Penulis: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Salah satu fenomena yang menarik perhatian saat berkumpul dengan komunitas difabel ialah sebutan atau panggilan yang dinilai stigmatif. Sebutan tersebut antara lain penyandang cacat, orang berkebutuhan khusus, dan penyandang ketunaan. Dalam percapakapan sosial masyarakat kerap muncul panggilan yang tidak menyenangkan, yaitu kata budheg (orang dengan gangguan pendengaran), gagu (orang dengan gangguan bicara),  pengkor (kelainan bentuk kaki), Cah Nyeng (orang dengan gangguan mental), dan beberapa sebutan yang lain.

Sebutan lain yang saat ini cukup populer ialah difabel dan penyandang disabilitas. Difabel merupakan singkatan dari bahasa Inggris different ability people atau diferently abled people, yaitu orang-orang yang dikatagori memiliki kemampuan berbeda dengan manusia pada umumnya. Istilah lainnya ialah differently able, yang secara harfiah berarti sesuatu yang berbeda. Sedangkan secara terminologi, difabel adalah setiap orang yang mengalami hambatan dalam aktifitas keseharian maupun partisipasinya dalam masyarakat karena desain sarana prasarana publik yang tidak universal dan lingkungan sosial yang masih hidup dengan ideologi kenormalan.

Sedangkan penyandang disabilitas merupakan Sebutan yang dikemukakan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yaitu setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga Negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Dari sekian sebutan di atas, difabel dianggap sebagai panggilan yang lebih nyaman, sopan, dan umum dalam percapakan komunitas. Sebutan difabel dinilai sejalan dengan ideologi yang memanusiakan, yaitu memberlakukan difabel sesuai harkat dan martabatnya sebagai manusia yang notabene merupakan bagian dari keragaman umat manusia.

Panggilan difabel tidak lepas dari tokoh bernama Mansour Fakih. Menurutnya, keberadaan difabel tidak lepas dari konstruksi sosial yang sangat destruktif. Konstruksi sosial melekatkan difabel dengan sebutan normal atau cacat. Istilah cacat memiliki makna ideologis yang berarti ketidakmampuan (disabilities), invalid dalam arti tidak normal, atau istilah yang menghadirkan cara pandang bahwa difabel tidak menjadi manusia seutuhnya, dan atau tidak sepenuhnya.

Konstruksi sosial yang melemahkan difabel menurut Mansour Fakih adalah ideologi kenormalan. Ideologi ini menjadi basis segala gagasan dan perilaku sosial masyarakat yang menciptakan kelas antar manusia yang dengan mudah bisa dikatakan normal atau tidak normal. Ideologi kenormalan dalam konteks ini lebih jauh menjadi penyokong cara pandang sosial yang penuh stigma serta menjadi basis banyaknya kebijakan diskriminatif yang berakibat pada eksklusi difabel dalam ruang publik.

Pertarungan Cara Pandang

Fenomena ragam sebutan difabel kalau dilacak ternyata tidak bisa lepas dari  ideologi dan paradigma yang melatari penyebutnya. Setidaknya terdapat empat paradigma yang saat ini berkembang, yaitu paradigma model budaya, model medis, model sosial, dan model hak asasi manusia.

Pertama, model budaya. Pendekatan ini berkembang sangat awal, dimana keberadaan difabel selalu dikaitkan keyakinan sebab akibat antara baik dan buruk. Misal di masyarakat Yunani dan Romawi yang diceritakan sangat menuhankan keperkasaan dan kesempurnaan, sehingga kelainan atau ketidaksempuraan harus dihilangkan. Konon di masa itu, anak-anak bayi yang baru lahir harus diperlihatkan kepada para sesepuh kota atau hakim tua (Gerousia) untuk diuji kesempurnaan fisiknya. Di masa itu pula diceritakan bahwa bayi-bayi yang sakit-sakitan, lemah, dan difabel dibuang dengan cara dihanyutkan di Sungai Tiber. Problem budaya melihat anak difabel saat ini masih terjadi. Tindakan tabu orang tua saat hamil seperti mengadu ayam, menangkap belut, mengadu ular, dan beberapa aktifitas yang lain diyakini sebagian masyarakat sebagai penyebab lahirnya anak-anak difabel.

Kedua, model medis. Pendekatan ini menyatakan bahwa esensi disabilitas adalah penyakit individu (individual pathology), dimana lewat cara ini kemudian bisa dibedakan mana difabel yang dianggap tidak bisa mengoperasikan teknologi baru, dan non difabel yang dianggap bisa mengoperasikan teknologi baru. Lewat pendekatan ini, maka perlu ada pemisahan  difabel dan non difabel untuk justifikasi pemerintah membantu difabel lewat program-program belas kasihan (charity) dan mendorong program-program rehabilitasi difabel agar bisa mandiri, sehat, dan normal secara jasmani dan rohani.

Ketiga, model sosial. Pendekatan ini menyatakan bahwa persoalan disabilitas terletak pada faktor yang lebih luas dan bersifat eksternal. Persoalan difabel tidak terletak pada kekurangan fisik dan atau mental seseorang, melainkan lebih pada faktor lingkungan sosial yang menindas dan meminggirkan keberadaan difabel. Pendekatan sosial mengkritik pendekatan medical model dan model budaya  karena telah menjadi penyebab marginalisasi difabel yang secara kultural dan struktural dianggap sebagai orang yang sakit, tidak normal, dan bermasalah karena mengalami kekurangan fisik atau mental (impairment).

Keempat, model hak asasi manusia. Pendekatan ini merupakan pengembangan dari pendekatan sosial model yang menghendaki penghormatan terhadap harkat dan martabat difabel, otonomi individu difabel, penghilangan segala bentuk diskriminasi terhadap difabel, meletakkan difabel sebagai bagian dari keragamaan manusia dan kemanusiaan, serta memastikan negara agar bertanggungjawab terhadap penghormatan (to respect), perlindungan (to protect), dan pemenuhan (to fulfill) hak-hak difabel.

Berpijak pada empat paradigma, pendekatan dan ideologi di atas, sebutan-sebutan yang memojokkan difabel merupakan ekspresi dari pendekatan budaya dan medis. Sebutan-sebutan negatif tersebut semestinya dihapuskan karena secara umum telah bertentangan dengan hukum hak asasi manusia yang telah mengatur dengan sedemikian rupa hak-hak difabel, khususnya Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Persons With Disabilities. Dalam hal ini, pemerintah Indonesia sebagai pemangku tanggungjawab (duty holder) semestinya mengambil langkah-langkah agar tidak ada lagi sebutan-sebutan yang menghancurkan harkat dan martabat difabel.

Pesan Agama

Pertanyaan yang tidak kalah penting, sebenarnya bagaimana pandangan agama, utamanya agama Islam terhadap sebutan-sebutan yang negatif kepada difabel? Pertanyaan ini mengemuka mengingat masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam dan dinilai memegang teguh budaya ketimuran.

