Tag Archive for: UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

(Godean,20 Juni 2017) Pusat Hak Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (Pusat HKI FH UII) bekerjasama dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (DISPERINDAG) Pemerintah Kabupaten Sleman memberikan penyuluhan kepada Kelompok Pelaku Usaha Pembuat Genteng di Godean, Sleman pada pukul 14.00 WIB-selesai.Penyuluhan tersebut bertujuan untuk memberikan sosialisasi mengenai pentingnya pendaftaran merek kolektif bagi Kelompok pembuat genteng di Godean.Penyuluhan tersebut diisi oleh pembicara Dr. Budi Agus Riswandi SH,M.Hum pakar Hak Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.

Sosialisasi merek kolektif ini merupakan respon terhadap laporan salah satu pelaku usaha pembuat genteng godean kepada DISPERINDAG Pemerintah Kabupaten Sleman mengenai penggunaan merek GODEAN oleh orang lain diluar daerah Godean. Atas Pelaporan tersebut Dinas Prindustrian dan Perdagangan Pemerintah Kabupaten Sleman mengundang Pusat Hak Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum UII untuk mengadakan pertemuan dengan Kelompok Pembuat Genteng.

Wilayah Godean sendiri merupakan sentra pembuatan genteng di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kelompok Pelaku Usaha Pembuat Genteng di Godean juga memiliki merek dalam menjalankan aktifitas bisnisnya yang di antaranya adalah SOKKA, SOKKA Super dan lain-lain, di mana merek-merek ini tidak menunjukan identitas dari genteng godean. Sementara itu, nama genteng godean justru dipergunakan oleh pembuat genteng di beberapa daerah di Jawa Tengah seperti Temanggung, Magelang dan Klaten.

Pada Awalnya, Genteng godean akan didaftarkan menjadi Indikasi geografis, tetapi berdasarkan survey Genteng Goden belum memiliki kekhasan yang menjadi syarat dalam pendaftaran indikasi geografi. Akan tetapi berdasarkan kajian Genteng Godean justru memiliki peluang untuk didaftarkan menjadi merek kolektif. Dalam pertemuan tersebut, Pemkab sleman dan Dr.Budi Agus Riswandi,S.H,M.Hum memberikan alternative nama untuk merek kolektif bagi pembuat genteng Godean yaitu merek kolektif GENTENG GODEAN yang mana merek kolektif ini beranggotakan 530 anggota pelaku usaha pembuat genteng godean.

Dalam Paparannya, Budi memberikan informasi mengenai Hak Kekayaan intelektual dan arti penting pendaftaran merek kolektif serta memberikan penjelasan-penjelasan mengenai pelanggaran terhadap merek sebagai persaingan usaha tidak sehat. Menurutnya,Hak Kekayaan Intelektual sangatlah penting terutama bagi pelaku usaha pembuat genteng di Godean.

Budi juga menjelaskan beberapa dampak positif pendaftaran merek kolektif bagi pelaku usaha pembuat genteng godean dapat memperkuat para pelaku usaha pembuat genteng godean, memperluas pemasaran genteng godean dan memajukan kelompok pembuat genteng godean serta meningkatkan perekonomian kelompok pelaku usaha pembuat genteng di Godean .Menurut Pemaparannya,Budi juga berpendapat bahwa kekuatan merek kolektif dapat mengalahkan merek individu serta berimplikasi positif bagi tata kelola produksi dan manajemen pemasaran. Nantinya setelah pendaftaran merek kolektif genteng godean ini, Kelompok pelaku usaha akan diberikan buku manual merek kolektif yang berisikan SOP (Standar Operasional Procedure) mengenai pembuatan genteng ,standar pengujian mutu produk genteng godean dan sebagainya.

Namun ada beberapa kendala dalam pendaftaran merek kolektif genteng godean antara lain kelompok usaha pembuat genteng di godean belum berbadan Hukum. Maka dari itu Pembicara berharap kepada para pihak terkait untuk segera membentuk badan hokum berupa koperasi kelompok usaha pembuat genteng godean agar mendapatkan legalitas dalam pendaftaran merek kolektif genteng godean.

Selain itu,Budi juga memberikan beberapa kemungkinan perlindungan hak kekayaan intelektual selain merek kolektif antara lain paten terhadap mesin pembuat genteng ,serta Desain industri untuk desain bentuk genteng yang mana akan mendapatkan hak eksklusif yang mana hanya Kelompok usaha ini yang berhak atas hak eksklusif tersebut.Selain permasalahan Hak Kekayaan Intelektual pembicara juga memberikan potensi waralaba genteng godean kepada beberapa pelaku usaha diluar kelompok pelaku usaha genteng godean yang mana akan memberikan keuntungan tambahan bagi kelompok usaha genteng godean .

