainkan penindasan yang hadir melalui propaganda, sensor, dan penghapusan hak untuk bersuara. Fenomena ini menggambarkan rapuhnya posisi kelompok lemah yang mudah dikorbankan demi kepentingan segelintir elit, sekaligus menegaskan bahwa pelanggaran hak asasi manusia sering kali terjadi bukan karena hukum absen, melainkan karena hukum dijadikan alat kekuasaan.

Film Superman (2025), yang disutradarai dan ditulis James Gunn serta diproduseri bersama Peter Safran, menandai arah baru bagi karakter Superman dengan menekankan nilai-nilai kemanusiaan dan moral. Kasih sayang dan kebaikan menjadi inti narasi, sebagai respons terhadap versi sebelumnya yang lebih kelam dan keras (Kompas, 2025). Dikisahkan, Clark Kent seorang jurnalis dari planet Krypton yang dikenal sebagai Superman dibesarkan oleh keluarga Kent di Kansas setelah planet asalnya hancur. Ia tumbuh dengan nilai moral kuat, berusaha menjadi pelindung umat manusia sekaligus simbol harapan (Cummings, 2025).

Film ini memperlihatkan konflik batin Superman dalam menghadapi dunia modern yang penuh propaganda, ketidakpercayaan, dan manipulasi politik. Kekuatan dan idealismenya diuji ketika ia berupaya mempertahankan kebenaran di tengah pihak-pihak besar yang berusaha mengontrol narasi publik. Tekanan terhadap jurnalis dan media independen dalam film digambarkan melalui sensor halus hingga ancaman langsung, yang jelas bertentangan dengan prinsip kebebasan berekspresi sebagaimana dijamin dalam Pasal 19 Universal Declaration of Human Rights (UDHR), Pasal 19 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), serta Pasal 14 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UDHR Pasal 19; ICCPR Pasal 19; UU No. 39 Tahun 1999, Pasal 14).

Manipulasi informasi oleh pihak dominan dalam film ini mencerminkan praktik nyata di dunia, di mana pengendalian narasi publik menghalangi masyarakat memperoleh kebenaran objektif dan pada akhirnya melemahkan demokrasi. UNESCO dalam World Trends in Freedom of Expression and Media Development Report 2022 juga menegaskan bahwa pola semacam ini mempersempit ruang kebebasan pers sekaligus membuka peluang praktik represif yang berlandaskan opini publik yang telah dimanipulasi (UNESCO, 2022).

Film dibuka dengan aksi Superman yang mengintervensi konflik militer antara dua negara fiktif, Boravia dan Jarhanpur, tanpa mempertimbangkan konsekuensi politik. Aksi tersebut menimbulkan kontroversi global (Pop Culture Maniacs, 2025). Tokoh antagonis utama, Lex Luthor, digambarkan membangun pusat perang informasi digital yang mengendalikan media dan jaringan sosial dari markas rahasia. Ia secara sistematis memproduksi propaganda, bahkan menyusup ke Fortress of Solitude markas Superman  untuk memanipulasi pesan dari orang tua Superman, sehingga seolah Superman dikirim untuk mendominasi Bumi (ScreenRant, 2025).

Situasi ini paralel dengan realitas, misalnya kasus pemecatan Melissa Barrera dari film Scream VII setelah menyuarakan dukungan terhadap Palestina. Peristiwa tersebut memperlihatkan bagaimana kekuasaan dapat membungkam suara kritis melalui kontrol narasi publik mirip dengan strategi Lex Luthor dalam membungkam Superman lewat propaganda. Kedua kasus ini menunjukkan bahwa dukungan terhadap keadilan seringkali dibingkai sebagai ancaman oleh mereka yang menguasai informasi (Newsweek, 2023).

Dalam DC Universe versi James Gunn, korporasi seperti LuthorCorp dan LordTech digambarkan sebagai aktor besar yang mampu menentukan arah kebijakan publik dan mengendalikan media. Mereka tidak selalu digambarkan “jahat” secara inheren, tetapi beroperasi tanpa moral sesuai kepentingan dan ambisi pemimpinnya (West, 2025). Hal ini paralel dengan realitas dunia, misalnya perusahaan teknologi besar (Big Tech) seperti Meta, Google, dan Twitter/X yang kerap dikritik karena membiarkan disinformasi dan ujaran kebencian menyebar. Alih-alih berorientasi pada etika, keputusan mereka sering kali pragmatis demi trafik, keuntungan iklan, atau kerja sama dengan pemerintah otoriter dalam menyensor warganya. Sama seperti Lex Luthor yang memanipulasi opini publik untuk memperkuat legitimasi politik, korporasi digital ini juga berperan besar dalam membentuk persepsi masyarakat global, sehingga publik terjebak dalam narasi yang telah dimanipulasi (Freedom House, Freedom on the Net Report 2023).

