Tag Archive for: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Saya bukan pendukung Ahok. Tapi saya pernah mendapat banyak kritik dari lawan-lawan politik Ahok ketika saya menjelaskan fakta bahwa posisi Ahok kuat dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI 2017. Waktu itu, kira-kira tiga bulan lalu, saya mengatakan bahwa Ahok kuat karena Ahok itu sangat berani melabrak koruptor. Ahok juga berani membuat ciut politisi di lembaga legislatif sehingga bertekuk lutut, tak berkutik di hadapannya.

Ituyang menyebabkan Ahok kuat. Rakyat kita sangat benci pada korupsi dan premanisme politik sehingga ketika Ahok muncul menggebrak preman Pasar Tanah Abang, rakyat bersorak senang, mendukungnya. Rakyat kita sangat bencikepada koruptor yang ditengarai banyak berlindung di DPRD dengan memakai baju partai politik. Makaitu Ahok didukunghar bis ketika menggebrak DPRD dan menudingdi lembaga tersebut banyak koruptornya.

Ketika Ahok melaporkan oknum-oknum DPRD yang ditudingnya melakukan korupsi dalam penyusunan APBD, masyarakat bersorak girang, se dangkanpara politikus di DPRD tampak tak berkutik. Para politikus dan parpolnya digebuki melalui berbagai media. Membantah sedikit digebuki, melawan sedikit diserang sehingga tampak putus asa seperti kucing kehujanan. Persepsi publiknya, Ahok adalah pemimpin yang antikorupsi dan berani menghajar politikus busuk.

Rakyat mendukung Ahok secara kuat bukan karena Ahok pemimpin yang benar-benar bagus, melainkan karena rakyat benci pada korupsi dan politikus busuk. Saya mengatakanitu sekitartigabulan lalu, jauh sebelum munculnya pasangan calon yarig final didaftarkan ke KPU. Pada saat itu saya mendapat banyak kritik dari orang-orang yang tidak suka kepada Ahok. Kata mereka, saya salah pilih dan saya membutakan diri bahwa Ahokjuga dihinggapi banyak masalah hukum.

Saya menjawab bahwa saya tidak salah pilih, wong saya tak akan memilih karena saya penduduk Yogyakarta. Yang saya katakan itu adalah persepsi publik yang berhasil dibangun Ahok dengan dukungan media dan banyak LSM. Maka saya bilang, waktu itu, kalau ingin Ahok diganti, tampilkanlah la wan yang bisa mengalahkan Ahok dalam keberanian melabrak para koruptor dan melawan politisi korup. Jangan muncul kan calon lawan yang tak sebe rani Ahok, apalagi track record-nya ternoda korup juga.

Orang tak akan bisa mengalahkan Ahok hanya dengan kampanye dia adalah orang China atau berbeda agama de ngan mayoritas penduduk DKI. Kampanye SARA akan sulit diterima masyarakat DKI yang sebagian besar adalah a orang-orang terdidik. Saya ka takan, itulah persepsi publik yang memang belum tentubenar dalam kenyataannya.
Ya, belum tentu benar, sebab dalam masalah hukum Gubernur Ahok pun banyak menimbulkan masalah yang serius. Selain masalah reklamasi yang sudah pernah salah secara hukum oleh pemerintah pus maupun oleh putusan pengadaan, dalam tiga hari terakhir ini misalnya, adakasuspenggusu an secara paksa di Bukit Duri Peristiwa Bukit Duriadalah tra gedi kerranusiaan dan traged penegakan hukum. Pengadilar sudah jelas memerintahkan status Bukit Duri selama perkara masih berlangsung, tetapi penggusuran tetap dilakukan.

Konstitusi kita menganut paham negara kesejahteraan (welfarestate) dengan penekanan bahwa rakyat harus dilindungi dan diberdayakan agar bisa sejahtera di tanah air sendiri.Halitutertera tegas danterurai di dalam UUD RI 1945.Untuk menjamin upaya pembangunan kesejahteraan rakyat, penyelenggaraan negara dan pemerintahan harus dikawal oleh supremasi hukum.

Itulah sebabnya di dalam konstitusi diletakkanjuga prin sip nomokrasi (negara hukum) sebagai pengawal demokrasi. Kita memiliki lembaga yudika tif untuk menyelesaikan seng keta yang putusan-putusannya harus diikuti rakyat maupun pemerintah. Atas undangan sa habat saya, Jaya Suprana dan Romo Sandyawan, saya pernah berkunjung menemui rakyat Bukit Duri.

Kepada mereka saya menyarankan “tidak usah melakukan tindak kekerasan atau aksi-aksi massa”, tetapi ajukan saja ke pengadilan agar diputus oleh hakim. Setelah mereka menang dan ada larangan penggusuran, tetapi pemprov masih terus menggusur, saya pun meminta mereka tidak melakukan aksiaksi frontal Saya sarankan mezeka minta penyelesaian politik agar hukum ditaati” melalui Menko Polhukam, DPR, Menkumham, dan Komnas HAM.

Sekarang mereka sudah dimtu gusur dan saya mati ide, tak punya saran lagi karena rakyat kita
tidak berdaya. Kepada Jaya Suprana saya hanya bisa mengatakan, saya ngeri jika putusan Hi pengadilan terang-terangan dilanggar. Putusan pengadilan itu, seumpama pun salah (apalagi tidak salah), tetap wajib ditaati demi penyelesaian masalah. Kesalahan hakim dalam memutus, kalau itu ada, bisa ditindak tersendiri, tetapi putusannya tetap harus ditaati.

Saya ngeri kalau hukum dikangkangi oleh kekuatan politik. Jika suatusaat terjadi perge seran konfigurasi politik, hukumakan ditentukanolehaktor lain yang dominan sehingga yang terjadi adalah adu kuat antarmereka yang sama-sama ingin mengangkangi hukum. Yang bisa terjadi adalah kekacauan hukum, bukan ketertiban hukum. Lebih ngeri lagi jika di daerah-daerah lain pihak yang kuat mengangkangi hukumdan mengabaikan putusan-putusan pengadilan. Alasannya “kalau di DKI bisa di daerah pun bisa”.

Kalau praktik saling melanggar hukum sudah meluas pada halkonfigurasiantara pusat dan daerah dan antardaerah sendiri tidak monolitik, yang terjadi adalah kekacauan yang sangat mengerikan. Semua bisa membuat hukum sendiri-sendiri dan dengan kekuatan politik dan uang sendiri-sendiri. Sungguh mengerikan kalau ini terjadi. Mudah-mudahan Bukit Duritidak menjadi duri bagi masa depan pembangunan bangsa dan negara tercinta: Indonesia.

 

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 1 Oktober 2016.

 

 

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Saya sedang memberi kuliah di Pascasarjana UGM ketika pada Sabtu 17 September 2016 lalu ada berita Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gunman diangkut ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena Operasi Tangkap Tangan (OTT). Sehabis istirahat untuk makan siang, seorang mahasiswi berteriak, “Irman Gusman ditang kap KPK, kena OTT”. Haah? Semua kaget dengan berbagai ekspresi masing-masing. Saya pun terperanjat. Persis dua minggu sebelumnya, tepatnya 3 September 2016, saya bersama teman-teman Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) baru memberi tepuk tangan meriah kepada Imman Gusman di Mataram karena pidatonya yang bagus tentang demokrasi dan penegakan hukum.

Waktu itu dia diundang oleh KAHMI untuk inemberi sam butan dan membuka “Temu Nasional Pejabat Publik Alumni HMI”.

Waktu itu Mas Irman berpidato panjang lebar dengan tekanan, “Indonesia harus dirawat, demokrasi harus dibangun, hukum harus ditegakkan”. Memahami pidato Irman di Mataram itu, kami senang karena melihat konteks pidato itu dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya bahwa dia sangat benci kepada korupsi. Irman pernah menolak keras rencanarevisi atas UUKPK yang ditengarai akan melemahkan KPK itu; dia juga menyatakan persetujuannya jika koruptor dijatuhi hukuman mati.

