Fakultas Hukum UII, Kamis 19 April 2012. Program Studi Ilmu Hukum (S1) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) menyelenggarakan Penyegaran Peran & Fungsi Dosen Pembimbing Akademik (DPA) serta Sosialisasi Buku Pedoman DPA dan Pedoman Dosen dalam Pemberian Nilai dengan menghadirkan Pembicara H. Fuad Nashori, S.Psi., M.Psi., Psikolog dari Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII.
Acara yang digagas oleh Program Studi Ilmu Hukum (S1) tersebut menurut Karimatul Ummah, SH., M.Hum. (Ketua Program Studi ) dimaksudkan untuk mengingatkan kembali atau memberi penyegaran terhadap apa yang menjadi fungsi dan peran DPA dalam pembimbingan kepada Mahasiswa baik dibidang akademik maupun konseling atau pendukung akademik.
Sedangkan menurut H. Fuad Nashori, S.Psi., M.Psi., dalam meterinya yang berjudul “Penyegaran Kompetensi Dosen Pembimbing Akademik” menegaskan, sampai saat ini sejauh mana DPA mendampingi aktivitas kemahasiswaan, padahal, di beberapa perguruan tinggi, DPA sudah banyak dihilangkan diganti dengan fungsi konselor yang memungkinkan mahasiswa dapat melakukan konsultasi secara gratis. Namun posisi dan sikap DIKTI terhadap DPA tidak demikian, DPA tidak bisa diganti dengan konselor, walaupun adanya konselor selain DPA tentu tidak masalah (atau malah lebih baik) namun, DIKTI juga berpandangan bahwa membiarkan DPA dengan kompetensi yang kurang memadai seperti selama ini atau lebih tepatnya membiarkan DPA tidak berfungsi penuh menjadikan tujuan Pembmbingan Akademik tidak tercapai secara optimum. Oleh karena itu H. Fuad Nashori, S.Psi., M.Psi., membagi dua kelompok besar tugas DPA yaitu (1) Pembimbing masalah akademik (2) Pembimbing Penunjang Akademik (psikologis).
Dari tanya jawab dan diskusi dengan menurut H. Fuad Nashori, S.Psi., M.Psi., selaku pemateri diperoleh beberapa kesimpulan diantaranya adalah : (1) Harus ada pemaksa terhadap terbitnya Buku pedoman DPA supaya apa yang ada didalamnya dapat dilaksanakan dengan baik dan benar. (2) Diperlukan forum untuk merancang apa saja peran dan fungsi yang bisa dilakukan DPA (3) Diperlukan eksplorasi peran DPA agar tidak terjadi disfungsi DPA di era informasi dan teknologi (IT), sehingga mahasiswa tidak hanya menempatkan peran DPA secara fungsional saja, dalam arti mahasiswa hanya akan mendatangi DPA ketika ada masalah. (3) Diperlukan sistematika psikologis yang perspektif untuk kembali membangkitkan peran DPA (4) Didasari atas keprihatinan pendidikan yang terlalu mementingkan aspek kognitif sehingga supaya pendidikan tidak saja terjebak pada profesionalisme permasalahan yang ada, maka aspek pendidikan perlu ditambahkan aspek psikologis dan psikomotorik. (5) Diperlukan suatu evaluasi atau kajian apakah (khususnya di FH UII) peran dan fungsi DPA memang masih dibutuhkan oleh mahasiswa, serta diperlukan alokasi waktu tersendiri untuk mahasiswa melakukan konseling sehingga mahasiswa dapat menyelesaikan masalahnya pada tempat yang tepat. (6) Diperlukan suatu pembentukan karakter dan nilai yang dianggap penting untuk mahasiswa sehingga mahasiswa tidak canggung dalam melakukan konsultasi dengan dosennya. (7) Dianjurkan setiap lembaga pendidikan untuk mengadakan lembaga konseling yang ditempatkan di Fakultas terkait sehingga keberadaan DPA dapat di Revitalisasi Kembali.