Dalam agama Islam, stigma dan diskriminasi terhadap difabel merupakan tindakan yang haram atau tidak diperbolehkan secara hukum. Dalam ajaran Islam, kedudukan semua manusia sama, baik itu difabel-non difabel, kaya-miskin, budak-majikan, laki-laki-perempuan, yang membedakan hanyalah tingkat ketaqwaan seseorang (Qs. Al-Hujarot : 13).  Taqwa sendiri kalau ditelaah banyak berkaitan dengan pesan-pesan agar setiap orang Islam dapat berkembang menjadi pribadi yang berprilaku terpuji, baik hubungannya dengan Allah maupun dengan relasi sosial kemasyarakatan yang sangat luas.

Dalam ajaran Islam juga disebutkan bahwa Allah tidak melihat pada tubuh dan bentuk rupa seseorang, tetapi Allah melihat kepada hati umat mereka. Hal ini memperlihatkan bahwa kemuliaan seseorang di sisi Allah tidaklah diukur karena bentuk fisik dan rupa sebagaimana telah menjadi alat peminggiran kelompok difabel selama ini, tetapi Allah melihat hati dan kebaikan-kebaikan yang muncul akibat hati seseorang yang bersih.

Ajaran Islam lebih luas memperlihatkan bahwa agama ini menentang segala praktek ketidakadilan, dehumanisasi, dan setiap hal yang bertentangan dengan nilai-nilai etik dan profetik. Karena itu, sebutan-sebutan yang negatif, buruk, dan bernuansa kutukan haruslah ditinggalkan. Umat beragama, khususnya orang-orang Islam haruslah menyebarkan sebutan, pandangan dan perilaku yang menguatkan kelompok difabel.

Tulisan ini telah dimuat dalam Koran SINDO, 4 November 2020.

Penulis: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Setelah revisi UU KPK disahkan pada pengunjung 2019, seharusnya pemerintah bersama DPR melakukan evaluasi atas performanya dalam melaksanakan fungsi legislasi. Saat itu, mereka dihujam kritik dan penolakan publik atas perubahan UU KPK. Prosesnya dikebut secara cepat, tanpa partisipasi dan tidak akuntabel.

Tanpa belajar dari proses perubahan UU KPK, sulit untuk memperoleh kembali kepercayaan publik atas produk legislasi yang dihasilkan. Belum lagi pemerintah dihadapkan dengan pandemi Covid-19, yang mengharuskan pembentuk UU segera beradaptasi atas performanya di bidang legislasi diharapkan tetap berjalan secara transparan, partisipatif, dan akuntabel.

Dengan membaca realitas saat ini, tampak kinerja legislasi di bawah standar. Perubahan UU KPK disusul UU Minerba, UU MK, dan UU Cipta Kerja nyatanya melahirkan delegitimasi sosial secara masif di masyarakat.

Tom Ginsburg dan Aziz Huq (2016) memelopori konsep evaluasi performa konstitusi (assessing contitutional performance) unutk memangkas jarak (gap) antara harapan (sollen) dan realitas (sein) pada bunyi teks konstitusi dan performanya di tataran praktis.

Hasil studinyam ada tiga faktor utama yang menyebabkan konstitusi tak dapat perform dengan dalam merespons kepentingan publik: (1) akibat realitas politik, (2) pengaruh kelompok-kelompok penekan, dan (3) faktor-faktor non hukum, seperti teknologi dan birokrasi. Sejalan preposisi Ginsburg dan Hug, kinerja legislasi kita sebenarnya sedang berjalan di luar pakemnya.

Oleh karena itu, tak heran jika kebutuhan evaluasi kinerja legislasi menjadi kian mendesak guna memulihkan performanya untuk kembali berjalan dalam kenormalan baru. Harus diakui, bangunan norma-norma, konstitusi yang mengatur fungsi legislasi dalam UUD meletakkan hubungan Presiden dan DPR dalam mode fifty-fifty formula.

Setiap lembaga diletakkan sebagai pemegang otoritas dalam pelaksaan fungsi legislasi dengan skema persetujuan bersama (mutual approve). Asumsinya diharapkan ada keseimbangan relasi berdasarkan prinsip checks and balances diantara keduanya danlam membahas dan menyetujui RUU. Logikanya sederhana, jika salah satu lembaga oembentuk UU tak mencapai persetujuan, RUU akan ditarik dan tak akan diajukan lagi pada masa itu. Sayangnya, realitas politik saat ini justru tidak menopang bekerjanya fungsi legislasi dengan baik.

Pengaruh oligarki

Tanpa disadari, presiden yang memperoleh dukungan mayoritas parpol di DPR turut memengaruhi kinerja legislasi yang dilakukan secara bersama. Dengan koalisi kepartaian, yang “super gemuk” di DPR hubungan keduanya cenderung kompromistis satu sama lain. Imbasnya, fungsi legislasi berjalan mulus tanpa adanya saling kontrol.

Anasir ini perlu dijadikan bahan evaluasi secara mendalam. Persepsi yang diletakkan para periset hukum dan politik yang menyatakan bahwa koalisi gemuk memperkuat stabilitas politik dan sistem presidensial menjadi relevan dievaluasi kembali. Berkaca pada empat UU terakhir (UU KPK, Minerba, MK, dan Cipta Kerja), koalisi gemuk justru tak lagi jadi solusi, tetapi sebuah ancaman karena dapat mematikan pengawasan politik di DPR atau sebaliknya.

Hal lain yang mempengaruhi menurunnya performa legislasi tak dapat dilepaskan dari kekuatan kelompok-kelompok penekan dalam menentukan isi UU. Mereka bukan pembentuk UU, tetapi mempunyai pengaruh yang cukup kuat dalam menentukan isi pasal yang ditentukan dalam proses legislasi. Dalam analisis Jeffry Winters (2013), mereka umumnya kaum oligark yang cenderung memengaruhi agar produk legislasi lebih kental keberpihakannya kepada kelompok elite dibandingkan kepentingan masyarakat luas.

Pada titik ini, aspek formil pembentukan UU seharusnya bisa menjadi aturan main bagi para pembentuk UU dalam melaksanakan fungsi legislasi. Naskah akademik seharusnya bisa jadi garis pembatas masuknya kepentingan kelompok-kelompok penekan yang akan mempengaruhi isi sebuah pasal dalam UU.

Dalam studi legisprudensi (Luc J Wintgens: 2012), aspek formil merupakan jantung keberhasilan sebuah pembentukan UU. Ia menitikberatkan rasionalitas dalam setiap harapan pembentukan UU. Bahwa proses yang baik itu tak akan pernah mengkhianati hasil. Hal ini yang belum terlihat dalam proses legislasi dalam beberapa UU terakhir. Aspek formil begitu mudah diterabas akibat sikap pragmatis partai, kemudian dibajak oleh kepentingan kaum oligark.

Kemudian faktor nonhukum, seperti birokrasi dan teknologi, juga ikut mempengaruhi performa legislasi dalam satu tahun terkahir. Terputusnya relasi publik untuk mendapatkan informasi di setiap tahapan lehislasi menjadi salah satu problem mendasar dalam praktik legislasi di empat UU terakhir. Proses yang tertutup ini secara langsung memengaruhi minimnya partisipasi publik dalam pembentukan sebuah UU.

Dalam masa pandemi saat ini, pemanfaatan teknologi digital merupakan bagian penting untuk memulihkan kondisi legislasi yang sedang perform di bawah standar. Tentu tak hanya sekadar mendigitalisasi pembahasan di setiaptahapan pembentukan UU, tetapi juga menjaring aspirasi publik guna mengawasi jalannya proses legislasi.