Di Mataram itu, setelah Irman berpidato, tepuk tangan membahana dan para alumni HMI berebutan menyalami dan mengajak berfoto dengannya. Saya pun ikut memeluknya sambil berbisik, “Ayo, Mas, kita rawat Indonesia. Bangun de mokrasi dan tegakkan hukum Eh, hanya dua minggu setelah itu, Mas Irman Gusman di-OTT oleh KPK. Saya menatap langitlangit di kampus itu, perasaan bergolak, tak bisa saya lukiskan, mulut terkunci beberapa saat.

“Hidup KPK”, celetuk seorang mahasiswa. “Ya, KPK bagus. Hidup KPK”, sambung yangsatunya. Tetapi ada seorang mahasiswa yang menyambut aplaus atas KPK itu dengan sinis. “Me mangriya KPK masih hidu? Nangkepin kayak gitu saja, saya juga bisa kalau menyadap dulu. Coba tangkepin dan tahan tuh, koruptor-koruptor besar yang sudah diidentifikasi bahkan sudah dipanggiloleh KPK.Saya pun tersadar dari keterpanaan ketika mendengar diskusi spontan para mahasiswaitu.

Ya, seperti yang juga terlihat di tengah-tengah masyarakat, penilaian terhadap KPK sekarang ini sudah berbeda dengan, misalnya, dua tahun yang lalu dan sebelumnya. Masyarakat sekarang ini banyak yang masih bangga dan penuh harap ter hadap KPK, tetapi mulai muncul yang sinis terhadapnya karena ada beberapa kasus yang tampaknya ditangani secara agak ganjil.

Langkah OTT terhadap Irman Gusmani, menurut saya, telah dilakukan dengan cermat oleh KPK. Saya tidak percaya kepada pendapat bahwa Irman Gusman dijebak. Dan, tuduhan tentang jebakan itu bisa hilang dengan sendirinya kelak setelah Irman diajukan ke pengadilanSemua orang yang kena OTT oleh KPK selalu menyatakan dijebak oleh KPK, dipolitisasi oleh lawan politiknya, ditangkap secara melanggar hukum. Itu alasan-alasan yang rutin dikemukakan oleh yang terkena OTT, oleh keluarganya, dan oleh pembela kalapnya.

Tetapi coba buka semua file tentang koruptor koruptoryang ditangkap tangan oleh KPK. Sesudah diajukan ke sidang pengadilan, selalu terbukti bahwa OTT itu bukan jebakan dan bukan politisasi, melainkan karena benar-benar telah melakukan korupsi. Pengadilan selalu me nyatakan terbuktisecara sah dan meyakinkan bahwayangterkena OTTitu melakukan korupsi dan menghukumnya.

Vonis-vonis penghukuman oleh pengadilan tingkat pertatna terhadap koruptor yang terkena OTT KPK selalu dikuatkan oleh putusan pengadilan banding di pengadilan tinggi, kasasi di Mahkamah Agung (MA), bahkan sampai tingkat peninjauan kembali(PO) di MA. Itu artinya, orang yang terkena OTT memang telah benarbenar melakukan korupsi. Coba sebut satunamapun, selama ini apakah ada orang yang terkena OTT KPK kemudian tak terbukti korupsi? Tidak ada satu pun. Semua dihukum dan hukuman itu selalu dikuatkan sampai ke MA.

Hanya, orang-orang yang terlalu naif yang percaya bahwa KPK melakukan OTT karena tiba-tiba ada laporan dari map syarakat tentang adanya tran- y saksi penyuapan. Harus diyakini bahwa beberapa hari sebelum melakukan OTT terhadap sesek orang, KPK sudah melakukan ke penyadapan tentang pembica- O raan, tanggal dan jam tentang janji-janji ketemu, objek yang dibicarakan, uang yang di-kolusikan, SMS, dan sebagainya.

KPK selalutahulebih duluitu semua, terkadang lengkap de ngan foto-foto pendukungnya. Bahkan, KPK tahu kalau handphone yang dipakai berganti ganti. Pembicaraan teleponnya pun selalu diperdengarkan di sidafig sidang pengadilan yang terbuka untuk umum sehingga terdakwa tak berkutik dan bukan hanya hakim yang yakin melainkan juga masyarakat.

Maka itu, kewenangan menyadap oleh KPK tak boleh ditiadakan. KPK belum pernah gagal membuktikan bahwa yang di-OTT karena penyadapan benar-benar koruptor. Sebaliknya, tak satupunada orangyang diketahui oleh publik disadap oleh KPKsebelumyang bersang kutan benar-benar di-OTT.Itu berarti bahwa penyadapan itu tidak pernah disalahgunakan dan tidak melanggar privacy atau HAM seseorang.

Ya, KPK harus terus kita dukung dengan kewenangankewenangan eksklusifnya. Tetapi tak salah juga jika KPK dicubit dengan kritik, misalnya, “Apa KPK masih hidup?” Kritik beginitetap harus disampaikan karena memang ada beberapa kasus yang penanganannya oleh KPK agak ganjil di mata publik. Isu grand corruption” yang dilemparoleh KPK sendiri, misalnya, tampaknya berhenti di tengah jalan dan terkesan hanya menghukam orang yang telanjur ditangkap dan ditersangkakan. Yang lain, pelanpelan, dilewatkan.

Contoh lain, syarat niat jahat” untuk dugaan korupsi diberlakukan untuk orang ter tentu tetapi tidak diberlakukan untuk orang orang lain, misalnya terhadap Prof Fasich, tanpa pertanggungjawaban publik yang memadai padahal actus reus-nya sama. Itu kritik yang mau tidak mau, harus disampaikan kepada KPK. Tetapi secara keseluruhan, KPK masih sangat OK dan harus kita dukung demi “Masa depan Indonesia.”

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 24 September 2016.

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Diantara banyak kritik dan kecaman atas perkembangan politik dan ketatanegaraan kita pascareformasi adalah pengambilan putusan di berbagai lembaga negara melalui pemungutan suara (voting). Kata para pengecam, negara kita telah terperosok ke dalam demokrasi Barat yang mengutamakan voting, padahal demokrasi kita adalah pe:musyawaratan.

Kata para pengkritik, di dalam permusyawaratan, semua hal harus dibicarakan dari hati ke hati untuk mencari kesepakatan bersama yang kemudian dilaksanakan secara gotongroyong. Nenek moyang kita tidak pernah mengambil putusan dengan ‘voting, mereka selalu bermusyawarah untuk mengambil putusan. Itulah, kata para pengkritik, amanat para pendiri negara.

Kritik itu ada benarnya, tetapi banyak salah-ya. Di mana letak salahnya? Harus diingat bahwa para pendiri negara (founding father) kita yang dulu juga mernbentuk UUD 1945 ketika memperdebatkan dasar dan undang-undangdasur negara mengambil putusan-putusannya antara lain, melalui voting.

Keputusan bentukpemerin tahan republik pun dilakukan melalui voting. Di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) ada yang menghendaki Indonesia dibangun dengan bentuk monarki (kerajaan) dan ada yang menghendaki bentuk demokrasi (republik). Saatperdebatan memanaspada Sidang BPUPKI tanggal 10 Juli 1945, Yamin mengusulkandilakukan voting (diundi).

Usul Yamin itu disetujui Ke tua BPUPKI Radjiman Wedyodiningrat. Setelah divoting diperoleh hasil:54 orang mendukung bentuk republik, 6 orang mendukung bentuk kerajaan, dan 1 orang abstain. Jadilah negara ini negara Republik Indonesia, bukan Kerajaan Indonesia.

Begitu juga saat akan ditentukan bentuk negara, apakah Indonesiaberbentuk negara ke
satulan atau negara federal, keputusannya dilakukan melalui voting, Hatta mengusulkan agar Indonesia diberi bentuk negara federal yang menurutnyalebih cocok untuk Indonesia yang sangatluas. Tapi Bung Karno dan banyak anggota lainnya menghendaki negara kesatuan.

Karena Hatta agak ngotot, akhirnya diputuskan melalui voting. Hasilnya hampir sama, usul Hatta tentang bentuk negara federal didukung oleh 6 orang anggota BPUPKI, se dangkan selebihnya memilih bentuk negara kesatuan. Jadi sebenarnya voting itu tidak haram karena bentuk pemerintahan dan bentuk negara kita pun dibangun melalui voting.