Dalam Akhir penyuluhan tersebut, Dr.Budi Agus Riswandi S.H.,M.Hum dari Pusat HKI FH UII dan DISPERINDAG Pemerintah Kabupaten Sleman berserta Kelompok Pelaku Usaha Pembuat Genteng Godean berharap agar segera mendaftarkan merek kolektif guna memperkuat kelompok pelaku usaha serta membenahi tata kelola produksi dan pemasaran genteng godean,serta berharap agar produk genteng godean yang bermerek kolektif GENTENG GODEAN ini dapat digunakan juga oleh developer perumahan khususnya di Kabupaten Sleman,dan memperluas pemasaran genteng godean baik ke seluruh daerah Indonesia bahkan ke luar negeri.(Redaksi : Renggi Ardya Putra)

(Bantul-Jumat 21/05/2017) Pusat Hak Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (Pusat HKI FH UII) kerjasama dengan Balai Pelayanan Bisnis dan Pengelolaan Kekayaan Intelektual Dinas Perindustrian dan Perdagangan DIY mengadakan pertemuan dengan Kelompok Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) pembuat Emping mlinjo di Kepuh, Wirokerten Kec. Banguntapan Kab Bantul  Daerah Istimewa Yogyakarta pada pukul 15.30 WIB – Selesai. Agenda pertemuan tersebut bertemakan Sosialisasi Pendaftaran Merek Kolektif yang diisi oleh Pembicara oleh Dr. Budi Agus Riswandi SH,M.Hum pakar Hak Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.

Sebagaimana diketahui, Daerah Kepuh, Wirokerten sangat dikenal dengan Sentral pengrajin atau pembuat Emping Mlinjo di Kabupaten Bantul. Kelompok Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) pembuat emping mlinjo berdiri pada tahun 2012, namun kelompok usaha ini belum mempunyai Merek Kolektif dan Para pelaku usaha dalam kelompok itu masih bersaing satu dengan yang lainnya dan memiliki merek dagang secara pribadi. Bahkan ada juga pembuat emping mlinjo yang belum memiliki Merek untuk Emping Mlinjo.

Dalam sosialisasi tersebut, Dr. Budi Agus Riswandi SH M.Hum memberikan pengarahan dan sosialisasi mengenai pentingnya pendaftaran merek kolektif bagi pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), proses pendaftaran merek kolektif, tujuan dan manfaat pendaftaran merek kolektif. Dalam paparannya Budi juga menegaskan merek sebagai alat untuk membedakan produk satu dengan yang lain, serta sebagai sarana untuk menghindari persaingan usaha yang tidak sehat.

Selain itu merek juga dapat juga digunakan sebagai alat untuk promosi serta menentukan kualitas produk. Di samping, pengarahan mengenai merek kolektif Budi juga memberikan kemungkinan pendaftaran Hak Kekayaan Intellektual (HAKI) jenis lainnya, antara lain Pendaftaran desain industri atas kemasan produk, Pendaftaran invensi berupa proses atau metode pembuatan emping dengan menggunakan paten dan sebagainya.

Dalam kesempatan tersebut, Ahmadi selaku pemimpin kelompok pelaku usaha pembuatan emping mlinjo melontarkan beberapa pertanyaan kepada pembicara mengenai pendaftaran merek kolektif dan berharap agar pendaftaran merek kolektif dapat disegera dilaksanakan guna melindungi Merek kolektif bagi para pembuat pelaku usaha dan meningkat harga jual empiing mlinjo. Karena menurut penuturan nya, dalam menjalankan bisnis, para pelaku usaha masih bersaing dan managemen serta pengujian produk belum terlaksana secara baik dan sistematis.

Saat ini, pendaftaran merek kolektif telah menjadi program fasilitasi dari Pemerintah Daerah (PEMDA) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) dengan unit teknis Balai Pelayanana Bisnis dan Pengelolaan Kekayaan Intelektual. Program ini diharapkan dapat melindungi produk-produk UMKM secara kolektif serta menumbuhkan daya saing produk secara kolektif juga pungkas Budi dalam paparan sosialisasi pendaftaran merek kolektif (Renggi).

Kotabaru (21/02/2017)  Perkembangan praktik perdagangan dewasa ini memang sudah masuk pada iklim persaingan usaha yang semakin ketat, kondisi tersebut menimbulkan kerasnya titik singgung persaingan dalam usaha sehingga menuntut para produsen untuk selalu melindungi usahanya dari praktik perdagangan yang tidak sehat dan perilaku curang dari produsen lain. Untuk itu salah satu cara untuk mendapatkan perlindungan terhadap produk khas suatu wilayah adalah dengan melakukan pendaftaran Indikasi Geografis (IG) yang diajukan ke Dirjen HKI agar dicatat dan diberi sertifikat sebagai bukti haknya.

Gambar 1. Kawasan Indikasi Geografis Gula Kelapa Kulonprogo

Sebagai produk khas suatu wilayah, Gula kelapa yang terdiri dari gula semut dan gula jawa ini mempunyai potensi jual yang sangat tinggi, tercatat produk ini telah diekspor sampai ke negara Amerika, Kanada dan Eropa, sehingga sudah sepatutnya produk gula kelapa yang dibuat dari nira kelapa ini mendapat perlindungan hukum. Atas dasar hal tersebut maka MPIG Gula Kelapa Kulon Progo Jogja meminta Pusat HKI FH UII untuk melakukan pendampingan dan membantu proses pendaftaran IG Gula Kelapa  wilayah Kulon Progo yang merupakan produk khas wilayah Kulon Progo dengan kualitas sangat baik ini.