Tulisan ini sudah dimuat dalam KOMPAS, 16 Oktober 2020.

 

Penulis: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

RUU Cipta Kerja akhirnya disahkan dalam rapat paripurna DPR. RUU ini sejak tahap perencanaan telah dikritik banyak kalangan, utamanya para akademisi yang menilai  adanya cacat serius pada aspek metodologi, paradigma, dan substansi pengaturannya. Secara metodologi undang-undang ini menggunakan pendekatan omnibus law yang dalam teknis penyusunannya melingkupi banyak bidang sehngga akan berdampak pada perubahan dan penghapusan sekitar 79 Undang-Undang terkait yang notabene memiliki muatan filosofi dan pertimbangan sosilogis yang berbeda.

Pada aspek paradigmatik, Undang-Undang Cipta Kerja berorientasi pada tujuan bisnis dan investasi. Cara pandang ini adalah bagian dari ideologi kapitalisme dan neoliberal yang diantara cirinya ialah penghilangan semua hal yang menghambat kepentingan investasi, liberalisasi perdagangan, privatisasi Badan Usaha Milik Negara, membuka kran tanpa batas investasi asing,, dan deregulasi dengan cara mengurangi  peran, tanggungjawab dan pengawasan pemerintah.

Pada aspek substansi, sudah pasti Undang-Undang ini meletakkan kepentingan investasi dan investor sebagai hal yang utama. Dalam hal ini yang sangat terlihat ialah sentralisasi peridzinan, aktor dan kran investasi diperbesar/diperluas, penghapusan dan pengurangan beberapa jaminan hak para pekerja, minimalisasi sanksi pelanggar lingkungan hidup, dan pemberian akses yang lebih mudah untuk alih fungsi lahan.

Beberapa catatan di atas sudah terdengar saat pembahasan RUU Cipta Kerja. Pengesahan RUU dan adanya reaksi penentangan yang sangat besar dari kalangan buruh, aktifis, dan akademisi ini bermakna bahwa tidak ada akomodasi yang cukup baik dari pemerintah dan parlemen untuk memperbaiki rancangan undang-undang. Pengesahan RUU Cipta Kerja oleh parlemen mengulangi kesalahan pengesahan Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang  Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Batubara, dan Undang-Undang No. 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

 

Minus Kepercayaan

Pengesahan beberapa Undang-Undang oleh parlemen dan mendapat perlawanan dari masyarakat dan akademisi memperlihatkan betapa serius permasalahan politik legislasi hukum di Indonesia. Pemerintah dan parlemen sekedar memaksakan kehendak untuk membuat hukum dan merusak secara total kepercayaan publik tentang makna agung penormaan hukum dan dalam skala yang panjang mendorong masyarakat  untuk melawan dan menyepelekan aturan hukum.

Satjipto Rahardjo pernah mengatakan, hukum tidak berlaku karena ia memiliki otoritas untuk mengatur, melainkan karena hukum tersebut diterima oleh masyarakat. Pernyataan ini menjelaskan betapa penting bagi pemerintah dan parlemen yang memiliki otoritas untuk membuat hukum agar tidak menafikan pertimbangan filosofis dan sosiologis daripada  hukum.

Dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 menegaskan tentang makna penting naskah akademik yang didalamnya harus menghadirkan analisis secara detail landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis. Naskah akademik Undang-Undang Cipta Kerja dalam ketiga aspek tersebut masih menuai kritik dan mendapatkan banyak masukan substantif dari kalangan masyarakat dan akademisi.

Pada aspek filosofis, sebuah perundang-undangan yang dibuat harus menghadirkan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk harus memasukkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan, serta falsafah bangsa yang bersumber pada Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Pada aspek sosilogis, sebuah perundang-undangan yang dibuat harus menghadirkan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibuat semata-mata untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspeknya. Dalam hal ini, Undang-Undang tentang Pembentukan Perundang-undangan menyebut bahwa pertimbangan landasan sosiologis terkait dengan fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara. Sebuah peraturan tidak boleh melahirkan dampak-dampak merusak bagi tatanan masyarakat dan negara.

Pada aspek yuridis, sebuah  undang-undang yang dibuat harus memastikan bahwa ada pertimbangan atau alasan yang memperlihatkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi pertamasalahan hukum atau untuk mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan hukum yang telah ada. Dalam hal ini, harus dipastikan bahwa Undang-Undang yang akan dibuat tidak berbenturan dengan norma-norma pokok, utamanya terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

Landasan filosofis, sosilogis dan yuridis selalu menjadi dasar dalam pembuatan perundang-undangan. Dalam hal ini, pembuatan Undang-Undang baru akhirnya harus dirancang dengan sangat serius dan melibatkan banyak kalangan, utamanya masyarakat yang menjadi pihak atau korban langsung dari sebuah aturan. Catatan serius Undang-Undang-Undang Cipta Kerja ialah proses pembahasan dan pengessahannya yang berlangsung cepat, minimnya partisipasi masyarakat, tidak mempertimbangkan masukan masyarakat dan akademisi, dan pengesahannya dilakukan dalam suasana yang sangat dipaksakan.

Pencapaian Hukum

Satjipto Rahardjo mengatakan, hukum itu tertanam ke dalam dan berakar dalam masyarakat. Hukum merupakan pantulan masyarakatnya. Hukum tidak berada di dunia yang abstrak, tetapi sebenarnya berada dalam kenyataan masyarakat. Karena itu, sebuah Undang-Undang semestinya tidak dilihat semata pencapaian hukum (legal achievment), tetapi lebih serius harus dilihat sebagai pencapaian sosial (sosiological achievment) dan dampak sosial (sociological impact).

Pengesahan RUU Cipta Kerja, perubahan Undang-Undang KPK, Perubahan UU Minerba dan perubahan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi merupakan capaian tersendiri dalam pembuatan hukum di era pemerintaham dan perlemen periode ini. Namun demikian, perlu dipikirkan dampak sosial dan capaian yang terjadi : apakah konstruktif atau desktruktif  untuk penghargaan para pekerja, lingkungan yang sehat, dan tata kelola bernegara yang bertanggungjawab.

 

Tulisan ini telah dimuat di Koran Kompas, 14 Oktober 2020.

 

Penulis: Ayunita Nur Rohanawati, S.H., M.H.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Administrasi Negara

PEMBAHASAN omnibus law RUU Cipta Kerja kian mem anas di Indonesia. Bidang ketenagakerjaan yang menjadi salah satu pembahasan dalam RUU Cipta Kerja tentu tak lep as dari permasalahan. Pada klaster ketenagakerjaan terdapat degradasi nilai kesejahteraan bagi pekerja di Indonesia, mu atannya tidak lebih baik dari yang diatur dalam regulasi sebe lumnya yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan atau yang lebih dikenal dengan UUK. Problematika tersebut antara lain mengenai Tenaga Kerja Asing (TKA), Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), alih daya (outsourcing), upah, dan sebagainya.

