Tag Archive for: FH UII

Alhamdulillah, Program Studi Hukum Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indoneisa (FH UII) berhasil mendapatkan Akreditasi Unggul berdasarkan Keputusan BAN PT No. SK: 8840/SK/BAN-PT/AK-ISK/S/VI/2021. Semoga Allah Swt senantiasa memberi kemudahan dan menjaga kami dalam menjalankan amanah yang mulia ini. Aamiin. 

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) menerima kunjungan akademik dari Universitas Pekalongan (Unikal). Kunjungan akademik ini diselenggarakan di Gedung Moh. Yamin (Gedung FH UII), Selasa (08/06). Unikal mengirimkan delegasi yang berjumlah 5 orang, terdiri dari Dekan Fakultas Hukum Unikal, Dr. Nurul Huda, S.H., M.Hum., Wakil Dekan 1 Fakultas Hukum Unikal, Loso, S.H., M.H., Ketua Unit Penjaminan Mutu Fakultas Hukum Unikal, Sri pujiningsih, S.H., M.H., dan dosen Fakultas Hukum Unikal, Agung Aditya, S.H., M.Kn. dan Aditya Migi P, S.H., M.H.

Kunjungan ini disambut langsung oleh Dekan FH UII, Dr. Abdul Jamil, S.H., M.H didampingi Sekretaris Jurusan FH UII, Bagya Agung Prabowo, S.H., M.Hum, Ph.D, Sekretaris Program Sarjana, Internasional Program, Dodik Setiawan Nur Heriyanto, SH., M.H, LL.M., Ph.D, Kepala Pusdiklat FH UII, Eko Rial Nugroho, S.H., M.H., Kepala Bidang Pemagangan Pusdiklat, Rizky Ramadhan Baried, S.H., M.H., Kepala Bidang Pelatihan Pusdiklat Ibu Indah Parmitasari, S.H., M.H., Kepala Bidang Pendidikan Pusdiklat Ibu Titie Rachmiati Poetri, S.H., M.H., dan Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) FH UII: Dr. Bambang Sutiyoso, S.H., M.Hum selaku Kepala LKBH, dan Bapak/Ibu Kepala Bidang LKBH.

Abdul Jamil menyambut rombongan Unikal dengan antusias. Ia memperkenalkan kepada rombongan Unikal sekilas tentang FH UII, mulai dari kurikulum, lab yang dimiliki, fasilitas-fasilitas hingga sederet prestasi-prestasi yang telah dicapai sampai saat ini. Ia juga mempersilakan kepada para peserta rombongan Unikal untuk bertanya kepada Tim FH UII yang hadir pada saat kunjungan berlangsung.

Menurut, Dekan FH Unikal, Nurul Huda kunjungan ini untuk membahas kurikulum agar dapat meningkatkan kualitas dan mutu. “Tujuan kami kesini ingin belajar banyak dari FH UII yang sudah lebih dahulu berkembang. FH UII juga sudah menerapkan Kampus Merdeka dan kita sedang menuju ke proses itu,” ungkap Nurul Huda.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Bidang Pendidikan Pusdiklat Ibu Titie Rachmiati Poetri, SH., M.H., mengungkapkan bahwa FH UII menerapkan sistem yang disebut dengan konversi mata kuliah. Menurutnya konsep ini bertujuan untuk melakukan penghargaan kepada mahasiswa apabila telah mengikuti magang baik di nasional maupun di internasional atau mengikuti kegiatan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM).

Kunjungan akademik ini dilanjutkan dengan sesi tanya jawab, membahas bagaimana sistem kurikulum serta magang mahasiswa di FH UII berlangsung, serta bagaimana cara FH UII mendapatkan berbagai sumber biaya.

Kunjungan akademik diakhiri dengan adanya sesi penyerahan cinderamata dari FH Unikal kepada FH UII, maupun sebaliknya.

Penulis: Ayunita Nur Rohanawati, S.H., M.H.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Administrasi Negara

PEMBAHASAN omnibus law RUU Cipta Kerja kian mem anas di Indonesia. Bidang ketenagakerjaan yang menjadi salah satu pembahasan dalam RUU Cipta Kerja tentu tak lep as dari permasalahan. Pada klaster ketenagakerjaan terdapat degradasi nilai kesejahteraan bagi pekerja di Indonesia, mu atannya tidak lebih baik dari yang diatur dalam regulasi sebe lumnya yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan atau yang lebih dikenal dengan UUK. Problematika tersebut antara lain mengenai Tenaga Kerja Asing (TKA), Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), alih daya (outsourcing), upah, dan sebagainya.