Menurut Bupati Kulon Progo Bapak Dr Hasto Wardoyo, Sp.OG upaya mendaftarkan indikaso geografis gula kelapa kulon progo didasarkan pada kesadaran bahwa produk Gula Kelapa Kulon Progo memiliki keunggulan dan kekhasan dibanding dengan produk gula sejenis lainnya. Selanjutnya, ia juga berharap dengan dilakukan pendaftaran indikasi geografis Gula Kelapa Kulon Progo, maka produk unggulan Kulon Progo dapat dilindungi secara hokum dan berdaya saing tinggi.

Dalam kesempatan lain, Direktur Pusat HKI FH UII Budi Agus Riswandi menyampaikan bahwa Pusat HKI FH UII berkomitmen untuk membantu dan mendampingi masyarakat maupun pemerintah dalam melindungi produk-produk unggulan yang ada melalui pendampingan pendaftaran indikasi geografis. Ia juga menyatakan bahwa Pusat HKI FH UII merupakan lembaga yang cukup berpengalaman dalam melakukan pendampingan pendaftaran indikasi geografis.

Gambar 2. Logo IG Gula Kelapa Kulonprogo

Pada tahun 2015 Gula Kelapa Kulon Progo telah berhasil memperoleh sertifikat perlindungan indikasi geografis dari Direktorat Jenderal KI Kementerian Hukum dan HAM. Hal ini tentunya, menjadi salah satu bukti bahwa Pusat HKI FH UII telah berhasil melakukan pendampingan dalam hal perlindungan indikasi geografis. (Dio)

Kotabaru, (16/02/2017). Pusat HKI FH UII baru saja mendapatkan kunjungan dari Tim LPPM Universitas Parahiyangan Bandung. Kunjungan tim UNPAR ini dimaksudkan untuk melakukan studi banding terkait dengan kelembagaan dan  tata kelola HKI di lingkungan Universitas Islam Indonesia. Pada awal pertemuan, tim LPPM UII memperkenalkan anggotanya yang ikut hadir, kemudian Pusat HKI FH UII juga demikian.

Setelah dilakukan perkenalkan, maka pertemuan antara Tim LPPM UNPAR dan Pusat HKI FH UII dilanjutkan. Dalam kesempatan tersebut, Ibu Catherina Badra Nawangpalupi, Ph.D selaku Head of Institute of Research and Community Service sekaligus yang menwakili Tim LPPM UNPAR menyatakan:”Pusat HKI FH UII dilihat dalam perkembangannya menunjukan progresifitas yang luar biasa dibandingan dengan Sentra KI dari perguruan tinggi lain”. Selanjutnya ia juga menyatakan: “banyak sudah bukti-bukti keberhasilan dari Pusat HKI FH UII yang telah disampaikan kepada public terkait dengan pengelolaa HKI.”

Sejalan dengan apa yang telah disampaikan oleh tim LPPM UNPAR, Direktur Eksekutif Pusat HKI Dr. Budi Agus Riswandi, S.H.,M.Hum menyampaikan sambutan baiknya atas kehadiran tim LPPM UNPAR dan siap membuka diri untuk saling berbagi dan bekerjasama dalam hal penguatan kelembagaan HKI yang rencananya akan didirikan di LPPM UNPAR. Lebih lanjut, Budi menyatakan:’bahwa Pusat HKI FH UII secara structural berada di bawah Fakultas Hukum UII, namun secara fungsional senantiasa mendukung terhadap upaya pengurusan HKI baik di lingkungan UII maupun di luar lingkungan UII.”Hal yang menjadi kunci keberhasilan dari Pusat HKI FH UII menurut Budi, Pusat HKI FH UII selama ini dikelola dengan semnangat mengab di dan membangun institusi UII yang lebih baik”

Pada akhir pertemuan, Tim LPPM UNPAR dan Pusat HKI FH UII saling berkomitmen untuk melakuka kerjasama kedepan dalam rangka memajukan pengelolaan HKI di dua perguruan tinggi ini.  Adapun kerjasama itu dapat dilakukan dalam bentuk asistensi, kerjasama program, dan program-program kelembagaan lainnya. Saling tukar kenang-kenangan menjadi acara penutup dari pertemuan studi banding yang dilaksanakan oleh Tim LPPM UNPAR (Budi).

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Begitu keluar dari ruang kuliah umum di Universitas Islam Negeri (UIN) Palembang pada Kamis, 26 Januari 2017, dua hari yang lalu saya langsung diserbu dan diberondong pertanyaan keras oleh para wartawan. “Apa tanggapan Bapak tentang ditangkaptangannyahakim MK Patrialis Akbar?,” cecar mereka bersaur manuk Saya kaget karena berita itu disodorkan begitu tiba-tiba dan saya belum mengetahuinya.
“Kalau itu benar, saya hanya mengucapkan innaalillaahi wa inna ilaihi raji’un,”kata saya dan terus menerobos pergi. Saya langsung ke hotel dan mencari info ke sana kemari sampai akhirnya mendapat sumber A-1 ketika Ketua KPK Agus Rahardjo mengonfirmasi bahwa Patrialis Akbarmemang ditangkap (operasi tangkap tangan-OTT).

