Jambu Luwuk (7/1), (uiinews) “Local Environmental Management of Urban Areas” begitu tema trining internasional yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UII Yogyakarta bekerja sama dengan SIPU International AB, yang bermarkas di Postal address: Box 45113, 104 30, tockholm, SWEDEN, Visiting address: Dalagatan 7. Trining pengelolaan lingkungan lokas di daerah perkotaan ini berlangsung selama dua pecan terhitung sejak tangga 7 sd 18 Januari 2013.
Jambu Luwuk (7/1), (uiinews) “Local Environmental Management of Urban Areas” begitu tema trining internasional yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UII Yogyakarta bekerja sama dengan SIPU International AB, yang bermarkas di Postal address: Box 45113, 104 30, tockholm, SWEDEN, Visiting address: Dalagatan 7. Trining pengelolaan lingkungan lokas di daerah perkotaan ini berlangsung selama dua pecan terhitung sejak tangga 7 sd 18 Januari 2013 di Hotel Jambu Luwuk Room 3 Jalan Gajah Mada 67 Yogyakarta dan untuk pecan kedua berlokasi di Hotel Melia Purosani di Jalan Suryotomo 31 Yogyakarta. Peserta disuguhi dengan sederet manual acara baik indoor maupun out dor presentation yang telah dikemas apiok oleh Panitia dari FH UII yang dikomandani oleh Ketua Departemen Hukumum Internasional Ibu Dra. Sri Wartini SH MH., Ph.D.
Sekitar 30 peserta baik dari dalam negeri maupun luar negeri mengikuti agenda demi agenda yang disajikan oleh panitia dengan serius. Acara dibuka oleh Wakil Rektor Ibidang Akademik, Bapak Nandang Sutrisno SH, LLM, M.Hum, Ph.D sekaligus tampil sebagai Key Note Speaker. Di dalam sambutannya, Nandang memberikan salam pembuka kepada semua hadirin dalam bahasa Inggris. Dengan fasih karena telah malang melintang menjadi naa sumber Clinical Legal Education and Street Law, dia mengucapkan banyak terima kasih kepada para funding father yang telah memberikan kepercayaan penuh kepada UII (khususnya Fakultas Hukumnya) hingga terlaksana kegiatan yang telah lama dikerjasamakan ini. Bentuk kerjasama trining dan workshop internasional ini telah ditandatangani sejak tanggal 7 Juni 2012 lalu oleh Dr. Rusli Muhammad SH MHum selaku Dekan FH UII dan Cecilia Nogren selaku Programme Director Swedish Institute For Public Administration (SIPU International). Didalam kesepakatan MoU tersebut semua biaya dari kegiatan ini ditanggung oleh SIPU Internasional (the Swedish Institute for Public Administration). Nandang berharap bentuk kerjasama seperti ini akan terus dilanjutkan hingga waktu-waktu yang akan datang.
Kegiatan ini akan berlangsung selama 2 pekan dengan berbagai agenda antara lain study visit beberapa daerah di Yogyakarta antara lain desa wisata Brayut, Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) Piyungan Bantul, Pusat Pengolahan Limbah Air dan Sumber Listrik Alternatif di Pantai Baru.
Mutasi penduduk dari pelosok atau bisa disebut juga dari wilayah lain ke wilayah yang baru memberikan andil besar terhadap permaslahan lingkungan. Bahkan dalam berbagai bidang tidak hanya lingkungan saja tetapi dampak sosial, ekonomi. Sebagai contoh di Yogyakarta polusi udara, peningkatan suhu khususnya perubahan iklim. Penyumbang paling besar adalah adanya 6.000 kendaraan baru setiap bulannya masuk ke Yogyakarta. Penyebab utama lainnya adalah pertumbuhan daerah perkotaan yang menyebabkan berkurangnya ruang terbuka hijau. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, harus ada setidaknya 30% ruang terbuka hijau dari luas total (20% untuk umum, 10% untuk pribadi). Secara umum, ruang terbuka hijau untuk daerah pribadi telah dipenuhi, yaitu 7.622 ha atau 43,36%, itupun tidak untuk umum, sedang untuk umum hanya tersisa 11,8%. Sebagai pemicu utama adalah urbanisasi, sejalan dengan perkembangan daerah perkotaan misalnya untuk perumahan, yang akan semakin mengecilkan angka area terbuka hijau. Sedangkan Konversi lahan adalah 0,42% setiap tahun.
