Rendi Yudha Syahputra
Dosen FH UII

Hukum acara pidana pada dasarnya merupakan hukum pembuktian. Mengatur mengenai apa saja yang dapat dijadikan bukti, bagaimana cara memperoleh bukti, kemudian bagaimana mengonstantir atau mengakui kebenaran/ fakta berdasarkan bukti, hingga pada akhirnya membuat sebuah keputusan. Artinya, hukum acara pidana sejatinya diciptakan untuk membuktikan atau mengungkap kebenaran (materiil), lalu kemudian memberikan putusan hukum terhadap kebenaran tersebut.

Ketika bukti-bukti mudah diperoleh dan bukti-bukti tersebut mampu menggambarkan peristiwa yang terjadi di waktu lampau secara seksama, tentu tidak sulit untuk mengungkap sebuah kebenaran. Tetapi sebaliknya, ketika bukti-bukti sukar didapat atau ternyata bukti-bukti yang dikumpulkan tidak mampu memberikan gambaran secara jelas, maka kebenaran akan suatu peristiwa menjadi samar. Dugaan-dugaan atau prasangka yang muncul pun menjadi tidak cukup tervalidasi, sehingga kebenarannya patut diragukan.

Pada situasi sulit tersebut, skala eksplorasi terhadap bukti-bukti (yang tersedia) akan semakin meningkat berbanding lurus dengan upaya untuk mengungkap kebenaran. Kadang kala, peningkatan skala eksplorasi ini berubah menjadi panggung eksploitasi. Momen inilah yang sering menjadi awal mula konflik antara kepentingan penegakan hukum dengan perlindungan hak asasi manusia seperti hak saksi, korban ataupun tersangka. Jadi, disatu sisi penegak hukum berusaha mengungkap kebenaran, sementara disisi lain, saksi, korban maupun tersangka tidak ingin hak-haknya dilecehkan atau dilanggar secara semena-mena.

 

Metode Pembuktian Klasik

Pada metode pembuktian klasik, titik episentrum pembuktian bertumpu pada bukti kesaksian/ keterangan (testimony evidence) yang diperoleh dari saksi (termasuk korban) ataupun tersangka. Terungkap atau tidak terungkapnya kebenaran, sangat bergantung pada keterangan yang diberikan oleh saksi maupun tersangka. Ketika keterangan tidak lengkap, berubah-ubah, berbeda antara satu dengan yang lainnya atau malah tidak (bersedia untuk) memberi keterangan, maka tentu saja hal ini akan memicu peningkatan skala eksplorasi terhadap jenis bukti tersebut.

Pada titik ini, sangat mungkin terjadi pemeriksaan yang tidak sehat seperti muter-muter, berlarut-larut, intimidatif, disertai ancaman atau bahkan mengandung kekerasan. Pada situasi yang lain, kondisi ini juga berpotensi melahirkan tindakan-tindakan (upaya paksa) yang tidak efektif dan efisien, akibat minimnya atau tidak akuratnya bukti keterangan. Seperti kekeliruan dalam penyitaan benda/ barang bukti (real evidence), pemanggilan yang berulang-ulang, salah tangkap, penggunaan jangka waktu penahanan yang cukup lama, dan lain sebagainya.

 

Metode Pembuktian 4.0

Metode pembuktian 4.0 pada hakikatnya merupakan adaptasi dari perkembangan zaman. Pergeseran kebiasaan atau perilaku manusia di era industri 4.0 menjadi pijakan dalam penyusunan metode pembuktian 4.0. Laporan Digital 2025 Global Overview Report menyebutkan bahwa 98,7% masyarakat indonesia berusia 16 tahun ke atas menggunakan ponsel untuk mengakses internet.

Kemudian We Are Social tahun 2025, melaporkan bahwa pemakai internet di Indonesia mencapai 212 juta, atau sekitar 75 % dari total populasi. Selain itu, disebutkan juga bahwa rata-rata penggunaan internet masyarakat indonesia dalam satu hari mencapai 7 jam. Dari data-data tersebut dapat dikatakan bahwa kehidupan atau aktivitas manusia hari-hari ini tidak lagi berada dalam satu ruang saja (alam realita), melainkan juga berada dalam ruang yang lain (alam virtual).

Artinya, apabila suatu perbuatan manusia diasumsikan sebagai rangkaian dari aktivitas kehidupan manusia, tentu sebagiannya akan terekam atau terdokumentasi dalam ruang virtual dalam bentuk data elektronik. Data elektronik ini akan menjadi keping puzzle yang berharga dalam mengungkap kebenaran. Jadi, metode pembuktian 4.0 menawarkan cara pembuktian dengan pendekatan lain, yakni menjadikan bukti dokumentasi (documentary evidence) utamanya data elektronik, menjadi titik episentrum dalam pembuktian.

Pada pembuktian ini, proses mengungkap kebenaran akan dikembangkan dari bukti dokumentasi. Baru kemudian disusul dengan bukti-bukti jenis lain, yakni barang bukti maupun bukti keterangan. Artinya, eksplorasi terhadap bukti keterangan cenderung berkurang karena “sebagian kebenaran” (yang cukup akurat) sudah diperoleh dari eksplorasi terhadap bukti dokumentasi. Jadi, pemeriksaan terhadap saksi ataupun tersangka menjadi lebih sehat dan menyenangkan. Kemudian penggunaan tindakan-tindakan (upaya paksa) seperti pemanggilan, penyitaan, penggeledahan, penangkapan maupun penahanan pun menjadi lebih efektif dan efisien.

 

Instrumen Wewenang Penyidikan 4.0

Berbagai tindakan/ wewenang dalam penyidikan, pada prinsipnya diciptakan untuk memperoleh atau mendapatkan berbagai jenis bukti. Wewenang pemanggilan (berikut pemeriksaannya), penangkapan dan penahanan, pada dasarnya dibuat untuk mendapatkan bukti keterangan (saksi ataupun tersangka). Kemudian wewenang penyitaan, tindakan pertama di TKP, pada dasarnya diciptakan untuk memperoleh barang bukti. Artinya, wewenang atau tindakan dalam penyidikan sejatinya berfungsi untuk meraih berbagai jenis bukti.

Dalam penyusunan RUU KUHAP, Komisi III DPR RI dan Pemerintah mestinya juga harus memperhatikan kebutuhan wewenang yang berkaitan dengan perolehan bukti dokumentasi khususnya data elektronik, supaya tujuan hakiki dari hukum acara pidana yakni menemukan kebenaran (materiil) dapat tercapai. Jadi bukan hanya fokus pada tambal sulam pengaturan wewenang-wewenang klasik yang sudah ada..

Apabila Komisi III DPR RI dan Pemerintah betul-betul memiliki pemikiran yang progresif, setidaknya mereka akan menciptakan wewenang-wewenang baru yang berhubungan dengan eksplorasi bukti dokumentasi tersebut seperti wewenang pemeriksaan awal perangkat elektronik. Wewenang ini berupa tindakan untuk melakukan pemeriksaan awal pada perangkat elektronik dengan didampingi pemilik perangkat. Pengaturan rinci mengenai tindakan ini dapat diadaptasikan dari konsep Digital Evidence First Responder (DEFR).

Kemudian wewenang menyalin data elektronik. Wewenang ini berupa tindakan meminta dan menerima data elektronik dari penyelenggara sistem elektronik selaku penguasa data. Salah satu contoh tindakan ini adalah penggunaan layanan Law Enforcement Portal Request yang disediakan oleh penyelenggara sistem elektronik seperti facebook, whats app, instagram, tiktok dsb. Berikutnya wewenang penyitaan perangkat elektronik tertentu. Wewenang ini berupa tindakan mengambil alih perangkat elektronik tertentu yang memerlukan pemeriksaan digital forensik. Tindakan tersebut pada dasarnya merupakan tindakan awal dari rangkaian mekanisme Chain of Custody (COC).