Bahkan di dalam UUD 1945 yang dibentukoleh para pendiri negara itu, seperti yang tertulis di dalam Pasal 2 ayat (3), ditegaskan bahwa “segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara yang terbanyak”. Salah satucara terpenting untuk menetapkan “dengan suara yang terbanyak” adalah voting.

Pada pidato tanggal 1 Jun 1945 yang kemudian dikenal se bagai “Pidato Lahirnya Pancasi la” itu pun Bung Karno mene kankan pentingnya berebu suara sebanyak-banyaknya d kursi parlemen. Padasaat terjad pembelahan antara pendukung negara Islam dan negara ke bangsaan-sekuler di BPUPKI Bung Karno menyatakan kita tidak perlu mendirikan negara Islam.

Inilah kata Bung Karno “Jikalau kita memang rakyat Islam, marilah kita bekerja se hebat-hebatnya agar supaya se bagian terbesar daripada kursikursi badan perwakilan rakyat yang kita adakan diduduki oleh utusan-utusan Islam … Kalau misalnya orang Keristen ingin bahwa tiap-tiap letter di dalam peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, be kerjalah mati-matian agar supaya sebagian besar dari utusan-utusan yang masuk badan perwakilan Indonesia ialah orang Kristen.”

Siapa pun pasti paham bahwa dari isi pidato Bung Karno itu tidak ada arti lain bahwa peng ambilan putusan negara bisa de ngan cara mengadu banyaknya kursi dan dukungan melalui vo ting. Dengandemikian tidakada yang salah jika kita mengguna kan cara voting dalam hal-hal yang tidak bisa disepakati bersama. Kalau tidak begitu, bisa terjadi banyak deadlocked dan penyelenggaraan negara bisa macet sehingga timbul anarkidi tengah-tengah masyarakat.

Sebenarnya seperti dikatakan, antara lain oleh Bung Karno dan Yamin di sidang-sidang BPUPKI,pahamaslikedaulatan rakyat Indonesia adalah musyawarah untuk mufakat. Maka itu kita membuat lembaga permusyawaratan yang harus berembuk, mengupayakan permufakatan tanpa tendensi menentukan yang menang dan yang kalah.

Di lembaga permusyawaratan, semua harus dimusyawarah kan dengan saling memberi dan menerima. Yang besar harus to leran dan jangan sewenang-wenang, yang kecil harus berbesar hati dan tetap dihargai. Itulah yang pada tanggal 1 Juni 1945 dikatakan oleh Bung Karno sebagai”gotong-royong”. Dalam term politik dan ketatanegaraan modern, inilah yang disebut deliberative democracy.

Tapi para pendiri negara pun tahu betul bahwa tidaklah mungkin semua hal bisa diputuskan dengan musyawarah mufakat. Maka diadopsilah satu lembaga demokrasi yang datang dari Barat, yakni lembaga perwakilan (representative body) atau parlemen. Baik republik maupun lembaga perwakilan adalah bagian dari konsep demokrasi Barat.

Di parlemen dalam demokrasi Barat semua kelompok politik, melalui wakil-wakilnya, bisa mengambil putusan melalui perebutan kemenangan de ngan voting. Nah, untuk mempertemukan nilai-nilaibaik dari musyawarahala Indonesia(mufakat) dengan lcontestasi politik ala Barat (voting), di dalam konstitusi kita dibentuk lemba ga permusyawaratan dan perwakilan.

Permusyawaratan melambangkan dan menanamkanjiwa kearifan budaya Indonesia yang tidak mengandalkan pertarungan untuk menang berdasarkan jumlah suara. Adapun lembaga perwakilan yang me rupakan konsep representative body dari Barat dipergunakan, jika perlu, untuk voting dalam pengambilan keputusan. Tapi voting kita harus didahului de ngan upaya musyawarah sampai maksimal untuk kemudian, hasilnya, dilaksanakan dengan semangat kebersamaan dangotong-royong.

Tidak benar juga jika dikatakan, sekarang semuanya serbavoting. Berdasar peraturan tata tertib DPR dan berdasar peng alaman saya menjadi anggota DPR, pembuatan pun harus melalui musyawarah, pembuatan daftar inventarisasi masalah, lobi-lobi untuk mufakat, sampai akhirnya diambil putus an. Terkadang keputusan dilakukan dengan aklamasi dan terkadang dengan voting. Tapi jauh lebih sedikit yang diputuskan dengan voting daripada yang berhasil dicapai dengan musyawarah mufakat. Mau adu data?

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 10 September 2016.

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Kamis malam, 1 September 2016, sekitar pukul 19.30 WIB ada panggilan masuk ke handphone saya. Dengan agak malas karena capai setelah beberapa jam mengetik untuk menyiapkan naskahorasi, saya angkathandphone itu. Ternyata yang menelepon adalah wartawan sebuah media online terkemuka. Meski agak malas untuk diwawancarai, saya tergelitik juga atas pertanyaannya.

“Pak, hari ini Presiden memanggil para hakim MK untuk membicarakan judicial review atas UU Tax Amnesty. Bagaimana menurut Bapak?” tanya wartawan itu dari ujung telepon. “Haaah , Presiden memanggil hakim MK?” saya balik bertanya. “Tak mungkin Presiden memanggil hakim-hakim MK, tak mungkin pula hakim-hakim MK mau dipanggil oleh Presiden. Sebab Presiden dan para hakim MK pasti tahubahwahalitu tidak boleh dilakukan,” sambung saya.

Wartawan itu berusaha meyakinkan saya denganceritaagakdetailbahwa Presiden memang memanggil hakim-hakim MK pada Kamis kemarin. Saya pun berusaha meyakinkan wartawan tersebut bahwa tak mungkin hakim-hakim MK mau dipanggil oleh Presiden dan tak mungkin Presiden’memanggilhakim-hakim MKuntuk membicarakan perkara yang sedang berlangsung.

“Itu hal yang dilarang, baik oleh hukum maupun oleh etika,” jawab saya. Kemudian saya pun menjelaskan, mungkin saja hakim-hakim MK bertemu dengan Presiden, tetapi tak mungkin membicarakan perkara yang sedang ditangani MK. “Bagaimana menurut aturan dan menurut pengalaman Bapak?” tanya wartawan itu lagi.

Dengan tetap yakin bahwa tak mungkin Presiden memanggil hakim-hakim MK dan tak mungkin hakim-hakim MK begitu bodoh untuk mau dipanggil oleh Presiden, saya jelaskan kepada wartawan itu.

Anda boleh cek ke mana pun dankepada siapapun, terinasuk kepada (mantan Presiden SBY dan orang-orang dekatnya. Selama memimpin MK saya tak pernah dipanggil oleh Presiden atau menghadap Presiden untuk membicarakan perkara. Itu haram hukumnya.

Presiden SBY dan saya samasamatahubahwakamitidakbo-leh inembicarakan perkara di luar sidang resmi MK yang terbuka untuk umum. Ketika dulu MK menangani perkara hasil Pilpres 2009, saat kemenangan pasangan SBY-Boediono digugat oleh dua pasangan lainnya, ada isu berembus kencang bahwa Ketua MK bertemu Presiden pada 01.00 dini hari di Cikeas. Dua hari menjelang pengucapan putusan atas sengketa hasil pilpres itu, isu tersebut menyeruak melalui SMS berantai dan beberapa media online.

Teman saya yang wartawan senior, Freddy Ndolu, pukul 05.00 WIB menelepon saya. “Pak Ketua, ini santer berita, Pak Ketua tadi bertemu Pak SBY di Cikeas untuk mengatur putusan. Apa boleh begitu?” tanyanya de nganserius. Sayajawab, ituberita sampah. “Sudah beberapa hari saya bersama hakim-hakim MK dan para panitera tidur di Gedung MK untuk menyiapkan vonis.Sejak kemarin saya bersama merekadi Gedung MK dan saya tidak ke mana-mana,” jawab saya.

Sambil bercanda saya jelaskan kepada Freddy, tak mungkin SBY memanggil saya di tengah malam karena itu waktunya tidur dan Presidenpastimengantuk.Saya pun tidak maudipanggil Presiden di tengah malam karena saya juga mengantuk. “Menurut hukum, Presiden tidak boleh memanggil ketua MK, tetapi Ketua MK boleh memanggil Presiden untuk hadir di persidangan,” kata saya.