Sorenya puluhan wartawan datang lagi ke Hotel Arissa, Palembang, dan meminta saya menanggapi.

Ini adalah berita akbar atau berita besar kedua yang menyeruduk kita dari Gedung MK Berita akbar yang pertania terjadi 2 Oktober 2013, ketika ketua MK ditangkap di rumah dinasnya karena kasus korupsi yang akhirnya divonis hukuman penjara seumur hidup. “Apa tanggapan Bapak? Sudah jelas, kan Pak, kalau Pak Patrialis diOTT? Demikian cecar para wartawan itu.

Ada dua hal yang saya tekankan saat itu. Pertama, lihatlah. Nantisetelah pemeriksaan oleh KPK, orang yang terkena OTT begitu keluar dari ruang pemeriksaan pasti yang pertama diucapkan kepada kerumunan wartawan, “Saya dikriminalisasi, saya dijebak, saya dizalimi, saya di-OTT karena politik, atau berbagai dalih lain.

Kedua, ingatlah. Selama ini jika KPK telah menangkap seseorang dengan OTT tidak ada seorang pun yang bisa lolos, semua bisa dikirim ke penjara.

Benar saja. Begitu keluar dari ruang pemeriksaan dan memakai baju indah berwarna oranyesebagaiyang pertamadikatakan oleh Patrialis di depan wartawan adalah, “Saya dizalimi”. Katanya, dia tidak mene rimauangsesen pundan Pak Ba sukiyang disangka menyuap dirinya itu bukan orang yang beperkara di MK.

Lihatlah ke belakang, Hampir seinua orang yang dicokok oleh MK selalu berdalih seperti itu sehingga kalimat “Saya dizalimi, dikriminalisasi, dijadikan korban politik dan sebagainya,” seakan-akan menjadi semacam
lafal-lafal baku, hampir sama dengan lafal standardoa iftitah di dalam salat. Nyatanya pula orang-orang yang di OTT itu selalu bisa diantar ke penjara oleh KPK.

KPK selalu bisa menunjukkan bukti-bukti yang kuat sehingga vonis hakim selalu memuat kalimat, “Terbukti secara sah dan meyakinkan.” Pembuktian oleh KPK tidaklah main-main, ia selalu dibangun dengan konstruksihukumyang kuat sehingga jika terhukum naik banding ke pengadilan tinggi atau mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, vonisnya selalu dikuatkan, bahkan banyak yang hukumannya dinaikkan.

Saya percaya akbarnya drama Patrialis ini takkan keluar dari pakem yang selama ini sudah baku, yakni, KPK akan mampu membuktikan dakwaannya. Setahun terakhir ini memangmulaibanyakorangmempertanyakan profesionalitas, kredibilitas, bahkan independensi KPK sehingga mereka ragu, apakah kasus Patrialis yang akbar ini benar-benar bukan bagian dari permainan politik dan kebal dariintervensi.

Tetapi secara umum saya pribadi masih memercayai dan masih sangat berharap kepada KPK untuk tetap menjadi instrumen negara yang perkasa dalam memerangi korupsi. Dalam kasus Patrialis ini saya percaya KPK tidak sedang memainkan akrobat politik. Pertanyaan wartawan yang lebih jauh adalah bagaimana pola seleksi hakim konstitusi dilakukan.

Bagaimana orang seperti Patrialis bisa menjadi hakim MK yang menurut konstitusi mensyaratkan kenegarawanan? Harus diakui, masuknya Patrialis sebagai hakim di MK didahului dengan masalah serius. Patrialis diangkatoleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tappar proses transparan dan parasie pasi publik sebagaimana dipersyaratkan oleh Pasal 19 UUMK.

Patrialis diangkat dengan Keppres Nomor 87/P Tahun 2013 dalam satu paket dengan Maria Farida Indrati tanpa seleksi terbuka. Untuk Maria Farida memang tidak ada masalah saat diangkat lagi karena diasudah pernah mengikuti seleksi terbuka dan lulus dengan baik serta sudah menjadi hakim MK selama lima tahun dengan prestasi yang baik pula. Tetapi pengangkatan Patrialis memang sangat janggal sehingga banyak yang mencibir dan menentang.

Karena pengangkatan Patrialis dirasa sangat tidak fair, maka sekelompok masyarakat melalui, antara lain, YLBHI dan ICW, menggugat keppres itu ke pengadilan tata usaha negara (PTUN). Maria, meskipun tak banyak dipersoalkan, menjadi ikut terbawa dalam gugatan itu karena pengangkatannya kembali dijadikan satu kepres de ngan pengangkatan Patrialis -Akbar yaitu Keppres Nomor 87/P Tahun 2013.

Ternyata gugatan itu dika bulkan dan PTUN memutus pengangkatan hakim dalam keppres tersebut tidak sesuai UU-MK dan harus dibatalkan. Pada saat itu masyarakat sudah berteriak, saya juga ikut berbicara dan menulis di berbagai media massa, agar Presiden SBY tidak mengajukan banding atas putusan PTUN itu. Tetapi Presiden SBY tetap mengajukanbanding dan bandingnya dimenangkan oleh PTTUN untuk kemudian dimenangkan lagi di tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Bisa dipahatni jika kemudian munculgerutuan,”permainanapa dan siapa ini?”