Pemerintah berkeyakinan, pembentukan RUU Cipta Kerja dengan metode omnibus law ini mampu meningkatkan investasi di Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan perekonomian di Indonesia. Hanya, pemerintah tidak boleh melupakan bahwasanya regulasi di Indonesia disusun dengan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila didalamnya yang merupakan dasar falsafah negara (philosofische grondslag). Termasuk dalam bidang ketenagakerjaan Indonesia.

Hubungan Industrial Indonesia yang merupakan ruh ketenagakerjaan di Indonesia sejatinya berjalan berlandaskan Pancasila. Ada nilai-nilai Pancasila yang terkandung dan diimplementasikan dalam regulasi ketenagakerjaan Indonesia.

Sila pertama Pancasila diimplementasikan dalam UUK tentang larangan melakukan PHK ketika pekerja sedang melaksanakan kewajiban agama menurut agama dan keyakinan masing-masing. Sila kedua Pancasila, sebagaimana tergambar dalam UUK bahwasanya kedudukan pekerja laki-laki dan perempuan adalah sama. Tidak ada pembedaan hak bagi pekerja laki-laki dan perempuan. Sila ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia diimplementasikan dalam UUK pada norma larangan PHK bagi pekerja yang memiliki perbedaan suku dengan pemberi kerja.

Selanjutnya, sila keempat Pancasila menggambarkan bahwasanya pembentukan UUK dilakukan lembaga legislatif sebagai wakil rakyat dan mengakomodasi kepentingan pihakpihak dalam hubungan industrial, yaitu pemerintah, pemberi kerja dan pekerja. Jaminan sosial sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945 merupakan perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial di Indonesia lahir dengan latar belakang untuk mampu menyelenggarakan jaminan sosial bagi seluruh akyat Indonesia tanpa terkecuali, termasuk pekerja.

Founding fathers mencitakan Pancasila sebagai penawar atas segala permasalahan bangsa. Namun hal ini tidak diimplementasikan dengan baik dalam omnibus law RUU Cipta Kerja. Dalam bidang ketenagakerjaan terdapat penurunan nilai kesejahteraan bagi pekerja. Hak bekerja bagi warga negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 mengalami penurunan dalam hal penghapusan jenis pekerja tetap menjadi pekerja kontrak untuk keseluruhan. Selain itu, alih daya bukan lagi untuk jenis pekerjaan noncore melainkan diperbolehkan untuk segala jenis pekerjaan.

Ketidakadilan akan terjadi manakala RUU Cipta Kerja disahkan yang memuat penghapusan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) menjadi Upah Minimum Provinsi (UMP) yang notabene besaran UMP lebih kecil dari UMK. Saat ini diberlakukannya UMK tidak menjamin pemberi kerja taat untuk melaksanakannya, lalu bagaimana jika ada penghapusan? Bagaimana bentuk keadilan bagi pekerja yang telah melaksanakan kewajibannya?

Degradasi nilai kesejahteraan bagi pekerja di Indonesia yang sangat terlihat jelas dalam RUU Cipta Kerja menggambarkan adanya pengesampingan nilai-nilai Pancasila sebagaimana yang dicitakan founding fathers. Hubungan Industrial yang terjalin antara pemerintah, pemberi kerja dan pekerja sejatinya harus berjalan secara harmonis. Pemberi kerja dan pekerja dapat mengimpelmentasikannya dengan melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing dengan fair dan baik. Pemerintah dapat mewujudkannya dengan membuat kebijakan yang tidak berat sebelah. Menjadikan Pancasila sebagai pakem utama tanpa meninggalkan satu nilai apapun dari Pancasila. Menjaga bersama Pancasila, demi keutuhan bangsa.

Tulisan ini sudah dimuat dalam rubrik Analisis KR, 3 Oktober 2020.

Penulis: Nurmalita Ayuningtyas Harahap, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Hak Administrasi Negara

 

Kontestasi pemilihan kepala daerah (pilkada) tetap akan dilaksanakan tahun ini, di tengah wabah Covid-19. Persiapan penyelenggaraan pilkada yang digelar ini tidak lepas dari beberapa polemik. Salah satunya menyinggung netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN). Pasalnya, masih saja terdapat pelanggaran netralitas. Data yang dihimpun lembaga pengawas norma dan kode etik ASN, yaitu Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) mencatat setidaknya ada 456 ASN yang sudah dilaporkan melanggar netralitas hingga 31 Juli 2020 (KASN.go.id).

Salah satu permasalahan netralitas ini adalah banyaknya ASN yang mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Namun belum mengikuti prosedur yang sesuai peraturan perundang-undangan, misalnya belum mundur sebagai ASN. Tidak kalah penting adalah, pada tahun ini jumlah petahana cenderung meningkat dan mendominasi untuk menjadi bakal calon kepala daerah. Realita ini dapat memicu kekhawatiran, yaitu mobilisasi oleh petahana kepada ASN menjadi catatan penting.

Menteri Dalam Negeri telah mencatat banyaknya permintaan mutasi ASN. Terdapat 720 usulan mutasi yang ditolak hingga bulan September. Penolakan tersebut untuk menghindari adanya mutasi atas dasar kepentingan. Disamping itu, masih ditemukan banyaknya ASN yang melakukan kampanye. Lalu bagaimana persoalan terkait dengan pelanggaran netralitas ASN ini ditinjay dari perspektif hukum kepegawaian?

Pengaturan tentang netralitas ASN ini sebenarnya telah diatur dalam berbagai peraturan. Dalam Pasal 2 huruf f dan penjelasannya di UU No. 5 Tahun 2014 dinyatakan tentang asas netralitas, bahwa setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun. Terkait dengan pencalonan sebagai Kepala Daerah bagi ASN sebenarnya telah diatur dalam Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN. Di kedua pasal ini diaturn, pada intinya ASN harus mengundurkan diri secara tertulis sejak mendaftar sebagai calon.

Lalu, konsekuensi berat apabila tidak mengundurkan diri ini dapat dilihat pada di Pasal 346 ayat (4) Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS. Apabila PNS tidak mengajukan diri sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diberhentikan tidak dengan hormat sebagai PNS mulai akhir bulan sejak PNS yang bersangkutan ditetapkan sebagai calon oleh lembaga yang bertugas melaksanakan pemilihan umum.

Permasalahan kedua adalah mobilisasi petahana menjelang pilkada pada ASN. Pasal 71 ayat (2) UU No 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota, menyatakan antara lain, Kepala Daerah tidak boleh melakukan penggatian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri. Kemudian ayat (3) pada intinya menyatakan Kepala Daerah dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpillih. Jika hal itu dilakukan oleh petahana, maka terdapat sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.

Konsekuensi hukum dari pelanggaran netralitas PNS tersebut adalah hukuman disiplin sedang dan berat. Sesuai dengan Pasal 7 dalam peraturan pemerintah tersebut hukuman disiplin sedang dan ringan berupa penundaan gaji sampai dengan pemberhentian tidak denan hormat.

Penegakan hukum sangat diperlukan untuk mengatasi netralitas tersebut, yaitu dari segi pengawasan maupun pemberian sanksi. Baik dari KASN, Badan Pemilu (Bawaslu), Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Tidak terkecuali masyarakat harus terus dapat bersinergi untuk mengawal netralitas ASN.

Tulisan ini telah dimuat dalam Anaslisis KR, Kedaulatan Rakyat, 30 September 2020.