Apakah sebagai ketua MK saya tak pernah bertemu dengan Presiden? Tentu sering sekali, tetapi tidak pernah membicarakanperkara dan tidak hanya dua pihak. Saya sering bertemu Presiden dalam acara pertemuan rutin antarpimpinan lembaga negara. Saya sering bertemu dan duduk semeja dengan Presiden dalam acara gala dinner menyambut kepala negara atau pemerintahan asing yang menjadi tamu resmi negara.

Saya sering bertemu Presiden dalam acara-acara kenegaraan atau hari-hari besar nasional yangbisa dilihat olehumum. Tapi kami tak pernah berbicara perkara yang sedang ditangani MK. Meski dalam beberapa hal saya mengkritik SBY, dalam hal ini saya jujur memuji SBY. Dia tidak pernah menanyakan perkara apapun ketika bertemu dengan saya.

Memang SBY pernah meng hubungi saya menanyakan vonis MK yang sudah diputus, bukan perkara yang sedang diperiksa. Misalnya saat MK memutus bahwa paspor dan KTP bisa dipergunakan untuk memilih di TPS, SBY menelepon saya untuk memastikan apa benar vonisnya begitudan bagaimana detail teknisnya. Saat MK memutus bahwa jabatan Jaksa Agung HendarmanSupandjiharusberakhir atau segera diangkat lagi, SBY yang belum mendapat salinan vonis langsung menelepon saya untuk memastikan “Saya ingin tahu dari Pak Mahfud agar nanti Presiden tidak salah dalam melaksanakan vonis MK,” kata SBY ketika itu.

Jadi kalau Presiden menghubungi Ketua MK tidak boleh membicarakan perkara yang sedang berjalan atau sesuatu yang berpotensi menjadi perkara di MK. Paling banter Presiden hanya boleh menanyakan perkara yang sudah divonis untuk memastikan kebenaran isinya. Mendapat penjelasan itu, wartawan masih mengejar saya dengan pertanyaan, “Apa Ketua MK dan hakim-hakim MK benar-benar tidak pernah bertemu secara terbatas dengan Presiden?”

Sayajawab, tentu pernah Ke tika anak saya akan menikah saya bertemu Presiden untuk menyampaikan undangan langsung secara pribadi. Saat akan menggelar konferensi internasional antar-MK sedunia, kami para hakim MK menemui Presiden secara khusus untuk menyampaikan permohonanmembuka dan memberi amanat. Tapi tak pernah sekali pun MK bertemu dengan Presiden untuk membicarakan perkara yang sedang ditangani atau sesuatu yang berpotensi menjadi perkara di MK. Itu haram hukumnya.

 

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 3 September 2016.

 

 

 

 

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Adalah salah pendapat mereka yang mengatakan bahwa lembaga legislatif yang membentuk UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan telah gagal membentuk UU yang baik dan pro terhadap kemajuan. Adalah salah mereka yang mengatakan bahwa pembentuk UU No 12 Tahun
2005 telah gagal membaca dan memahami tren perkembangan dunia.

Ini harus dijernihkan karena ketika mencuai kasus dwikewarganegaraan Arcandra Tahar yang harus lengser dari jabatan menteri yang baru didudukinya selama 20 hari, tiba-tiba banyak yang mengatakan bahwa UU Kewarganegaraan itulah biang keroknya. Kata mereka pembentuk UU tidak paham pada tren dunia yang akan terus mengglobal.

Mereka menuding pula bahwapembentukUU No 12 Tahun 2006 berwawasan picik karena menetapkan politik hukum kewarganegaraan tunggal.

Kata mereka pula, bangsa-bangsa di dunia sekarang ini sudah mengglobal, banyak yang bukan hanya memberlakukan sistem dwi kewarganegaraan, tetapi lebih dari itu ada yang memberlakukan multi kewarganegaraan.

Kasus Arcandra dijadikan contoh betapa UU Kewarganegaraan kita telah menutup pintu bagi putra terbaik yang superpandai untuk mengabdi kepada bangsa dan negaranya. Ar-candra yang, katanya, sangat genius dan diperebutkan negara asing untuk mengamalkan ilmunya bagi kemajuan justru dihambat oleh politik hukum kewarganegaraan kita untuk mengabdi di tanah air sendiri.

Pendapat mereka yang menilai pembentuk UU itu gagal memahami tren perkembangan dunia adalah salah. Sebab sebenarnya pembentuk UU Kewarganegaraan pada saat itu sudah mendiskusikan dengan sangat komprehensif tetek bengek tren perkembangan dunia itu. Saat itu saya adalah salah seorang anggota Panitia Khusus RUU Kewarganegaraan yang diketuai Slamet Effendi Yusuf.

Yang masih saya ingat, selain saya ada anggota lain yang juga sangat aktif, yakni Murdaya Poo dan Lukman Hakim Saifuddin yang kini menteri agama. Ada pun pihak pemerintah dipimpinlangsung Menkumham saat itu, Hamid Awaluddin. Sebelum pada akhirnya menetapkan sistem kewarganegaraan tunggal Pansus sudah mendiskusikan kemungkinan pemberlakuan dwi kewarganegaraan maupun multi kewarganegaraan.

Namun, akhirnya, demi kedaulatan Indonesia yang seluruh sumber daya alamnya harus dimanfaatkan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat, dite tapkanlah berlakunya sistem kewarganegaraan tunggal de ngan toleransi pemberlakuan sistemdwikewarganegaraan se cara terbatas. Apa batasannya?

Bagi anak yang lahir dari perkawinan campuran antara orang tua WNI dengan warga negara asing serta bagi pasang an WNI yang melahirkan anak di negara-negara yang meng anut sistem ius soli, bagi si anak diberi toleransi untuk memiliki dua kewarganegaraan sampai usia 18 tahun. Perdebatan sempat menukik ke soal alternatif antara prinsip kemanusiaan dan prinsip kebangsaan serta kerakyatan kita.

Berdasar prinsip kemanusiaan, kita harus memperlakukan semua manusia di bumi untuk memperoleh kewarganegaraan, termasuk di Indonesia. Tapi berdasar paham kebangsa an dan kerakyatan yangjuga sangat fundamental di dalam konstitusi kita, kita harus mengatur secara eksklusif dengan memprioritaskan semua kebijakan, baik kewarganegaraan maupun kepemimpin negaraan, untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan kepentingan bangsa kita sendiri.

Politik hukum yang demikian dinilai lebih sesuai dengan tujuan kita mendirikan Indonesia merdeka dengan semangat nasionalismenya yang niscaya eksklusif. Jadi dalam hubungan antara asas kemanusiaan dan kebangsaan, kita memihak pada kepentingan bangsa kita sendiri tanpa harus terjebak ke chauvinism. Harus diketahui, UU Kewarganegaraan kita dilahirkan sebagai konsekuensi dari ketentuan UUD 1945 hasil amendemen yang sangat pro pada hak asasi manusia.

Di dalam Pasal 28D ayat (4) UUD 1945 ditegaskan bahwa setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. UU Kewarganegaraan kita mengatur, demikemanusiaan dan bakasasi manusia, kita harus memberi jaminan agar setiap anak yang lahir mempunyai kewarganegaraan. Pada saat yangsamadiatur juga toleransi untuk menyetujui dwikewarganegaraan bagi anak yang karena hukum lahir dengan dwikewarganegaraan untuk pada saatnya nanti harus memilih salah satunya.

Anak-anak yang lahir di Indonesia dari orang tua yang berkewarganegaraan asing dengan sistem ius soli (kewarganegaraan di peroleh karena tempat kelahiran seperti AS) akan menjadi tidak berkewarganegaraan karena Indonesia menganutius sanguinis (kewarganegaraan diperoleh sesuai dengan kewarganegaraan orang tuanya). Maka itu UU Kewarganegaraan Indonesia mengatur memberi kewarganegaraan otomatis bagi mereka.

Sebaliknya, warga negara Indonesia yang melahirkan anaknya di negara asing yang menganut sistem ius soli, maka anaknya menjadi merniliki dua kewarganegaraan. Maka itu UU Kewarganegaraan kita mengizinkan anak tersebut mempunyai dwi kewarganegaraan sampai usia 18 tahun. Orang-orang asing pun diperbolehkan menjadiwarganegara Indonesiame lalui naturalisasi.