Pemerintah berkeyakinan, pembentukan RUU Cipta Kerja dengan metode omnibus law ini mampu meningkatkan investasi di Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan perekonomian di Indonesia. Hanya, pemerintah tidak boleh melupakan bahwasanya regulasi di Indonesia disusun dengan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila didalamnya yang merupakan dasar falsafah negara (philosofische grondslag). Termasuk dalam bidang ketenagakerjaan Indonesia.

Hubungan Industrial Indonesia yang merupakan ruh ketenagakerjaan di Indonesia sejatinya berjalan berlandaskan Pancasila. Ada nilai-nilai Pancasila yang terkandung dan diimplementasikan dalam regulasi ketenagakerjaan Indonesia.

Sila pertama Pancasila diimplementasikan dalam UUK tentang larangan melakukan PHK ketika pekerja sedang melaksanakan kewajiban agama menurut agama dan keyakinan masing-masing. Sila kedua Pancasila, sebagaimana tergambar dalam UUK bahwasanya kedudukan pekerja laki-laki dan perempuan adalah sama. Tidak ada pembedaan hak bagi pekerja laki-laki dan perempuan. Sila ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia diimplementasikan dalam UUK pada norma larangan PHK bagi pekerja yang memiliki perbedaan suku dengan pemberi kerja.

Selanjutnya, sila keempat Pancasila menggambarkan bahwasanya pembentukan UUK dilakukan lembaga legislatif sebagai wakil rakyat dan mengakomodasi kepentingan pihakpihak dalam hubungan industrial, yaitu pemerintah, pemberi kerja dan pekerja. Jaminan sosial sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945 merupakan perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial di Indonesia lahir dengan latar belakang untuk mampu menyelenggarakan jaminan sosial bagi seluruh akyat Indonesia tanpa terkecuali, termasuk pekerja.

Founding fathers mencitakan Pancasila sebagai penawar atas segala permasalahan bangsa. Namun hal ini tidak diimplementasikan dengan baik dalam omnibus law RUU Cipta Kerja. Dalam bidang ketenagakerjaan terdapat penurunan nilai kesejahteraan bagi pekerja. Hak bekerja bagi warga negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 mengalami penurunan dalam hal penghapusan jenis pekerja tetap menjadi pekerja kontrak untuk keseluruhan. Selain itu, alih daya bukan lagi untuk jenis pekerjaan noncore melainkan diperbolehkan untuk segala jenis pekerjaan.

Ketidakadilan akan terjadi manakala RUU Cipta Kerja disahkan yang memuat penghapusan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) menjadi Upah Minimum Provinsi (UMP) yang notabene besaran UMP lebih kecil dari UMK. Saat ini diberlakukannya UMK tidak menjamin pemberi kerja taat untuk melaksanakannya, lalu bagaimana jika ada penghapusan? Bagaimana bentuk keadilan bagi pekerja yang telah melaksanakan kewajibannya?

Degradasi nilai kesejahteraan bagi pekerja di Indonesia yang sangat terlihat jelas dalam RUU Cipta Kerja menggambarkan adanya pengesampingan nilai-nilai Pancasila sebagaimana yang dicitakan founding fathers. Hubungan Industrial yang terjalin antara pemerintah, pemberi kerja dan pekerja sejatinya harus berjalan secara harmonis. Pemberi kerja dan pekerja dapat mengimpelmentasikannya dengan melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing dengan fair dan baik. Pemerintah dapat mewujudkannya dengan membuat kebijakan yang tidak berat sebelah. Menjadikan Pancasila sebagai pakem utama tanpa meninggalkan satu nilai apapun dari Pancasila. Menjaga bersama Pancasila, demi keutuhan bangsa.

Tulisan ini sudah dimuat dalam rubrik Analisis KR, 3 Oktober 2020.