Penulis: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Penyelenggaraan Pilkada serentak 2020 sudah memasuki tahapan penting, yaitu pandaftaran dan penetapan pasangan calon. Tahapan ini akan berlanjut dengan produksi dan pendistribusian logistik, laporan dan audit dana kampanye, kampanye dan debat publik, pembentukan KPPS dan pengumuman DPT, dan puncaknya pemungutan dan rekapitulasi suara pada bulan Desember. Dari proses yang telah dilewati, penting dikemukakan : jangan lupakan lagi difabel. Aksesibilitas fundamental untuk demokrasi.

Pemilu akses sudah kerap disuarakan oleh komunitas rentan, utamanya oleh warga difabel yang selalu terlanggar hak-haknya dalam setiap penyelenggaraan kontestasi politik, baik dalam pemilihan pemimpin di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan bahkan di level desa. Pelanggaran hak didominiasi hilangnya hak pilih difabel di saat pemungutan suara, dan lebih jauh dihilangkan suara dan perannya dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilihan.

Pilkada tahun ini berpotensi mengulangi pelanggaran hak sama. Dalam sebuah pertemuan, penulis mendengarkan keluh kesah difabel yang belum terdata dalam tahapan Pencocokan dan Penelitian Data Pemilih yang telah dilakukan Petugas Pemutaakhiran Data Pemilih (PPDP). Lebih jauh, difabel menceritakan bahwa PPDP tidak menggali hambatan-hambatan apapun yang nantinya perlu difasilitasi hak dan aksesibilitasnya dalam setiap proses penyelenggaraan Pilkada.

 

Pilkada Akses

Pilkada akses merupakan upaya mendorong proses penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah yang memudahkan semua orang. Aksesibilitas sendiri bermakna segala kemudahan yang disediakan untuk mewujudkan kesamaan kesempatan. Tujuan pokoknya agar setiap orang yang mengalami hambatan dapat mandiri dan berpartisipasi secara penuh dalam setiap prosesnya.

Hambatan secara umum meliputi hambatan mobilitas, penglihatan, pendengaran, wicara, komunikasi, mengingat dan konsentrasi, intelektual, perilaku dan emosi, mengurus diri sendiri, dan atau hambatan lain yang umumnya terjadi pada setiap manusia. Hambatan-hambatan ini semestinya digali dan layak untuk menjadi pijakan bagaimana sarana prasarana dan layanan yang semestinya dibuat aksesibel.

Dalam konteks hukum, ada beberapa aturan yang tegas menjamin aksesibilitas. Pasal 9 UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas menyatakan bahwa Negara-Negara Pihak wajib mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menjamin akses bagi penyandang disabilitas, atas dasar kesamaan dengan warga lainnya, terhadap lingkungan fisik, transportasi, informasi dan komunikasi, serta akses terhadap fasilitas dan jasa pelayanan lain yang terbuka dan tersedia untuk publik. Pasal 29 dinyatakan bahwa Negara-Negara Pihak wajib menjamin kepada penyandang disabilitas hak-hak politik dan kesempatan untuk menikmati hak-hak tersebut atas dasar kesamaan dengan orang lain.

Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas memberikan penegasan yang sama. Pasal 75 ayat (2) dinyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah Wajib menjamin hak dan kesempatan bagi Penyandang Disabilitas untuk memilih dan dipilih. Pasal 77 dinyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin hak politik penyandang disabilitas dengan memperhatikan keragaman disabilitas, termasuk didalamnya memastikan prosedur, fasilitas, dan alat bantu pemilihan bersifat layak, dapat diakses, serta mudah dipahami dan digunakan.

KPU sendiri telah membuat Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum. Dalam PKPU diatur beberapa hal terkait aksesibilitas, antara lain pemilihan TPS yang harus mudah dijangkau, Pemilih Tuna Netra dalam pemberian suara Pemilu Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dan Pemilu anggota DPD dapat menggunakan alat bantu tuna netra yang disediakan TPS, dan beberapa yang lain. Namun demikian, PKPU ini berlaku untuk Pemilu, masih menggunakan pendekatan kecacatan dalam melihat difabel, dan belum harmonis dengan Undang-Undang Disabiitas.

Berpijak pada kondisi di atas, sudah seharusnya Penyelenggara Pilkada serentak 2020 memikirkan dengan serius pemenuhan aksesibilitas bagi warga negara yang memiliki hambatan, utamanya difabel yang setiap momen kontestasi politik selalu terpinggirkan. Dalam hal ini, sudah selayaknya KPUD dan Bawaslu Daerah mendengarkan aspirasi kelompok marginal yang ada di wilayahnya.

Tulisan ini telah dimuat dalam Koran Kedaulatan Rakyat, 17 September 2020.

 

Penulis: M. Syafe’i, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Penyelenggaraan Pilkada 2020 sudah melewati tahapan penting, yaitu pendaftaran dan penetapan pasangan calon. Tahapan ini akan berlanjut dengan produksi dan pendistribusian logistik, laporan dan uadit dana kampanye, kampanye dan debat publik, pembentukan KPPS dan pengumuman DPT. Puncaknya pemungutan dan rekapitulasi suara pada bulan Desember. Dari proses yang telah dilewati, penting dikemukakan jangan lupakan lagi difabel. Aksebilitas fundamental untuk demokrasi.

Pemilu akses sudah kerap disuarakan komunitas rentan, utamanya warga difabel yang selalu terlanggar hak-haknya dalam setiap penyelenggaraan kontestasi politik, baik dalam pemilihan pemimpin di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan bahkan di level desa. Pelanggaran hak didominasi hilangnya hak pilih difabel di saat pemungutan suara.

Pilkada tahun ini berpotensi mengulangi pelanggaran hak sama. Dalam sebuah pertemuan, penulis mendengarkan keluh kesah difabel yang belum terdata dalam tahapan pencocokan dan penelitian data pemilih yang telah dilakukan Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP). Difabel menceritakan, PPDP tidak menggali hambatan-hambatan apapun yang nantinya perlu difasilitasi hak dan aksesbilitasnya dalam setiap proses penyelenggaraan pilkada.

Pilkada Akses

Pilkada akses merupakan upaya mendorong proses penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang memudahkan semua orang. Aksesbilitas sendiri bermakna segala kemudahan yang disediakan untuk mewujudkan kesamaan kesempatan. Tujuan pokoknya agar setiap orang yang mengalami hambatan dapat mandiri dan berpartisipasi secara penuh dalam setiap prosesnya.

Hambatan secara umum meliputi hambatan mobilitas, penglihatan, pendengaran, wicara, komunikasi, mengingat dan konsentrasi, intelektual, perilaku dan emosi. Juga mengurus diri sendiri, dan atau hambatan lain yang umumnya terjadi pada setiap manusia. Hambatan-hambatan ini semestinya digali dan layak untuk menjadi pijakan bagaimana sarana prasarana dan layanan yang semestinya dibuat aksesibel.

Dalam konteks hukum, ada beberapa aturan yang tegas menjamin aksesbilitas. Pasal 9 UU No. 19 Tahun 2021 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas menyatakan bahwa Negara-negara pihak wajib mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menjamin akses bagi penyandang disabilitas. Atas dasar kesamaan dengan warga lainnya terhadap lingkungan fisik, transportasi, informasi dan komunikasi, serta akses terhadap fasilitas dan jasa pelayanan lain yang terbuka dan tersedia untuk publik.