Lalu yang terakhir wewenang mengakses sistem elektronik dengan cara apapun. Wewenang ini berupa tindakan untuk memperoleh data elektronik yang relevan dengan pembuktian yang terdapat dalam sistem elektronik, tanpa persetujuan dari pemilik/ penguasa data. Namun demikian, prosedur penggunaan wewenang-wewenang tersebut tetap harus diatur secara proporsional dan seimbang dengan memperhatikan hak atas data pribadi seseorang. Keberadaan wewenang-wewenang tersebut diharapkan mampu membantu perolehan bukti dokumentasi secara optimal, sehingga alternatif-alternatif untuk menyingkap kebenaran menjadi semakin terbuka lebar.

Berdasarkan uraian di atas, metode pembuktian 4.0 lebih memberikan jaminan perlindungan hak asasi manusia dibandingkan dengan metode pembuktian klasik. Disamping itu, metode pembuktian 4.0 juga memiliki pendekatan yang lebih relevan dengan perkembangan zaman dibandingkan dengan metode pembuktian klasik. Akhirul kata: Justitia Semper Reformanda Est!

Rendi Yudha Syahputra
Dosen FH UII

Pergaulan dan perilaku manusia sejatinya turut dipengaruhi oleh perkembangan industri. Ketika industri masih di era 1.0, 2.0, dan 3.0 (era lama), manusia lebih banyak berinteraksi secara langsung (kontak fisik) dengan manusia lainnya. Interaksi tersebut mengisyaratkan keberadaan suatu lokasi/ tempat di belahan bumi ini untuk bersua. Dan di tempat tersebut (ataupun sekitarnya), dimungkinkan juga terdapat manusia-manusia lain yang bertebaran dalam rangka interaksi langsung. Ini artinya, terdapat kecenderungan bagi manusia-manusia di era lama untuk “bertemu” atau “terlibat” secara langsung dengan berbagai peristiwa di suatu tempat, termasuk peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana.

Perjumpaan secara langsung antara manusia dengan berbagai peristiwa tersebut, menjadikannya sebagai titik episentrum pembuktian di era lama. Fakta-fakta disusun utamanya dari apa yang dialami, dilihat, didengar ataupun diketahui oleh manusia-manusia yang berjumpa secara langsung dengan peristiwa. Oleh sebab itu, keterangan manusia (baca: saksi) dijadikan parameter utama dalam pembuktian. Jadi, selain membuktikan peristiwa yang sesungguhnya terjadi, keterangan saksi juga berfungsi untuk mengidentifikasi pelakunya.

Paradigma tersebut selanjutnya menjadi landasan untuk menyusun ketentuan Acara Pidana baik sejak periode Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) maupun periode UU Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dari paradigma tersebut juga lahir beberapa instrumen wewenang yang berfungsi untuk mencari dan memperoleh saksi, seperti memanggil saksi serta melakukan tindakan pertama di tempat kejadian (Pasal 7 ayat 1 KUHAP).

 

Pembuktian Era 4.0

Pergeseran industri dari era lama ke era 4.0, turut menggeser pola interaksi manusia. Handphone, Laptop, Aplikasi, Website, dsb (yang mengandung elektron), lebih banyak berhubungan intim dengan manusia. Artinya, pola interaksi antar manusia pun tidak lagi seperti era lama, dan cenderung diperantarai “tempat” yang disediakan oleh internet (ruang siber). Kondisi tersebut memicu turunnya intensitas persamuhan secara langsung antara manusia dengan berbagai peristiwa. Hal ini tentu saja, turut mereduksi apa yang dialami, dilihat, didengar ataupun diketahui secara langsung oleh saksi-saksi tentang jangkapnya sebuah peristiwa..

Sebagai contoh, terkait pembuktian tindak pidana penipuan. Di era lama, keterangan saksi memegang peranan penting. Hal ini disebabkan pelaku pernah bertemu secara langsung dengan korban di suatu tempat. Kemudian di tempat tersebut, terdapat saksi-saksi yang melihat, mendengar ataupun mengetahui pertemuan antara korban dengan pelaku. Sehingga saksi-saksi dapat menerangkan peristiwa yang sesungguhnya terjadi, dan mengidentifikasi pelaku maupun korbannya.

Lain halnya dengan pembuktian tindak pidana penipuan di era 4.0. Keterangan saksi mulai tidak dapat diandalkan. Hal ini dikarenakan pelaku tidak pernah bertemu secara langsung dengan korban di suatu tempat. Mereka hanya terkoneksi melalui telepon atau aplikasi seperti whatsapp, instagram, facebook, dsb. Keadaan ini menyebabkan saksi-saksi tidak dapat melihat, mendengar ataupun mengetahui interaksi nyata antara pelaku dengan korban secara seksama. Dan yang paling gelap adalah, tidak mudah bagi saksi-saksi untuk mengidentifikasi siapa pelakunya. Saksi hanya sekedar mampu mengidentifikasi nomor seluller, rekening ataupun akun media sosialnya saja, bukan “siapa” manusia yang menggunakannya.

Kenyataan ini seharusnya menyadarkan kepada kita semua bahwa titik episentrum pembuktian harus bergeser. Yang tadinya bertumpu pada keterangan saksi, sekarang harus bertumpu pada benda/ data elektronik. Ini yang seyogyanya menjadi landasan utama dalam pembaharuan Hukum Acara Pidana. Dari paradigma tersebut, perlu ditata kembali alat-alat bukti yang relevan dengan pembuktian era 4.0. Misalnya menjadikan alat bukti elektronik sebagai alat bukti pokok dalam pembuktian tindak pidana secara umum.

Kemudian paradigma 4.0 ini juga dapat dijadikan dasar untuk menciptakan instrumen wewenang baru yang berfungsi mencari, menyentuh ataupun memperoleh jejak-jejak elektronik. Misalnya wewenang untuk membuka data-data yang tersimpan di sejumlah industri 4.0 seperti penyedia jasa internet, penyedia jasa telekomunikasi, penyedia jasa keuangan, penyedia jasa aplikasi, penyedia jasa perdagangan, dsb yang hari-hari ini menjadi sahabat karib manusia.

 

Instrumen Wewenang 4.0 vs Data Pribadi

Paradigma pembuktian 4.0 secara otomatis akan turut mempengaruhi cara pandang terhadap Data Pribadi. Apabila di era lama Data Pribadi dipandang sebagai bukti pelengkap, di era 4.0 Data Pribadi dapat dipandang sebagai bukti primer. Ini tidak lepas dari “posisi strategis” Data Pribadi dalam arus informasi dan transaksi elektronik. Sehingga segala ketentuan terkait Data Pribadi pun harus selaras dengan metode pembuktian tersebut.

Sebagai contoh, persyaratan untuk membuka Data Nasabah Bank. Secara prinsip data nasabah bank dapat dibuka atau diberikan untuk kepentingan peradilan pidana, akan tetapi nasabah tersebut harus berstatus sebagai tersangka atau berkaitan dengan tersangka (Pasal 42 ayat 1 UU Perbankan jo Pasal 14 angka 41 UU P2SK). Padahal, “siapa” pelakunya belum dapat diidentifikasi. Lalu “siapa” yang akan dilabeli status Tersangka, jika pelakunya saja belum dapat diidentifikasi?