Penulis: Ayunita Nur Rohanawati, S.H., M.H.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Administrasi Negara

 

INDONESIA — juga sekitar 200 negara lain — menghadapi ancaman global pandemi corona virus disease 2019 (Covid-19). Bukan hanya dampak kesehatan, namun seluruh sektor termasuk perburuhan di Indonesia, terkena dampak. Kebijakan work from home ( WFH) tentu berpengaruh terhadap kondisi jalannya suatu usaha yang juga berdampak pada situasi perburuhan di lapangan. Bahkan kebijakan dan imbauan pemerintah untuk WFH dan social distancing juga tidak serta merta dapat dilaksanakan sepenuhnya. Pada jenis-jenis pekerjaan tertentu yang membutuhkan kontinuitas dalam proses produksinya.

Pandemi menyerang berbagai lini kehidupan. Di Indonesia, roda perekonomian semakin melambat, permintaan akan barang dan jasa di masyarakat tentu berkurang yang berimbas pada menurunnya faktor produksi. Permintaan yang menurun tentu mempengaruhi modal yang pasti angkanya mengalami penurunan secara signifikan. Tenaga kerja sebagai motor penggerak dalam proses produksi keberadaannya semakin lemah. Karena dampak dari pandemi bermuara pada ketidakmampuan pemberi kerja dalam membayar upah dalam kondisi pandemi.

Tanggal 17 Maret 2020 Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia mengeluarkan Surat Edaran Nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19. Pada intinya berisi pencegahan penyebaran dan penanganan Covid-19 di lingkungan kerja
serta pelindungan pengupahan bagi pekerja dalam kondisi pandemi. SE tersebut sejalan dengan Pasal 93 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK) tepatnya Pasal 93. Bahwasanya pengusaha tetap diberi kewajiban membayar upah dalam hal pekerja sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan.
Namun dalam situasi yang berkembang saat ini, terjadi peningkatan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan secara sepihak oleh pengusaha karena ketidakmampuan membayar upah pekerja. Pekerja tidak dapat menuntut banyak karena situasi dan kondisi dalam ketidakjelasan kapan berakhir. Dampak dari PHK sepihak ini semakin meningkatkan jumlah pengangguran di Indonesia. Tak ghanya pada sektor formal, dampak pandemi ini sangat dirasakan pekerja informal yang notabene tidak memiliki hubungan dengan siapapun.

Tak kalah mirisnya kondisi pekerja informal yang semakin lesu dari hari ke hari sejak di berlakukannya WFH dan imbauan social distancing. Bagi pengemudi ojek, hanya satu dua orang atau bahkan sama sekali tidak ada penumpang. Bagi pemilik warung makan, hiruk-pikuk pembeli di warung makan sudah tidak ada lagi. Setiap harinya berusaha mengurangi porsi jualan yang berujung pada tutupnya warung makan, padahal di satu sisi uang kontrakan warung harus tetap dibayar. Penjual-penjual kecil yang menjajakan dagangannya di tempat wisata ternyata tidak ada lagi wisatawan yang menyambanginya. Sungguh pemandangan yang membuat trenyuh.

Relasi perburuhan Indonesia melibatkan pemerintah di dalamnya, terutama dalam kondisi pandemi seperti saat ini. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 disebutkan bahwasanya pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia dan menjaminkan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Sejauh mana peran pemerintah dalam relasi perburuhan dalam situasi seperti sekarang ini? Menjadi tanda tanya besar melihat kondisi perburuhan di lapangan yang semakin tak menentu.

Saat ini yang dibutuhkan para pekerja di Indonesia adalah jaminan kesejahteraan berupa terpenuhinya kebutuhan sehari-hari, obat-obatan serta kemudahan memperoleh fasilitas kesehatan. Pascapandemi ini berakhir diharapkan akan ada jaminan bagi pekerja untuk mempertahankan pekerjaan serta memperoleh pekerjaan (kembali) guna keberlangsungan hidup pekerja dan keluarganya. Suatu harapan besar masyarakat Indonesia khususnya pekerja di Indonesia tentang langkah tegas pemerintah dalam menghadapi permasalahan ini. Ada hak-hak pekerja yang perlu diperhatikan dan dilindungi pemerintah sebagai pemangku kewajiban perlindungan pekerja dalam relasi perburuhan di Indonesia.

Tulisan ini sudah dimuat dalam rubrik Analisis KR, 4 April 2020.

