Tag Archive for: Departemen Hukum Tata Negara (HTN)

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Kamis malam, 1 September 2016, sekitar pukul 19.30 WIB ada panggilan masuk ke handphone saya. Dengan agak malas karena capai setelah beberapa jam mengetik untuk menyiapkan naskahorasi, saya angkathandphone itu. Ternyata yang menelepon adalah wartawan sebuah media online terkemuka. Meski agak malas untuk diwawancarai, saya tergelitik juga atas pertanyaannya.

“Pak, hari ini Presiden memanggil para hakim MK untuk membicarakan judicial review atas UU Tax Amnesty. Bagaimana menurut Bapak?” tanya wartawan itu dari ujung telepon. “Haaah , Presiden memanggil hakim MK?” saya balik bertanya. “Tak mungkin Presiden memanggil hakim-hakim MK, tak mungkin pula hakim-hakim MK mau dipanggil oleh Presiden. Sebab Presiden dan para hakim MK pasti tahubahwahalitu tidak boleh dilakukan,” sambung saya.

Wartawan itu berusaha meyakinkan saya denganceritaagakdetailbahwa Presiden memang memanggil hakim-hakim MK pada Kamis kemarin. Saya pun berusaha meyakinkan wartawan tersebut bahwa tak mungkin hakim-hakim MK mau dipanggil oleh Presiden dan tak mungkin Presiden’memanggilhakim-hakim MKuntuk membicarakan perkara yang sedang berlangsung.

“Itu hal yang dilarang, baik oleh hukum maupun oleh etika,” jawab saya. Kemudian saya pun menjelaskan, mungkin saja hakim-hakim MK bertemu dengan Presiden, tetapi tak mungkin membicarakan perkara yang sedang ditangani MK. “Bagaimana menurut aturan dan menurut pengalaman Bapak?” tanya wartawan itu lagi.

Dengan tetap yakin bahwa tak mungkin Presiden memanggil hakim-hakim MK dan tak mungkin hakim-hakim MK begitu bodoh untuk mau dipanggil oleh Presiden, saya jelaskan kepada wartawan itu.

Anda boleh cek ke mana pun dankepada siapapun, terinasuk kepada (mantan Presiden SBY dan orang-orang dekatnya. Selama memimpin MK saya tak pernah dipanggil oleh Presiden atau menghadap Presiden untuk membicarakan perkara. Itu haram hukumnya.

Presiden SBY dan saya samasamatahubahwakamitidakbo-leh inembicarakan perkara di luar sidang resmi MK yang terbuka untuk umum. Ketika dulu MK menangani perkara hasil Pilpres 2009, saat kemenangan pasangan SBY-Boediono digugat oleh dua pasangan lainnya, ada isu berembus kencang bahwa Ketua MK bertemu Presiden pada 01.00 dini hari di Cikeas. Dua hari menjelang pengucapan putusan atas sengketa hasil pilpres itu, isu tersebut menyeruak melalui SMS berantai dan beberapa media online.

Teman saya yang wartawan senior, Freddy Ndolu, pukul 05.00 WIB menelepon saya. “Pak Ketua, ini santer berita, Pak Ketua tadi bertemu Pak SBY di Cikeas untuk mengatur putusan. Apa boleh begitu?” tanyanya de nganserius. Sayajawab, ituberita sampah. “Sudah beberapa hari saya bersama hakim-hakim MK dan para panitera tidur di Gedung MK untuk menyiapkan vonis.Sejak kemarin saya bersama merekadi Gedung MK dan saya tidak ke mana-mana,” jawab saya.

Sambil bercanda saya jelaskan kepada Freddy, tak mungkin SBY memanggil saya di tengah malam karena itu waktunya tidur dan Presidenpastimengantuk.Saya pun tidak maudipanggil Presiden di tengah malam karena saya juga mengantuk. “Menurut hukum, Presiden tidak boleh memanggil ketua MK, tetapi Ketua MK boleh memanggil Presiden untuk hadir di persidangan,” kata saya.

Apakah sebagai ketua MK saya tak pernah bertemu dengan Presiden? Tentu sering sekali, tetapi tidak pernah membicarakanperkara dan tidak hanya dua pihak. Saya sering bertemu Presiden dalam acara pertemuan rutin antarpimpinan lembaga negara. Saya sering bertemu dan duduk semeja dengan Presiden dalam acara gala dinner menyambut kepala negara atau pemerintahan asing yang menjadi tamu resmi negara.

Saya sering bertemu Presiden dalam acara-acara kenegaraan atau hari-hari besar nasional yangbisa dilihat olehumum. Tapi kami tak pernah berbicara perkara yang sedang ditangani MK. Meski dalam beberapa hal saya mengkritik SBY, dalam hal ini saya jujur memuji SBY. Dia tidak pernah menanyakan perkara apapun ketika bertemu dengan saya.

Memang SBY pernah meng hubungi saya menanyakan vonis MK yang sudah diputus, bukan perkara yang sedang diperiksa. Misalnya saat MK memutus bahwa paspor dan KTP bisa dipergunakan untuk memilih di TPS, SBY menelepon saya untuk memastikan apa benar vonisnya begitudan bagaimana detail teknisnya. Saat MK memutus bahwa jabatan Jaksa Agung HendarmanSupandjiharusberakhir atau segera diangkat lagi, SBY yang belum mendapat salinan vonis langsung menelepon saya untuk memastikan “Saya ingin tahu dari Pak Mahfud agar nanti Presiden tidak salah dalam melaksanakan vonis MK,” kata SBY ketika itu.

Jadi kalau Presiden menghubungi Ketua MK tidak boleh membicarakan perkara yang sedang berjalan atau sesuatu yang berpotensi menjadi perkara di MK. Paling banter Presiden hanya boleh menanyakan perkara yang sudah divonis untuk memastikan kebenaran isinya. Mendapat penjelasan itu, wartawan masih mengejar saya dengan pertanyaan, “Apa Ketua MK dan hakim-hakim MK benar-benar tidak pernah bertemu secara terbatas dengan Presiden?”

Sayajawab, tentu pernah Ke tika anak saya akan menikah saya bertemu Presiden untuk menyampaikan undangan langsung secara pribadi. Saat akan menggelar konferensi internasional antar-MK sedunia, kami para hakim MK menemui Presiden secara khusus untuk menyampaikan permohonanmembuka dan memberi amanat. Tapi tak pernah sekali pun MK bertemu dengan Presiden untuk membicarakan perkara yang sedang ditangani atau sesuatu yang berpotensi menjadi perkara di MK. Itu haram hukumnya.

 

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 3 September 2016.

 

 

 

 

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Adalah salah pendapat mereka yang mengatakan bahwa lembaga legislatif yang membentuk UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan telah gagal membentuk UU yang baik dan pro terhadap kemajuan. Adalah salah mereka yang mengatakan bahwa pembentuk UU No 12 Tahun
2005 telah gagal membaca dan memahami tren perkembangan dunia.

Ini harus dijernihkan karena ketika mencuai kasus dwikewarganegaraan Arcandra Tahar yang harus lengser dari jabatan menteri yang baru didudukinya selama 20 hari, tiba-tiba banyak yang mengatakan bahwa UU Kewarganegaraan itulah biang keroknya. Kata mereka pembentuk UU tidak paham pada tren dunia yang akan terus mengglobal.

Mereka menuding pula bahwapembentukUU No 12 Tahun 2006 berwawasan picik karena menetapkan politik hukum kewarganegaraan tunggal.

Kata mereka pula, bangsa-bangsa di dunia sekarang ini sudah mengglobal, banyak yang bukan hanya memberlakukan sistem dwi kewarganegaraan, tetapi lebih dari itu ada yang memberlakukan multi kewarganegaraan.

Kasus Arcandra dijadikan contoh betapa UU Kewarganegaraan kita telah menutup pintu bagi putra terbaik yang superpandai untuk mengabdi kepada bangsa dan negaranya. Ar-candra yang, katanya, sangat genius dan diperebutkan negara asing untuk mengamalkan ilmunya bagi kemajuan justru dihambat oleh politik hukum kewarganegaraan kita untuk mengabdi di tanah air sendiri.