Berkaca dari KUHAP, instrumen wewenang  untuk membuka data pribadi sebenarnya mirip dengan wewenang pemeriksaan surat (Pasal 47 KUHAP). Wewenang tersebut memberikan kekuasaan untuk membuka dan memeriksa surat-surat pribadi yang dikirimkan melalui kantor pos, perusahaan komunikasi, dan pengangkutan. Yang memberikan izin untuk mengaktifkan wewenang tersebut cukup Ketua Pengadilan Negeri, dan tidak perlu izin dari Otoritas lain. Sehingga apabila wewenang tersebut diadaptasikan dalam pembaharuan acara pidana dengan paradigma 4.0, maka yang memberikan izin untuk membuka data nasabah bank cukup Ketua Pengadilan Negeri atau Hakim Pemeriksa Pendahuluan, dan tidak perlu izin dari Otoritas lain.

Berdasarkan uraian di atas, paradigma pembuktian 4.0 disinyalir dapat mengimbangi kejahatan di era 4.0. Ini artinya, upaya perlindungan terhadap korban pun menjadi lebih terjamin. Karena ketika pelaku dapat terungkap dan diadili, opsi restitusi pun semakin terbuka lebar. Sebaliknya dengan paradigma pembuktian klasik, korban pada akhirnya hanya “sekedar” bisa melapor, karena pelaku sulit diungkap. Jadi, pembaharuan KUHAP mestinya bukan tambal sulam KUHAP lama, namun lebih dari itu. Yakni mampu menghadirkan konsep baru yang dapat menjawab segala persoalan yang ada dipelupuk mata. Mari berjuang bersama-sama, jangan pernah berhenti dan semoga keadilan bersedia memimpin negeri ini!

Rendi Yudha Syahputra
Dosen FH UII

Hak Cipta (copy rights) pada hakikatnya adalah hak yang diberikan kepada Pencipta untuk memonopoli ciptaannya dalam jangka waktu tertentu. Konsepsi Hak Cipta dapat dipersamakan dengan hak kepemilikan atas suatu benda pada umumnya, dimana pemilik suatu benda dapat melakukan apa saja terhadap benda yang dimiliki sesuai dengan kehendaknya. Termasuk didalamnya adalah seperti melarang (tidak mengizinkan) orang lain untuk mempergunakannya.

Disamping Hak Cipta, juga terdapat Hak Terkait (related rights) yang memberikan hak tersendiri kepada Penampil ciptaan untuk memonopoli pertunjukan, rekaman ataupun siarannya atas suatu ciptaan. Dalam dunia industri, hak ini diberikan kepada para Pelaku Pertunjukan, Produser Fonogram dan Lembaga Penyiaran. Namun yang perlu dipahami bersama adalah bahwa hak ini merupakan semacam “hak turunan” yang lahir dari adanya Hak Cipta dan berfungsi mengoptimalkan manfaat atas suatu ciptaan. Artinya, dengan teroptimalisasinya manfaat dari suatu ciptaan, maka teroptimalisasi pula kesejahteraan penciptanya.

Keleluasaan yang diberikan kepada Penampil ciptaan melalui Hak Terkait seharusnya tidak diartikan sebagai keleluasaan yang tidak terbatas, seperti misalnya dapat menggunakan ciptaan untuk kepentingan komersial tanpa izin terlebih dahulu dari Pencipta dan kemudian hanya memberikan imbalan (royalti) “ala kadarnya” saja kepada Pencipta. Jika Penampil diberikan keleluasaan untuk mengeksploitasi keuntungan dari sebuah pertunjukan, rekaman pertunjukan ataupun siaran pertunjukan atas suatu ciptaan yang dibuat dengan susah payah oleh Pencipta, maka Penciptanya pun seharusnya diberikan keleluasaan juga untuk “berdialog” mengenai royaltinya.

Persoalan dibidang Hak Cipta yang menyita perhatian publik belakangan ini adalah munculnya silang pendapat antara dua legenda hidup musik Indonesia, yaitu Once selaku penyanyi (penampil ciptaan) dengan Ahmad Dhani selaku pencipta lagu (pemilik ciptaan). Ahmad Dhani kurang lebih berpendapat bahwa penyelenggara acara (event organizer) yang menampilkan lagu ciptaannya dalam sebuah pertunjukan (dan dinyanyikan oleh Once), harus mendapat izin terlebih dahulu dari Ahmad Dhani. Sedangkan Once kurang lebih berpendapat bahwa lagu ciptaan Ahmad Dhani dapat dinyanyikan atau ditampilkan dalam sebuah pertunjukan tanpa harus meminta izin terlebih dahulu kepada Ahmad Dhani, namun dengan membayar royalti kepada Lembaga Manajemen Kolektif.

 

Posisi Lembaga Manajemen Kolektif

Pasal 23 ayat (5) UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC 2014) menyebutkan bahwa “Setiap orang dapat melakukan penggunaan secara komersial ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada pencipta dengan membayar imbalan kepada pencipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif”. Kemudian dalam penjelasannya dikatakan bahwa “imbalan kepada pencipta” adalah royalti yang nilainya ditetapkan secara standar oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Secara hukum positif, apa yang disampaikan oleh Once memang sama persis dengan bunyi Pasal 23 ayat (5) UUHC 2014. Namun bagaimanakah sesungguhnya makna dari Pasal tersebut?

Pertama-tama harus dipahami terlebih dahulu mengenai siapakah LMK itu. Dalam Pasal tersebut (berikut penjelasannya), LMK seolah-olah tampak seperti “lebih memiliki hak” ketimbang Pencipta, dimana dia dapat menentukan nilai royalti tanpa mendapat persetujuan terlebih dahulu dari penciptanya. Namun apabila merujuk pada Pasal 1 angka 22 jo Pasal 88 ayat (2) huruf b UUHC 2014, LMK sebenarnya adalah institusi berbadan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh Pencipta, Pemegang Hak Cipta dan/ atau Pemilik Hak Terkait untuk mengurus masalah royalti.

Dari ketentuan tersebut jelas terlihat bahwa LMK sendiri sebenarnya merupakan sebuah lembaga yang dimaksudkan sebagai kepanjangan tangan dari Pencipta, Pemegang Hak Cipta dan/ atau Pemilik Hak Terkait dalam hal pengurusan atau “penagihan” royalti. Mungkin dalam bahasa lain bisa juga disebut sebagai “debt collector”-nya Pencipta, Pemegang Hak Cipta dan/ atau Pemilik Hak Terkait. Artinya, tanpa adanya kuasa dari Pencipta, LMK sama sekali tidak memiliki hak ataupun wewenang untuk bertindak mewakili Pencipta dalam pengurusan royaltinya.

Hubungan hukum tersebut menegaskan bahwa LMK sejatinya tidak dapat bertindak sepihak atau semaunya sendiri, karena apa yang dilakukan oleh LMK sebenarnya hanya sebatas menjalankan “perintah” dari Pencipta sebagaimana perjanjian penyuruhannya (lastgeving). Jadi, dalam menentukan nilai royalti atas suatu ciptaan, seharusnya didasarkan pada kehendak dari Pencipta juga. Bukan hanya didasarkan pada kehendak sepihak dari LMK. Oleh sebab itu, dalam menentukan nilai royalti, idealnya dibicarakan secara matang terlebih dahulu antara LMK dengan Pencipta, baru kemudian disepakati dan dituangkan dalam perjanjian penyuruhannya (surat kuasa).

Dari uraian tersebut di atas, maka maksud “dapat melakukan penggunaan secara komersial ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada pencipta dengan membayar imbalan kepada pencipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif” seharusnya dimaknai “dalam hal Pencipta dan LMK sudah menyepakati nilai royalti berikut prasyarat lainnya” sehingga Pasal 23 ayat (5) UUHC 2014 tidak berat sebelah dan terasa lebih adil. Selama belum terdapat kesepakatan antara Pencipta dengan LMK terkait hal tersebut, maka penggunaan ciptaan harus tetap izin terlebih dahulu kepada penciptanya.