Penulis: Ayunita Nur Rohanawati, S.H., M.H.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Administrasi Negara

AWAL 2020 mencuat kabar adanya mogok kerja yang dilakukan pekerja PT AFI, produsen es krim. Aksi dilakukan karena beberapa hal. Di antaranya tahun 2019 ada tingkat keguguran dan kematian bayi sebanyak kurang lebih 20 kasus. Mencuatnya kembali kasus terkait tidak terpenuhinya alat-alat keselamatan dan kesehatan kerja di perusahaan. Serta terlalu ketatnya waktu kerja yang terbagi atas shift. Padahal, 2017 menjadi saksi bisu mogok kerja yang dilakukan perusahaan tersebut. Karena banyaknya jumlah pekerja yang mengalami kecelakaan kerja akibat tidak diberikannya alat-alat keselamatan kerja dalam bekerja.

Sebagaimana diatur Pasal 78 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan atau yang lebih dikenal dengan UUK, buruh yang sedang hamil dilarang untuk dipekerjakan pada shift malam. Hal ini berkaitan dengan kondisi kesehatan. Sebab perempuan hamil membutuhkan perhatian yang lebih terkait dengan kondisi kesehatannya. Ini terkait ada janin yang sedang tumbuh di dalam rahimnya.

Regulasi Perburuhan

Wacana pemerintah untuk membuat regulasi dengan mekanisme omnibus law dengan salah satu RUU yang masuk adalah RUU Cipta Kerja, bertentangan dengan kondisi perburuhan Indonesia saat ini. Jika benar nantinya RUU Cipta Kerja ini disahkan, tak ada lagi tempat buruh menaikkan posisi tawarnya di depan pengusaha. Selain posisi pemerintah lemah pada regulasi ini, RUU Cipta Kerja menghapus sanksi pidana bagi pengusaha.

Jika pembiaran terhadap ketidakadilan ada di lapangan, apakah efektif sebuah regulasi disusun dengan posisi berat sebelah? Belum diberlakukan RUU tersebut, ternyata masih ada kondisi perburuhan yang masih jauh dari kata adil dan sejahtera. Bagaimana jika benar adanya RUU itu nantinya disahkan? Keseimbangan posisi antara buruh dan pengusaha dalam perjanjian kerja hanyalah semu belaka.

Sejatinya, buruh bekerja untuk memperoleh penghidupan yang layak demi menyejahterakan keluarganya. Hanya saja, praktik di lapangan dalam bekerja, tujuan buruh untuk mencapai kedua tujuan tersebut masih ada yang mengalami kesukaran. Dalam proses ini sangat diperlukan itikad baik dari pengusaha dalam memberi kerja serta kesadaran pengusaha akan tujuan Hubungan Industrial Indonesia yang sejalan dengan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 yaitu Warga Negara Indonesia berhak untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak.

Perempuan Buruh

Bukan kali pertama di Indonesia permasalahan perempuan buruh terenggut haknya untuk hamil dan melahirkan secara damai. Angan-angan menimang anak seketika runtuh dengan berbagai kondisi kerja yang dialami sehingga harus mengikhlaskan kehilangan janin dan bayi. Perempuan memang tidak memiliki kedudukan utama sebagai pencari nafkah dalam keluarga, namun ada kondisi-kondisi yang mengharuskan perempuan mengambil peranan untuk bekerja dan memperoleh penghasilan.

Dalam UUK ketentuan perlindungan bagi buruh perempuan yang melahirkan sudah tertera di sana dengan sangat jelas. Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) UUK yang menyebutkan bahwasanya buruh perempuan memiliki hak istirahat melahirkan selama 3 bulan, kemudian berlanjut pada kewajiban pengusaha untuk mengikutsertakan pekerjanya pada jaminan sosial di mana berkaitan erat dengan cakupan biaya melahirkan. Selain itu berlanjut pada hak si jabang bayi berupa tunjangan anak yang juga menjadi komponen gaji yang berhak didapatkan buruh tersebut.

Kondisi itukah yang melatarbelakangi pengusaha memberikan beban kerja yang semakin berat pada buruh perempuan yang hamil sehingga mengakibatkan kematian janin dan bayi dalam kandungan, demi menghindari tumpukan kewajiban-kewajiban bagi pengusaha yang berdampak pada kondisi keuangan perusahaan? Bukankah Indonesia telah mengatur dengan indahnya dalam hitam di atas putihnya pada Pasal 28A UUD NRI 1945 tentang jaminan hak hidup warga negara?

Tulisan ini sudah dimuat dalam rubrik Opini, Koran Kedaulatan Rakyat, 14 Maret 2020.