Begitu pun WNI yang kehilangan kewarganegaraan diperbolehkan mendapat status kewarganegaraannya lagi, tetapi juga harus melalui naturalisasi. Bahkan Presiden bisa menganugerahkan status kewarganegaraan bagi mereka yang (sudah) bukan WNT jika berjasa atau sangat diperlukan tenaga nya di Indonesia. Tapibaiknahralisasi maupun karena pewarganegaraan sebagai anugerah dari Presiden tetap tidak boleh menyebabkan seorang WNI mempunyai kewarganegaraan.

Semangat politik hukum kewarganegaraan kita adalah menjamin kepemilikan status warga negara bagi setiap orang, tetapi secara eksklusif tetap mengutamakan kepentingan bangsa dan rakyat kita sendiri. Maka itu kita menganut sistem kewarganegaraan tunggal dengan toleransi dwikewarganegaraan secara terbatas. Itulah terjemahan nasionalisme kita ke dalam politik hukum kewarganegaraan kita kala itu.

Kalaulah nasionalisme yang seperti ini sekarang dianggap sudah tidak relevan dan perlu diperbaiki lagi, tentu saja hal itu bisa dilakukan, sebab hukum adalah kesepakatan alias resul tante dari setiap perkembangan situasi dan kondisi. Tapi jangan menuding bahwa pembentuk UU yang dulu telah gagal memahami situasi tentang tren globalisasi. Pembentuk UU yang dulu telah mendiskusikandanpaham tentang itu tetapi itulah resultante yang dicapai pada saat itu dalam menerjemahkan nasionalisme kita. Kalau mau dibuat resultante baru, ya, boleh saja.

 

Tulisan ini sudah dimuat dalam Koran Sindo, 27 Agustus 2016.

 

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Dalam beberapa hal, mungkin kita tidak sependapat dengan
Haris Azhar. Tetapi jika akivis prodemokasi dan penegakan hukum ini berbicara di depan televisi atau media lainnya, biasanya sangat ekspresif namun tidak meledak-ledak, artikulasinya bagus, logikanya runut, kalimatnya teratur.  Pokoknya, terlepas dari soal kita setuju atau tak setuju, cara Haris Azhar berbicara adalah menarik dan impresif.

Tetapi dalam seminggu terakhir ini kita kehilangan cara tampil Haris yang menarik itu. Saya melihat dia  tampak nervous saat tampil di depan televisi, penampilannya menjadi seadanya, sinar matanya agak redup dan terlihat galau. Bahkan saat tampil di sebuah dialog televisi swasta menjelang tengah malam beberapa hari yang lalu, Haris sering salah omong sampai-sampai dia sendiri mengatakan, “Saya sering salah bicara malam ini’.

Rasanya tak bisa dibantah, perubahan cara tampil Haris itu terkait dengan publikasi pembicaraannya dengan Freddy Budiman yang baru saja dieksekusi hukuman mati. Dia mengunggah di media sosiai tentang pembicaraan langsungnya dengan Freddy Budiman. Isinya kemeajalelaan Freddy sebagai gembong  narkotika yang seperti sakti adalah karena bantuan dan pernbayaran uang miliaran rupiah kepada oknum-oknum aparat yakni, Polri, TNI  dan BNN melaporkannya ke Bareskrim untuk diusut sebagai  pelaku tindak pidana.

Banyak yang bertanya, di mana kesalahan Haris kok harus dipidanakan? Bukankah sudah menjadi pembicaraan biasa (bukan rahasisa umum lagi) di tengah-tengah masyarakat bawah banyak oknum Polri, TNI  dan BNN yang terlibat dalam peredaran narkoba?

Bukankah pula masalah keterlibatan aparat Polri, TNI, dan BNN dalam peredaran narkoba sudah banyak terbukti dan pengungkapan oleh BNN sendiri dan oleh vonis pengadilan?

Belum lama ini diberitakan secara meluas adanya dua oknum BNN di Polda Metro Jaya yang dijebloskan ke penjara karena terlibat kejahatan narkoba. Ada juga pejabat BNN di luar Jawa yang nyata-nyata ditangkap karena terlibat peredaran narkoba, hanya beberapa waktu setelah sang pejabat berbicara didepan publik bahwa dirinya akan tegas dalam memberantas kejahatan narkoba.

Kepala BNN Budi Waseso Sendiri Pernah mengatakan, sulitnya memberantas kejahatan narkoba disebabkan banyaknya oknum Polri, TNI, dan BNN yang terlibat.

Lalu, dimana letak kesalahan Haris Azhar kalau mengunggah hasil pembicaraan panasnya dengan Freddy Budiman? Apakah karena dia bukan pejabat atau karena aktivis yang terlalu vokal? Secara lahiriah, kesalahan Haris Azhar adalah karena dia mengumumkan keterlibatan aparat yang dikaitkan dengan kasus konkret, tapi tidak disertai bukti agar bisa diusut.

Kasus konkretnya adalah kejahatan Freddy Budiman. Kalau oknum-oknum aparat korup yang memeras atau menerima setoran dari Freddy Budiman memang ada, pastilah bisa diungkap asal ditunjukkan peta jalannya. Dalam hal ini, Haris tidak mengungkap nama oknum(atau inisialnya), sementara Freddy Sudah dieksekusi. Mengapa informasi itu tidak dia sampaikan sebelum Freddy dieksekusi?

Dari sudut pelapor, langkah Harisitubisa dianggap sebagai fitnah yang hanya ingin membuat kegaduhan dan keresahan. Mengapa? Karena dia mengumumkan pengakuan panas orang yang sudah dieksekusi mati, tetapi tidak disertai bukti atau jejak bukti yang bisa dilacak. Dengan apa yang dilakukan itu, Haris tampaknya akan dipidanakan karena ujaran kebencian dan pelanggaran UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Melihat kasus Haris Azhar ini, saya jadi teringat pada sebuah film yang sangat bagus, Life of David Gale yang dibintangi Kevin Spacey dan Kate Winslet. Film yang dibesut oleh Alan Parker Itu Bertemakan Perjuangan anti hukuman mati.

Dalam perjuangannya untuk menghapus hukuman mati, David yang seorang profesor membuat rekayasa seakan-akan dialah yang melakukanpemerkosaan dan pembunuhan keji terhadap seorang mahasiswi di Austin University, Constance Harraway. Dialah, misalnya, yang meletakkan sidik jarinya di mayat Harraway. Dia pun diadili dan dijatuhi hukuman mati.

Akhirnya David Gale dieksekusi mati. Tetapi dengan kecerdasannya sebagai seorang profesor, melalui seorang wartawati terkenal, dia sudah mengatur agar setelah dia dieksekusi maka semua fakta bahwa bukan dia yang membunuh Harraway bisa diungkap kepada publik. Dan, itulah yang kemudian terjadi. Masyarakat pun menjadi geger karena ternyata pengadilan telah salah menghukum mati seorang profesor yang tidak bersalah.

Pesan film Life of David Gale itu memang propaganda anti hukuman mati. Saya tidak tahu, apakah Haris Azhar melakukan pengungkapan info dari Fredd: Budiman itu terinspirasi ata! ingin memberi pelajaran dar pesan film Life of David Gale itu Tetapi Kalau Itu Benar, Harisme mangagak ceroboh karena tidak menyiapkan bukti-bukti seperti yang dilakukan oleh David Gale.

Lagi pula, film Life of David Gale itu hanyalah sebuah film imajinatif yang memang mempropagandakan anti hukuman mati. Film seperti itu bisa dan sudah dilawan oleh film-film yang bertemakan sebaliknya. Namanya juga film imajinatif, ya, begitulah.

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 6 Agustus 2016.

 

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Kegalauan banyak pihak tentang melunturnya jati I diri dan melemahnya kedaulatan kita dirasakan juga oleh anak-anak kita yang sedang belajar di luar negeri. Sejak Sabtu pe kan lalu sampai Rabu pekan ini, melalui wadah Persatuan Pelajar Indonesia (PPI), mereka berkumpul di Kairo, Mesir, dalam satu simposium internasional PPI sedunia, “Memperteguh Identitas Bangsa Indonesia”. Tema itu merefleksikan keresahan mereka tentang Indonesia, negara yang mereka puja dan cintai.