Perdebatan antara Ahmad Dhani dengan Once yang pada akhirnya melibatkan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, sebenarnya tidak perlu terjadi jika LMK benar-benar memahami tugas dan tanggungjawabnya selaku kuasa dari Pencipta dalam pengelolaan royalti. Bagaimanapun juga seorang Pencipta adalah “Tuan” bagi LMK yang wajib dihormati serta diperjuangkan hak-haknya, dan bukan malah sebaliknya. Semoga dengan goresan pena yang tidak seberapa ini, dapat menggugah semua pihak untuk memaknai hukum hak cipta dengan “Cita Rasa Indonesia”.

Penulis: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Direktur Pendidikan dan Advokasi Pusham UII

 

Pada tahun 1941, Hannah Arendt menulis Eichmann in Jerussalem : A Report on The Banality of Evil. Tulisan ini menceritakan tindakan Adolf Eichmann, seorang anggota rezim Nazi yang menjadi arsitek pembantaian massal yang diceritakan lebih dari 11 juta orang menjadi korbannya. Eichmann bersedia dengan sadar bergabung dalam program pembantaian manusia dan kesediaan tersebut memperlihatkan kegagalannya dalam berfikir dan menilai tindakannya. Kekejaman Eichmann dalam Holocaust dapat dikaji sebagai bagian persoalan psikologis, dimana ia merupakan seorang manusia normal, tetapi ketika dilihat dari sudut kesadaran dan nurani, ia bertindak tanpa berfikir dan menjalankan perintah  atasan tanpa memikirkan akibat-akibatnya pada korban.

Penelitian Hannah Arendt masih relevan untuk melihat perilaku pejabat kekuasaan hari ini, dimana kerap ada kebijakan yang memperlihatkan sisi sewenang-wenang pemegang kekuasaan. Merujuk pada tindakan Eichmann, kekuasaan memiliki daya yang kuat sehingga orang-orang yang bekerja didalamnya dapat dengan mudah melepaskan keberpihakannya pada orang-orang yang lemah, tidak dapat menimbang benar atau salah, dan manafikan nasib korban. Dalam beberapa studi, banalitas kejahatan di tubuh kekuasaan akan berjalan tanpa kendali dalam sistem politik tirani, dimana pemerintahan dijalankan secara absolut oleh penguasa.

Pertanyaannya, bisakah banalitas kejahatan terjadi dalam sistem demokrasi? Idealnya tidak terjadi, karena keputusan politik dalam sistem demokrasi ditentukan kehendak rakyat. Namun, praktik kekuasaan kerap berbeda. Ada banyak kebijakan dikendalikan oleh sekelompok kecil elit yang mengarah pada sistem politik aristokrasi dan oligarkhi. Bahkan di masa orde baru, kekuasaan dijalankan dengan otoriter di tengah sistem  politik demokrasi.

Kekuasaan Saat Ini

Apakah pemerintahan saati ini telah menjalankan banalitas kekuasaan? Apakah aparat negara menjalankan perintah total penguasa tanpa memikirkan baik-buruk kebijakannya? Pertanyaan ini perlu diuji dengan bukti bagaimana kekuasaan saat ini bekerja. Sejauh ini, sangat terasa komando yang sentralistik diperagakan Presiden Prabowo Subianto. Pendekatan pertahanan-keamanan terlihat nyata. Para anggota kabinet dan kepala daerah didoktrin dengan gaya militer. Dalam konteks kebijakan, apa yang dikehendaki Presiden sepertinya tidak ada yang berani mengkritisi, bahkan suara kritis para wakil rakyat hanya menyasar perilaku Menteri, tidak berani mengkritisi penguasa utama.

Gaya pemerintahan saat ini mengkwatirkan. Tidak terbayang semua kebijakan harus tunggal dan fungsi check and balances cabang-cabang kekuasaan tidak berjalan. Kekuasaan yang sehat idealnya menghadirkan komunikasi intersubjektif, dimana orang-orang yang bekerja di tubuh kekuasaan dapat berkomunikasi tanpa ketakutan, pejabat yang berada di ragam cabang kekuasaan tetap menjaga nalar kritis, dan antara satu dengan yang lain saling menjaga marwah fungsi pokok kewenanganya agar keseimbangan kekuasaan tetap terjaga. Presiden dan pelaksana kekuasaan eksekutif harus dikritisi agar program-program pemerintahan tidak jatuh pada kesewenang-wenangan.

Kondisi kekuasaan yang tersentralisasi dan komunikasi komando yang begitu kuat seperti telah mematikan kesadaran kritis para pejabat kekuasaan. Kondisi ini walau tidak serupa pernah terjadi di era kekuasaan demokrasi termimpin dan orde baru, dimana negara waktu itu dikendalikan sepenuhnya oleh penguasa tertinggi dan negara kemudian jatuh pada otoritarianisme. Di era demokrasi terpimpin, DPR hanya bertugas menjadi legitimasi terhadap keputusan-keputusan politik yang dibuat pemerintah. Keadaan serupa terjadi di era rezim orde baru, dimana pemerintahan kemudian menjelma sebagai kekuasaan teror (state terorisme) yang secara sistemik melakukan  penundukan terhadap masyarakat sipil dengan kekuatan ABRI, serta berlanjut dengan pembuatan aturan dan kebijakan yang membungkam kritik, kebebasan pers, dan hak asasi manusia.

Untungnya saat ini masih ada masyarakat sipil yang berani berpendapat. Beberapa suara kritis antara lain perihal kebijakan efisiensi anggaran yang salah kaprah, pajak yang naik, gelombang pemutusan hubungan kerja, tidak jelasnya komitmen negara terhadap permasalahan HAM, dan akal-akalan pengesahan RUU TNI yang menjadi penanda absah hadirnya rezim neo orde baru. Suara kritis masyarakat sipil adalah harapan satu-satunya di tengah kekuasaan yang mengarah pada sistem otoritarinisme.

Tulisan ini telah dimuat dalam Koran Kedaulatan Rakyat Kamis, 20 Maret 2025.

Oleh : Budi Agus Riswandi*

Hampir dua sampai tiga minggu ini media cetak maupun online tidak pernah berhenti memberitakan terbitnya putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat terkait kasus gugatan Ari Bias terhadap Agnez Mo atas pelanggaran hak cipta music dan lagu berjudul “Bilang Saja”, di mana kasus gugatan tersebut Ari Bias dimenangkan oleh pihak pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan menghukum Agnez Mo dikenakan ganti rugi sebesar 1,5 M atas pelanggaran hak cipta musik dan lagu milik Ari Bias.

Polemik Kasus Agnez Mo

Pemberitaaan yang terus menerus ini tidak terlepas dari munculnya pro kontra sendiri dikalangan musisi Indonesia. Di satu pihak ada yang yang mendukung terbitnya putusan ini. Mereka beranggapan bahwa putusan ini sudah benar karena menyangkut penghargaan, penghormatan dan perlindungan terhadap pencipta yang karyanya telah digunakan secara komersial dan digunakan tanpa hak. Namun demikian, di sisi lainnya, menganggap putusan ini berlebihan. Mereka mengkhawatirkan dengan adanya putusan ini akan menganggu ekosistem industri musik Indonesia. Dua pandangan yang berbeda ini, sebenarnya merupakan hal yang wajar terjadi karena masing-masing pihak punya interest yang berbeda-beda. Namun, perbedaan pandangan ini mestinya tidak berujung pada permusuhan antar musisi di Indonesia karena ini pada akhirnya hanya akan merugikan musisi Indonesia itu sendiri.