 

 

Dorongan Terhadap Sistem Hukum Yang Ramah Difabel Dalam Pendampingan Dan Bantuan Hukum Di

Permasalahan pendampingan dan bantuan hukum untuk difabel di Indonesia pada realitanya masih mengalami berbagai hambatan. Mulai dari sistem hukum yang belum memadai hingga aksesbilitas yang minim. Persoalan tersebut menjadi perlu diberikan perhatian lebih mengingat perihal pendampingan dan bantuan hukum untuk difabel yang berhadapan dengan hukum adalah tanggung jawab bersama serta upaya memenuhi amanat konstitusi yang diatur dalam Pasal 28 D Ayat (1) dan Pasal 28 I Ayat (2) UUD NRI 1945.

Namun, dalam kenyataannya terjadi kesulitan dalam hal pemenuhan hak bagi para difabel yang berhadapan dengan hukum. Hal tersebut setidaknya disebabkan oleh lima faktor, yaitu faktor regulasi (materiil dan formil), faktor penegak hukum yang berlum memiliki kemampuan yang memadai, faktor sarana prasarana dalam menunjang aksesbilitas, faktor budaya hukum dalam masyarakat dan faktor political will birokrasi saat ini.

Diskusi bersama Pusat Studi Hukum (PSH) FH UII dan SIGAB (Sasana Inklusi & Gerakan Advokasi Difabel) Indonesia, yang dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat seperti akademisi, praktisi, pejabat pemerintahan dan teman-teman difabel yang diselenggarakan pada senin 29 Juli 2019 bertempat di ruang serba guna Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Diskusi bersama ini diisi oleh tiga pemateri yaitu Dr. Bambang Sutiyoso. S.H., M.Hum (Direktur LKBH UII),  M. Syafii’e (Peneliti PSH FH UII) dan Purwanti (Koordinator Advokasi SIGAB Indonesia).

Dalam diskusi bersama ini, selain membahas persoalan sistem hukum yang belum ramah terhadap difabel yang berhadapan dengan hukum dan permasalahan empiriknya. Persoalan terkait bagaimana sistem hukum yang ramah terhadap difabel kedepan juga turut dibahas. Dorongan untuk mengubah sistem hukum saat ini yang cenderung kaku dalam menjawab permasalahan difabel yang berhadapan dengan hukum. Harus segera ditata fleksibilitas dan efisiensinya guna mewujudkan tujuan hukum berupa kepastian, kemanfaatan dan keadilan. Serta demi memenuhi dan menghormati hak asasi manusia setiap warga negara tidak terkecuali teman-teman difabel.

  • Makalah Pendampingan dan Bantuan Hukum untuk Defabel/Disabilitas-Bambang Sutiyoso, Dr., S.H., M.Hum.
  • Makalah Sistem Hukum Sistem Diskriminatif kepada Difabel-M. Syafi’ie, S.H., M.H.

 

Taman Siswa (18/07) Fakultas Hukum UII menyelenggarakan acara pembekalan alumni tahun 2019. Diselenggarakan Kamis, 18 Juli 2019 pukul 09.00 WIB di Ruang Sidang Utama Lt. 3 Gd. Prof. Moch. Yamin, Jl. Taman Siswa 158 Yogyakarta. Kegiatan ini menghadirkan Ahmad Baliyo Eko Prasetyo, S.Psi. Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia sebagai pembicara. Read more

Taman Siswa (1/7) Departemen Hukum Pidana bekerjasama dengan Pusat Studi Kejahatan Ekonomi Fakultas Hukum (PSKE) FH UII menyelenggarakan Studium General Pertanggungjawaban Pidana Partai Politik sebagai Korporasi dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia pada Kamis, 11 Juli 2019 di Ruang Sidang Utama Lt. 3 Gedung Prof. Moch. Yamin Kampus FH UII. Stadium General yang menghadirkan Dr. Chairul Huda, S.H., M.H. Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta. Read more

Sheraton Mustika Hotel (20/06) Fakultas Hukum UII (FH UII) bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Dirjen AHU Kemenhumham RI) menyelenggarakan Seminar Nasional dan Call for Papers Simposium Hukum Tata Negara dengan tema besar Penataan Organisasi Sayap Partai Politik di Masa Depan. Seminar Nasional di selenggarakan pada Sabtu, 29 Juni 2019 mulai pukul 08.00-17.00 WIB di Ball Room Seraton Mustika Hotel Yogyakarta.

