Penulis: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Apakah benar, jika Presiden menetapkan Perppu KPK, maka ia berpotensi besar untuk di impeach atau diberhentikan dalam masa jabatannya. Langkah ini kerap dihubung-hubungkan bahwa jika Presiden mengeluarkan Perppu, sama halnya Presiden tak serius dan tak menghormati DPR sebagai pengusul dan pembahas revisi UU KPK.  Bahkan, sebagian politisi menilai jika tidak cermat,  Perppu KPK bisa menjadi “jebakan batman” bagi Jokowi. Alias pintu masuk untuk menggulingkan posisinya sebagai Presiden. Narasi itu telah  berseliwiran di ruang publik. Tatkala menjadi pembenar, bahwa Perppu tidak bisa dikeluarkan karena alasan itu. Tulisan singkat ini, mencoba mendudukan kembali stigma yang berkembang di masyarakat. Memahami kembali apa dan bagaimana Perppu, serta pengaruhnya dengan wacana impeachment.

Perppu

Lazimnya sistem presidensial, kuasa pembentukan Perppu selalu diserahkan kepada Presiden sebagai pemegang kuasa pemerintahan. Jika merujuk konvensi, Perppu dikenal sebagai jalur konstitusional untuk membentuk regulasi secara cepat. Disebut cepat dan sederhana, karena dalam proses pembentukannya, ia tidak perlu mengakomodasi ragam kepentingan partai yang ada di parlemen (Ann Seidman:2002). Tak heran jika Pasal 22 UUDN mengatur bahwa  “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Soal ihwal kegentingan yang memaksa, MK telah memberikan kriteria normatif dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009. Melalui interpretasinya, MK menetapkan tiga syarat. Kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah secara cepat, kekosongan hukum akibat ketiadaan undang-undang, atau ada namun dianggap tidak memadai, dan keadaan tidak dapat diatasi  dengan prosedur biasa karena akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Tiga hal itu telah dilimitasi oleh MK. Namun perlu diingat, ketika putusan di jatuhkan, sembilan hakim konstitusi berada dalam satu paradigma yang sama. Bahwa kegentingan atau kebutuhan yang mendesak, tetap berada pada wilayah subjektivitas Presiden. Tak ada institusi lain yang bisa menilai situasi kegentingan memaksa, kecuali Presiden. Karena sifatnya yang subjektif, maka objektivikasinya, diserahkan pada parlemen. Selaras dengan intensi ayat (2) dan ayat (3) Pasal 22 UUDN. Perppu harus mendapatkan persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya untuk menjadi undang-undang. Jika tidak, maka Perppu itu harus dicabut. Intensi pasal tersebut menempatkan DPR sebagai penyeimbang, sekaligus melaksanakan fungsi kontrol terhadap kebijakan presiden (checks and balances). Selain fungsi crosscheck yang bisa dilakukan oleh DPR, MK juga bisa melakukan fungsi korektif melalui kewenangan judicial review.  Kanal-kanal ini tersedia secara konstitusional, untuk menutup sifat abuse presiden dalam menetapkan peraturan. Kembali pada soal Perppu KPK. Mungkin dalam logika awam, “kegentingan yang memaksa” sebagaimana dimaksud dirasa telah cukup. Ada tiga kondisi saat ini yang bisa dijadikan alasan pertimbangan menetapkan Perppu. Pertama, akibat tekanan publik yang terjadi secara masif dan kontinyu, bahkan telah memakan korban jiwa. Kedua, revisi undang-undang KPK yang tidak sejalan dengan cita-cita pemberantasan korupsi. Ketiga, tidak lagi dapat ditangani dengan prosedur biasa, mengingat pembahasan undang-undang akan memakan waktu yang relatif lama. Tetapi sekali lagi, ini soal subjektivitas Jokowi. Jika ia berani mengambil opsi Perppu, rasanya tidak berlebihan bila publik akan menilai Jokowi sebagai presiden, yang memiliki komitmen kuat dalam agenda pemberantasan korupsi.