Mereka menyatakan Ibu Pertiwi yang dicintainya sedang menghadapi problema dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, budaya, bahkan kehidupan beragama. Kata mereka, dalam menghadapi berbagai problema itu sudah banyak juga orang-orang kita yang menawarkan solusi, tetapi solusi-solusi yang mereka tawarkan berhenti di konsep-konsep yang tidak pernah menyatu dan tidak ada yang bisa dilaksanakan konsisten.

Konsep-konsep itu pun diajukan sebagai klaim-klaim yang berangkat dari paradigma yang berbeda, ada yang berangkat dari cara pandang Barat yang katanya universal, ada yang berangkat dari cara pandang Timur yang partikular.

Solusi yang ditawarkan banyak, tetapi kontradiktif sehingga tidak bisa diimplementasikan dalam satu langkah. Semua merasa benar dan mengambil jalur sendiri-sendiri.  Keadaan itu menyebabkan terjadinya pelunturan identitas bangsa yang juga secara pelan menggeris kedaulatan kita sebagai Negara. Di dunia internasional terkadang harga diri kita sebagai bangsa tampak disepelekan. Melalui proposal simposium mereka mengajukan pertanyaan lugas: Adakah identitas dan jati diri kita? Adakah kita telah atau masih berdaulat? Mana jati diri  dan kedaulatan itu?

Soal identitas dan jati diri bangsa, meskipun tidak bisa dirumuskan dalam kalimat yang pendek, sebenarnya sudah kita miliki secara tegas dan nyata. Indonesia, baik sebagai bangsa maupun sebagai negara, mempunyai identitas “kebersatuan dalam keberagaman”, Bhinneka Tunggal Ika, unity in diversity. Bayangkanlah, negara kita terdiri atas 17.504 pulau, 1.360 suku, dan 726 bahasa daerah. Di Indonesia juga ada banyak agama dan kepercayaan yang dianut oleh warganya, ada berbagai ras dan warna kulit yang semuanya diikat dalam kebersatuan bangsa Indonesia.

Merujuk uraian Bung Karno pada pidato di BPUPKI tanggali Juni 1945, bangsa kita merupakan ikatan kebersatuan sekumpulan manusia yang sangat beragamikatan primordialnya, tetapi mempunyai nasib dan cita-cita yang sama di tanah (bagian bumi) yang sama yakni Nusantara. Masyarakat kita adalah masyarakat yang religius, toleran, ramah, santun, gotong royong, dan tolong-menolong. Itulah identitas dan jati diri bangsa kita. Tetapi ke mana identitas dan jati diri itu sekarang? Masihkah kita hayati da lam kehidupan kebangsaan kita? Pertanyaan-pertanyaan ini muncul karena kalau identitas dan jati diri itu benar seperti itu tentulah kita tidak menghadapi tindakan-tindakan intoleran, fakta kemiskinan massal. ketimpangan ekonomi, dan ketidakadilan sosial yang menimbulkan pertanyaan lanjutan, yakni kedaulatan.

Kalau ditanyakan secara verbal,apa kita ini mempunyai kedaulatan, tentu jawabannya yang juga verbal kita ini berdaulat. Fakta bahwa Indonesia merupakan satu negara merdeka adalah fakta juga bahwa Indonesia mempunyai kedaulatan. Salah satu syarat konstitutif adanya negara adalah adanya pemerintahan yang berdaulat dan Indonesia merupakan negara yang nyata-nyata ada. Jika syarat keberadaan negara yang berdaulat itu dikaitkan dengan syarat deklaratif, yakni adanya pengakuan dari negara-negara lain, jelas keberadaan Indonesia dan kedaulatannya sudah mendapat pengakuan dari negara-negara lain. Selain menjadi anggota PBB, Indonesia juga mempunyai duta besar di berbagai negara dan negara-negara lain mempunyai duta besarnya di Indonesia. Itu tanda kita mempunyai kedaulatan dan kedaulatan kita adalah kedaulatan rakyat.

Hal yang menjadi masalah terkait kedaulatan Indonesia sebenarnya bukan tidak adanya kedaulatan secara formal-konstitusional, tetapi bergesernya letak kedaulatan tersebut dari tangan rakyat ke tangan elite politik. Dalam praktik sekarang ini, kedaulatan rakyat hanya dilakukan oleh rakyat pada saat mencoblos dalam pemilu. Sesudah rakyat memberikan suaranya saat pemilu yang mungkin hanya lima menit itu, urus-urusan negara kemudian didorong oleh elite politik, terutas para pimpinan parpol. Konfigrasi politik bukan lagi demok si, melainkan menjadi oligarki  politik yang dikuasai oleh elit

Ada juga yang menyebut litik kita sekarang berkonfigrasi poliarki karena kebijakan-kebijakan negara dikangkan oleh elite partai politik yang be kolaborasi dengan elite orma elite kelompok profesional, de pebisnis kakap. Akibatnya, kedaulatan hukum menjadi 1 mah. Hukum menjadi sang konservatif bukan hanya sa ditegakkan, tetapi juga pad saat akan dibuat. Ketika kedal latan hukum lemah, kedaulatan politik pun menjadi lemah terutama kalau berhadapan dengan pihak luar. Mengapa? Karena hukum bisa dikait-kaitkan berdasar kepentingan politik, bisnis, dan lain-lain.

Diarena simposium PPI Kairo itu muncul juga usul aga kedaulatan rakyat diubah saja ke sistem kedaulatan Tuhan (teokrasi). Tetapi saat itu saya menjawab, konsepsi teokras akan menjadikan kita semakin kacau. Jalan terbaik adalah menggeser kedaulatan yang sekarang ada di tangan elite sebagai kembali berada pada rakyat Kita bisa berharap hal itu dilakukan oleh pemerintah yang sekarang. Pemerintah yang sekarang mempunyai modal yang kuat untuk melakukan itu.

 

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 30 Juli 2016.

 

 

 

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Berita yang muncul Rabu dua hari yang lalu, itu mengejutkan bagi orang yang tidak paham hukum, tetapi tidak berarti apa-apa bagi orang yang paham hukum dan peta permainan politik.

Bagi orang yang paham hukum, berita itu bisa dianggap sebagai lucu-lucuan dan bagi yang suka mengamati politik berita itu hanya bagian kecil dari belantara permainan politik di negeri ini. Berita apa gerangan?

Beritanya, “Pengadilan Rakyat Belanda Menyatakan Indonesia Bersalah atas Pembunuhan Anggota PKI”. Hagh? Orang yang tidak paham hukum terkejut, ada yang panik dan ada yang senang, tergantung dari posisinya.

Padahal dari sudut hukum, tidak ada pengadilan yang membuat putusan seperti itu. Yang memutuskan itu ternyata bukan pengadilan, melainkan sekelompok orang yang kemudian diberi nama agak mirip dengan pengadilan, yakni International People International Peoples Tribunal on Crimes Against Humanity 1965 (disingkat IPT).

Dalam kesimpulan yang disebut putusan) itu, IPT yang dipimpin oleh Saskia E Wieringa juga meminta pemerintah Indonesia untuk segera meminta maaf kepada seluruh korban dan memberikan kompensasi serta pemulihan nama baik. Se gawatitukah?”Apa Konsekuensi putusan pengadilan IPT Den Haag Itu terhadap Indonesia?”, demikian pertanyaan-pertanyaan yang masuk ke akun Twitter, WhatsApp, dan pesan pendek di telepon genggam saya.

Atas pertanyaan itu saya menjawab, “Tak ada konsekuensi apapun. Pengadilan Rakyat di Den Haag itu hanya dagelan, bukan pengadilan resmi, hanya lucu-lucuan saja”.  Sebab yang dikatakan sebagai Pengadilan Rakyat Belanda oleh berita itu adalah IPP, Sebuah tim yang dibuat oleh aktivis-aktivis yang bergerak di bidang perlindungan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia dan Belanda.