Ternyata ujung dari permainan yang bersubjek Patrialis tersebut seperti ini, di-OTT, se hingga menghancurkan harapan rakyat dan merusak pembangunan negara. Pemerintahan SBYmemangtidak bisa dimintai tanggungjawab hukum atas pe ristiwa OTT ini karena MA mengukuhkan pengangkatan Patrialis sesuai dengan prosedur dan kewenangan yang dimilikinya. Sekali lagi, “sesuai dengan prosedur dan kewenangan yang dimilikinya”, taklebih. Tetapi ini tentu menjadi beban dan menuntut tanggungjawab moral bagi pejabat yang dulu memainkannya. Soalnya, apakah pemimpin-pemimpin kita masih mempunyai kepekaan moral? Itulah yang nanti jawabannya bisa bercabang-cabang.

 

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 29 Januari 2017.

 

 

Kotabaru (21/01/2017) Mete merupakan produk makanan yang mempunyai pangsa pasar yang sangat potensial di dunia, tercatat perputaran mete ini sebesar 88.000 ton untuk setiap tahunnya. Indonesia sebagai salah satu produsen mete memiliki andil besar dalam distribusi mete itu sendiri, pada tahun 1997 indonesia mampu menghasilkan 29.666 ton mete gelondongan senilai USD 19.151.503. Unik nyata nama jambu mete sebagai cikal bakal Mete, hanya dapat berbuah bagus justru di dataran tandus. Tapi rupanya, inilah hikmah tersembunyi dibalik ke gersangan beberapa daerah kering seperti Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Wonogiri dan Gunung Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Di DIY sendiri mete merupakan salah satu komoditi yang dihasilkan dan dibudidayakan oleh beberapa wilayah di Gunung Sewu yang terdiri dari; Gunung Kidul dan Wonogiri. Mete Gunung Sewu memiliki karakteristik dan cirri khas tersendiri yang terdiri dari sifat fisik dengan warna putih halus mengkilap dan tekstur keras, cita rasa yang renyah, manis dan gurih, serta kandungan kimiawi yang khas karena memiliki hubungan kausalitas antara lingkungan geografis dan adanya perlakuan manusia. Dengan demikian sudah sepatutnya Mete Gunung Sewu ini mendapat perlindungan dari aspek Hak Kekayaan Intelektual berupa Indikasi Geografis (IG).

Gambar 1. Kawasan Mete Gunung Sewu

Atas dasar potensi tersebut, beberapa kelompok masyaraka tmembentuk adanya Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Mete Gunung Sewu yang kini diketuai oleh Sudarto. Pembentukan kelembagaan tersebut diawali sejak tahun 2014 difasilitasi oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Gunung Kidul, Dinas Perkebunan DIY dan Dinas Perkebunan Kabupaten Wonogiri dengan tujuan untuk memperoleh perlindungan indikasi geografis bagi Mete Gunung Sewu.

Pusat HKI Fakultas Hukum UII telah diminta oleh MPIG Mete Gunung Sewu untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan persyaratan pendaftaran IG dan melakukan kegiatan monitoring atas didaftarkannya IG di Direktorat Jenderal HKI, sertifikasi in idiharapkan agar aturan hokum dapat menjamin dan melindungi hak-hak masyarakat Gunung Sewu. Apalagi Mete Gunung Sewu adalah salah satu pemasok mete dari Indonesia yang memiliki pasar besar pada perdagangan mete internasional.

Menurut Budi Agus Riswandi selaku konsultan HKI terdaftar sekaligus sebagai Direktur Eksekutif Pusat HKI FH UII, pengajuan pendaftaran indikasi geografis mete gunung sewu dilakukan melalui tahap persiapan, pendaftaran dan monitoring proses pendaftaran, dan penerbitan sertifikat. Menurutnya lagi, saat ini pendaftaran mete gunung sewu sedang memasuki tahap pendaftaran. Menurut pihak Dinas Kehutanan dan Perkebunan Ibu Budi diharapkan pada tahun 2017 proses pendaftaran indikasi geografis mete gunung sewu dapat segera diselesaikan.

Gambar 2. Logo Indikasi Geografis Mete Gunung Sewu

Pada akhirnya, dengan dilakukan pendampingan pengurusan pendaftaran indikasi geografis mete gunung sewu, maka Pusat HKI FH UII sudah dapat melakukan pendamping indikasi geografis sebanyak tujuh buah produk unggulan. Mete Gunung Sewu merupakan produk ketujuh yang didampingi untuk pendaftaran indikasi geografis (Dio)

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Apakah demokrasi dalam hidup bernegara merupakan sistem yang baik? Jawabannya pasti tidak. Demokrasi hanyalah sistem yang paling sedikit kelemahannya jika dibandingkan dengan sistem-sistem lain yang semuanya memuat unsur jelek. Sejak zaman Yunani kuno Plato sudah mengingatkan, demokrasi berpotensi menimbulkan massa liar dan beringas. Demokrasi juga terlalu berisiko memperjudikan nasib negara karena memberikan hak kepada rakyat yang pada umumnya awam untuk menentukan arah dan kepemimpinan negara. Di dalam masyarakat yang kurang terdidik yang muncul bisa-bisa demokrasi jual beli, transaksional, bahkan demokrasi kriminal.