Impeachment

Kemudian soal ancaman impeachment. Ada satu hal yang perlu diingat dalam membedakan ciri sistem parlementer dan ciri sistem presidensial. Dalam sistem parlementer, perdana menteri dapat diberhentikan dalam masa jabatannya akibat kebijakan yang tidak populis. Artinya seorang perdana menteri sangat mungkin di impeach karena alasan politis. Berbeda halnya dengan sistem presidensial. Presiden hanya dapat diberhentikan dalam masa jabatannya karena alasan hukum (Alferd Stephen & Cindy Skach:1993). Sebagaimana telah diatur secara limitatif dalam Pasal 7A UUDN, baik itu perbuatan yang berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, perbuatan tercela, atau tindak pidana berat lainnya. Selain soal alasan hukum, syarat formil impeachment juga diatur dengan prosedur yang super ketat. Bahkan situasinya akan terasa semakin sulit, bila melihat sistem multipartai ekstrim yang diadopsi selepas era transisi politik. Presiden terpilih akan membangun koalisi mayoritas untuk mendapatkan legitimasi politik yang kuat di parlemen (Djayadi Hanan:2014). Konsekuensi logisnya,  partai-partai pendukung cenderung akan memuluskan kebijakan-kebijakan pemerintah di hadapan parlemen. Termasuk menjaga dan melindungi presiden, dari ancaman pasal impeachment.  Membaca kondisi di atas, tentunya cukup sulit membenarkan bahwa Perppu KPK dapat bermuara pada wacana impeachment. Saat ini, kita hanya membutuhkan keyakinan Presiden untuk mendorong dikeluarkannya Perppu KPK. Para simpatisannya tidak perlu takut dengan wacana impeachment. Begitu juga para anggota DPR yang menilai opsi Perppu tidak begitu tepat untuk dikeluarkan. Saluran konstitusional telah tersedia untuk menilai keabsahan Perppu. Baik itu melalui jalur legislative review di DPR, maupun melalui jalur judicial review di MK.

 

Tulisan ini pernah dimuat dalam rubrik Opini Jawa Pos, 4 Oktober 2019.

 

Penulis: Nurmalita Ayuningtyas Harahap, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Hak Administrasi Negara

 

REVISI Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah disahkan DPR, Selasa (17/9) lalu. Sebelumnya, rancangan perubahan Undang-undang No 30 Tahun 2002 tersebut tidak sedikit menuai respons dari masyarakat, baik dalam bentuk kritik maupun dukungan Revisi dilakukan terhadap beberapa pasal-pasal di undang-undang tersebut, antara lain adalah menyangkut perubahan status Pegawai KPK Dimana Pegawai Tetap KPK dialihkan menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN).

Jika merujuk pada Undang-undang No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, maka ASN terdiri dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Pada draft rancangan perubahan Undang-undang No 30 Tahun 2002 tersebut nantinya diatur bahwa Pegawal Negeri yang dipekerjakan di KPK akan berstatus PNS. Sedangkan Pegawai tetap KPK yang bukan merupakan PNS akan dikategorikan sebagai PPPK

Jika telah beralih status, bagaimana independensi dari Pegawai KPK itu sendiri?

Ditinjau dari hukum kepegawalan, maka ASN merupakan Pegawai Negeri Pegawai Negeri mempunyai ciri khusus, yaitu Hubungan Dinas Publik (DHP) yaitu sifat monoloyalitas kepada Pemerintah. Dalam hubungan ini kemudian melekat hubungan subordinatie antara atasan bawahan (Ridwan dan Nurmalita: Hukum Kepegawaian: 2018) Jika ditilik dari ciri tersebut, otomatis Pegawai KPK yang menjàdi ASN tersebut akan tunduk dan patuh kepada pemerintah atau eksekutif atau yang dapat dikatakan mempunyai hubungan monoloyalitas dengan pemerintah.

Sedangkan di dalam UU No 5/2014 diatur apa yang dinamakan Manajemen ASN. Dalam pasal 52. dinyatakan bahwa Manajemen ASN terdiri dari Manajemen PNS dan Manajemen PPPK. Pada Pasal 55, manajemen PNS antara lain meliputi, pengadaan, mutasi, disiplin, pemberhentian. Begitu juga pada pasal 93, manajemen PPPK antara lain meliputi pengadaan, penilaian kinerja, disiplin dan pemutusan hubungan kerja. Jika nantinya Pegawai KPK berubah status menjadi ASN, maka manajemen sumber daya manusia, yang terdiri dari pengadaan hingga pemberhentian atau pemutusan hubungan kerja menjadi kewenangan dari pemerintah atau eksekutif. Tidak lagi bersifat independen dari lembaga KPK itu sendiri.