Pendapat mereka yang menilai pembentuk UU itu gagal memahami tren perkembangan dunia adalah salah. Sebab sebenarnya pembentuk UU Kewarganegaraan pada saat itu sudah mendiskusikan dengan sangat komprehensif tetek bengek tren perkembangan dunia itu. Saat itu saya adalah salah seorang anggota Panitia Khusus RUU Kewarganegaraan yang diketuai Slamet Effendi Yusuf.

Yang masih saya ingat, selain saya ada anggota lain yang juga sangat aktif, yakni Murdaya Poo dan Lukman Hakim Saifuddin yang kini menteri agama. Ada pun pihak pemerintah dipimpinlangsung Menkumham saat itu, Hamid Awaluddin. Sebelum pada akhirnya menetapkan sistem kewarganegaraan tunggal Pansus sudah mendiskusikan kemungkinan pemberlakuan dwi kewarganegaraan maupun multi kewarganegaraan.

Namun, akhirnya, demi kedaulatan Indonesia yang seluruh sumber daya alamnya harus dimanfaatkan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat, dite tapkanlah berlakunya sistem kewarganegaraan tunggal de ngan toleransi pemberlakuan sistemdwikewarganegaraan se cara terbatas. Apa batasannya?

Bagi anak yang lahir dari perkawinan campuran antara orang tua WNI dengan warga negara asing serta bagi pasang an WNI yang melahirkan anak di negara-negara yang meng anut sistem ius soli, bagi si anak diberi toleransi untuk memiliki dua kewarganegaraan sampai usia 18 tahun. Perdebatan sempat menukik ke soal alternatif antara prinsip kemanusiaan dan prinsip kebangsaan serta kerakyatan kita.

Berdasar prinsip kemanusiaan, kita harus memperlakukan semua manusia di bumi untuk memperoleh kewarganegaraan, termasuk di Indonesia. Tapi berdasar paham kebangsa an dan kerakyatan yangjuga sangat fundamental di dalam konstitusi kita, kita harus mengatur secara eksklusif dengan memprioritaskan semua kebijakan, baik kewarganegaraan maupun kepemimpin negaraan, untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan kepentingan bangsa kita sendiri.

Politik hukum yang demikian dinilai lebih sesuai dengan tujuan kita mendirikan Indonesia merdeka dengan semangat nasionalismenya yang niscaya eksklusif. Jadi dalam hubungan antara asas kemanusiaan dan kebangsaan, kita memihak pada kepentingan bangsa kita sendiri tanpa harus terjebak ke chauvinism. Harus diketahui, UU Kewarganegaraan kita dilahirkan sebagai konsekuensi dari ketentuan UUD 1945 hasil amendemen yang sangat pro pada hak asasi manusia.

Di dalam Pasal 28D ayat (4) UUD 1945 ditegaskan bahwa setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. UU Kewarganegaraan kita mengatur, demikemanusiaan dan bakasasi manusia, kita harus memberi jaminan agar setiap anak yang lahir mempunyai kewarganegaraan. Pada saat yangsamadiatur juga toleransi untuk menyetujui dwikewarganegaraan bagi anak yang karena hukum lahir dengan dwikewarganegaraan untuk pada saatnya nanti harus memilih salah satunya.

Anak-anak yang lahir di Indonesia dari orang tua yang berkewarganegaraan asing dengan sistem ius soli (kewarganegaraan di peroleh karena tempat kelahiran seperti AS) akan menjadi tidak berkewarganegaraan karena Indonesia menganutius sanguinis (kewarganegaraan diperoleh sesuai dengan kewarganegaraan orang tuanya). Maka itu UU Kewarganegaraan Indonesia mengatur memberi kewarganegaraan otomatis bagi mereka.

Sebaliknya, warga negara Indonesia yang melahirkan anaknya di negara asing yang menganut sistem ius soli, maka anaknya menjadi merniliki dua kewarganegaraan. Maka itu UU Kewarganegaraan kita mengizinkan anak tersebut mempunyai dwi kewarganegaraan sampai usia 18 tahun. Orang-orang asing pun diperbolehkan menjadiwarganegara Indonesiame lalui naturalisasi.

Begitu pun WNI yang kehilangan kewarganegaraan diperbolehkan mendapat status kewarganegaraannya lagi, tetapi juga harus melalui naturalisasi. Bahkan Presiden bisa menganugerahkan status kewarganegaraan bagi mereka yang (sudah) bukan WNT jika berjasa atau sangat diperlukan tenaga nya di Indonesia. Tapibaiknahralisasi maupun karena pewarganegaraan sebagai anugerah dari Presiden tetap tidak boleh menyebabkan seorang WNI mempunyai kewarganegaraan.

Semangat politik hukum kewarganegaraan kita adalah menjamin kepemilikan status warga negara bagi setiap orang, tetapi secara eksklusif tetap mengutamakan kepentingan bangsa dan rakyat kita sendiri. Maka itu kita menganut sistem kewarganegaraan tunggal dengan toleransi dwikewarganegaraan secara terbatas. Itulah terjemahan nasionalisme kita ke dalam politik hukum kewarganegaraan kita kala itu.

Kalaulah nasionalisme yang seperti ini sekarang dianggap sudah tidak relevan dan perlu diperbaiki lagi, tentu saja hal itu bisa dilakukan, sebab hukum adalah kesepakatan alias resul tante dari setiap perkembangan situasi dan kondisi. Tapi jangan menuding bahwa pembentuk UU yang dulu telah gagal memahami situasi tentang tren globalisasi. Pembentuk UU yang dulu telah mendiskusikandanpaham tentang itu tetapi itulah resultante yang dicapai pada saat itu dalam menerjemahkan nasionalisme kita. Kalau mau dibuat resultante baru, ya, boleh saja.

 

Tulisan ini sudah dimuat dalam Koran Sindo, 27 Agustus 2016.

 

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Dalam beberapa hal, mungkin kita tidak sependapat dengan
Haris Azhar. Tetapi jika akivis prodemokasi dan penegakan hukum ini berbicara di depan televisi atau media lainnya, biasanya sangat ekspresif namun tidak meledak-ledak, artikulasinya bagus, logikanya runut, kalimatnya teratur.  Pokoknya, terlepas dari soal kita setuju atau tak setuju, cara Haris Azhar berbicara adalah menarik dan impresif.

Tetapi dalam seminggu terakhir ini kita kehilangan cara tampil Haris yang menarik itu. Saya melihat dia  tampak nervous saat tampil di depan televisi, penampilannya menjadi seadanya, sinar matanya agak redup dan terlihat galau. Bahkan saat tampil di sebuah dialog televisi swasta menjelang tengah malam beberapa hari yang lalu, Haris sering salah omong sampai-sampai dia sendiri mengatakan, “Saya sering salah bicara malam ini’.

Rasanya tak bisa dibantah, perubahan cara tampil Haris itu terkait dengan publikasi pembicaraannya dengan Freddy Budiman yang baru saja dieksekusi hukuman mati. Dia mengunggah di media sosiai tentang pembicaraan langsungnya dengan Freddy Budiman. Isinya kemeajalelaan Freddy sebagai gembong  narkotika yang seperti sakti adalah karena bantuan dan pernbayaran uang miliaran rupiah kepada oknum-oknum aparat yakni, Polri, TNI  dan BNN melaporkannya ke Bareskrim untuk diusut sebagai  pelaku tindak pidana.

Banyak yang bertanya, di mana kesalahan Haris kok harus dipidanakan? Bukankah sudah menjadi pembicaraan biasa (bukan rahasisa umum lagi) di tengah-tengah masyarakat bawah banyak oknum Polri, TNI  dan BNN yang terlibat dalam peredaran narkoba?

Bukankah pula masalah keterlibatan aparat Polri, TNI, dan BNN dalam peredaran narkoba sudah banyak terbukti dan pengungkapan oleh BNN sendiri dan oleh vonis pengadilan?