Aristoteles, yang juga murid Plato, mengingatkan bahwa di Jalam demokrasi banyak demagog, agitator ahli pidato, dan jago membuat janji tetapi tidak pernah bisa memenuhinya. Banyak politikus demagog di dalam demokrasi yang tidak bisa memenuhi janjinya baik karena dia tidak tahu atas kompleksitasapayang dijanjikannya maupun karena sejak awal niatnya memang membohongi. Demokrasi, dalam faktanya, juga sering dijadikan mekanisme kolusi untuk berkorupsi. Artinya, korupsi bisa dibangun melalui mekanisme demokrasi oleh pejabat-pejabat yang dipilih melalui mekanisme “formal” demokrasi juga.

Tetapi, demokrasi tetaplah merupakan pilihan terbaik dari alternatif alternatif sistem lain yang juga berpotensi melahirkan praktik-praktik buruk. De mokrasi tetaplah yang terbaik jika dibandingkan dengan oto krasi, oligarki, tirani, monarki, bahkan dengan aristokrasi sekali pun. Para pendiri negara kita, Indonesia, paham benar kekuatan dan kelemahan berbagai sistem itu. Selain soal dasar ideologi negara para pendiri juga sudah memperdebatkan apakah Indonesia akan dibangun berdasar sistem kerajaan atau republik, berdasar monarki atau demokrasi.

Sampai-sampai pilihan atas bentuk pemerintahan republik dan demokrasi dilakukan mela lui voting di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Se telah perdebatan serupadasten (voting) di BPUPKI tanggal 11 Juli 1945 disepakatilah Indonesia didirikan sebagai negara de ngan bentuk pemerintahan republik yang kemudian disebut Negara Republik Indonesia. Selain memilih negara republik se bagaibentuk pemerintahan, para pendiri negara juga memilih bentuk kesatuan sebagaibentuk negara. Jadilah negara kitasebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pilihan atas demokrasi dengan bentuk pemerintahanrepublik dan bentuk negara kesatuan, dengan demikian, merupakan kesepakatan para pendiri negara yang juga adalah pemimpin bangsa yang kemudian dituangkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Begawan konstitusi KC Whe are, penulis buku the Modern Constitutions, memang mendalilkan bahwa konstitusi adalah resultante alias kesepakatan para pembentuknya sesuai dengan situasi dan kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya pada saat dibuat.

Tetapi, pilihan kita atas demokrasi bukan tidak menghadapi problem serius dalam menjaga kelangsungan negara. Demokrasi ada kalanya mengancam integrasi, prinsip lain yang tak kalah penting dalam bernegara. Integrasi dan demokrasi sama pentingnya bagi kelangsungan negara. Negara dibangun agar terjadi integrasi (ke bersatuan) yang kokoh, demokrasi dibangun guna memberi peluang bagisetiap individu dan kelompok primordial sekali pun untuk menyatakan aspirasinya dalam penyelenggaraan negara.

Dilema antara demokrasi dan integrasi terjadi karena keduanya mempunyai watak yang berlawanan. Demokrasi ingin membebaskan, sedangkan inte grasi ingin mengekang Dilema itu pernah ditulis oleh Clifford Geerta dalam topik the Integrative Revolution, Primordial Sentiments and Civil Politics in the New States (1971). Kegagalan inengelola keseimbangan antara demokrasi danintegrasibisamenimbulkan disintegrasi, bahkan kehancuran. Pakistan memecahkan diri dari India pada tahun 1947, padahal sebelumnya merupakan kesatuan Hindustan di bawah Britania Raya, karena sentimen agama. India didominasi Hindu, sedangkan Pakistan didominasi Islam.

Selanjutnya Bangladesh me misahkan diri dari Pakistan pada 1971 karena perbedaan primordial kedaerahan, bahasa, dan warna kulit. Orangorang Palcistan tinggal di wilayah barat, berbahasa Urdu, dan berkulit terang sedangkan orang-orang Bangladesh ting. gal di daerah timur, berbahasa Bengali, dan berkulitagakgelap. Kita bersyukur, sampai saat ini Indonesia masih dapat menjaga integrasi dengan sistem demokrasi yang beberapa kali mengalamni uji perubahan.

Meskipun begitu, problem tentang dilemaantara demokrasi dan integrasi bukannya tidak ada di Indonesia. Kasus yang sekarang ramai, sangkaan makar terhadap 12 orang yang antara lain, memunculkan nama tersangka Rachmawati dan Sri Bintang Pamungkas, pada dasarnya merupakan dilema antara membangun demokrasi dan menjaga integrasi. Pada satu pihak para tersangka merasa menggunakan hak-hak politiknya dengan mekanisme demokrasi sesuai dengan jaminan konstitusi.

Di pihak lain, aparat hukum negara melihat penggunaan hak-hak tersebut mengancam integrasi karena disangka, berbaumakar. Disinilah dilemanya, terasa ada perbenturan kepentingan antara membangun de mokrasi dan menjaga integrasi. Maka itu, diperlukan sikap kenegarawanan dari semua pihak, baik yang ingin menggunakan jalur demokrasi maupun yang ingin menjaga integrasi. Integrasi harus dijaga sebagai harga mati, demokrasi harus dibangun sebagai mekanisme pe menuhan ketentuan konstitusi.