Upaya Hukum

Kasus pelanggaran hak cipta oleh Agnez Mo atas ciptaan musik dan lagu milik Ari Bias telah diputus oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Dengan diterbitkannya putusan ini tentu pertanyaannya, apakah putusan tersebut masih dapat dilakukan upaya hukum? Maka, jawabannya masih ada upaya hukum yaitu berupa kasasi ke Mahkamah Agung RI (MA RI). Menurut ketentuan Pasal 102 ayat (1) UU Hak Cipta menyatakan bahwa Terhadap putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (3) hanya dapat diajukan kasasi. Selanjutnya di dalam Pasal 102 ayat (2) UU Hak Cipta dinyatakan bahwa permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lama 14 (empat belas) Hari terhitung sejak tanggal putusan Pengadilan Niaga diucapkan dalam sidang terbuka atau diberitahukan kepada para pihak.

Dengan disediakannya upaya hukum kasasi ke MA RI, hal ini dimaksudkan sebagai bentuk upaya korektif atas putusan Pengadilan Niaga, Adapun waktu yang disediakan oleh undang-undang hak cipta adalah 14 hari terhitung sejak tanggal putusan Pengadilan Niaga diucapkan dalam sidang terbuka atau diberitahukan kepada para pihak.

Melalui kasasi ke MA RI, maka ada dua kemungkinan bentuk putusan dari MA RI, putusan kasasi MA RI akan menguatkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, namun dapat juga membatalkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Semua kemungkinan ini sangat tergantung kepada kemampuan kedua belah pihak dalam meyakinkan majelis hakim kasasi di Mahkamah Agung RI.

 

Pelajaran yang harus dipetik

Hal penting lain dalam mensikapi kasus Agnez Mo ini adalah pelajaran yang harus dipetik oleh pencipta dan penyanyi. Perlu diketahui, pencipta dan penyanyi ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Dalam kenyataan, pola hubungan pencipta dan penyanyi itu ada tiga, yaitu; (1) pencipta sekaligus menjadi penyanyi; (2). pencipta yang tidak menjadi penyanyi; dan (3). penyanyi yang tidak menjadi pencipta. Memperhatikan pola hubungan pencipta dan penyanyi yang kedua dan ketiga, maka sebenarnya ada hubungan saling tergantung antara pencipta dan penyanyi. Hal ini terjadi juga dalam praktik industri musik di Indonesia.

Dengan menyadari hal seperti ini seharusnya semangat hubungan antara pencipta dan penyanyi dalam konteks kedua dan ketiga dapat dilakukan penuh kepercayaan dengan jalinan hubungan yang harmoni dan berlandaskan pada saling menghormati dan menghargai satu sama lainnya. Tentunya, jika ada suatu perselisihan di antara keduanya hendaknya dapat dibicarakan dengan menjalin komunikasi yang baik, dan berfokus pada solusi yang dapat menguntungkan bagi kedua pihak (win-win solution). Menghindari ego dan rasa benar sendiri menjadi prasyarat untuk dapat menghasilkan model solusi yang menguntungkan kedua belah pihak (win-win solution) ketika terjadi perselisihan. Namun demikian, akan menimbulkan hasil berbeda, jika prasyarat ini diabaikan oleh keduanya. Pastinya, istilah satu jadi arang dan lainnya jadi abu akan menjadi kenyataan ditengah hukum yang rapuh seperti saat ini.

Semangat ini sejalan dengan semangat yang terkandung di dalam konsep hak cipta. Di dalam konsep hak cipta dikenal konsep hak terkait (related rights (or neighbouring rights). Hak terkait adalah melindungi kepentingan hukum dari orang dan badan hukum tertentu yang berkontribusi dalam membuat karya tersedia untuk publik. UU Hak cipta Indonesia juga mengenal hak terkait. Di dalam Pasal 1 angka 5 dinyatakan” Hak Terkait adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta yang merupakan hak eksklusif bagi pelaku pertunjukan, producer fonogram, atau lembaga Penyiaran.

Frase yang menyatakan “…berkaitan dengan hak cipta..” menjadi bukti ada hubungan erat antara hak cipta dan hak terkait. Hak terkait ini lahir dikarenakan adanya hak cipta, dan hak terkait ini tidak akan ada, jika tidak ada hak cipta. Hak terkait merupakan hak eksklusif yang diberikan salah satunya kepada pelaku pertunjukan (penyanyi), sedangkan hak cipta merupakan hak eksklusif yang diberikan kepada pencipta (termasuk pencipta music dan lagu).

Dari sini, maka patut disadari bahwa sesungguhnya dengan konsep hak cipta dan hak terkait telah mengajarkan kepada kita pentingnya kebersamaan dan saling melengkapi antar dua hak tersebut. Semangat ini, sekali lagi sangat sejalan untuk menggambarkan hubungan antara pencipta dan penyanyi karena pada kenyataannya pencipta itu sebagai pemegang hak cipta, dan penyanyi sebagai pemegang hak terkait. Kebersamaan dan saling melengkapi menjadi kunci hubungan pencipta dan penyanyi dapat membawa kemajuan dan kesejahteraan di masa depan. Wallahu’alam bis shawab.

*) Dekan dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Penulis: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Direktur Pendidikan dan Advokasi Pusham UII

DPR mendadak menggelar rapat membahas tentang revisi Undang-Undang Pilkada. Rapat ini merupakan respon yang sangat cepat menyikapi dua putusan Mahkamah Konstitusi yang cukup menggembirakan publik. Putusan Mahkamah Konstitusi yang dibacakan pada Selasa, 20 Agustus itu seperti memberi angin segar bagi alam demokrasi, dan pada sisi yang lain mengagetkan elit oligarkhi kekuasaan yang telah membangun siasat panjang yang salah satunya terlihat dalam pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Khusus Jakarta (DKJ) dan beberapa kandidat kunci yang telah disiapkan dalam pilkada serentak tahun ini.

Putusan pertama Mahkamah Konstitusi terkait syarat pencalonan kepala daerah dari jalur partai politik terkait dengan ambang batas (threshold). Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 40 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah inkonstitusional bersyarat. Dampaknya, syarat pencalonan kepala daerah yang sebelumnya mewajibkan partai politik atau gabungan partai politik  memiliki sekurang-kurangnya 20% kursi di DPRD atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu anggota DPRD di daerah tersebut, kini hanya didasarkan pada hasl perolehan suara sah dalam pemilu DPRD. Keputusan ini membuka peluang partai-partai kecil dapat mencalonkan kandidat kepala daerah tanpa harus berkoalisi dengan partai lain.

Putusan Mahkamah Konsitusi kedua yang tidak kalah menarik terkait dengan pemaknaan syarat usia pencalonan kepala daerah. Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa persyaratan usia minimum harus dipenuhi calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah  ketika mendaftarkan diri sebagai calon. Titik penentuan usia minimum dimaksud dilakukan pada proses pencalonan yang bermuara pada penetapan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah. Putusan Mahkamah Konsitusi ini memberikan penetapan bahwa syarat usia dihitung sejak penetapan pasangan calon kepala daerah, bukan sejak pelantikan sebagaimana dalam putusan Mahkamah Agung sebelumnya.

Ihwal gawat setelah putusan Mahkamah Konstitusi adalah sikap Baleg DPR, dimana institusi ini melawan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi dengan melakukan beberapa revisi terhadap UU  Pilkada. Pertama, terkait perubahan Pasal 7 ayat 2 huruf E UU Pilkada, Panja Baleg DPR merumuskan batas usia calon Gubernur dan Wakil Gubernur minimal 30 tahun terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih dengan merujuk pada putusan Mahkamah Agung dan menyimpangi putusan Mahkamah Konstitusi. Sedangkan terkait Pasal 40 UU Pilkada yang mengatur tentang ambang batas (threshold), Panja Baleg DPR merumuskan revisi Undang-Undang bahwa ambang batas pencalonan sebesar 6,5 sampai 10% suara sah hanya berlaku bagi partai politik non kursi di DPRD, dan untuk ambang batas pencalonan bagi partai politik kursi di DPRD adalah sebesar 20% dari jumlah kursi di Dewan atau 25%  dari perolehan suara yang sah.