Persoalan kemudian, pertama jika berbicara tentang pengadaan, maka selama ini sebenarnya terdapat Peraturan Pemerintah No 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia Komisi Pemberantasan Korupsi. Di pasal 7 ayat (2) Peraturan Pemerintah menyatakan bahwa, Pegawai Negeri yang telah diangkat menjadi Pegawai Tetap pada Komisi diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri. Hal ini juga dapat dikatakan agar independensi pegawai KPK tersebut tetap terjaga. Namun dengan peralihan status sebagai Pegawai Negeri, yang kemudian proses penentuan formasi dan rekrutmen akan diambil alih sepenuhnya pemerintah atau eksekutif bukan lagi kewenangan KPK secara penuh.

Kemudian yang kedua, terkait dengan mutasi. Penentuan perpindahan pegawai ini baik tempat maupun jabatannya akan menjadi kewenangan pemerintah atau eksekutif. Hal ini justru akan rentan dengan berbagai macam yang mempengaruhi mutasi tersebut. Ketiga, terkait dengan disiplin dan pemberhentian atau pemutusan hubungan kerja. Pegawai KPK akan tunduk kepada aturan disiplin ASN disamping nantinya masih terdapat aturan tentang disiplin KPK yaitu, Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi No. 10 Tahun 2016 tentang disiplin pegawai dan penasihat KPK, yang nantinya mesti diharmonisasikan dengan aturan disiplin ASN yang saat ini berlaku.

Dengan begitu pengenaan hukuman disiplin jika Pegawai KPK melanggar disiplin dan pemberhentian menjadi kewenangan dari eksekutif atau pemerintah Hal ini pun juga menimbulkan pertanyaan terkait dengan independensi dan bebas dari berbagai macam kepentingan. Meskipun nantinya telah menjadi ASN, besar harapan masyarakat untuk pegawai KPK dapat menjunjung nilai-nilai independensi dan tidak adanya intervensi dari pemerintah jika hal tersebut kemudian dapat memberikan hambatan bagi penegakkan hukum nantinya.

Kini diharapkan pula, tugas tim transisi KPK untuk menganalisis poin-poin yang telah disahkan Termasuk perubahan status KPK yang nantinya pun perlu di harmonisasi dan disinkronisasi dengan Peraturan yang menyangkut ASN. Tentu agar independensi tetap ada.

Tulisan ini telah dimuat dalam Anaslisis KR, Kedaulatan Rakyat, 21 September 2019.

 

Penulis: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Apakah sudah diperhitungkan rencana amandemen terbatas UUD yang sudah semakin mengkristal pada romantisme GBHN? Adakah studi kelayakan yang telah memberikan preposisi bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional kita bermasalah sehingga tidak relevan lagi untuk digunakan? Seberapa dalam cetak biru yang telah disusun MPR, metode risetnya apa, sehingga GBHN menjadi laik diterapkan kembali sebagai kerangka dasar pembangunan nasional. Sungguhpun sudah dipikirkan secara matang, bagaimana dengan proses dan mekanisme perubahannya?

Sejumlah pertanyaan di atas, mengirimkan pesan bahwan wacana amademen terbatas perlu dikonstruksikan secara komprehensif. Dibangun melalui konsep yang kuat, serta memperhatikan sejumlah ekses yang kemungkinan dapat ditimbulkan. Jika tidak, proyek besar ini bisa kebablasan dan justru menambah sengkarut problem ketatanegaraan.

Dalam ketentuan hukum positif saat ini, beberapa perangkat regulasi pada dasarnya telah mengakomodir arah pembangunan dan haluan bernegara. Misalnya Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN, UU No 25 Tahun 2004) dan Rancana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP UU No 17 Tahun 2007). Bahkan secara lebih detail, arah pembangunan juga diderivasikan lagi melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang meliputi pembangunan nasional, bidang, dan wilayah.

Jika hendak memahami arah politik hukum pembangunan nasional pascatransisi politik, sebenarnya tidak terlihat garis demarkasi yang tajam antara politik pembangunan era orde baru dengan politik pembangunan saat ini. Melalui perangkat SPPN, RPJPN, dan RPJMN, pembangunan nasional juga dapat dialkukan secara terukur dan sistematis. Artinya, secara materiil hampir tidak ada pembedaan cara kerja pada model pembangunan bergaya GBHN dengan model SPPN dan RPJP. Setidaknya, titik pembedaan itu hanya pada aspek formalnya saja.