Demokrasi dan integrasi harus berjalan harmonis karena keduanya merupakan jiwa konstitusi. Demokrasi tidak boleh liar, integrasi tidak dapat sewenang-wenang. Semua harus bekerja di dalamn koridor konstitusi. Konstitusi kita menentukan, Indonesia bukan negara demokrasi (berkedaulatan rakyat) semata, tetapi negara nomokrasi (berkedaulatan hukum)juga. Sikap kenegarawananlah yang bisa menyuburkan keduanya.

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 14 Januari 2017.

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Hak Administrasi Negara

Suatu hari menteri hukum dan HAM mendapat tele U pon dari seseorang yang memberi tahu di Bandara Soekarno-Hatta ada 21 orang asing yang sedang diinterogasi karena dicurigai masuk secara ilegal. Sang menteri segera meluncur ke imigrasibandarauntuk memeriksa sendiri. Kesimpulannya, “Merekaharus dipulangkan, saat itu juga”. Perintah diberikan, pelaksana di lapangan menyatakan, “Siap, laksanakan”.

Beberapa hari kemudiansang menteri mendapat telepon lagi. diberitahu, di sebuah rumah di Jakarta telah digerebek beberapa orang asing yang menjadi pekerja seks komersial (PSK). Sang menkum-HAM pun me luncur ke tempat itu untuk memastikan apa yang terjadi dan bagaimana masalah keimigrasiannya. Setiba di lokasi sang menkum-HAM kaget.

Orang-orang yang digerebek sebagai PSK itu adalah orangorang yang sama dengan orangorang yang beberapa hari sebelumnya dipergoki di Bandara Soekarno-Hatta dan sudah diperintahkan agar dipulangkan hari itu juga. Jadi, meskipun aparat di bawahnya menyata kan “siap, melaksanakan” untuk memulangkan orang-orang asing itu, ternyata rombongan pendatang haram itu tetap masuk ke jantung Ibu Kota.

Mereka bisa dengan leluasa menjadi tenaga kerja secara ilegal. Tlegal karena tidak ada izin kerjanya dan ilegal juga jenis pekerjaannya sebagai PSK Mungkin Anda penasaran, siapa gerangan menkum-HAM tersebut?Yang jelas menkum-HAM tersebut bukan menkum-HAM yangsekarang. Pak Yasona Laoly, tetapi seorang menkum-HAM yang menjabat belasan tahun sebelum 2004. Tidaklah terlalupenting untuk tahu menkum HAM yang mana itu.

Yang penting diketahui, sebenarnya urusan tenaga kerja asing (TKA) ilegal itu kalau dari sudut hukum itu sangat simpel, mudah diselesaikan, yaitu dipulangkan dengan paksa atau dideportasi. Dan, kalau pemerintah melakukan itu, tidak akan terlibat konflik dengan negara lain karena setiap negara berwenang untuk memulangkan paksa TKA ilegal. Negara asal TKA ilegal itu tidak akan bisa mempersoalkannya secara hukum. Masalahnya hukumnya mudah, tapi penegakannya di birokrasi sering koruptif.

Harus diyakini pula, kalau berbicara tenaga kerja ilegal, tenaga kerja Indonesia (TKT) di luar negeri diyakini jauh lebih banyak daripada TKA ilegal yang masuk ke Indonesia. Tak perlulah menyebut banyak negara, cukup kitacontohkandi duanegarasaja, TKlilegalsudah mencapai jutaan orang ketika pergi ke Malaysia beberapa waktu lalu saya diberitahu oleh otoritasresmi,adalebih dari 2,5 juta WNI di Malaysia dan sekitar 1,4 juta di antaranya ilegal. Kalau pergi ke Arab Saudi misalnya, kita pun menjaditahu bahwa ada ratusan ribu TKI ilegal di sana.

Kita tentu masih ingat pada awal 2000-an Pemerintah Malaysiayangdipimpin Mahathir Mohammad mengangkut tidak kurang dari 70.000 TKI dari Malaysia dan menurunkannya begitu saja di Nunukan, Kalimantan Utara karena mereka bekerja secara ilegal. Kalau pergi ke Arab Saudi, kita juga langsung tahu ada sebuah rumah tahanan Tarhil Sumaysyi, di Sijjin (di dekat Mekkah) yang menampung ribuan WNI yang akan di-. pulangkan secara paksa karena bekerja secara ilegal di sana.

Secara hukum Indonesia pun bisa melakukan langkah seperti yang dilakukan Malaysia dan Arab Saudi terhadap T’KA ilegalnya. Yakni, tangkap kemudian adili mereka dan atau pulangkan dengan paksa mereka karena pelanggaran hukum keimigrasian. Tetapi, problem kita dalam mengatasi persoalan initerletak di birokrasi kita yang korup.