Undang-undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas memberikan penegasan yang sama. Pasal 75 ayat (2) dinyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin hak dan kesempatannbagi penyandang disabilitas untuk memilih dan dipilih. Pasal 77 dinyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah wajib menjamin hak politk penyandang disabilitas dengan memperhatikan keragaman disabilitas.

Pendekatan

KPU sendiri telah membuat Peraturan Komisi Pemiihan Umumn (PKPU) No. 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Perhitungan Suara dalam Pemilihan Umum. Dalam PKPU diatur beberapa hal terkait aksesbilitas, antara lain pemilihan TPS yang harus mudah dijangkau, Pemilih Tuna Netra dalam pemberian suara Pemilu Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dan Pemilu anggota DPD dapat menggunakan alat bantu tuna netra yang disediakan TPS, dan beberapa lain. Namun, demikian, PKPU ini berlaku untuk pemilu, masih menggunakan pendekatan kecacatan dalam melihat difabel.

Berpijak pada kondisi diatas, sudah seharusnya penyelenggara Pilkada 2020 memikirkan dengan serius pemenuhan aksesbilitas bagi warga negara yang memilkiki hambatan. Utamanya difabel yang setiap momen kontestasi politik selalu terpinggirkan. Dalam hal ini, sudah selayaknya KPUD dan Bawaslu Daerah mendengarkan aspirasi kelompok marginal yang ada di wilayahnya.

Tulisan ini pernah dimuat dalam Kedaultan Rakyat, 17 September 2020.

 

 

 

Penulis: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Hasil perubahan Undang-undang Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah disetujui oleh Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memicu berbagai spekulasi atas performa dan masa depan Mahkamah sebagai pengawal konstitusi. Berbagai kritik muncul sejak rancangan undang-undang ini diinisiasi oleh DPR karena dilakukan secara tergesa-gesa dan tidak partisipatif. Proses legislasinya diklaim irasional dan materi perubahan jauh dari kebutuhan faktual Mahkamah.

Materi perubahan itu perihal perubahan masa jabatan hakim konstitusi yang diperpanjang hingga usia 70 tahun. Aturan ini juga bersifat retroaktif atau berlaku juga bagi hakim saat ini. Dengan begitu, para hakim saat ini akan memegang jabatannya paling cepat sampai 2024 dan paling lama hingga 2034.

Sedari awal pemerintah terlihat gagap memberikan alasan yang rasional untuk memperpanjang masa jabatan hakim. Bahkan dalam pembahasannya hampir tidak ada perdebatan yang muncul mengenail hal ini. Politik hukumnya tampak menjadi sangat kompromistis antara Presiden dan DPR.

Kita tidak bisa memaafkan bahwa substansi hukum dalam undang-undang sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor termasuk kepentingan politik kekuasaan dan kekuatan-kekuatan lain. Dengan perubahan ini kepentingan politik kekuasaan dengan mudah dapat dijalankan karena undang-undang merupakan alat legitimasi untuk menyalurkan dan mewujudkan kekuatan-kekuatan pemerintah terhadap peradilan.

Mustahil jika pemerintah tidak memperhitungkan motif penambahan masa jabatan hakim konstitusi ini. Bahkan, pemerintah telah mengkalkulasi jika pada akhirnya undang-undang ini diujikan di Mahkamah, para hakim akan terjebak dalam pusaran konflik kepentingan. Tegasnya, sembilan hakim konstitusi akan mengadili perkara yang menyangkut kepentingan jabatannya sendiri.

Dalam lanskap doktrin yang dicatatkan oleh Spitzer dan Genovese (2005), hubungan pemerintah dan peradilan umumnya dibagi atas dua pola. Pertama, hubungan yang bersifat konfrontatif. Dalam mode ini, hakim-hakim yang duduk di institusi peradilan merupakan kelompok anti-mayoritas yang terbentuk dari hasil seleksi rezim pendahuluannya. Imbasnya interprestasi hakim dalam memutus perkara kerap bersebrangan dengan pemerintah karena peradilan kerap memainkan peran sebagai antitesis kelompok mayoritas. Fase ini sebenarnya pernah dialami oleh MK pada periode 2003-2008. Banyak putusan-putusan MK saat itu lahir untuk mewakili suara kelompok-kelompok minoritas yang hak-haknya dilanggar oleh pemerintah.

Pola kedua, sebaliknya hubungan pemerintah dan peradilan bersifat kooperatif. Dalam mode ini, hakim-hakim yang duduk di institusi peradilan diseleksi untuk menjadi kelompok pro-mayoritas atau sekurang-kurangnya menjadi bagian dari koalisi presidensial. Meskipun proses seleksi dilakukan secara merit, lembaga pengusul sangat paham dengan rekam jejaknya. Calon hakim yang duduk di Mahkamah dipilih karena memiliki preferensi politik yang sama dengan pemerintah.

Singkatnya, pemerintah mencoba berspekulasi untuk mendapatkan sebanyak mungkin dukungan dari institusi peradilan ketika menetapkan kebijakan strategis pemerintah melalui pembentukan undang-undang. Implikasinya, interprestasi para hakim cenderung akan menahan diri terhadap perkara-perkara penting yang melibatkan kepentingan pemerintah. Beberapa diantaranya revisi Undang-Undang Komisi Pemberantas Korupsi, revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara, serta Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja.

Pada titik inilah pemerintahan Jokowi-Ma’ruf mencoba berjudi dengan Undang-Undang MK. Harapannya, pemerintahan mereka yang mendapatkan dukungan kuat di parlemen, akan sejalan dengan interprestasi sembilan hakim konstitusi dalam mengadili dan memutus perkara-perkara strategis yang melibatkan pemerintah. Berdasarkan sejarah politik dan peradilan, demokrasi terpimpin dan Orde Baru pernah membangun strategi yang sama. Pemerintah memperdagangkan pengaruhnya dalam seleksi dan pengangkatan hakim hingga pada akhirnya insititusi peradilan hanya menjadi bagian dari kekuatan politik pemerintah atau lebih dikenal dengan perpanjang tangan pemerintah. Inilah yang menjadi perjudian besar pemerintah terhadap perubahan Undang-Undang MK.

 

Tulisan ini sudah dimuat dalam Koran Tempo, 10 September 2020.

Penulis: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Ada dua poin besar dalam draft revisi UU MK yang menuai kritik dan penolakan dari sejumlah kelompok masyarakat. Pertama, menambah syarat minimal usia untuk menjadi hakim konstitusi dari 47 menjadi 60 tahun. Kedua, mengubah ketentuan aturan masa jabatan hakim  konstitusi dari model periodesasi ke batas usia maksimum 70 tahun. Dalam lanskap politik dan tehnik legislasi, dua kalusul ini cenderung sangat spekulatif. Belum ada satupun hasil studi yang membenarkan bahwa menambah syarat usia hakim konstitusi bisa memengaruhi kualitas interpretasi terhadap sebuah perkara.