Jika arag pembangunan nasional di era orde baru diterapkan MPR, maka arah pembagunan nasional saat ini ditetapkan Presiden dan DPR melalui kerangka legislasi nasional. Pilihan politik hukum demikian tidak lahir tanpa basis rasionalitas politik yang kuat. Laiknya sebuah silogisme hukum, ada beberapa alasan mengapa GBHN tidak lagi relevan diterapkan pascatransisi politik.

Pertama, soal kesepakatan dasar perubahan UUD di era transisi. Saat itu, semua partai politik sepakat bahwa agenda perubahan UUD dilandaskan pada semangat memperkuat sistem presidensiil (Valina Singka:2008). Dengan mempertahankan model pembangunan melalui GBHN, sistem pemerintahan akan jauh berayun pada gaya parlementer. Seluruh pertanggungjawaban politik akan diserakan ke MPR. Tidak menutup kemungkinan MPR akan kembali menjadi pemegang kendali atas kuasa rakyat.

Kedua, masa jabatan presiden yang limitatif tidak akan kompatibel dengan model pembagunan GBHN. Sebagai sebuah produk politik, upaya perubahan terhadap materi muatan GBHN menjadi sangat mungkin terjadi. Perkembangan koalisi kepartaian sangat dinamis, menyebabkan GBHN menjadi sangat sulit diterima dan diterapkan pada pemerintahan berikutnya.

Ketiga, dengan menerapkan model pembangunan berbasis GBHN, ada berbagai macam implikasi yang ditimbulkan terhadap sistem hukum nasional. Mulai dari posisi tawar GBHN terhadap hierarki perundang-undnagan sampai dengan model pengujian norma hukum yang bisa saja bertentangan dengan GBHN. Membaca sejumlah tantangan di atas, maka keinginan melakukan amandemen terbatas bisa saja melebar menjadi isu yang tak terbatas.

Terlepas dari rentetan panjang yang mungkin biosa ditimbulkan, tidak kalah penting ialah mengawal bagaimana proses pembuatan itu akan dilakukan. Sebuah konstitusi yang demokratis tidak akan mungkin dihasilkan melalui proses politik yang kolutif. Seperti disematkan Bianc, bahwa proses itu akan menentukan hasil perubahan konstitusi. (Bonime Blanc: 1987). Perlu diingat setelah perubahan UUD, MPR merupakan lembaga yang berwenang mengubah dan menetapkan UUD. Ia tak lagi sebatas lembaga yang menetapkan, tetapi juga menjadi bagian dalam proses perubahan UUD. Imbasnya peranan partai politik menjadi sangat dominan.

Dengan peta politik demikian, MPR bisa saja terdistorso dengan konflik kepentingan. Sebab, materi muatan amandemen justru menyangkut kepentingan kelembagaannya sendiri. Ada baiknya proyek besar untuk MPR itu perlu dipertimbangkan kembali. Biar bagaimanapun, konstitusi merupakan norma fundamental. Ia hidup dan berkembang dalam praktik berbangsa dan bernegara. Bukan komoditas kepentingan golongan yang bersifat sektoral.

Penulis: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Hampir dipastikan, periode kedua pemerintahan Joko Widodo akan ditopang dengan koalisi “gemuk” di parlemen. Mayoritas partai politik di DPR, akan bahu membahu mensukseskan beberapa program kebijakan yang sudah dicanangkan pada pemerintahan 2019-2024. Dengan koalisi mayoritas, relasi eksekutif dan legislatif diperkirakan akan jauh lebih stabil. Meskipun harus di akui, dukungan mayoritas partai di DPR sebenarnya juga dapat melahirkan ancaman. Bisa di bayangkan, jika mayoritas partai politik di DPR bersekutu dengan pemerintah, maka Presiden tidak hanya menjadi episentrum kekuasaan eksekutif, tetapi juga menjelma sebagai pengendali kekuatan partai-partai politik yang ada di parlemen. Aroma bagi-bagi kekuasaan sudah mulai tercium. Selain soal jatah kabinet, perebutan kursi pimpinan MPR juga menjadi bagian yang tak terpisahkan. Dengan koalisi mayoritas, MPR akan menjadi lembaga strategis dalam masa pemerintahan lima tahun ke depan. Jika koalisi pemerintah benar-benar solid, MPR bisa saja bereksperimen dengan kewenangannya mengubah dan menetapkan UUD.