Tugas IPT tersebut, taroklah mengadili kesalahan pemerintah Indonesia pada apa yang kita kenal sebagai peristiwa G30 S/PKI. Karena IPT bukan lembaga peradilan resmi, melainkan hanya sebuah tim yang dibentuk oleh orang atau lembaga yang sama sekali tidak berwenang, maka keputusannya dapat juga dianggap sebagai keputusan lelucon.

Artinya, kita pun yang kebetulan sedang minum kopi di jalanan bisa juga membentuk majelis hakim lucu-lucuan untuk membuat pengadilan dan membuat putusan yang sebaliknya. Tetapi Putusan IPT malpun majelis hakim lucu-lucuan yang bisa kita buat itu sama tidak mengikatnya. Musababnya, pengadilan yang dibentuk secara swasta seperti itu tidak mempunyai kewenangan apa pun secara yuridis untuk memutus kasus.

Pengadilan seperti IPT itu bagi orang yang pernah menjadi mahasiswa Fakultas Hukum pada tahun 1970-80-an sama belaka dengan peradilan semu, yakni kuliah ekstrakurikuler dalam format sandiwara sidang pengadilan untuk melatih mahasiswa agar terampil dalam beracara di pengadilan. Waktu masih mahasiswa dulu, saya pernah manggung dua kali dalam kelas peradilan semu, ya pertarta menjadi jaksa penu tytumunidan yang kedua menjadi hakim. Tentu saja sidan nya sambil cengengesan seba memang dimaksudkan hany untuk main-main.

Apakah dengan demikian dang-sidang IPT itu tidak serius atau bahkan har? Aktivis-aktivis yang membentuknya tent serius membuat itu sebagai ba gian dari perjuangannya melindungi HAM dan menegakkan demokrasi. Tetapi produknya alah yang hanya lucu-lucuan karena tidak mengikat apa-apa secara hukum. Majelis IPT juga bisa dianggap “Liar” dalam arti tidak ada jalur hukum pemben tukan maupun daya ikat keputusannya yang memutus seolah-olah sebagai pengadilan.

Saya ingin memberitahu kepada orang awam yang mung Idin bisa tertipu karena keamanannya di bidang hukum bahwa pengadilan pidana, berdasarkan lingkup kompetensinya, hanya ada dua.

Yang pertama adalah pengadilan pidana di masing-masing negara yang bernaung di bawah Mahkamah Agung, dan yang kedua adalah pengadilan pidana internasional yang berada di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Peradilan pidana internasional adalah International Criminal Court (ICC), bukan IPT.

Apakah berdasarkan putusan majelis IPT itu para pejuang HAM dan demokrasi tidak bisa membawa kasus 1965 di Indonesia ke PBB? Apakah mereka tidak bisa meminta pemerintah Indonesia meminta maaf de memberi ganti rugi? Jawaban nya, tidak ada hukum yang melarang orang atau siapa pun  menyampaikan usul kepada PBI Tapi Tidak harus IPT, komunitas Twitter juga bisa. Menyampaikan usulkan boleh saja.

Begitu pula, siapa pun bole! meminta kepada pemerintah Indonesia untuk meminta maa kepada korban tahun 1965 dar memberi kompensasi kepada yang masih hidup. Dulu kita juga sudah pernah membuat UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dengan maksud yang sama untuk semua ka sus pelanggaran HAM di masa lalu. UU tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi era Jimly Asshiddiqie dengan aratan supaya diperbaiki agar jelas cantolan konstitusionalnya untuk kemudian dapat diundangkan lagi.

Saya (dan banyak dari kita) setuju agar peristiwa pahit 1965 Dijernihkan untuk kemudian dilakukan rekonsiliasi supaya kita rukun bersatu sebagai Dangsa. Tetapi, sebagai anak mangsa juga, saya termasuk ang tidak setuju kalau masalah tersebut disuruh goreng kepada pihak luar negeri.

Tuntutan meminta maaf un bisa juga diajukan tetapi arus jelas, yang meminta maaf siapa dan yang dimintai maaf itu siapa. Pemerintah bersama rakyat-pun bisa mengabulkan atau menolak usul permintaan maaf itu, kalau atas nama negara.

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 23 Juli 2016.

 

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Masih ada saja orang yang mempertentangkan antara tugas bernegara dan tugas beragama. Mereka menganggap melaksanakan tugas agama (ibadah) tidak mempunyai kaitan dengan melaksanakan tugas negara. Di kalangan kaum muslimin di Indonesia, pendapat yang seperti ini ada juga. Padahal, dari sudut Islam, melaksanakan tugas negara itu ya melaksanakan tugas agama. Pandangan ini bisa dilihat dari misi kenabian.

Ketika Nabi Muhammad mendapat wahyu untuk mengajak umat manusia, utamanya kaum Qurais, menyembah Tuhan Yang Maha Esa atau mengajak kembali ke tauhid, perintah ikutannya adalah melawan kezaliman dan membongkar struktur sosial yang tidak berkeadilan.

Nabi pun melawan tokoh-tokoh Qurais yang korup dan tidak adil seperti Abu Jahal, Abu Lahab.

Nabi juga diperintahkan oleh Allah untuk mengajak umatnya berjuang mengentaskan masyarakat kemiskinan dan meng. angkat kaum lemah-papa (duafa). Di dalam ayat-ayat Alquran yang turun pada periode Mekkah (sebelum Nabi hijrah ke Madinah), perintah membangun kesejahteraan sosial itu sangat tegas. Di dalam Surat Al-Maun, misalnya, disebutkan bahwa orang yang mengabaikan anak yatim dan tidak peduli kepada orang miskin adalah pendusta (bohong dan berpura-pura saja) dalam beragama.

Bahkan di surat yang sama dikatakan bahwa orang yang sa lat itu akan diganjar dengan neraka (way) jika lalai dalam salatnya. Lalai dalam salat bukan hanya berarti malas melakukan ritualnya sesuai dengan rentang waktu-waktunya, melainkan juga lalai terhadap konsekuensi sosial dari salat. Konsekuensi sikap sosial dari salatiga disimbol kan oleh gerakan terakhir salat, yakni mengucapkan selamat sambil menoleh kekanan dan kekiri.

Salat dimulai dengan takbir (Allahu Akbar yang berati hanya beriman dan akan menyembah Allah Yang Maha Esa’ (vertikal). Salat diakhiri dengan salam sambil menoleh ke kanan dan ke kiri yang berarti setelah salat akan memperhatikan keadaan dikanan dan dikiri(horizontal), yakni memperhatikan kehidupan sekeliling dan siap membangun kesejahteraan masyarakat. Itulah tugas dan kewajiban dalam beragama.

Tugas dan kewajiban yang bersumber dari agama tersebut sama belaka dengan tugas dan kewajiban bernegara berdasar konstitusi di Indonesia. Menurut Alinea 1 Pembukaan UUD 1945 Indonesia memerdekakan diri dari penjajahan karena penjajahan tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Selanjutnya menurut Alinea IV Pembukaan UUD 1945 salah satu tujuan negara kita adalah memajukan kesejahteraan umum.

Tujuan negara tentang pembangunan kesejahteraan sosial itu diperkuat lagi di dalam sila kelima dari dasar negara (Pancasila), yakni “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Bukan hanya itu. Didalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dicantumkan juga citu bab tersendiri tentang tÆ° gas membangun kesejahteraan masyarakat, yalini Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial.

Pada Pasal 33 yang merupakan bagian dari Bab XIV tersebut ditekankan bahwa sumber daya alam kita dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Selanjutnya pada Pasal 34 ditegaskan juga bahwa fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara dan ne gara harus membangun sistem jaminan sosial dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

Dengan demikian secara mendasar ada perhimpitan dalam arti kesamaan kewajiban yang dibebankan kepada kita oleh agama dan oleh negara, yakni membangun kesejahteraan umum dan keadilan sosial, mengangkat kaum duafa dari keterpurukan. Jadi beragama adalah bernegara, melaksanakan kewajiban agama adalah melaksanakan kewajiban ne gara. Isi Surat Al-Maun dalam Alquran adalah sama dengan isi Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 yang mewajibkan kita menolong anak yatim (telantar) dan memedulikan orang-orang miskin.