Belum lama ini diberitakan secara meluas adanya dua oknum BNN di Polda Metro Jaya yang dijebloskan ke penjara karena terlibat kejahatan narkoba. Ada juga pejabat BNN di luar Jawa yang nyata-nyata ditangkap karena terlibat peredaran narkoba, hanya beberapa waktu setelah sang pejabat berbicara didepan publik bahwa dirinya akan tegas dalam memberantas kejahatan narkoba.

Kepala BNN Budi Waseso Sendiri Pernah mengatakan, sulitnya memberantas kejahatan narkoba disebabkan banyaknya oknum Polri, TNI, dan BNN yang terlibat.

Lalu, dimana letak kesalahan Haris Azhar kalau mengunggah hasil pembicaraan panasnya dengan Freddy Budiman? Apakah karena dia bukan pejabat atau karena aktivis yang terlalu vokal? Secara lahiriah, kesalahan Haris Azhar adalah karena dia mengumumkan keterlibatan aparat yang dikaitkan dengan kasus konkret, tapi tidak disertai bukti agar bisa diusut.

Kasus konkretnya adalah kejahatan Freddy Budiman. Kalau oknum-oknum aparat korup yang memeras atau menerima setoran dari Freddy Budiman memang ada, pastilah bisa diungkap asal ditunjukkan peta jalannya. Dalam hal ini, Haris tidak mengungkap nama oknum(atau inisialnya), sementara Freddy Sudah dieksekusi. Mengapa informasi itu tidak dia sampaikan sebelum Freddy dieksekusi?

Dari sudut pelapor, langkah Harisitubisa dianggap sebagai fitnah yang hanya ingin membuat kegaduhan dan keresahan. Mengapa? Karena dia mengumumkan pengakuan panas orang yang sudah dieksekusi mati, tetapi tidak disertai bukti atau jejak bukti yang bisa dilacak. Dengan apa yang dilakukan itu, Haris tampaknya akan dipidanakan karena ujaran kebencian dan pelanggaran UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Melihat kasus Haris Azhar ini, saya jadi teringat pada sebuah film yang sangat bagus, Life of David Gale yang dibintangi Kevin Spacey dan Kate Winslet. Film yang dibesut oleh Alan Parker Itu Bertemakan Perjuangan anti hukuman mati.

Dalam perjuangannya untuk menghapus hukuman mati, David yang seorang profesor membuat rekayasa seakan-akan dialah yang melakukanpemerkosaan dan pembunuhan keji terhadap seorang mahasiswi di Austin University, Constance Harraway. Dialah, misalnya, yang meletakkan sidik jarinya di mayat Harraway. Dia pun diadili dan dijatuhi hukuman mati.

Akhirnya David Gale dieksekusi mati. Tetapi dengan kecerdasannya sebagai seorang profesor, melalui seorang wartawati terkenal, dia sudah mengatur agar setelah dia dieksekusi maka semua fakta bahwa bukan dia yang membunuh Harraway bisa diungkap kepada publik. Dan, itulah yang kemudian terjadi. Masyarakat pun menjadi geger karena ternyata pengadilan telah salah menghukum mati seorang profesor yang tidak bersalah.

Pesan film Life of David Gale itu memang propaganda anti hukuman mati. Saya tidak tahu, apakah Haris Azhar melakukan pengungkapan info dari Fredd: Budiman itu terinspirasi ata! ingin memberi pelajaran dar pesan film Life of David Gale itu Tetapi Kalau Itu Benar, Harisme mangagak ceroboh karena tidak menyiapkan bukti-bukti seperti yang dilakukan oleh David Gale.

Lagi pula, film Life of David Gale itu hanyalah sebuah film imajinatif yang memang mempropagandakan anti hukuman mati. Film seperti itu bisa dan sudah dilawan oleh film-film yang bertemakan sebaliknya. Namanya juga film imajinatif, ya, begitulah.

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 6 Agustus 2016.

 

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Kegalauan banyak pihak tentang melunturnya jati I diri dan melemahnya kedaulatan kita dirasakan juga oleh anak-anak kita yang sedang belajar di luar negeri. Sejak Sabtu pe kan lalu sampai Rabu pekan ini, melalui wadah Persatuan Pelajar Indonesia (PPI), mereka berkumpul di Kairo, Mesir, dalam satu simposium internasional PPI sedunia, “Memperteguh Identitas Bangsa Indonesia”. Tema itu merefleksikan keresahan mereka tentang Indonesia, negara yang mereka puja dan cintai.

Mereka menyatakan Ibu Pertiwi yang dicintainya sedang menghadapi problema dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, budaya, bahkan kehidupan beragama. Kata mereka, dalam menghadapi berbagai problema itu sudah banyak juga orang-orang kita yang menawarkan solusi, tetapi solusi-solusi yang mereka tawarkan berhenti di konsep-konsep yang tidak pernah menyatu dan tidak ada yang bisa dilaksanakan konsisten.

Konsep-konsep itu pun diajukan sebagai klaim-klaim yang berangkat dari paradigma yang berbeda, ada yang berangkat dari cara pandang Barat yang katanya universal, ada yang berangkat dari cara pandang Timur yang partikular.

Solusi yang ditawarkan banyak, tetapi kontradiktif sehingga tidak bisa diimplementasikan dalam satu langkah. Semua merasa benar dan mengambil jalur sendiri-sendiri.  Keadaan itu menyebabkan terjadinya pelunturan identitas bangsa yang juga secara pelan menggeris kedaulatan kita sebagai Negara. Di dunia internasional terkadang harga diri kita sebagai bangsa tampak disepelekan. Melalui proposal simposium mereka mengajukan pertanyaan lugas: Adakah identitas dan jati diri kita? Adakah kita telah atau masih berdaulat? Mana jati diri  dan kedaulatan itu?

Soal identitas dan jati diri bangsa, meskipun tidak bisa dirumuskan dalam kalimat yang pendek, sebenarnya sudah kita miliki secara tegas dan nyata. Indonesia, baik sebagai bangsa maupun sebagai negara, mempunyai identitas “kebersatuan dalam keberagaman”, Bhinneka Tunggal Ika, unity in diversity. Bayangkanlah, negara kita terdiri atas 17.504 pulau, 1.360 suku, dan 726 bahasa daerah. Di Indonesia juga ada banyak agama dan kepercayaan yang dianut oleh warganya, ada berbagai ras dan warna kulit yang semuanya diikat dalam kebersatuan bangsa Indonesia.

Merujuk uraian Bung Karno pada pidato di BPUPKI tanggali Juni 1945, bangsa kita merupakan ikatan kebersatuan sekumpulan manusia yang sangat beragamikatan primordialnya, tetapi mempunyai nasib dan cita-cita yang sama di tanah (bagian bumi) yang sama yakni Nusantara. Masyarakat kita adalah masyarakat yang religius, toleran, ramah, santun, gotong royong, dan tolong-menolong. Itulah identitas dan jati diri bangsa kita. Tetapi ke mana identitas dan jati diri itu sekarang? Masihkah kita hayati da lam kehidupan kebangsaan kita? Pertanyaan-pertanyaan ini muncul karena kalau identitas dan jati diri itu benar seperti itu tentulah kita tidak menghadapi tindakan-tindakan intoleran, fakta kemiskinan massal. ketimpangan ekonomi, dan ketidakadilan sosial yang menimbulkan pertanyaan lanjutan, yakni kedaulatan.

Kalau ditanyakan secara verbal,apa kita ini mempunyai kedaulatan, tentu jawabannya yang juga verbal kita ini berdaulat. Fakta bahwa Indonesia merupakan satu negara merdeka adalah fakta juga bahwa Indonesia mempunyai kedaulatan. Salah satu syarat konstitutif adanya negara adalah adanya pemerintahan yang berdaulat dan Indonesia merupakan negara yang nyata-nyata ada. Jika syarat keberadaan negara yang berdaulat itu dikaitkan dengan syarat deklaratif, yakni adanya pengakuan dari negara-negara lain, jelas keberadaan Indonesia dan kedaulatannya sudah mendapat pengakuan dari negara-negara lain. Selain menjadi anggota PBB, Indonesia juga mempunyai duta besar di berbagai negara dan negara-negara lain mempunyai duta besarnya di Indonesia. Itu tanda kita mempunyai kedaulatan dan kedaulatan kita adalah kedaulatan rakyat.