 

Minoritas- Mayoritas

Jika hendak menarik isu perdebatan ini dalam ranah konseptual, relasi eksekutif -legislatif menjadi wilayah yang cukup menarik dalam sistem presidensil. Kenyataannya, sistem pemerintahan kita pasca transisi politik, cenderung bergerak secara dinamis. Setidaknya ada dua pola relasi eksekutif-legislatif yang selama ini menjadi basis konvensi kenegaraan dalam sistem multi partai.  Pola pertama, bangunan koalisi dengan corak minoritas. Dalam langgam ini, Presiden tidak mendapatkan dukungan dari sebagian besar partai politik yang ada di parlemen. Pembelahan pemerintahan (divided government) sangat dimungkinkan terjadi karena relasi eksekutif dan legislatif cenderung bersifat konfrontatif. Kondisi ini pernah dialami sendiri oleh Presiden Jokowi-JK di awal-awal masa pemerintahan 2014-2019. Dengan dukungan minoritas, Presiden kesulitan membangun program-program pemerintahan. Kondisi ini semakin diperparah dengan desain UUD pasca amandemen yang memberikan begitu banyak delegasi kewenagan kepada DPR berupa pertimbangan dan persetujuan. Pola kedua, bangunan koalisi dengan corak mayoritas. Pada langgam ini, mau tidak mau, Presiden merangkul mayoritas partai politik untuk bergabung pada koalisi pemerintahan. Sedikit beraroma parlementer, karena relasi eksekutif-legislatif melebur jadi satu. (Alferd Stephen & Cindy Skach:1993). Cara ini dipercaya sebagai alternatif membangun stabilitas pemerintahan. Dengan dukungan mayoritas partai politik, kebijakan-kebijakan pemerintah relatif bisa berjalan mulus di parlemen. Termasuk di dalamnya soal keinginan untuk melakukan amandemen kelima UUD.

Tanpa Kontrol

Dengan bangunan koalisi mayoritas, pintu amandemen konstitusi menjadi sangat terbuka lebar. Siasat amandemen ini bisa dianalogikan seperti lempengan uang koin. Di satu sisi bisa memperkuat percepatan kebutuhan demokrasi, namun disisi lain, bisa menjadi jebakan otoritarianisme. Perlu diingat bahwa  proses perubahan UUD bisa berjalan tanpa kontrol. Jika melihat prosedur dan beberapa syarat formil perubahan UUD, kelembagaan MPR merupakan forum joint session anggota DPR dan anggota DPD. Secara kuorum DPD bisa saja tidak dapat menjadi penyeimbang kekuatan mayoritas partai politik yang ada di DPR. Mengingat berdasarkan jumlah, anggota DPR terdiri dari 575 orang dan anggota DPD hanya sejumlah 136 orang. Sementara Pasal 37 UUD mensyaratkan 1/3 jumlah anggota untuk usul perubahan, dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dan 50% plus satu untuk persetujuan perubahan. Dalam peta politik demikian, perubahan UUD sangat ditentukan pada kekuatan mayoritas partai politik pendukung pemrintah di DPR. Agenda amandemen ini tentu bisa menjadi bola liar, sebab materi perubahan  UUD cenderung bersifat sangat kompromistis. Sebut saja soal gagasan perubahan yang sudah semakin mengkristal pada penguatan kelembagaan MPR dalam menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Komisi Konstitusi

Dengan menyerahkan semata-mata pada kekuatan politik mayoritas, tentu akan menghasilkan kompromi politik yang sangat sektoral. MPR sebagai lembaga yang berwenang mengubah dan menetapkan UUD, sarat terjebak dengan konflik kepentingan. Apalagi jika materi perubahannya menyangkut soal penguatan kelembagaannya sendiri. Jika benar amandemen UUD akan digulirkan pada periode kedua pemerintahan Joko Widodo, ada baiknya memperhitungkan pembentukan Komisi Konstitusi. Badan khusus yang dibentuk secara independen dan bersifat non partisan untuk mengkaji materi perubahan UUD. Belajar dari Spanyol, Filipina dan Thailand, perubahan konstitusinya dilakukan melalui spesial konvensi dengan pembentukan komisi khusus. Langkah ini dibangun agar usulan dan hasil perubahan konstitusi tidak bias dari kekuatan politik pemerintah a quo. (David G. Timbermand,ISEAS:1999). Pentingnya membentuk komisi konstitusi dalam perubahan UUD, pada dasaranya dipengaruhi oleh alasan paradigmatik.  Partai politik berdiri pada basis untuk merebut dan mempertahankan kekuasaaan, sementara konstitusi berpijak pada basis pembatasan kekuasaan. Memberikan peran mayoritas kepada partai politik terhadap perubahan UUD, sama artinya memberikan kesempatan partai politik untuk merebut atau mempertahankan kekuasaannya.  Itu sebabnya agenda perubahan UUD perlu dikaji dengan basis rasionalitas yuridis, sosiologis dan filosofis. Bahwa perubahan itu memang benar-benar dibutuhkan guna membangun percepatan demokratisasi. Jika tidak, gagasan amandemen ini bisa membawa pemerintahan Jokowi-Ma’ruf pada jebakan otoritarianisme.