Karena ada perhimpitan misi dan tugas yang seperti itu, maka ada yang berpendapat bahwa membayar pajak sebagai kewajiban terhadap negara itu sama wajibnya dengan membayar zakat sebagai kewajiban dalam agama. Bahkan ada yang berpendapat lebih jauh dari itu, membayar pajak itu dapat dijadikan sebagai ganti pembayaran zakat. Kita tidak harus sependapat dengan hal tersebut, tetapi pesan dasar yang bisa disepakati adalah: membela kaum lemah-papa (duafa), anak yatim terlantar, dan fakir miskin merupakan kewajiban atau tugas sucikita di dalam beragama dan bernegara.

Maka itu, siapa pun kita akan menjadi pendusta tau berpura-pura saja dalam beragama kalau kita tidak mau menegakkan keadilan dan tidak ikut membangun struktur sosial dan politik yang adil. Orang yang tak peduli dan tak berani menegakkan keadilan bagi kaum duafa juga dapat dianggap tidak mempunyai nasionalisme atau sikap pembelaan terhadap eksistensi bangsa dan negaranya.

Mengapa? Karena kemiskinan bisa menimbulkan kekufuran atau suka melanggar karena terpaksa dan didesak oleh kebutuhan. Mengapa Pula? Karena ketidakadilan menjadi bibit runtuhnya sebuah negara. Saya sering mengatakan, basis nasionalisme kita ke depan tidak dilakukan dengan perang yang didukung peralatan perang fisik melawan agresi negara lain. Basis nasionalisme kita ke depan adalah penegakan hukum dan keadilan. Kalau mau membela negara, tegakkanlah hukum dan keadilan. Kalau kita tak mau menegakkan hukum dan keadilan untuk mengangkat derajat kemanusiaan kaum lemah, bisa diartikan rasa nasionalisme kita tipis karena membiarkan terjadinya ancaman bagi eksistensi negara dan bangsa.

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 16 Juli 2016.

 

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

“Apakah tidak ada segi-segi positif dan titik te L rang yang bisa mendorong Indonesia menjadi lebih baik dan selamat dari perusakan-perusakan yang menderanya? Analisis Bapak tadi membuat dada sesak dan mencemaskan. Apa yang bisa kita lakukan?”. Demikian seorang dosen bertanya kepada saya ketika Selasa (28/6) pekan lalu saya memberi studium generale di Universitas Islam Kadiri (Uniska), Kediri.

Di forum ilmiah itu saya memang mengupas problem masa depan Indonesia yang tampaknya dirongrong oleh buruknya penegakan hukum.

Saya katakan, berbagai persoalan yang sekarang melilit bangsa ini akan selesai lebih dari separuhnya jika hukum ditegakkan dengan benar.

Kerusakan di bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan sebagainya yang terjadi sekarang ini disebabkan oleh terjadinya pengangkangan atas hukum oleh para koruptor, entah itu pejabat, entah itu swasta. Tiga pekan lalu, melalui Kolom di koran ini, saya menulis bahwa hukum kita banyak dikuasai oleh cukong-cukong sehingga meminjam istilah Komisioner KPK Laode M Syarif, muncullah gejala grand corruption

Cukong-cukong membeli hukum, bukan hanya saat menghadapi kasus konkret ketika terlibat perkara di pengadilan, melainkan juga sudah membeli hukum ketika hukum akan dibuat sebagai peraturan yang abstrak. Kita bisa dengan mudah menunjuk kasus, politisi (legislator) dihukum atau ditangkap tangan oleh KPK, karena menjual hukum yang akan dimasukkan ke dalam undang-undang (UU) atau peraturan daerah (perda).

Jadi, isi UU maupun perda bisa dibeli oleh cukong. Artinya, selain mengangkangi proses peradilan jika menghadapi kasus konkret (in concreto) di pengadilan melalui penyuapan kepada penegak hukum, cukong juga membeli isi peraturan perundang-undangan yang bersifat pengaturan secara abstrak (regeling in abstracto ) kepada legislator. Cukong adalah korporasi atau orang yang punya modal, tak terbatas pada etnis atau suku tertentu.

Karena jual-beli hukum dengan cukong itu maka belakangan ini banyak hakim maupun panitera, pejabat maupun politisi, yang ditangkap dan digelandang ke pengadilan oleh KPK. Dulu saya pernah mengantarkan politikus AM Fatwa menghadap ketua Mahkamah Agung untuk melaporkan kasus perampasan tanah warga Betawi secara sewenang-wenang oleh pengembang, Sang warga Betawi yang menempati dan mempunyai tanah yang diwarisi secara turun-temurun dari kakeknya tiba-tiba digusur oleh pengembang.

Ketika melapor kepada yang berwajib, eh, malah sang warga Betawi itu yang diajukan ke pengadilan dengan dakwaan telah menyerobot tanah orang Dia pun sudah menunjukkan bukti-bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan selama bertahun-tahun, tetapi ternyata pihak pengembang sudah memiliki sertifikat. Di negara ini banyak mafia tanah yang melibatkan kongkalikong antara cukong dan pejabat pejabat.

Sebenarnya peran cukong dalam korupsi sudah lama berlangsung. Sebuah grup diskusi dunia maya yang melibatkan kelirumolog Jaya Suprana, Salim Said, HS Dillon, dan lain-lain pekan lalu mendiskusikan isu “Ancaman Trio Cukong, Pejabat, dar Politisi” yang dulu pernah dilontarkan oleh Wilopo.

Wilopo yang pada masa demokrasi liberal pernah menjadi perdana menteri dan pada masa Orde Baru menjadi ketua Dewan Pertimbangan Agung. pernah memperingatkan tentang bahaya tiga begundal korupsi dan perusak negara. “Awas bahaya! Indonesia terancam Trio Persekongkolan, yaitu antara cukong, pejabat, dan petualangan politik,” teriak Wilopo Saat menjadi anggota Komite Empat.

Komite Empat adalah komisi Pemberantasan Korupsi yang dibentuk oleh Presiden Soeharto pada 1970. Ternyata sampai era reformasi, Trio Jahat ini bukannya berkurang melainkan semakin menancapkan kukunya dalam jagat raya penegakan hukum di Indonesia. Sekarang ini ada cukong membeli hukum ada pejabat menjual hukum, dan ada politisi menjadi pedagang hukum. Di sana-sini mulai ada juga orang atau orang LSM yang katanya antikorupsi dan pro demokrasi dan supremasi hukum, tetapi mulai ikut bermain dalam kubangan kumuh pemberantasan korupsi.

Ketika hukum sudah dikangkangi seperti itu maka semua upaya perbaikan menjadi macet, kesejahteraan rakyat semakin jauh panggang dari api, kemiskinan merajalela, kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin menganga. Sungguh sangat mencemaskan bagi masa depan bangsa dan negara.

Kembali ke pertanyaan yang diajukan oleh dosen Uniska tadi. Adakah segi segi positif yang bisa membuat kita optimistis untuk bisa memperbaiki keadaan yang membuat kita resah ini? Jawabannya, “ada asal mau”. Kita sangat kaya dengan sumber daya alam dan mempunyai bonus demografis yang besar.

McKinsey menyebut potensi Indonesia untuk menjadi negara maju sangat besar. Pada 2012, Indonesia Menempati Peringkat ke-16 kekuatan ekonomi dunia dan posisi ini akan naik ke peringkat 7 pada 2030. Begitu besarnya kekayaan sumber daya alam dan bonus demografi kita, sehingga dengan dikelola secara biasa-biasa saja Indonesia akan tetap melesat ke posisi ketujuh.

Ada modal lain yang juga bagus, yakni kebebasan pers yang semakin maju dan bisa dibangun untuk ikut mengarahkan dan mengawasi jalannya pemerintahan dan pembangunan. Bukan pers yang berpolitik secara sempit dalam permainan jangka pendek. Dukungan masyarakat yang menggebu-gebu terhadap upaya pemberantasan korupsi dan penegakan hukum juga menjadi modal yang baik.

Kalaulah kita meyakini bahwa penegakan hukum dan pemberantasan korupsi memerlukan pemimpin yang kuat maka kita juga mempunyainya. Presiden Jokowi terbilang bersih, istri dan anak-anaknya tidak ikut bermain dalam bisnis dan politik. Presiden Jokowi tidak terbebani dan tidak tersandera untuk memimpin upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Jadi, ada harapan asalkan kita mau.

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 9 Juli 2016.