Hal yang menjadi masalah terkait kedaulatan Indonesia sebenarnya bukan tidak adanya kedaulatan secara formal-konstitusional, tetapi bergesernya letak kedaulatan tersebut dari tangan rakyat ke tangan elite politik. Dalam praktik sekarang ini, kedaulatan rakyat hanya dilakukan oleh rakyat pada saat mencoblos dalam pemilu. Sesudah rakyat memberikan suaranya saat pemilu yang mungkin hanya lima menit itu, urus-urusan negara kemudian didorong oleh elite politik, terutas para pimpinan parpol. Konfigrasi politik bukan lagi demok si, melainkan menjadi oligarki  politik yang dikuasai oleh elit

Ada juga yang menyebut litik kita sekarang berkonfigrasi poliarki karena kebijakan-kebijakan negara dikangkan oleh elite partai politik yang be kolaborasi dengan elite orma elite kelompok profesional, de pebisnis kakap. Akibatnya, kedaulatan hukum menjadi 1 mah. Hukum menjadi sang konservatif bukan hanya sa ditegakkan, tetapi juga pad saat akan dibuat. Ketika kedal latan hukum lemah, kedaulatan politik pun menjadi lemah terutama kalau berhadapan dengan pihak luar. Mengapa? Karena hukum bisa dikait-kaitkan berdasar kepentingan politik, bisnis, dan lain-lain.

Diarena simposium PPI Kairo itu muncul juga usul aga kedaulatan rakyat diubah saja ke sistem kedaulatan Tuhan (teokrasi). Tetapi saat itu saya menjawab, konsepsi teokras akan menjadikan kita semakin kacau. Jalan terbaik adalah menggeser kedaulatan yang sekarang ada di tangan elite sebagai kembali berada pada rakyat Kita bisa berharap hal itu dilakukan oleh pemerintah yang sekarang. Pemerintah yang sekarang mempunyai modal yang kuat untuk melakukan itu.

 

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 30 Juli 2016.

 

 

 

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Berita yang muncul Rabu dua hari yang lalu, itu mengejutkan bagi orang yang tidak paham hukum, tetapi tidak berarti apa-apa bagi orang yang paham hukum dan peta permainan politik.

Bagi orang yang paham hukum, berita itu bisa dianggap sebagai lucu-lucuan dan bagi yang suka mengamati politik berita itu hanya bagian kecil dari belantara permainan politik di negeri ini. Berita apa gerangan?

Beritanya, “Pengadilan Rakyat Belanda Menyatakan Indonesia Bersalah atas Pembunuhan Anggota PKI”. Hagh? Orang yang tidak paham hukum terkejut, ada yang panik dan ada yang senang, tergantung dari posisinya.

Padahal dari sudut hukum, tidak ada pengadilan yang membuat putusan seperti itu. Yang memutuskan itu ternyata bukan pengadilan, melainkan sekelompok orang yang kemudian diberi nama agak mirip dengan pengadilan, yakni International People International Peoples Tribunal on Crimes Against Humanity 1965 (disingkat IPT).

Dalam kesimpulan yang disebut putusan) itu, IPT yang dipimpin oleh Saskia E Wieringa juga meminta pemerintah Indonesia untuk segera meminta maaf kepada seluruh korban dan memberikan kompensasi serta pemulihan nama baik. Se gawatitukah?”Apa Konsekuensi putusan pengadilan IPT Den Haag Itu terhadap Indonesia?”, demikian pertanyaan-pertanyaan yang masuk ke akun Twitter, WhatsApp, dan pesan pendek di telepon genggam saya.

Atas pertanyaan itu saya menjawab, “Tak ada konsekuensi apapun. Pengadilan Rakyat di Den Haag itu hanya dagelan, bukan pengadilan resmi, hanya lucu-lucuan saja”.  Sebab yang dikatakan sebagai Pengadilan Rakyat Belanda oleh berita itu adalah IPP, Sebuah tim yang dibuat oleh aktivis-aktivis yang bergerak di bidang perlindungan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia dan Belanda.

Tugas IPT tersebut, taroklah mengadili kesalahan pemerintah Indonesia pada apa yang kita kenal sebagai peristiwa G30 S/PKI. Karena IPT bukan lembaga peradilan resmi, melainkan hanya sebuah tim yang dibentuk oleh orang atau lembaga yang sama sekali tidak berwenang, maka keputusannya dapat juga dianggap sebagai keputusan lelucon.

Artinya, kita pun yang kebetulan sedang minum kopi di jalanan bisa juga membentuk majelis hakim lucu-lucuan untuk membuat pengadilan dan membuat putusan yang sebaliknya. Tetapi Putusan IPT malpun majelis hakim lucu-lucuan yang bisa kita buat itu sama tidak mengikatnya. Musababnya, pengadilan yang dibentuk secara swasta seperti itu tidak mempunyai kewenangan apa pun secara yuridis untuk memutus kasus.

Pengadilan seperti IPT itu bagi orang yang pernah menjadi mahasiswa Fakultas Hukum pada tahun 1970-80-an sama belaka dengan peradilan semu, yakni kuliah ekstrakurikuler dalam format sandiwara sidang pengadilan untuk melatih mahasiswa agar terampil dalam beracara di pengadilan. Waktu masih mahasiswa dulu, saya pernah manggung dua kali dalam kelas peradilan semu, ya pertarta menjadi jaksa penu tytumunidan yang kedua menjadi hakim. Tentu saja sidan nya sambil cengengesan seba memang dimaksudkan hany untuk main-main.

Apakah dengan demikian dang-sidang IPT itu tidak serius atau bahkan har? Aktivis-aktivis yang membentuknya tent serius membuat itu sebagai ba gian dari perjuangannya melindungi HAM dan menegakkan demokrasi. Tetapi produknya alah yang hanya lucu-lucuan karena tidak mengikat apa-apa secara hukum. Majelis IPT juga bisa dianggap “Liar” dalam arti tidak ada jalur hukum pemben tukan maupun daya ikat keputusannya yang memutus seolah-olah sebagai pengadilan.

Saya ingin memberitahu kepada orang awam yang mung Idin bisa tertipu karena keamanannya di bidang hukum bahwa pengadilan pidana, berdasarkan lingkup kompetensinya, hanya ada dua.

Yang pertama adalah pengadilan pidana di masing-masing negara yang bernaung di bawah Mahkamah Agung, dan yang kedua adalah pengadilan pidana internasional yang berada di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Peradilan pidana internasional adalah International Criminal Court (ICC), bukan IPT.

Apakah berdasarkan putusan majelis IPT itu para pejuang HAM dan demokrasi tidak bisa membawa kasus 1965 di Indonesia ke PBB? Apakah mereka tidak bisa meminta pemerintah Indonesia meminta maaf de memberi ganti rugi? Jawaban nya, tidak ada hukum yang melarang orang atau siapa pun  menyampaikan usul kepada PBI Tapi Tidak harus IPT, komunitas Twitter juga bisa. Menyampaikan usulkan boleh saja.

Begitu pula, siapa pun bole! meminta kepada pemerintah Indonesia untuk meminta maa kepada korban tahun 1965 dar memberi kompensasi kepada yang masih hidup. Dulu kita juga sudah pernah membuat UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dengan maksud yang sama untuk semua ka sus pelanggaran HAM di masa lalu. UU tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi era Jimly Asshiddiqie dengan aratan supaya diperbaiki agar jelas cantolan konstitusionalnya untuk kemudian dapat diundangkan lagi.

Saya (dan banyak dari kita) setuju agar peristiwa pahit 1965 Dijernihkan untuk kemudian dilakukan rekonsiliasi supaya kita rukun bersatu sebagai Dangsa. Tetapi, sebagai anak mangsa juga, saya termasuk ang tidak setuju kalau masalah tersebut disuruh goreng kepada pihak luar negeri.