Fakultas Hukum UII, Kamis 19 April 2012. Program Studi Ilmu Hukum (S1) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) menyelenggarakan Penyegaran Peran & Fungsi Dosen Pembimbing Akademik (DPA) serta Sosialisasi Buku Pedoman DPA dan Pedoman Dosen dalam Pemberian Nilai dengan menghadirkan Pembicara H. Fuad Nashori, S.Psi., M.Psi., Psikolog dari Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII.
Acara yang digagas oleh Program Studi Ilmu Hukum (S1) tersebut menurut Karimatul Ummah, SH., M.Hum. (Ketua Program Studi ) dimaksudkan untuk mengingatkan kembali atau memberi penyegaran terhadap apa yang menjadi fungsi dan peran DPA dalam pembimbingan kepada Mahasiswa baik dibidang akademik maupun konseling atau pendukung akademik.
Sedangkan menurut H. Fuad Nashori, S.Psi., M.Psi., dalam meterinya yang berjudul “Penyegaran Kompetensi Dosen Pembimbing Akademik” menegaskan, sampai saat ini sejauh mana DPA mendampingi aktivitas kemahasiswaan, padahal, di beberapa perguruan tinggi, DPA sudah banyak dihilangkan diganti dengan fungsi konselor yang memungkinkan mahasiswa dapat melakukan konsultasi secara gratis. Namun posisi dan sikap DIKTI terhadap DPA tidak demikian, DPA tidak bisa diganti dengan konselor, walaupun adanya konselor selain DPA tentu tidak masalah (atau malah lebih baik) namun, DIKTI juga berpandangan bahwa membiarkan DPA dengan kompetensi yang kurang memadai seperti selama ini atau lebih tepatnya membiarkan DPA tidak berfungsi penuh menjadikan tujuan Pembmbingan Akademik tidak tercapai secara optimum. Oleh karena itu H. Fuad Nashori, S.Psi., M.Psi., membagi dua kelompok besar tugas DPA yaitu (1) Pembimbing masalah akademik (2) Pembimbing Penunjang Akademik (psikologis).
Dari tanya jawab dan diskusi dengan menurut H. Fuad Nashori, S.Psi., M.Psi., selaku pemateri diperoleh beberapa kesimpulan diantaranya adalah : (1) Harus ada pemaksa terhadap terbitnya Buku pedoman DPA supaya apa yang ada didalamnya dapat dilaksanakan dengan baik dan benar. (2) Diperlukan forum untuk merancang apa saja peran dan fungsi yang bisa dilakukan DPA (3) Diperlukan eksplorasi peran DPA agar tidak terjadi disfungsi DPA di era informasi dan teknologi (IT), sehingga mahasiswa tidak hanya menempatkan peran DPA secara fungsional saja, dalam arti mahasiswa hanya akan mendatangi DPA ketika ada masalah. (3) Diperlukan sistematika psikologis yang perspektif untuk kembali membangkitkan peran DPA (4) Didasari atas keprihatinan pendidikan yang terlalu mementingkan aspek kognitif sehingga supaya pendidikan tidak saja terjebak pada profesionalisme permasalahan yang ada, maka aspek pendidikan perlu ditambahkan aspek psikologis dan psikomotorik. (5) Diperlukan suatu evaluasi atau kajian apakah (khususnya di FH UII) peran dan fungsi DPA memang masih dibutuhkan oleh mahasiswa, serta diperlukan alokasi waktu tersendiri untuk mahasiswa melakukan konseling sehingga mahasiswa dapat menyelesaikan masalahnya pada tempat yang tepat. (6) Diperlukan suatu pembentukan karakter dan nilai yang dianggap penting untuk mahasiswa sehingga mahasiswa tidak canggung dalam melakukan konsultasi dengan dosennya. (7) Dianjurkan setiap lembaga pendidikan untuk mengadakan lembaga konseling yang ditempatkan di Fakultas terkait sehingga keberadaan DPA dapat di Revitalisasi Kembali.