Lebih jauh, film ini juga menyoroti isu xenofobia. James Gunn menempatkan Kal-El (Superman) sosok asing dari luar bumi  sebagai simbol harapan setelah berhasil berasimilasi dengan masyarakat manusia (Moura, 2025). Narasi ini menantang diskriminasi terhadap kaum “asing” dalam dunia nyata, misalnya krisis pengungsi Suriah dan pencari suaka Rohingya. Di banyak negara Eropa, pengungsi Suriah kerap dipersepsikan sebagai ancaman budaya atau keamanan, meskipun sebagian besar hanya mencari keselamatan. Hal serupa dialami etnis Rohingya yang melarikan diri dari genosida Myanmar; mereka sering ditolak atau dipandang sebagai “beban” di negara tujuan seperti Bangladesh, Malaysia, hingga Indonesia. Padahal, seperti Superman yang akhirnya menjadi sumber kekuatan moral bagi Bumi, kelompok minoritas ini juga berpotensi berkontribusi positif ketika diberi kesempatan berasimilasi. Narasi ini menegaskan bahwa xenofobia dapat dilawan dengan solidaritas dan pengakuan atas kemanusiaan bersama (UNHCR, 2023).

Film Superman (2025) karya James Gunn tidak hanya menghadirkan aksi superhero, tetapi juga memberikan kritik terhadap masalah sosial dan politik dunia saat ini. Lewat sosok Superman, film ini menekankan bahwa tantangan utama masyarakat modern bukan lagi kekuatan fisik, melainkan penyalahgunaan informasi, propaganda, dan kontrol cerita oleh pihak yang berkuasa. Ceritanya terasa dekat dengan kondisi nyata, seperti pembatasan kebebasan pers, dominasi perusahaan digital besar, upaya membungkam suara kritis, dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Diakhir, Superman (2025) menyampaikan pesan bahwa keadilan dan harapan hanya bisa terwujud jika kebenaran dijunjung tinggi, solidaritas dijaga, dan nilai kemanusiaan ditempatkan di atas kepentingan politik maupun ekonomi.

Oleh: Ahmad Wildan – 24410744

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Reguler Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Dalam keberlangsungan sistem ketatanegaraan, Indonesia sangat memegang erat prinsip Trias Politica dalam pembagian kekuasaan negara ketiga ruang kamar yaitu legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Pembagian ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan kekuasaan dan menghindari terjadinya dominasi salah satu cabang kekuasaan atas yang lainnya (Kusnardi & Ibrahim, 1988; Asshiddiqie, 2006). Mahkamah Konstitusi (MK), sebagai bagian dari kekuasaan yudikatif, diberikan wewenang dalam melaksanakan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) tanpa menghasilkan norma baru. Dalam pemikiran Hans Kelsen, MK berperan sebagai negative legislator, yaitu MK hanya memiliki kewenangan untuk menguji dan membatalkan undang-undang, bukan untuk membentuk atau menciptakan norma pengganti (Kelsen, 2007; Asshiddiqie, 2006). Namun dalam praktiknya, peranan ini mulai mengalami pergeseran, sebagaimana juga ditegaskan oleh Mulya (2018), ketika batas antara pembatalan dan penciptaan norma menjadi kabur.

Pergeseran tersebut terlihat jelas ketika putusan-putusan MK tidak lagi sebatas pembatalan pasal undang-undang, namun mulai mengandung substansi kebijakan baru yang berdampak secara langsung terhadap sistem hukum administrasi negara. Hal ini menimbulkan perdebatan di kalangan akademisi dan praktisi hukum, terutama ketika putusan tersebut tidak langsung direspon secara konkret oleh lembaga legislatif. Akhirnya, lahir fenomena yang dikenal sebagai dead letter, yakni putusan pengadilan yang sah secara hukum namun tidak efektif secara praktis karena tidak diimplementasikan (Asshiddiqie, 2006).

Fenomena ini terus lihat jelas dalam dua putusan MK pada tahun 2024, yakni Putusan Nomor 3/PUU-XXII/2024 tentang pendidikan gratis dan Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan Pemilu nasional dan daerah. Kedua putusan ini menuai respon keras dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menilai MK telah melampaui kewenangannya dan memasuki ke dalam ruang legislasi yang merupakan fungsi DPR. 