Tuntutan meminta maaf un bisa juga diajukan tetapi arus jelas, yang meminta maaf siapa dan yang dimintai maaf itu siapa. Pemerintah bersama rakyat-pun bisa mengabulkan atau menolak usul permintaan maaf itu, kalau atas nama negara.

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 23 Juli 2016.

 

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Masih ada saja orang yang mempertentangkan antara tugas bernegara dan tugas beragama. Mereka menganggap melaksanakan tugas agama (ibadah) tidak mempunyai kaitan dengan melaksanakan tugas negara. Di kalangan kaum muslimin di Indonesia, pendapat yang seperti ini ada juga. Padahal, dari sudut Islam, melaksanakan tugas negara itu ya melaksanakan tugas agama. Pandangan ini bisa dilihat dari misi kenabian.

Ketika Nabi Muhammad mendapat wahyu untuk mengajak umat manusia, utamanya kaum Qurais, menyembah Tuhan Yang Maha Esa atau mengajak kembali ke tauhid, perintah ikutannya adalah melawan kezaliman dan membongkar struktur sosial yang tidak berkeadilan.

Nabi pun melawan tokoh-tokoh Qurais yang korup dan tidak adil seperti Abu Jahal, Abu Lahab.

Nabi juga diperintahkan oleh Allah untuk mengajak umatnya berjuang mengentaskan masyarakat kemiskinan dan meng. angkat kaum lemah-papa (duafa). Di dalam ayat-ayat Alquran yang turun pada periode Mekkah (sebelum Nabi hijrah ke Madinah), perintah membangun kesejahteraan sosial itu sangat tegas. Di dalam Surat Al-Maun, misalnya, disebutkan bahwa orang yang mengabaikan anak yatim dan tidak peduli kepada orang miskin adalah pendusta (bohong dan berpura-pura saja) dalam beragama.

Bahkan di surat yang sama dikatakan bahwa orang yang sa lat itu akan diganjar dengan neraka (way) jika lalai dalam salatnya. Lalai dalam salat bukan hanya berarti malas melakukan ritualnya sesuai dengan rentang waktu-waktunya, melainkan juga lalai terhadap konsekuensi sosial dari salat. Konsekuensi sikap sosial dari salatiga disimbol kan oleh gerakan terakhir salat, yakni mengucapkan selamat sambil menoleh kekanan dan kekiri.

Salat dimulai dengan takbir (Allahu Akbar yang berati hanya beriman dan akan menyembah Allah Yang Maha Esa’ (vertikal). Salat diakhiri dengan salam sambil menoleh ke kanan dan ke kiri yang berarti setelah salat akan memperhatikan keadaan dikanan dan dikiri(horizontal), yakni memperhatikan kehidupan sekeliling dan siap membangun kesejahteraan masyarakat. Itulah tugas dan kewajiban dalam beragama.

Tugas dan kewajiban yang bersumber dari agama tersebut sama belaka dengan tugas dan kewajiban bernegara berdasar konstitusi di Indonesia. Menurut Alinea 1 Pembukaan UUD 1945 Indonesia memerdekakan diri dari penjajahan karena penjajahan tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Selanjutnya menurut Alinea IV Pembukaan UUD 1945 salah satu tujuan negara kita adalah memajukan kesejahteraan umum.

Tujuan negara tentang pembangunan kesejahteraan sosial itu diperkuat lagi di dalam sila kelima dari dasar negara (Pancasila), yakni “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Bukan hanya itu. Didalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dicantumkan juga citu bab tersendiri tentang tÆ° gas membangun kesejahteraan masyarakat, yalini Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial.

Pada Pasal 33 yang merupakan bagian dari Bab XIV tersebut ditekankan bahwa sumber daya alam kita dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Selanjutnya pada Pasal 34 ditegaskan juga bahwa fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara dan ne gara harus membangun sistem jaminan sosial dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

Dengan demikian secara mendasar ada perhimpitan dalam arti kesamaan kewajiban yang dibebankan kepada kita oleh agama dan oleh negara, yakni membangun kesejahteraan umum dan keadilan sosial, mengangkat kaum duafa dari keterpurukan. Jadi beragama adalah bernegara, melaksanakan kewajiban agama adalah melaksanakan kewajiban ne gara. Isi Surat Al-Maun dalam Alquran adalah sama dengan isi Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 yang mewajibkan kita menolong anak yatim (telantar) dan memedulikan orang-orang miskin.

Karena ada perhimpitan misi dan tugas yang seperti itu, maka ada yang berpendapat bahwa membayar pajak sebagai kewajiban terhadap negara itu sama wajibnya dengan membayar zakat sebagai kewajiban dalam agama. Bahkan ada yang berpendapat lebih jauh dari itu, membayar pajak itu dapat dijadikan sebagai ganti pembayaran zakat. Kita tidak harus sependapat dengan hal tersebut, tetapi pesan dasar yang bisa disepakati adalah: membela kaum lemah-papa (duafa), anak yatim terlantar, dan fakir miskin merupakan kewajiban atau tugas sucikita di dalam beragama dan bernegara.

Maka itu, siapa pun kita akan menjadi pendusta tau berpura-pura saja dalam beragama kalau kita tidak mau menegakkan keadilan dan tidak ikut membangun struktur sosial dan politik yang adil. Orang yang tak peduli dan tak berani menegakkan keadilan bagi kaum duafa juga dapat dianggap tidak mempunyai nasionalisme atau sikap pembelaan terhadap eksistensi bangsa dan negaranya.

Mengapa? Karena kemiskinan bisa menimbulkan kekufuran atau suka melanggar karena terpaksa dan didesak oleh kebutuhan. Mengapa Pula? Karena ketidakadilan menjadi bibit runtuhnya sebuah negara. Saya sering mengatakan, basis nasionalisme kita ke depan tidak dilakukan dengan perang yang didukung peralatan perang fisik melawan agresi negara lain. Basis nasionalisme kita ke depan adalah penegakan hukum dan keadilan. Kalau mau membela negara, tegakkanlah hukum dan keadilan. Kalau kita tak mau menegakkan hukum dan keadilan untuk mengangkat derajat kemanusiaan kaum lemah, bisa diartikan rasa nasionalisme kita tipis karena membiarkan terjadinya ancaman bagi eksistensi negara dan bangsa.

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 16 Juli 2016.

 

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

“Apakah tidak ada segi-segi positif dan titik te L rang yang bisa mendorong Indonesia menjadi lebih baik dan selamat dari perusakan-perusakan yang menderanya? Analisis Bapak tadi membuat dada sesak dan mencemaskan. Apa yang bisa kita lakukan?”. Demikian seorang dosen bertanya kepada saya ketika Selasa (28/6) pekan lalu saya memberi studium generale di Universitas Islam Kadiri (Uniska), Kediri.

Di forum ilmiah itu saya memang mengupas problem masa depan Indonesia yang tampaknya dirongrong oleh buruknya penegakan hukum.

Saya katakan, berbagai persoalan yang sekarang melilit bangsa ini akan selesai lebih dari separuhnya jika hukum ditegakkan dengan benar.

Kerusakan di bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan sebagainya yang terjadi sekarang ini disebabkan oleh terjadinya pengangkangan atas hukum oleh para koruptor, entah itu pejabat, entah itu swasta. Tiga pekan lalu, melalui Kolom di koran ini, saya menulis bahwa hukum kita banyak dikuasai oleh cukong-cukong sehingga meminjam istilah Komisioner KPK Laode M Syarif, muncullah gejala grand corruption

Cukong-cukong membeli hukum, bukan hanya saat menghadapi kasus konkret ketika terlibat perkara di pengadilan, melainkan juga sudah membeli hukum ketika hukum akan dibuat sebagai peraturan yang abstrak. Kita bisa dengan mudah menunjuk kasus, politisi (legislator) dihukum atau ditangkap tangan oleh KPK, karena menjual hukum yang akan dimasukkan ke dalam undang-undang (UU) atau peraturan daerah (perda).