Sesuai jadwal, DPR berencana akan segera menggelar rapat paripurna dan secepat mungkin mengesahkan rancangan perubahan keempat Undang-Undang Pilkada. Sikap gawat Baleg DPR ini mengundang protes dan menciptakan keprihatinan luar biasa. Masyarakat yang memiliiki media sosial tergerak memposting gambar garuda dengan latar belakang warna biru, dengan tulisan “peringatan darurat”. Postingan darurat bernengara ini membesar, trending, dan organisasi masyarakat sipil mulai berkonsolidasi untuk melakukan aksi serentak melawan arogansi sikap DPR yang dianggap menciderai konstitusi, semangat negara hukum, dan dinilai mementingkan transaksi kekuasaan politik semata.

Peringatan Darurat

Postingan gambar burung garuda dengan pesan “peringatan darurat”  memberi pesan kepada kita semua bahwa negara Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Postingan ini tentu didasari oleh kegelisahan yang cukup panjang dari catatan perilaku aktor-aktor oligarkhi yang bermain dengan sedemikian banal, khususnya praktik penggunaan kekuasaan untuk membangun dinasti politik sebagaimana dalam pemilihan Presiden-Wakil Presiden dan hasilnya begitu benderang terlihat saat ini. Konstitusi yang dijunjung tinggi dipermainkan, aturan bersama diterobos dengan kesewenang-wenangan, dan aparat hukum diperalat untuk mendukung kepentingan kekuasaan yang menyimpang.

Catatan penting kondisi kekuasaan sebagaimana rilis beberapa organisasi masyarakat sipil antara lain terlihat dari pembungkaman kritik dengan penggunaan UU ITE, menguatnya represi aparat kemanaan, pengembosan parlemen dengan merangkul lawan-lawan politik, pengendalian partai politik, pembuatan regulasi yang menghilangkan partisipasi bermakna, pembangunan infrastruktur yang menggusur rakyat, pelemahan instituski KPK, hilangnya  fungsi check and balances DPR, hutang negara yang terus bertambah dan pada sisi yang lain pemerintah terlihat lemah kemampuannya untuk membayar, serta pembungkaman ormas-ormas dengan pembagian tambang yang tidak tepat.

Postingan “peringatan darurat” oleh berbagai lapisan masyarakat sipil yang utamanya ditujukan kepada DPR menjadi titik paling rendah betapa rakyat tidak memiliki tumpuan sama sekali saat ini. DPR yang notabene dilekatkan dengan fungsi perwakilan (representation) dan pengawasan (control) saat ini telah kehilangan fungsi dan mandatnya. Hak istimewa yang diberikan kepada DPR seperti hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, hak mengajukan pertanyaan, dan hak menyampaikan usul jarang sekali masyarakat dengar. Kekuasaan eksekutif terlihat digdaya dan tanpa pengawasan yang selayaknya dari institusi DPR.  Benar beberapa pihak yang menyatakan bahwa DPR saat ini telah kehilangan ruhnya, konsep pemisahan kekuasaan dan check and balances tidak berjalan, dan kekuasaan legislatif tunduk patuh pada titah kekuasaan eksekutif.

Negara Hukum

Di balik postingan “peringatan darurat” muncul pertanyaan, apakah Indonesia saat ini masih negara hukum (rule of law, rechtsstaat) sebagaimana tercantum dalam konstitusi? Ataukah sudah berubah menjadi negara kekuasaan (machtstaat)? Negara kekuasaan menyatakan bahwa hukum tertinggi dalam negara adalah kehendak penguasa, dan rakyat tidak diberi ruang untuk mengkritisi kekuasaan. Sedangkan negara hukum bermakna bahwa penyelenggaraan pemerintahan dalam negara dijalankan berdasarkan hukum. Unsur penting negara hukum menurut A.V Dicey ialah supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of law), tidak adanya kekuasaan yang sewenang-wenang (absence of arbitrary power), kedudukan yang sama di hadapan hukum (equality before the law), dan jaminan terhadap hak asasi manusia dalam perundang-undangan dan keputusan-keputusan pengadilan.

Menurut Frederich Julius Stahl, beberapa unsur penting negara hukum adalah perlindungan hak asasi manusia, pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu, pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan peradilan administrasi dalam perselisihan. Persamaan penting konsep negara hukum menurut A.V Dicey dan dan Julius Stahl adalah adanya perlindungan hak asasi manusia sebagai unsur fundamental negara hukum. Dalam hal ini, tata kelola negara hukum harus memastikan bahwa tindakan dan kebijakan negara tidak boleh sewenang-wenang sehingga menciderai hak-hak masyarat dan demokrasi.

Kita tahu, Mahkamah Konstitusi di Indonesia adalah salah satu lembaga tinggi negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang begitu lekat dengan penjaga kewibawaan negara hukum. Keberadaanya dikasih wewenang besar untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir. Putusannya bersifat final yang salah satunya untuk pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam hal ini, Mahkamah Konsitusi adalah penjaga gawang konsitusi  yang notabene merupakan hukum dasar tertinggi negara, karena itu lembaga ini dikenal sebagai the guardian of constitusional, dan juga the final interpreter of constitution. Kewenangan ini cukup strategis untuk menjaga eksistensi negara hukum, semangat demokrasi, dan jaminan perlindungan hak asasi manusia yang kerap dilemahkan oleh kekuasaan eksekutif dan bahkan oleh lembaga legislatif.

Identitas negara hukum Indonesa saat ini sedang mengalami krisis serius dimana ada tarikan taktik yang mendorong tata kelola negara sepenuhnya dikendalikan oleh kekuasaan eksekutif. Aktor-aktor kunci yang berada di cabang kekuasaan yang lain telah ditaklukkan dan menyebabkan independensi dan krisis kelembagaan. Karena itu, dua putusan Mahkamah Konstitusi terakhir sedikit banyak telah menyentak kesadaran publik, ternyata masih ada hakim dan putusannya yang menjaga semangat negara hukum, idealitas demokrasi, dan ketinggian berkonstitusi. Kita tahu dua putusan Mahkamah Konstitusi akan dilawan kekuatan oligakhi kekuasaan, dan kita sudah lihat dengan terang aktor dan institusi perusak konstitusi itu.

Tulisan ini telah dimuat dalam Kompas, 23 Agustus 2024.

Penulis: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Direktur Pendidikan dan Advokasi Pusham UII

Beberapa topik pada debat calon presiden (capres) masih ramai diperbincangkan. Salah satunya, pernyataan capres Anies Baswedan yang mengungkap bahwa kebebasan berpendapat dan indeks demokrasi di Indonesia menurun. Bahkan, pemerintah dinilai kerap menggunakan pasal-pasal karet dalam UU ITE untuk memidanakan pihak-pihak yang mengkritisi kekuasaan.

Pernyataan itu menjadi diskusi menarik di kalangan komunitas, bahkan kedua kubu beradu data perihal kondisi demokrasi di Indonesia. Partisan Anies misalnya merujuk pada data indeks demokrasi versi Economist Intelligence Unit (EIU) yang menyatakan bahwa skor indeks demokrasi di Indonesia tergolong cacat (flawed democracy).

Skor indeks demokrasi Indonesia bisa dikatakan tidak full democracy, tetapi belum jatuh pada skor hybrid regime dan authoritarian. EIU dikelola Economist Group yang rutin menilai kondisi demokrasi di ratusan negara dunia yang didasarkan pada lima indikator, yaitu proses pemilu dan pluralisme politik, tata kelola pemerintahan, tingkat partisipasi politik masyarakat, budaya politik, dan kebebasan sipil.