Sungguhpun itu dibentuk sebagai syarat, pengaturan batas minimal usia tak lebih dari sebuah kompromi politik. Dan adakalanya, rasionalisasi pilihan angka itu jatuh secara insidentil. Begitu juga dalam konteks masa jabatan hakim konstitusi. Terlalu dini kiranya jika ada persepsi yang menyatakan bahwa pembatasan masa jabatan hakim dengan klausul usia maksimum akan menguatkan independensinya dalam mengadili perkara. Sebab independensi jabatan hakim tidak dipengaruhi dengan syarat usia, melainkan pada prinsip meritokrasi yang melekat dalam proses seleksi dan pengangkatan hakim. Tak heran kiranya, jika masyarakat dibuat bingung dengan kebutuhan revisi UU MK. Apa yang menjadi motif di balik dua kalusul itu? Poin perubahan yang sama sekali tidak substantif, bahkan membuka konflik kepentingan antara hakim konstitusi dan pembentuk undang-undang.

Legislasi

Menjadi menarik bila meletakkan konteks ini jauh lebih luas. Di periode kedua pemerintahan Joko Widodo, fungsi legislasi menjadi anasir yang secara signifikan mendapatkan krisis legitimasi sosial. Begitu masifnya penolakan publik dalam fungsi legislasi (Presiden-DPR) tentu tidak bisa hanya dimaknai sebagai bekerjanya kontrol kewargaan dalam negara demokrasi. Melainkan juga harus dilihat sebagai bentuk pentingnya evaluasi kinerja Presiden dan DPR dalam melaksanakan fungsi legislasi. Berawal dari proses politik yang buruk pada perubahan UU KPK dan juga diikuti dengan perubahan UU Minerba, krisis legitimasi publik kemudian mengerangkai pada pembentukan undang-undang lainnya. Sebut saja RUU Cipta Kerja, sampai dengan yang paling anyar revisi UU MK. Dalam konsepsi hukum dan masyarakat, undang-undang bukan hanya soal legalitas formal melainkan juga legitimasi sosial (Sulistiyowati Irianto:2019). Luc Wintgens: 2012 menuliskan bahwa krisis legitimasi publik terhadap pembentukan undang-undang disebabkan akibat proses legislasi yang buruk baik dari segi prosedur maupun isi dari undang-undang itu sendiri. Rasionalitas publik ditabrak atas dasar kehendak partai, partisipasi publik lemah  dan suara rakyat dibajak dengan kelompok-kelompok penekan yang memiliki kepentingan sektoral atas pembentukan sebuah undang-undang.

Independensi

Studi Larkins dalam  “judicial independence and democratization” membenarkan bahwa pola intervensi pemerintah terhadap lembaga peradilan salah satunya dilakukan dengan proses politik pembentukan undang-undang yang mengatur lembaga peradilan (Christoper M Larkins:1996). Polanya sederhana. Pemerintah memperdagangkan pengaruh dalam materi muatan pembentukan hukum, agar hakim terjebak pada pusaran konflik kepentingan.  Praktik di berbagai negara merefleksikan keadaan yang hampir mirip. Intervensi pemerintah dilakukan dengan proses politik pada revisi undang-undang kekuasaan kehakiman. Hungaria contohnya, pemerintah Orban mengubah aturan dengan menambah jumlah hakim konstitusi dari delapan menjadi lima belas. Kemudian memberikan peran bagi partai penguasa untuk melakukan penunjukan langsung terhadap hakim-hakim yang baru. Demikian juga Polandia. Partai pemenang pemilu menolak calon hakim yang diusulkan oleh partai pendukung pemerintah sebelumnya. Kemudian partai pemenang pemilu mengangkat lima hakim konstitusi yang baru untuk mendelegitimasi calon yang lama. Semua itu dilakukan agar pemerintah dapat memberikan pengaruh terhadap hakim ketika dan akan mengadili perkara yang melibatkan kepentingan pemerintah. Ketika hakim tidak lagi independen, proses peradilan menjadi sangat transaksional.

Kepentingan

Dalam draft revisi UU MK,  Pasal 87 huruf c mengatur apabila hakim konstitusi berakhir masa jabatannya di usia 60, maka hakim yang bersangkutan dapat meneruskan jabatannya hingga usia 70 tahun. Tanpa adanya kejelasan dalam ketentuan peralihan, pasal ini bisa mengancam dan mengakibatkan hakim konstitusi terjebak dalam kubangan konflik kepentingan. Artinya akan ada hakim konstitusi yang dirugikan ataupun diuntungkan dengan ketentuan perubahan UU MK.  Sebagai contohnya Hakim Saldi Isra. Periodesasi jabatannya habis sebelum usia enam puluh tahun. Berbanding terbalik dengan Hakim Aswanto yang periodesasi jabatannya bisa berhenti di usia enam puluh tahun. Dengan merujuk ketentuan revisi pasal a quo akan ada hakim konstitusi yang mungkin saja bisa menjabat hingga dua puluh tahun lamanya. Bisa dibayangkan ketika revisi UU a quo pada akhirnya diujikan di MK, majelis hakim konstitusi tidak hanya mengadili kepentingan lembaganya, melainkan juga mengadili kepentingan jabatannya sendiri. Oleh karena itu revisi UU MK sebaiknya lebih ditujukan untuk mengoptimalisasi pemenuhan hak konstitusional warga negara. Menelaah kebutuhan kelembagaan MK yang jauh lebih substantif dari pada sekedar mengatur usia jabatan hakim. Bukan sebaliknya, momentum revisi UU MK justru hanya menjadi langkah mundur dalam upaya perlindungan hak konstitusional warga negara.

Tulisan ini pernah dimuat dalam detikNews, 16 Juni 2020.

Oleh: Muhammad Teguh Pangestu[1]

Dari bulan Desember 2019 hingga detik ini, Covid-19 atau virus corona telah menyebar ke 213 negara, termasuk Indonesia. Total jumlah yang positif terkena virus corona berjumlah 7.873.198 kasus. Total jumlah pasien yang meninggal dunia berjumlah 432.477 korban jiwa. Total jumlah pasien yang dinyatakan sembuh berjumlah 4.043.393 pasien.[2]

Covid-19 ini menggangu berbagai sektor, terutama perjanjian atau kontrak. Dengan adanya Covid-19, debitor berdalih terjadinya wanprestasi[3] dikarenakan adanya Covid-19 sehingga Covid-19 dijadikan sebagai alasan force majeure (keadaan kahar). Hal ini dalam kehidupan masyarakat menimbulkan berbagai persoalan. Pertama, apakah Covid-19 dapat dinyatakan sebagai force majeure? Apakah dengan adanya virus corona ini serta merta debitor dapat menunda atau membatalkan perjanjian?

Force majeure telah diatur oleh Pasal 1244 Burgerlijk Wetboek (BW) dan Pasal 1245 BW. Meskipun, force majeure telah diatur dalam BW, namun BW tidak memberikan pengertian force majeure itu sendiri. Pasal 1244 BW mengatur bahwa jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi, dan bunga jika ia tidak dapat membuktikan bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan karena suatu hal yang tidak terduga pun tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika iktikad buruk tidak ada pada pihaknya. Kemudian, Pasal 1245 BW mengatur bahwa tidaklah biaya rugi dan bunga harus digantinya, jika lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tidak sengaja si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.