Jadi, isi UU maupun perda bisa dibeli oleh cukong. Artinya, selain mengangkangi proses peradilan jika menghadapi kasus konkret (in concreto) di pengadilan melalui penyuapan kepada penegak hukum, cukong juga membeli isi peraturan perundang-undangan yang bersifat pengaturan secara abstrak (regeling in abstracto ) kepada legislator. Cukong adalah korporasi atau orang yang punya modal, tak terbatas pada etnis atau suku tertentu.

Karena jual-beli hukum dengan cukong itu maka belakangan ini banyak hakim maupun panitera, pejabat maupun politisi, yang ditangkap dan digelandang ke pengadilan oleh KPK. Dulu saya pernah mengantarkan politikus AM Fatwa menghadap ketua Mahkamah Agung untuk melaporkan kasus perampasan tanah warga Betawi secara sewenang-wenang oleh pengembang, Sang warga Betawi yang menempati dan mempunyai tanah yang diwarisi secara turun-temurun dari kakeknya tiba-tiba digusur oleh pengembang.

Ketika melapor kepada yang berwajib, eh, malah sang warga Betawi itu yang diajukan ke pengadilan dengan dakwaan telah menyerobot tanah orang Dia pun sudah menunjukkan bukti-bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan selama bertahun-tahun, tetapi ternyata pihak pengembang sudah memiliki sertifikat. Di negara ini banyak mafia tanah yang melibatkan kongkalikong antara cukong dan pejabat pejabat.

Sebenarnya peran cukong dalam korupsi sudah lama berlangsung. Sebuah grup diskusi dunia maya yang melibatkan kelirumolog Jaya Suprana, Salim Said, HS Dillon, dan lain-lain pekan lalu mendiskusikan isu “Ancaman Trio Cukong, Pejabat, dar Politisi” yang dulu pernah dilontarkan oleh Wilopo.

Wilopo yang pada masa demokrasi liberal pernah menjadi perdana menteri dan pada masa Orde Baru menjadi ketua Dewan Pertimbangan Agung. pernah memperingatkan tentang bahaya tiga begundal korupsi dan perusak negara. “Awas bahaya! Indonesia terancam Trio Persekongkolan, yaitu antara cukong, pejabat, dan petualangan politik,” teriak Wilopo Saat menjadi anggota Komite Empat.

Komite Empat adalah komisi Pemberantasan Korupsi yang dibentuk oleh Presiden Soeharto pada 1970. Ternyata sampai era reformasi, Trio Jahat ini bukannya berkurang melainkan semakin menancapkan kukunya dalam jagat raya penegakan hukum di Indonesia. Sekarang ini ada cukong membeli hukum ada pejabat menjual hukum, dan ada politisi menjadi pedagang hukum. Di sana-sini mulai ada juga orang atau orang LSM yang katanya antikorupsi dan pro demokrasi dan supremasi hukum, tetapi mulai ikut bermain dalam kubangan kumuh pemberantasan korupsi.

Ketika hukum sudah dikangkangi seperti itu maka semua upaya perbaikan menjadi macet, kesejahteraan rakyat semakin jauh panggang dari api, kemiskinan merajalela, kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin menganga. Sungguh sangat mencemaskan bagi masa depan bangsa dan negara.

Kembali ke pertanyaan yang diajukan oleh dosen Uniska tadi. Adakah segi segi positif yang bisa membuat kita optimistis untuk bisa memperbaiki keadaan yang membuat kita resah ini? Jawabannya, “ada asal mau”. Kita sangat kaya dengan sumber daya alam dan mempunyai bonus demografis yang besar.

McKinsey menyebut potensi Indonesia untuk menjadi negara maju sangat besar. Pada 2012, Indonesia Menempati Peringkat ke-16 kekuatan ekonomi dunia dan posisi ini akan naik ke peringkat 7 pada 2030. Begitu besarnya kekayaan sumber daya alam dan bonus demografi kita, sehingga dengan dikelola secara biasa-biasa saja Indonesia akan tetap melesat ke posisi ketujuh.

Ada modal lain yang juga bagus, yakni kebebasan pers yang semakin maju dan bisa dibangun untuk ikut mengarahkan dan mengawasi jalannya pemerintahan dan pembangunan. Bukan pers yang berpolitik secara sempit dalam permainan jangka pendek. Dukungan masyarakat yang menggebu-gebu terhadap upaya pemberantasan korupsi dan penegakan hukum juga menjadi modal yang baik.

Kalaulah kita meyakini bahwa penegakan hukum dan pemberantasan korupsi memerlukan pemimpin yang kuat maka kita juga mempunyainya. Presiden Jokowi terbilang bersih, istri dan anak-anaknya tidak ikut bermain dalam bisnis dan politik. Presiden Jokowi tidak terbebani dan tidak tersandera untuk memimpin upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Jadi, ada harapan asalkan kita mau.

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 9 Juli 2016.

 

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Dunia media sosial terus meributkan isu atau kasus pembelian Rumah Sakit Sumber Waras (RSSS) oleh Pemda DKI Jakarta dengan lakon utama Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Banyak tudingan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah kehilangan kepercayaan publik karena memihak, menyikapi sesuatu yang seharusnya hanya bisa diputus oleh pengadilan sehingga independensinya dipertanyakan. Itulah tudingannya.

Kata mereka, pernyataan KPK bahwa tidak ditemukan unsur pelanggaran hukum dalam kasus pembelian RSSS itu tidaklah wajar. Pernyataan itu bertentangan dengan fakta banyaknya peraturan yang dilanggar dalam proses pembelian RSSS itu. Melanggar prosedur resmi itu adalah pelanggaran hukum. Begitu pun pernyataan komisioner KPK bahwa tidak ada niat jahat (mens rea) dalam kasus itu, dinilai sebagai hal yang mengada-ada.

KPK dituding mendapat te kanan politik dan takut, punya motif melindungi, motif perkoncoan, dan sebagainya.

Kata para pengkritik, dua alat bukti untuk membawa kasus itu ke pengadilan sudah ada sehingga urusan niat jahat dan pelanggaran hukum seharusnya hanya diputus oleh pengadilan, bukan dipotong oleh KPK. Apalagi Hasil audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dilakukan atas permintaan KPK sendiri sudah menyatakan negara dirugikan sekitar Rp 191 miliar dalam pembelian tersebut.

Sebaliknya, KPK bertahan pada sikapnya untuk “belum” meningkatkan kasus itu ke tingkat penyidikan dengan alasan pihaknya tidak mau gegabah dan sewenang-wenang. Sebelum ditemukan dua alat bukti yang signifikan, pihaknya tidak akan meningkatkan kasus itu ke penyidikan. Dari kalangan masyarakat pun banyak yang menerima alasan KPK.

Kedua pihak sama-sama berpegang teguh pada alasan masing-masing, sementara akal sehat publik (public common sense) mempunyai arus penilaiannya sendiri. Public common sense biasanya lebih sejalan dengan bisikan hati nurani, tinggal pihak-pihaknya mau jujur atau tidak. Yang bersikap tidak jujur, entah KPK, entah penyerangnya pasti akan ditusuk-tusuk oleh suara terdalam lubuk hatinya sendiri.

Kita yang tidak mengurus langsung perkara tertentu tidak bisa mengatakan yang mana yang benar dari keduanya. Tetapi Melihat kontroversinya, rasanya seruan agar kita bisa berhukum secara waras, bersyukur secara benar, harus diteriakkan keras-keras dalam konteks ini.

Kita harus berpijak pada prinsip, KPK tidak boleh dipaksa-paksa untuk menjadikan seseorang sebagai tersangka jika memang belum memiliki, minimal, dua alat bukti. Mungkin benar kata orang bahwa kalangan yang mendesak KPK untuk meningkatkan kasus itu ke penyidikan adalah lawan-lawan politik Ahok yang membenci Ahok, terutama dalam konteks pemilihan gubernur (pilgub) mendatang.