Tulisan ini sudah dimuat dalam rubrik Pendapat, KORAN TEMPO, 13 Agustus 2019.

KOALISI DAN OPOSISI

Siapa yang menyangka, rekonsiliasi para elit partai pasca pemilu nyatanya tidak hanya soal seruan persatuan, tetapi juga soal kontrak politik baru. Partai-partai yang mendapatkan kursi di DPR, mulai menjalin komunikasi politik dengan Presiden terpilih. Di luar dugaan, partai-partai pendukung capres 02 mulai terlihat rapuh. Read more

Duka Pemilu

Seiring dengan perhitungan real count hasil pemilu, kabar duka terus datang menghampiri ruang-ruang publik. Kali ini bukan soal siapa kalah siapa menang. Bukan juga soal siapa curang dan yang tak curang. Melainkan soal sisi humanisme penyelenggaraan pemilu. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, pemilu serentak dengan lima kotak surat suara telah mengikis tangis bagi para keluarga petugas pemilu. Read more

ARUS BALIK DEMOKRASI

Ada semacam persepsi yang menguat bahwa wajah demokrasi dunia  semakin berjalan mundur. Para ilmuan ternama mengidentifikasi gejala kemunduran ini sebagai “arus balik demokrasi”. Kondisi dimana sebuah  negara demokratis, kembali terjebak pada rezim otoriter. Entah disengaja atau tidak, persepsi ini disinyalir semakin melekat pada rezim pemerintahan saat ini. Read more

Pasca penetapan hasil penghitungan suara Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 lalu, sejauh ini tercatat sebanyak 340 permohonan perkara perselisihan hasil Pemilu (PHPU) yang dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi (MK), dengan rincian 329 perkara Pemilu DPR dan DPRD, 10 perkara Pemilu DPD, dan 1 perkara Pemilu Presiden & Wakil Presiden (www.mkri.id). Membawa “konflik politik” dalam konteks perselisihan hasil Pemilu ke dalam prosedur hukum ini tentu merupakan salah satu aktualisasi prinsip negara hukum yang demokratis. Read more

Segera setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan hasil pemilihan umum (Presiden dan Legislatif), KPU memberi ruang bagi para peserta pemilu yang tidak menerima hasil penetapan untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Informasi terakhir, tercatat bahwa terdapat 1 gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres, dan 329 gugatan PHPU Pileg dengan rincian, 318 permohonan sengketa DPR/DPRD dan 11 permohonan sengketa DPD. Yang menarik, bahwa jumlah sengketa pileg yang diajukan ke MK menurun dibandingkan dengan tahun 2014. Pada pemilu 2014, jumlah permohonan sengketa pileg mencapai 903 permohonan dan dari jumlah tersebut, sebanyak 34 diantaranya diajukan calon anggota DPD. Read more

People Power atau Daulat Rakyat?

Munculnya istilah People Power belakangan ini menarik untuk diperdebatkan, terutama apabila istilah tersebut digunakan sebagai bentuk protes terhadap proses penyelenggaraan pemilu serta dihubung-hubungkan dengan ‘kedaulatan rakyat’. Benarkah people power itu merupakan wujud kedaulatan rakyat? Dalam Ilmu Hukum Tata Negara tidak dikenal istilah People Power. Jika melihat situasi dan kondisi saat ini, istilah people power dapat diterjemahkan sebagai kekuatan rakyat yang konteksnya adalah suatu gerakan rakyat untuk menumbangkan kekuasaan, atau sebuah gerakan perlawanan untuk menunjukkan adanya kezaliman. Read more