Dalam Putusan Nomor 3/PUU-XXII/2024 menyatakan bahwa pendidikan dasar dan menengah harus diselenggarakan sepenuhnya secara gratis, termasuk pembebasan beban biaya buku, seragam, dan kegiatan ekstrakurikuler. MK mendasarkan keputusannya pada pasal 31 UUD 1945 yang menjamin hak warga negara atas pendidikan. Namun DPR mengkritik bahwa putusan ini telah melangkahi ranah kebijakan fiskal dan teknis yang seharusnya menjadi kewenangan dari legislatif dan eksekutif. Tanpa peraturan turunan dalam bentuk anggaran negara maupun regulasi teknis putusan ini berisiko menjadi norma baru dalam hukum yang tidak dapat dilaksanakan

Demikian pula dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, MK menyatakan bahwa Pemilu nasional dan Pemilu daerah harus dilaksanakan secara terpisah dengan alasan efektivitas dan aku akuntabilitas politik. MK menilai bahwa pemisahan tersebut dapat merombak dari kualitas demokrasi dan mengurangi kebingungan di kalangan pemilih.

Jika dibandingkan dengan Putusan MK Nomor 102/PUU-VII/2009 terkait Pemilu 2009, kondisinya berbeda karena saat itu MK secara eksplisit membentuk norma baru yang memperbolehkan pemilih menggunakan KTP untuk mencoblos meski namanya tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap, karena terdapat situasi mendesak menjelang hari pemungutan suara dan DPR tidak lagi memiliki waktu untuk menyusun legislasi baru, langkah MK dipandang sebagai bentuk tindakan darurat untuk menyelamatkan hak konstitusional warga negara (Asshiddiqie, 2006).

Kedua keputusan tersebut mengindikasikan kecenderungan judicial overreach di mana lembaga peradilan bertindak melebihi kewenangannya dan mengambil peran lembaga lain. MK dinilai bukan hanya bertindak sebagai penguji norm0a, namun juga sebagai pembentuk norma baru. Menurut Jimly Asshiddiqie, penting untuk menjaga etika konstitusional agar tidak terjadi kekacauan antara lembaga negara, ketika MK bersikap terlalu aktif tanpa diimbangi respon dari DPR, maka sistem hukum berada dalam kondisi dilematis: sah secara normatif, namun tidak operasional secara fungsional (Asshiddiqie, 2006; Mulya, 2018).

Meski demikian, sebagian pihak menilai langkah MK adalah bentuk koreksi atas terhadap stagnasi legislasi, ketika DPR dinilai tidak responsif terhadap dinamika masyarakat dan gagal menghadirkan produk hukum yang progresif (Simandjuntak, 2019).  DPR seringkali dinilai tidak responsif terhadap dinamika yang berjalan di masyarakat dan gagal menghadirkan produk hukum yang progresif. Namun, ketergantungan terhadap Judicial Activism bukanlah jawaban dalam jangka panjang. Bila kekosongan hukum terus diisi oleh MK karena kasihnya peranan DPR, maka fungsi legislatif justru akan terpinggirkan dan sistem demokrasi perwakilan menjadi terdistorsi.

Hal yang perlu digarisbawahi dari kondisi. ini adalah bahwa MK tidak seharusnya dengan mudah menciptakan norma baru. Dalam sistem negara hukum yang demokratis, pembentukan norma baru merupakan wewenang lembaga legislatif yang memperoleh legitimasi langsung dari rakyat. MK sejatinya bersifat pasif dan tidak memiliki legitimasi politik untuk menentukan substansi kebijakan hukum, ketika MK mengambil alih peran legislatif tanpa mekanisme representatif, yang dirusak bukan hanya prinsip demokrasi, tetapi juga asas nomokrasi. (Asshiddiqie, 2014; Kusnardi & Ibrahim, 1988).

Selain itu, dialog antar lembaga negara perlu diperkuat. Koordinasi antara MK dan DPR tidak boleh bersifat formalistik, akan tetapi harus dibangun atas dasar saling menghormati tugas dan fungsi masing-masing. DPR perlu memaknai peranannya secara lebih aktif bukan hanya sebagai pembentuk undang-undang tetapi juga sebagai pelaksana putusan Konstitusional. Sementara MK perlu menahan diri agar tidak menjelma menjadi legislator bayangan dalam sistem hukum kita. 

Pada akhirnya, menjaga keseimbangan kewenangan antara MK dan DPR merupakan bagian penting dari membangun negara hukum yang demokratis sesuai dengan prinsip Trias Politica. Keadilan konstitusional tidak hanya terwujud melalui putusan yang progresif, Akan tetapi juga melalui implementasi yang nyata. Jika putusan MK terus mengisi kekosongan hukum karena legislatif tidak menjalankan fungsinya secara maksimal, maka bukan hanya antar lembaga yang tergerus, tetapi juga legitimasi sistem hukum secara keseluruhan. Negara hukum yang sehat menuntut lebih dari sekedar keputusan yang baik tetapi juga komitmen kelembagaan untuk mewujudkannya dalam praktiknya di masyarakat.