Pada sisi yang lain, partisan pemerintah yang diwakili Prabowo Subianto merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan bahwa tingkat demokrasi di Indonesia masuk dalam kategori baik. Bahkan, menurut BPS, indeks demokrasi Indonesia (IDI) selama tiga tahun terakhir mengalami kenaikan sejak 2020. IDI sendiri merupakan angka yang memperlihatkan tingkat perkembangan demokrasi di Indonesia yang substansi, metode, dan pelaksanaan olah datanya dijalankan secara kolaboratif oleh BPS, Bappenas, Kemenko Polhukam, Kemendagri, serta pemerintah daerah.

Data siapakah yang paling benar? Sebagai pembaca yang kritis, tentu kita akan melacak lebih detail dan memaknai secara substantif kualitas demokrasi yang dirasakan langsung oleh rakyat hari ini. Apalagi, menurut V-Dem Institute dalam Democracy Report 2023, sebanyak 43 persen jumlah populasi dunia saat ini hidup di negara-negara yang mengalami kemunduran demokrasi.

Bahkan, tingkat demokrasi secara global pada 2022 terdegradasi ke level yang sama dengan demokrasi pada 1986. Situasi itu ditandai, antara lain, dengan represivitas pemerintah terhadap masyarakat sipil, kebebasan berekspresi menurun, meningkatnya sensor pemerintah terhadap media, dan memburuknya kualitas pemilu. Indonesia dalam 10 tahun terakhir menurut laporan itu juga mengalami penurunan demokrasi bersama negara-negara Asia-Pasifik yang lain seperti Kamboja, Afghanistan, India, Bangladesh, Hongkong, Myanmar, Filipina, dan Thailand.

Substansi Demokrasi

Secara kebahasaan, demokrasi berasal dari kata demos yang berarti pemerintahan dan kratos yang berarti rakyat. Demokrasi dapat dimaknai sebagai pemerintahan rakyat yang dalam makna lain diartikan sebagai daulat rakyat dalam pemerintahan suatu negara. Cara pandang kedaulatan rakyat merupakan antitesis dari konsep negara yang dikuasai secara tunggal oleh raja, pemimpin agama, dan atau bentuk pemerintahan yang dijalankan dengan cara tiran, aristokrasi, dan atau oligarki.

Demokrasi setidaknya memiliki tiga nilai prinsip, yakni keadilan, kesetaraan dan persamaan hak, serta kebebasan dan kemerdekaan. Secara konseptual, demokrasi bisa dibaca secara substantif dan prosedural. Demokrasi substantif menghendaki demokrasi secara hakiki, yaitu demokrasi dinilai tegak dengan nilai atau budaya yang memungkinkan rakyat berdaulat dengan sesungguhnya. Kehidupan sosial bernegara memperlihatkan budaya saling menghormati, toleransi, anti kekerasan, serta tumbuhnya kebijakan yang berkeadilan sosial yang berdampak pada kesejahteraan yang merata.

Sementara itu, demokrasi prosedural menghendaki demokrasi pada level prosedur. Yaitu, adanya aturan atau prosedur formal yang mengandung nilai-nilai demokrasi yang aturannya bersifat nondiskriminasi, imparsial, dan independen.

Pertanyaan Kunci

Merujuk pada konsep demokrasi, apakah negara Indonesia sudah memenuhi kualifikasi sebagai negara demokrasi dan bagaimana kualitasnya? Secara konstitusional, Indonesia memilih demokrasi sebagai bentuk pemerintahannya. Pada Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 dinyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.

Pertanyaan pentingnya lebih pada kualitas demokrasi itu sendiri, yaitu sejauh mana kedaulatan rakyat dijaga dan dihormati oleh penyelenggara pemerintahan? Seberapa jauh aktivitas dan keputusan politik pemerintahan melibatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan? Dan, sejauh mana setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum?

Pertanyaan tersebut seiring dengan situasi keprihatinan terkait semakin renggangnya hubungan rakyat dengan wakil-wakil rakyat dan semakin renggangnya hubungan rakyat dengan pemerintahan yang dalam banyak hal mengesahkan regulasi yang tidak sejalan dengan pikiran dan tuntutan rakyat. Regulasi yang dikritisi misalnya UU Cipta Kerja, revisi UU KPK, revisi UU Mahkamah Konstitusi, UU Ibu Kota Negara (IKN), dan beberapa regulasi lain yang proses pembuatannya minim partisipasi dan secara substansi mempertebal aristokrasi dan oligarki yang menggerogoti pemerintahan.

Catatan lainnya terkait demokrasi Indonesia saat ini ialah semakin menguatnya intervensi kekuasaan terhadap kebebasan berpendapat dan pada sisi yang lain terjadi kriminalisasi terhadap para pembela hak asasi manusia. Amnesty International misalnya mencatat bahwa sedikitnya 328 kasus serangan fisik dan digital terjadi dan setidaknya 834 korban dalam periode Januari 2019 hingga Mei 2022. Beberapa aktivis pembela demokrasi dan HAM, di antaranya Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, saat ini sedang diadili karena mendiskusikan hasil penelitian kasus Intan Jaya. Ada banyak kasus kriminalisasi yang kita bisa baca menjadi pertanda buruknya sistem demokrasi saat ini. Demokrasi Indonesia mengalami regresi, melorot, dan mundur yang hampir menyerupai represi rezim Orde Baru.

Tulisan ini telah dimuat dalam Koran Jawa Pos, 21 Desember 2023.

Penulis: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Peneliti Pusham UII

Pasal karet UU tentang Informasi dan Transaksi Elektornik (ITE) memakan korban lagi. Terbaru, pedagang di Bogor Bernama Wahyu Dwi Nugroho dilaporkan ke kepolisian karena mengkritik larangan berbelanja di warung-warung sekitar majelis pengajian dalam akun tik-toknya. Kasus ini telah berproses di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan sebagaimana diatur pada Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45A UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Pada tahun ini juga, seorang buruh di Jakarta Bernama Septia Dwi Pertiwi dilaporkan oleh atasannya dengan dugaan pencemaran nama baik karena ia berkeluh kesah terkait pengalaman kerjanya di media sosial. Atasan Septia merasa namanya tercemar akibat cerita yang dibuatnya di media sosial. Kasus lain menimpa Susi Ikhmah warga Kabupaten Batang, Jawa Tengah yang dilaporkan atas tuduhan pencemaran nama baik karena menceritakan pengalamannya tertipu oleh penggadai mobil. Mobil yang Susi terima ternyata milik tempat penyewaan bukan milik penggadai yang sejak awal berinteraksi dengannya. Susi Ikhmah merasa tertipu oleh pihak penggadai dan kemudikan menuliskan pengalamannya di media sosial.

Selain tiga kasus di atas, puluhan kasus lain yang kita bisa baca setiap tahunnya akibat ekses pasal-pasal karet yang ada dalam UU ITE. Masyarakat sipil telah mendesak sedemikian rupa agar ada perbaikan dan bahkan ada yang menuntut pencabutan Undang-Undang bermasalah ini. Sebagai respon desakan publk, Kapolri, Jaksa Agung, serta Menteri Komunikasi dan Informatika telah menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pedoman Kriteria Implementasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang harapaannya tidak memunculkan mutitafsir di kalangan penegak hukum.

Pada kasus WDN yang dijerat Pasal 28 ayat (2) misalnya, fokus pasal ini diartikan oleh SKB pada perbuatan menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu/kelompok masyarakat berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan. Penyampaian pendapat, pernyataan tidak setuju atau tidak suka pada individu atau kelompok masyarakat tidak termasuk perbuatan yang dilarang, kecuali yang disebarkan itu dapat dibuktikan.