Dalam bahasa agama, prinsip tidak boleh mendesak-desak KPK itu bisa dinyatakan dengan kalimat, “Janganlah kebencianmu terhadap seseorang menyebabkan kamu berlaku tidak adil.” Janganlah kebencianmu terhadap Ahok mendorong kamu memaksa-maksa KPK agar Ahok diadili melalui cara berhukum secara tidak waras.

Tetapi harus diingat, dalil yang bersumber dari agama itu bisa dibalik juga dengan metode mafhum mukhalafah, sehingga bunyinya menjadi, “Janganlah kesenangan atau perkoncoanmu terhadap seseorang menyebabkan kamu berlaku tidak adil.” Janganlah perkoncoan dan kesenanganmu terhadap Ahok menyebabkan kamu membelokkan atau menyembunyikan kasus dari proses hukum yang waras. Hukum adalah hukum yang mempunyai parameter-parameternya sendiri.

Seruan untuk berhukum secara waras, tidak memaksa-maksa, sekaligus tidak menyembunyikan kebenaran hukum, harus diteriakkan karena warna politik ikut membayangi kasus RSSS ini. Semua harus bersikap prinsipiil, hukum harus ditegakkan tanpa kepentingan-kepentingan dan tekanan-tekanan politik. Yang melanggar prinsip ini bisa disebut sebagai pengkhianat terhadap eksistensi negara.

Kalau kita bermain-main dengan penegakan hukum, misalnya senjalankan atau membiarkan terjadinya politisasi hukum, menjual belikan hukum melalui penyuapan, menjalankan hukum karena pengaruh permusuhan atau pertemanan maka akibatnya eksistensi negaralah yang dipertaruhkan. Negara bisa hancur jika hukum ditegakkan dengan cara seperti itu.

Itulah sebabnya, siapa pun yang menegakkan hukumatau menggalang dilakukannya tindakan hukum dengan tidak waras dapat digolongkan sebagai pengkhianat karena mereka sedang mendorong runtuhnya negara. Muhammad Rasulullah pernah mengatakan, hancurnya negara-negara dan bangsa-bangsa yang besar dan kuat disebabkan oleh terjadinya ketidakadilan, pengistimewaan hukum kepada orang besar, dan penghukuman sewenang-wenang terhadap orang-orang kecil.

Hadis Nabi itu berlaku universal, kapan pun dan di marra pun, bukan spesifik menjadi dalil bagi agama Islamsaja, dan karenanya berlaku juga untuk Indonesia. Negara bisa hancur berantakan jika penegakan hukum dilakukan secara main-main dan dengan cara tidakwa ras. Logikanya sederhana saia. Saya sudah pernah menulis di rubrik kolom ini beberapa waktu yang lalu tentang ancaman empat dis. Jika hukum sudah melenceng dari tujuannya untuk menegakkan keadilan, berarti terjadi disorientasi.

Jika disorientasi selalu terjadi maka akan muncul distrust (ketidakpercayaan) publik terhadap penegak hukum bahkan terhadap negara. Jika distrust selalu dipelihara maka akan muncul disobedience (pembang kangan) masyarakat terhadap institusi-institusi negara. Jika disobedience berkepanjangan maka selanjutnya adalah disintegrasi alias kehancuran negara. Mengapa? .

Sebab jika sudah tidak percaya pada penegak hukum maka setelah bersikap disobedience,’ masyarakat akan mencari jalan sendiri melalui operasi caesar yang sangat berbahaya bagi kelangsungan negara. Ini semua masih sangat bisa dihindari dan diantisipasi dari sekarang dengan cara meluruskan langkah untuk berhukum secara waras. Hukum harus diisolasi sejauh mungkin dari permainan-permainan politik, permainan uang, kebencian atau kesukaan terhadap seseorang kecuali kalau kita memang ingin menghancurkan negara dengan sadar.

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 25 Juni 2016.

 

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Jagat hukum Indonesia dikisruhkan lagi oleh berita pembatalan atas tidak kurang dari 3.143 peraturan daerah (perda) oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Pasalnya, bisakah Mendagri melakukan pembatalan secara sepihak terhadap perda? Bukankah Menurut konstitusi pengujian legalitas dan pembatalan perda yang telah berlaku secara sah itu hanya bisa dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA)?

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) merupakan kementerian besar yang pasti mempunyai biro hukum yang kuat untuk memagari Mendagri agar tidak sampai membuat kebijakan yang bertentangan dengan hukum. Pencabutan 3.143 perda itu tentu sudah dipelajari secara saksama dan diyakini oleh tim hukum Kemendagri sebagai langkah yang tidak melanggar hukum. Betulkah?

Kalau kita melihat masalah itu dari rezim hukum pemerintahan daerah, Mendagri memang mempunyai kewenangan untuk membatalkan perda sesuai dengan ketentuan Pasal 251 UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Tapi jika dilihat dari rezim hukum perundang-undangan, dasar hukum yang dipergunakan Mendagri untuk melakukan pembatalan itu adalah salah Secara hukum. Tepatnya isi UU No 23 Tahun 2014 itu bertentangan dengan UU lain, yakni UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang bersumber langsung dari UUD Negara Republik Indonesia (NRI) 1945.

Menurut Pasal 24A UUD NRI 1945, pengujian legalitas peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dilakukan oleh MA. Adapun pengujian konstitusionalitas Ut terhadap UUD dilakukan Mahkamah Konstitusi (MK). Ketentuan yang demikian sudah dituangkan dengan tepat didalam Pasal 9 UU No 12 Tahun 2011 yang menyatakan dugaan pertentangan UU dengan UUD diperiksa dan diputus MK, sedangkan dugaan pelanggaran peraturan perundang-undang an di bawah UU terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi diperiksa dan diputus oleh MA.

Dengan demikian lembaga eksekutif Presiden atau kementerian, sebenarnya tidak bisa melakukan pembatalan terhadap perda secara sepihak dengan alasan apa pun. Pembatalan atau pencabutan perda harus dilakukan menurut rezim hukum perundang-undangan ini. Pertanyaan yang kemudian muncul, bagaimana posisi UBE No 23 Tahun 2014 tentang Pemda yang melalui Pasal 251, memberi kewenangan kepada Mendagri untuk mencabut perda? Jawabannya Simpel Aja. Yang lebih kuat untuk diikuti adalah ketentuan UU No 12 Tahun 2011 yang menentukan, pengujian legalitas atas perda hanya bisa dilakukan oleh MA melalui perkara judicial review.

UU No 12 Tahun 2011 ini lebih kuat karena ia merupakan derivasi langsung dari ketentuan Pasal 24A UUD NRI 1945. Seharusnya pembentuk UU No 23 Tahun 2014 tunduk pada ketentuan konstitusi bahwa pembatalan atau pencabutan perda karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi hanya bisa dilakukan melalui judicial review oleh MA, bukan oleh menteri atau gubernur. Pembentuk UU tidak boleh mencampur aduk antara kewenangan yudikatif dan pengawasan administratif.

UU Pemerintahan Daerah yang sebelumnya, yakni UU No 32 Tahun 2004 telah mengatur masalah tersebut dengan cukup baik meskipun tidak juga sepenuhnya tepat. Menurut Pasal 145 UU N0 32 Tahun 2004 setiap perda yang sudah diberlakukan harus disampaikan kepada pemerintah (pusat) paling lama 7 hari sejak ditetapkan oleh legislator daerah Dalam waktu 60 hari sejak disampaikan oleh legislator daerah, pemerintah pusat bisa membatalkannya. Jika dalam kurun waktu tersebut perda tidak dibatalkan oleh pemerintah pusat, maka ia menjadi berlaku sepenuhnya.

Ketentuan yang diatur di dalam UU No 32 Tahun 2004 itu dapat dinilai lebih baik karena lebih memberi kepastian hukum terhadap perda. Sebaliknya ketentuan berdasar UU No 23 Tahun 20014 yang tidak memberi batasan waktu, kapan paling lama pemerintah pusat atau jenjang pemerintahan yang lebih tinggi dibolehkan membatalkan perda, dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Pembatalan itu bisa dilakukan kapan saja sewaktu-waktu pusat mau melakukannya, termasuk karena ada insiden yang sebenarnya lebih merupakan soal teknis pemerintahan

Maka itu sangatlah tepat apabila pembatalan perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tetaplah hanya dilakukan oleh lembaga yudisial melalui judicial review di MA. Jika diperlukan pencabutan perda di luar judicial review, ada jalan lain yang bukan tindakan sepihak Mendagri, yakni mekanisme legislative review. Artinya pembatalan itu dilakukan oleh legislatif daerah melalui proses legislasi oleh kepala daerah dan DPRD dengan mencabut atau menggantinya dengan perda baru yang setara.