Auditorium UII, Kamis 12 April 2012. Pusat Studi Hukum (PSH) FH UII menyelenggarakan Diskusi ber-Séri “Menggagas Ilmu Hukum Berparadigma Profetik Sebagai Landasan Pengembangan Pendidikan Hukum di Fakultas Hukum UII”. Pada Diskusi Seri 3 tersebut menghadirkan Pembiacara Prof. Dr. M. Amin Abdullah, M.A. dan Prof. Jawahir Thontowi, SH., Ph.D. serta moderator Drs. Agus Triyanta, MA., MH., Ph.D.
Dekan FH UII Dr. Rusli Muhammad, SH., MH. dalam sambutan pembukaannya menyatakan bahwa diskusi ini diselenggarakan atas dasar problema yang dihadapi oleh fakultas hukum pada umumnya yaitu belum mampu menghasilkan lulusan sesuai dengan yang diharapkan meskipun metode pendidikan yang digunakan sudah semakin maju sehingga banyak sarjana hukum yang kini menjadi penegak hukum belum mampu secara istiqomah untuk menjalankan tugasnya. Saat ini banyak perguruan tinggi sudah memulai membuka paradigma baru dalam pengelolaan pendidikan tinggi di bidang hukum, namun pendidikan hukum yang berparadigma dan sistematis berbasis ke-Islaman lah baru digagas oleh Fakultas Hukum UII. Dengan diskusi yang didasari pada Hukum Profetik sebagai landasan pengembangan pendidikan hukum, diharapkan akan muncul pendidikan hukum yang dalam penerapannya akan menghasilkan ilmu hukum yang berparadigma untuk mengisi nuansa-nuansa yang ada pada problema hukum saat ini sehingga hukum tidak saja hanya tertulis tetapi merupakan hukum yang bermakna dalam kehidupan yang sesungguhnya.
Menurut Prof. Dr. M.Amin Abdullah, MA., dalam materinya “Etika hukum di Era Perubahan Sosial – Pradigma Profetik dalam Hukum Islam melalui Pendekatan System” menyatakan bahwa Paradigma pro(f)etik kembali diminati kembali oleh beberapa kalangan akademisi dan intelegensia untuk membantu masyarakat Muslim kontemporer keluar dari kesulitan-kesulitan yang dihadapinya sekarang ini, baik pada dataran lokal maupun global-internasional. Prof. Amin menegaskan bahwa paradigma profetik tidak dapat lepas dari perjalanan sejarah pemikiran Islam dalam perjumpaannya dengan sejarah panjang perkembangan pemikiran umat manusia pada umumnya dan sekaligus dalam pergumulannya dengan konstruksi bangunan filsafat keilmuan Islamic Studies/Dirasat Islamiyyah dari setiap era yang dilaluinya (tradisional, modern dan post modern). Kedua dimensi ini yaitu waktu (history) dan pemikiran (thought) tidak dapat terpisah, tetapi menyatu . Oleh karenanya , paradigma profetik hukum Islam kontemporer tidak dapat melepaskan diri dari pergumulannya dengan sains modern, ilmu-ilmu sosial dan humaniora kontemporer. Pendekatan system yang hendak diperkenalkan dalam tulisan ini diharapkan akan dapat membantu upaya untuk menyusun kembali paradigma baru hukum Islam yang peka dan bermuatan nilai-nilai profetik kontemporer, khususnya oleh masyarakat Muslim kontemporer dalam perjumpaan mereka dengan komunitas dan budaya lokal di masing-masing negara (local citizenship) dan sekaligus dalam perjumpaannya dengan komunitas dan budaya global-internasional (world citizenship). Tanpa mempertimbangkan kedua sisi tersebut, bangunan paradigma pro(f)etik yang dicita-citakan akan kehilangan signifikansi dan elan vitalnya.
Sedangkan Prof. Jawahir Thontowi SH., Ph.D. dalam materinya “Paradigma Profetik dalam pengembangan Pendidikan Ilmu Hukum” dalam satu kesimpulan yang disampaikan oleh Drs. Agus Triyanta, MA., MH., Ph.D. menyatakan bahwa Perilaku dan landasan profetik sangat banyak, dari tekstual supaya menjadi lebih aplicable diperlukan adanya kesepakatan , integritas dan titik kebenaran yang akan dicapai dengan etika sebagai titik central.