Menunggu Revisi

Desakan masyarakat sipil terhadap revisi bahkan pencabutan UU ITE terasa kencangnya pada tahun lalu. Pemerintah kemudian mengupayakan dua jalan, pertama, membuat SKB tentang Pedoman Kriteria Implementasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Kedua, revisi terbatas terhadap UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Upaya pertama telah selesai dilakukan tetapi tidak berjalan maksimal karena dalam praktik masih banyak laporan dan kemudian tetap diproses oleh aparat penegak hukum. Masalahnya terletak pada norma dalam UU ITE, dan pada sisi yang lain SKB dianggap tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat dibanding Undang-Undang.

Saat ini, pemerintah menjanjikan revisi kedua atas UU ITE. Besar harapan ada pembahasan substantif terhadap beberapa pasal karet yang termuat dalam UU ITE, antara lain terkait pasal penyerangan kehormatan seseorang, pencemaran nama baik, penyebaran informasi yang menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan pada individu dan kelompok berdasar etnis, pihak-pihak yang dapat melaporkan, dan beberapa yang lain.

Substansi dalam UU ITE sebagian sudah diatur dalam Undang-Undang yang lain seperti KUHP dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Lebih dari itu, revisi kedua UU ITE ini harapannya lebih menjamin penghormatan hak-hak ekspresi dan berpendapat warga negara tanpa ancaman kriminalisasi yang berlebihan. Apalagi ekspresi dan pendapat masyarakat tersebut muncul sebagai sikap kritis untuk mengungkap kebenaran, kenyataan, dan fakta dari ketimpangan sosial yang terjadi.

Tulisan ini telah dimuat dalam Koran Kedaultan Rakyat, 12 Oktober 2023.

Jumat, 1 September 2023 Program Studi dan Bidang Kemahasiswaan Keagamaan Alumni Fakultas Hukum UII menyelenggarakan Study Skill dan Penjelasan Akademik bagi Mahasiswa Baru Tahun 2023. Acara ini wajib mengingat bahwa belajar kala Sekolah Menengah Atas tidak sama dengan cara dan pola belajar di Perguruan Tinggi. Mahasiswa harus menyesuaikan pola belajar dan untuk mengetahui trik belajar efektif di Perguruan Tinggi. Selain itu juga akan dijelaskan soal kemahasiswaan dan aturan akiademik di FH UII.

Acara di selenggarakan pada:

  • Jumat/1 September 2023
  • Pukul 07.30 – 11.00 WIB
  • Di Gedung Fakultas Hukum UII Jl. Kaliurang Km. 14,4 sesuai pembagian ruang di bawah ini
  • Dresscode: Pakaian Rapi, Sopan, dan Islami (muslim/muslimat)

Adapun informasi secara lengjkap dan pembagian kelompok kelas serta DPA sesuai informasi di bawah ini:

  1. Daftar Ruang DPA dan Pendamping pada sesi perkenalan
    https://docs.google.com/spreadsheets/d/1-V0xSIrFp4Nhn88QTQ8tRv8bCatcyXjPEN3xMBG7LSc/edit?usp=sharing
  2. Pembagian Kelas dan DPA Mahasiswa Baru 2023
    https://docs.google.com/spreadsheets/d/1YkBusvDsiVPZ_bGMszcSmloMdSe11dnxAviWKNyi78M/edit?usp=drive_link

Penulis: Allan Fatchan Gani Wardhana, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

KOMISI Pemilihan Umum (KPU) telah membuka pendaf- taran calon legislatif (DPR/DPRD Provinsi/DPRD Kabupaten dan Kota) per 1 Mei kemarin hingga 14 Mei 2023. Seluruh partai politik sibuk melakukan rekrutmen untuk mencari kandidat yang akan diajukan sebagai calon legislatif sekaligus sibuk mengatur strategi pencalonan para kademya. Rekrutmen caleg ini merupakan momentum untuk menghasilkan kualitas wakil rakyat yang pro rakyat dan berkomitmen tinggi untuk memajukan bangsa. Sekaligus momentum untuk menjadikan institusi parlemen sebagai lembaga yang punya manfaat.

Bagi parpol, masa pendaftaran caleg ini menjadi kesem- patan yang baik untuk mencetak kader-kader terbaik yang ti- dak hanya ingin duduk sebagai wakil rakyat tapi juga paham akan tugas, pokok, dan fungsinya sebagai wakil rakyat. Ba- nyaknya anggota parlemen yang tidak berkualitas, mengkhianati kepercayaan publik, serta banyak gaya tak bisa bekerja.

Merupakan cerita sekaligus bahan obrolan terutama konstituen yang kecewa karena tidak terwakili dengan baik. Saatnya parpol menghapus stigma serta mengakhiri cerita-cerita itu dengan berkomitmen menyuguhkan kader terbaiknya untuk maju sebagai caleg. Jika faktanya ada caleg yang berkualitas namun tidak punya uang, parpol dapat endorse untuk berkampanye. Adapun jika ada caleg yang tidak punya kualitas (apalagi karbitan: masuk partai ketika pencalegan/bahkan pindah-pindah partai alias kutu loncat), parpol harus mempertimbangkan ulang meskipun yang bersangkutan punya banyak uang. Caleg yang tak punya kualitas akan menjadi beban tidak hanya untuk parpol. Juga akan menjadi beban institusi parlemen apabila yang bersangkutan terpilih.

Harus diakui bahwa sampai saat ini banyak parpol belum memiliki prose-dur rekrutmen caleg yang mapan, baik dalam tataran konsep maupun imple- mentasi. Akhirnya, parpol melakukan rekrutmen caleg secara instan, antara lain dengan memasukkan kalangan tertentu baik keluarganya, pesohor demi mendulang suara, dan pengusaha yang bahkan tak punya rekam sejak sosial-politik sebelumnya. Meminjam pendapat Richard Katz, pencalegan menggambarkan wajah parpol dalam pemilu. Bahkan para caleg itulah yang nantinya memainkan peran penting dalam menentukan karakteristik parpol di depan publik. Artinya, siapa calegnya akan punya efek terhadap elektabilitas parpol dalam pemilu.

Bagi masyarakat, masa pendaftaran caleg ini dapat menjadi kesempatan yang baik untuk mengaktualisasikan perjuangan sosial-politiknya yang sela- ma ini telah, sedang, dan terus di- lakukan. Pasal 28C ayat (2) UUD NRI 1945 telah menjamin bahwa setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk memba- ngun masyarakat, bangsa dan ne- garanya. Salah satu wadah untuk terli- bat membangun masyarakat dan ne- gara adalah melalui parpol.

Masyarakat yang akan bergabung dengan parpol untuk menjadi caleg se- tidaknya harus memiliki dan memper- timbangkan beberapa hal. Antara lain: (a) visi-misi menjadi caleg, jangan sampai tidak punya gagasan alias kosong ide; (b) paham tupoksi menjadi anggota parlemen; (c) komitmen membangun partai dan bekerja yang terbaik untuk konstituen; (d) setia menaati konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Akan menjadi problem apabila motivasi mendaftar caleg hanya untuk égaya-gayaaní dan pamer kekuasaan ketika nantinya terpilih. Soal ke parpol mana bergabung, terkait dengan ke- mantapan. Caleg memiliki kebebasan yang penuh. Memilih parpol, baik yang nasionalis maupun religius harus didasari pada kecocokan ideologi parpol dengan visi-misi caleg yang bersangkutan.

Kita semua punya mimpi untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat se- bagai output dari demokrasi, maka kita harus memastikan einput dataí (baca: penjaringan caleg) ini tidak keliru dan sesuai dengan yang dibutuhkan masya- rakat. Salah input data, kita semua siap kecewa: menerima output yang tidak maksimal atau bahkan tidak ada output (kesejahteraan rakyat) sama sekali.

Tulisan ini sudah dimuat dalam rubrik Analisis KR, 8 Mei 2023.