Prosedur yang demikian sama dengan prosedur executive review terhadap peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah seperti peraturan pemerintah,perpres, peraturan kepala daerah yang semuanya bisa dicabut sendiri oleh lembaga yang membuatnya. Dengan demikian untuk mencabut penda yang sudah berlaku secara sah hanya tersedia dua pintu, yaitu judicial review di MA dan legislative review di pemerintahan daerah sendiri, tidak boleh dilakukan secara sepihak oleh pemerintah yang di atasnya.

Penegakan negara hukum menuntut kecermatan dan kesabaran. Kalau misalnya dengan niat baik pemerintah yang sekarang melakukan pembatalan atas perda secara sepihak tanpa melalui judicial review atau legislative review, bisa jadi suatu saat pemerintah yang akan datang melakukan juga pembatalan perda secara sepihak bukan dengan niat baik, melainkan dengan cara se wenang-wenang. Alasannya, pemerintah sebelumnya melakukan hal itu. Kalau itu yang terjadi, rusak lah negara hukum kita.

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 18 Juni 2016.

 

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Pada umumnya kita baru mendengar istilah grand corruption setelah Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarief melemparkannya kepada publik.

Ketika KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap M Sanusi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta, Laode menyebut bahwa penangkaptanganan Sanusi adalah bagian awal dari tindakan dalam mengungkap sebuah grand corruption. Tidak ada definisi atau artisti pulatif-yuridis tentang istilah grand corruption itu dalam ilmu hukum.

Tetapi ketika Laode memberikan ilustrasi atas kasus yang dikenal sebagai tersebut, kita menjadi agak paham apa yang dimaksudkannya.

Laode mengatakan bahwa kasus reklamasi itu berkaitan dengan upaya penyuapan pengusaha kepada anggota DPRD agar dibuat sebuah rancangan peraturan daerah (raperda) yang isinya sesuai dengan kehendak pengusaha atau perusahaan yang menyuap.

Gambarannya begini. Satu atau beberapa perusahaan ingin membuat proyek reklamasi dan memerlukan per aturan daerah (perda) yang selain bisa meloloskari proyek, juga bisa menetapkan biaya yang murah. Perusahaan-perusahaan tersebut kekoudian melakukan langkah-langkah dengan menyuappejabat dae rah atau anggota DPRD agar perda segera dikeluarkan de ngan isi agar kewajiban pembayaran kontribusi ditekan sekecil mungkin sesuai dengan kehendak para pengusa ha tersebut.

Kalau misalnya tawaran pertama kontribusi pengusaha adalah 15%, para pengusaha itu berusaha menurunkannya menjadi hanya 5%.

Penurunan menjadi situ diminta agar, melalui anggota anggota DPRD, dimasukkan ke dalam perda dan anggota-anggota DPRD tersebut bisa menerima uang sampai miliaran rupiah sebagai imbalan. Ini disebut grand corruption atau korupsi hebat, korupsi luar biasa karena akibatnya bisa sangat jauh.

Grand corruption dalam konteks ini adalah korupsi dalam pembuatan hukum yakni pembuatan perda agar perusahaan bisa mengambil keuntungan secara terus-menerus dan rakyat dirugikan secara terus-menerus. Dengan korupsi dalam pembuatan hukum yang seperti itu, negara atau pemerintahan akan selamanya tersandera oleh pengusaha pengusaha yang menjalankan perusahaannya dengan mengisap darah atau hak-hak rakyat.

Kalau sebuah raperda berhasil dilahirkan sesuai dengan pesanan pengusaha alias cukong maka korupsinya bukan hanya terjadi sekali, melainkan akan terjadi secara terus-menerus selama objek reklamasi masih ada. Jadi, negara atau pemerintah dikangkangi dan dikendalikan oleh cukong, Relengkapan sebagai alat untuk mensejahterakan rakyat, melainkan dikangkangi untuk mensejahterakan pengusaha melalui penyuapan terhadap pejabat dan anggota DPRD.

Grand corruption dalam pembentukan hukum bukan hanya terjadi dalam kasus Raperda Reklamasi di DKI Jakarta. Dalam perbuatan UU di tingkat nasional pun banyak terjadi jual-beli isi UU. Banyak anggota DPR yang sekarang mendekam di penjara karena melakukan transaksi atas isi UU tertentu. Caranya, para anggota DPR atau tokoh parpol yang mempunyai kursi di DPR atau pejabat menawarkan masuknya anggaran proyek tertentu di dalam UU APBN dengan syarat tertentu pula.

Syaratnya, anggota DPR atau pejabat tersebut mendapat fee sekian persen atau meminta agar perusahaan yang ditentukan oleh sang anggota DPR atau Pejabat yang bersangkutan yang nantinya menggarap proyek tersebut. Ada juga grand corruption yang berbentuk jual-beli kebijakan antara cukong dan penyelenggara administrasi pemerintahan (eksekutif). Ini sungguh sangat mengerikan bagi kehidupan bernegara kita.

Pejabat-pejabat yang sudah disuap seperti itu biasanya menjadi seperti kerbau yang hidungnya dicucuki sehingga selalu patuh kepada para cukong yang menyuapnya. Mereka tak lagi peduli pada tugas yang mewajibkannya untuk membangun kesejahteraan rakyat sesuai perintah konstitusi. Mereka menjadi pejabat negara penghisap darah rakyat sehingga negara yang diurusnya bisa disebut sebagai negara drakula (vampire state).

Grand corruption banyak terjadi juga di lembaga yudikatif, terbukti dari banyaknya hakim yang dijebloskan ke penjara karena penyuapan dalam menangani perkara di pengadilan. Yang lebih mengerikan, kaláu ada hakim-hakim dipelihara dan disandera oleh cukong seperti kambing congek sehingga dijadikan langganan untuk memutus perkara berdasar pesanan.

Jadi grand corruption itu sangat mengerikan karena ia punya multiplier effect yang tidak selesai hanya pada satu korupsi. Kalau seorang melakukan korupsi dalam membangun gedung mewah, misalnya, maka korupsi selesai dalam sekali perbuatan. Tetapi kalau korupsi dalam pembuatan hukum atau kebijakan, akibatnya akan berkelanjutan. Negara bisa menjadi negara drakula kalau sudah begitu.

Mengerikannya, grand corruption adalah munculnya rasa tidak aman bagi semuanya. Rakyat pasti tidak aman karena haknya dirampas secara terus menerus. Pejabat yang menerima suap pun merasa tidak aman dan harus mengamankan diri kalau nanti habis masa jabatannya sehingga selalu berusaha mencari penyelamatan diri dengan cara korupsi lagi. Penyuap pun bisa merasa tidak aman karena bisa saja tiba-tiba ada penggantian pejabat yang berkolusi dengan pengusaha lain. Penyuap yang demikian merasa harus selalu berjaga-jaga dengan cara-cara korup. misalnya, melalui ijon pejabat baru dengan suap juga.

Jika rangkaian grand corruption tidak diputus, jika produk hukum dalam bentuk UU, perda, dan kebijakan selalu bisa dipesan dengan harga tertentu, jika putusan pengadilan sudah bisa diatur melalui mafia maka yang terjadi adalah terjadinya kezaliman yang berkepanjangan dan saling sandera di antara para koruptor. Dan kalau itu yang terjadi maka negara hanya menunggu kehancurannya. Tak ada hal lain yang menunggu di ujung sana kecuali kehancuran. Maka itu, langkah-langkah serius harus dilakukan sejak sekarang.

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 11 Juni 2016.