Meskipun BW tidak memberikan pengertian force majeure, penulis mengartikan force majeure adalah suatu keadaan yang membuat debitor tidak dapat melaksanakan prestasinya atau kewajibannya kepada kreditor, yang dikarenakan terjadinya peristiwa yang berada di luar kehendaknya. Contoh: Covid-19, gempa bumi, kebakaran, banjir, dan lain-lain.

Berdasarkan sifatnya, force majeure memiliki 2 macam, yakni force majeure absolut dan force majeure relatif. Force majeure absolut adalah suatu keadaan debitor sama sekali tidak dapat melaksanakan prestasinya kepada kreditor, yang dikarenakan gempa bumi, banjir, dan adanya lahar.[4] Contoh: Cristiano Ronaldo membeli mobil Honda Civic Turbo di salah satu showroom Honda yang ada di Jakarta. Dalam proses pengiriman, kapal yang mengangkut mobil Honda Civic Turbo tersebut mengalami kebakaran, sehingga mobil Honda Civic Turbo tersebut ikut terbakar juga.

Force majeure relatif adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitor masih mungkin untuk memenuhi prestasinya. Namun, pemenuhan prestasi tersebut harus dilakukan dengan memberikan korban yang besar yang tidak seimbang atau menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia atau kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang begitu besar.[5] Contoh: Pada tanggal 5 Agustus 2019, Prof. Dr. Rudhi Sitepu, S.H., M.H. akan memberikan keterangan ahli di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor). Namun, pada tanggal 4 Agustus 2019, yang bersangkutan sakit demam berdarah dan rawat inap selama 7 (tujuh) hari sehingga tidak dapat memberikan keterangan ahli di Pengadilan Tipikor. Contoh lain: Covid-19. Jika Covid-19 ini berakhir, pihak kreditor dapat menuntut kembali pemenuhan prestasi debitor, meminta ganti rugi, meminta pelaksanaan perjanjian sekaligus meminta ganti rugi, pembatalan perjanjian, atau dalam perjanjian timbal balik, dapat diminta pembatalan perjanjian sekaligus meminta ganti rugi.[6]

Dalam menanggapi Covid-19, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, telah membuat dan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional sebagai dasar hukum force majeure. Hal ini dapat kita perhatikan poin Kesatu Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional. Di mana, poin Kesatu Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional mengatur bahwa menyatakan bencana non-alam yang diakibatkan oleh penyebaran Covid-19 sebagai bencana nasional.

Dari Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional di atas, Covid-19 dapat dinyatakan sebagai force majeure. Namun, dengan adanya Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional, tidak serta debitor dapat menunda atau membatalkan perjanjian.

Dalam disiplin hukum perjanjian, dikenal salah satu asas yang begitu penting. Adapun asas yang dimaksud adalah asas kekuatan mengikatnya perjanjian (Pacta Sunt Servanda). Asas ini bermakna bahwa para pihak yang membuat perjanjian harus melaksanakan perjanjian tersebut. Dalam asas ini, kesepakatan para pihak mengikat sebagaimana layaknya undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.[7]

Asas Pacta Sunt Servanda dapat kita temui dalam Pasal 1338 BW. Di mana, Pasal 1338 BW mengatur bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Berlaku sebagai udnang-undang bagi mereka yang membuatnya berarti bahwa undang-undang mengakui dan memposisikan kedua belah pihak sejajar dengan legislator.[8]

Meskipun posisi para pihak sejajar dengan legislator, namun di antara mereka terdapat perbedaan. Perbedaan tersebut terletak pada daya berlakunya produk yang diciptakan. Produk yang diciptakan legislator berupa undang-undang, dengan seluruh proses dan prosedurnya berlaku dan mengikat secara universal dan bersifat abstrak. Sedangkan, perjanjian yang merupakan produk dari para pihak memiliki daya berlaku terbatas pada para pihak saja dan dengan dibuatnya perjanjian tersebut, para pihak bermaksud untuk melakukan perbuatan konkret.[9]

Dari penjelasan asas Pacta Sunt Servanda di atas, kedua belah pihak hanya melaksanakan perjanjian sesuai klausul perjanjian. Para pihak tidak boleh melaksanakan perjanjian di luar klausul perjanjian.

Pada umumnya, ketentuan force majeure dituangkan dalam klausul perjanjian dengan menguraikan peristiwa apa saja yang termasuk force majeure. Dengan diuaraikannya peristiwa apa saja yang termasuk force majeure dalam klausul perjanjian, para pihak dapat menunda atau membatalkan perjanjian. Dengan demikian, jika para pihak mengkategorikan Covid-19 sebagai force majeure dalam klausul perjanjian, maka salah satu pihak dapat menunda atau membatalkan perjanjian.

Lain halnya, meskipun para pihak menuangkan ketentuan force majeure dalam klausul perjanjian, namun jika Covid-19 tidak dikategorikan sebagai force majeure, maka debitor yang wanprestasi tidak serta merta dapat menunda atau membatalkan perjanjian tersebut dengan alasan Covid-19.

 

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Agus Yudha Hernoko. 2014. Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial. Jakarta. Kencana Prenada Media Group.

Muhammad Teguh Pangestu. 2019. Pokok-Pokok Hukum Kontrak. Makassar. C.V. Social Politic Genius.

Ridwan Khairandy. 2004. Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak. Jakarta. UI Press.

________________. 2014. Hukum Kontrak Indonesia Dalam Perspektif Perbandingan (Bagian Pertama). Yogyakarta. FH UII Press.

Salim H.S. 2019. Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta. Sinar Grafika.

 

INTERNET

https://www.worldometers.info/coronavirus/. Diakses terakhir pada tanggal 14 Juni 2020.

[1] Penulis adalah lulusan Strata-1 (S-1) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia dan saat ini berstatus sebagai mahasiswa Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Penulis merupakan penulis buku “Pokok-Pokok Hukum Kontrak” dan “Badan Usaha Milik Negara & Status Hukum Kekayaan Negara Berdasarkan UU BUMN”.

[2] https://www.worldometers.info/coronavirus/. Diakses terakhir pada tanggal 14 Juni 2020.

[3] Wanprestasi, ingkar janji, atau cedera janji menurut Ridwan Khairandy adalah suatu kondisi di mana debitor tidak menjalankan kewajibannya atau prestasinya yang telah ditentukan dalam perjanjian. Selain tidak menjalankan prestasinya yang telah ditentukan dalam perjanjian, wanprestasi dapat juga terjadi di mana debitor tidak menjalankan prestasinya yang telah ditentukan dalam undang-undang. Ridwan Khairandy, 2014, Hukum Kontrak Indonesia Dalam Perspektif Perbandingan (Bagian Pertama), Yogyakarta, FH UII Press, hal. 278.

[4] Salim H.S., 2019, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta, Sinar Grafika, hal. 102.

[5] Ibid.

[6] Ridwan Khairandy, Op.Cit., hal. 282.

[7] Ridwan Khairandy, 2004, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Jakarta, UI Press, hal. 28.

[8] Agus Yudha Hernoko, 2014, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, hal. 127.

[9] Muhammad Teguh Pangestu, 2019, Pokok-Pokok Hukum Kontrak, Makassar, C.V. Social Politic Genius, hal. 89.