Acara yang dibuka oleh A. Ahsin Thohari Kepala Sub Direktorat Partai Politik Dirjen AHU Kemenhumham RI. Hadir dan mendampingi dalam pembukaan acara tersebut Dr. Abdul Jamil, S.H., M.H. Dekan FH UII bersama Jamaludin Ghafur, S.H., M.H. selaku Ketua Panitia Pelaksana.

Prof. Dr. M. Mahfud MD. hadir sebagai keynote speaker menyampaikan bahwa kegelisahan akademis atas perkembangan partai politik (parpol) yang mulai berkelidan dengan berbagai organisasi partai politik yang dibentuknya sendiri. Sehingga cenderung menumbuhkan pendapat pada sebagian masyarakat melalui media sosial maupun konvensional agar parpol ditiadakan saja. Selain itu Mahfud menyampaikan banyaknya pengurus dan aktivis parpol yang terlibat kasus korupsi. Kondisi ini dicap sebagai kegagalan parpol dalam memperbaiki keadaan bahkan parpol justru memperburuk tata kelola pemerintahan.

Seminar Nasional ini juga menghadirkan praktisi dan pakar hukum lainnya yaitu:  Prof. Dr. Jimly Assidiqqie, S.H., M.H. seorang Pakar Hukum dan Guru Besar HTN UI menyampaikan judul Problematika Pengaturan Organisasi Sayap Partai (OSP). Dr. Rer.Pol. Mada Sukmajati, M.P.P., dosen Fisipol UGM Departemen Politik dan Pemerintahan mengetengahkan materi Eksistensi OSP dalam Sistem Politik. Pembicara sesi pertama lainnya adalah Dr. Phil. Aditya Perdana, S.IP., M.Si. Directur of Center for Political yang mengaitkan Hubungan OSP dan Sistem Politik. Pada sesi ini dimoderatori oleh Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M. Dosen HTN FH UII.

Pada sesi kedua menghadirkan Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., M.C.L. Guru Besar HTN Universitas Pajajaran menyampaikan tentang Urgensi Pengaturan OSP. Pembicara kedua sesi kedua adalah Prof. Kacung Marijan, M.A., Ph.D. Guru Besar FISIP Universitas Air Langga mengutarakan tema OSP dan Masa Depan Demokrasi. Dan pembicara akhir adalah Sri Hastuti Puspitasari, S.H., M.H. Dosen HTN FH UII dengan materi Revitalisasi OSP untuk Penguatan Sistem Kepartaian. Sesi kedua ini dimoderatori oleh Jamaludin Ghafur, S.H., M.H. Dosen HTN FH UII.

Seminar Nasional ini diikuti oleh 200 peserta yang berasal dari utusan partai politik, akademisi, mahasiswa, aktivis ormas, dan birokrat pegawai pemerintahan terkait.

Unduh makalah seminar terkait:

  • Prof Dr. M. MAHFUD MD Penataan Organisasi Sayap Partai Keynote Speaker [pdf]
  • Dr. Phil. Aditya Perdana, S.IP., M.Si. Director of Center for Political Hubungan OSP dalam Sistem Politik [pdf]
  • Dr. rer.pol Mada Sukmajati, MPP Dosen Fisipol UGM Eksistensi OSP dalam Sistem Politik [pdf]
  • Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., M.C.L. Guru Besar HTN FH Unpad Urgensi Pengaturan OSP [pdf]
  • Prof. Kacung Marijan, MA., Ph.D. Guru Besar FISIP UNAIR OSP dan Masa Depan Demokrasi [pdf]
  • Sri Hastuti Puspitasari, S.H., M.H. Dosen HTN FH UII yk Revitalisasi OSP untuk Penguatan Sistem Kepartaian [pdf] [ppt]

Taman Siswa (25/06), Fakultas Hukum UII melakukan penandatangan Memory of Understanding (MoU) kerjasama pelaksanaan pemagangan mahasiswa Fakultas Hukum UII dengan Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa 25 Juni 2019 diselenggarakan di Ruang Sidang Utama Lt. 3 Kampus FH UII Jl. Taman Siswa 158 Yogyakarta. Read more

Tag Archive for: FH UII

Nothing Found

Sorry, no posts matched your criteria