Pengelolaan lingkungan perkotaan berbasis budaya ini merupakan salah satu pendekatan untuk mengatasi permasalahan urban. Cukup banyak referensi yang menyampaikan bahwa dengan pendekatan ini cukup efektif. Selain masyarakat akan mendapatkan pembelajaran dan cenderung mempunyai inovasi Negara Jepang juga sudah membuktikan bahwa saat ini merupakan salah satu negara yang berhasil mengatasi permasalahan lingkungannya.
Karena pengaruh dari urban beberapa istilah Jawa yang telah menjadi falsafah hidup mulai memudah. Oleh karena itu perlu penegasan kembali dan dimaktubkan dalam Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta. Falsafah yang sarat dengan nasihat lingkungan tersebut harus mulai ditanamkan kepada anak turun orang Yogyakarta. Sebagai contoh Nilai dasar pertama adalah “hamemayu hayuning bawana” yang berarti bahwa manusia harus mengelola sikap dan perilaku untuk menjaga keseimbangan dan harmoni dalam hubungan mereka dengan satu sama lain, dengan Allah dan dengan alam. Nilai kedua adalah “Sangkan Paraning dumadi”, yang berarti bahwa Allah adalah penyebab dari segala sesuatu dan tempat untuk kembali dari segala sesuatu. Nilai ketiga adalah “manunggaling kawula gusti” yang berarti bahwa seorang pemimpin harus mengintegrasikan dengan orang-orang dan menjadi simbol manajemen spasial. Nilai keempat adalah “Tahta untuk rakyat” menunjukkan bahwa seorang pemimpin adalah untuk orang. Ini berarti bahwa seorang pemimpin harus berkomitmen dirinya berjuang untuk, untuk mengembangkan, dan untuk memajukan kesejahteraan rakyat dan bunga. Nilai kelima adalah “golong gilig” (kesatuan), “sawiji” (konsentrasi untuk mencapai visi), “greget” (dinamis dan bergairah), “sengguh” (kebanggaan dan kepercayaan), dan “ora mingkuh” (bertanggung jawab). Nilai keenam adalah “catur gatra Tunggal” berarti bahwa harus ada kesatuan empat tempat: Royal Palace, Masjid, Open Space, dan Pasar (komponen keberlanjutan kota), dan ini dihubungkan dengan garis-garis filosofis dan imajiner.
Nilai terakhir adalah “Pathok Negara” mengacu pada filosofi spasial (Mlangi, Ploso Kuning, Babadan, dan Dongkelan) yang memberikan bimbingan wilayah spasial. Nilai ini memberikan panduan untuk pengembangan ekonomi masyarakat, untuk pengembangan agama Islam, dan untuk pengaruh politik kesultanan. Salah satu aspek yang paling penting untuk dicatat adalah bahwa “Budaya” telah dimasukkan sebagai pilar utama YSP. Dalam konteks ini, Budaya menjadi semangat bagi semua pilar lainnya, untuk menyiapkan visi, misi dan nilai-nilai dasar YSP. Ini berarti lebih lanjut bahwa Budaya juga harus menjadi titik penting dalam pengelolaan lingkungan. Budaya harus diandalkan, disebut, diperhitungkan, dipertimbangkan, dan menjadi dasar ketika pemerintah menerapkan fungsi manajemen lingkungan, seperti perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengendalian, dan memotivasi kebijakan lingkungan. Dengan kata lain, Budaya harus menjadi salah satu atau bahkan satu-satunya pendekatan terhadap pengelolaan lingkungan, termasuk di wilayah perkotaan.(arf/sr)
Pidato Keynote Speaker Nandang Sutrisno, Ph.D. [ Versi Pdf ] [ Versi Doc ]