Dalam banyak kasus, para TKA ilegal dan agen-agennya itu bekerja sama secara melanggar hukum dengan oknum-oknum di birokrasi kita. Caranya, bisa dengan pembiaranpasporpalsu, penyalahgunaan visa, penampungan secara gelap, pemberian izin tanpa wewenang, dan sebagainya. Contoh simpelnya, ya, pengalaman menkum-HAM kita yang saya ceritakan di atas. Diasudah memergokidanlang sung memerintahkan pents langan paksa, tapi ternyata TUA ilegal itu masih bisa masul de ngan leluasa ke rumah pesam pungan PSK.

Kalau tidak bekerja sama dengan oknun dibirolcrasi kita, haltersebut tidak mungkin bisa terjadi. Jadi, kalau urusan TKA ilegalitu, penyelesaiannya secara hukum dan prosedural mudah asalkan birokrasi kita ditata de ngan benar. Inspeksi mendadak yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi dan Saber Punglinya cukup membuktikan betapa virus korup sudah begitu parah menggerogoti linilini birokrasi kita. Pembenahan birokrasi secara cepat dan tegas, dengan demikian, menjadi salah satu kunci utama untuk mengatasi berbagai korupsi di negara kita, termasuk korupsi lolos dan amannya TRA ilegal di negara kita.

Dalam konteksTKA sebenarnya yang juga menjadi masalah penting adalah TKA yang legal atau dilegaikan melalui persetujuan resmi. Menurut berita yang belum dikonfirmasi secara resmi, banyak proyek yang sedang dilakukan di Indonesia sekarang ini yang bahan-bahan atau material dan pekerjapekerjanya dibawa dari negara yang berinvestasi di Indonesia. Mulai dari kayu, semen, paku, pekerja ahli, maupun pekerja kasar sampai pada tukang sapu, tukang angkat-angkat, dan angkut-angkut dibawa dari negara yang berinvestasi.

Pekerja-pekerja yang seperti itu bisa “dianggap” legal karena disetujui oleh dua pemerintah meskipun misalnya TKA yang bersangkutan tak memenuhi syarat harus bisa berbahasa Indonesia. Menurut hukum, kesepakatan yang dibuat secara sah mengikat sebagai UU bagi yang membuatnya. Sebab itu, pihak pengirim TKA legal ini merasa tidak melanggar hukum apapun karena dasarnya adalah kesepakatan antardua pemerintah. Masalah tersebutadalah soal kebijakan (policy), bukan soal hukum.

Pemerintah tentu dihadapkan pada dilema. Kalau kebijakan itu tidak ditempuh, investor yang cocok tidak akan masuk. Tetapi, kalau kebijakan itu ditempuh tenagakerjakitasendiri hanya menjadi penonton dan tak bisa ikut menikmati manfaat ekonomi dari proyek itu. Palingpaling, rakyat hanya bisa berharap daritrickle down effect atau tetesan yang kecil-kecil saja.

Soal TKA legal atau dilegalkan berdasar kebijakan dalam hubungandaganginibelumnada penjelasan resmi dari pemerintah, tetapi dalam pembicaraan dari mulut ke mulut atau di dunia media sosial sudah ramai dibicarakan dan ditunjukkan fakta-faktanya. Ada baiknyapemerintah menjelaskan masalah ini secara terbuka. Dan, oleh karena masalah ini lebih merupakan masalah politik (kebijakan) daripada masalah hukum, penyelesaiannya harus juga melalui jalur politik.

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 7 Januari 2017.

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Kamis, 22 Desember 2016 K duahariyang lalu, selama I seharian saya berdiskusi melalui Twitter dengan sangat banyak netizen tentang fatwa. Diskusitersebut dipicu oleh per nyataan Kapolri Tito Karnavian bahwa fatwa MUI bukan hukum positif. Pekanlalu Majelis Ulama Indonesia (MUI) memang mengeluarkan Fatwa No.56 Tahun 2016 yang menyatakan “haram” bagi kaum muslimin memakai atribut-atribut agama lain, termasuk atribut Natal.

Diberitakan, ada dua kapolres yang merespons dengan cepat dan bermaksud memberlakukan Fatwa MUI tersebut dilapangan. Namun, Kapolri Tito Karnavian menegur keduanya dan menyatakan bahwa Polriti dak bisa menegakkan fatwatersebut dalam posisinya sebagai penegak hukum, karena fatwa bukanlah hukum positif.

Atas pertanyaan seorang netizen, saya mengatakan bahwa “Kapolri benar, fatwa bukan hukum positif sehingga penegakannya tidak bisa menggunakan Polri sebagai aparat penegak hukum”. Ternyata banyak netizen yang belum paham arti fatwa dan arti hukum, bahkan tidak paham perbedaan antara norma hukum dan norma yang bukan hukum. Akun Twitter saya pun dibanjiri berbagai respons.

Selain yang sependapat dengan saya, ada juganetizenyang tidak setuju dan menyatakan fatwa MUI adalah hukum Islam yang mengikat bagi umat Islam. Bahkan ada juga yang mempertanyakan keislaman saya dengan tudingan, saya anti-MUI atau antihukum Islam. Saya sendiri tak terganggu sedikit pun dengan tudingan tersebut.

Pendapat saya bahwa fatwa bukan hukum positif dan tidak mengikat merupakan dalil yapg tidak perlu persetujuan darf alapa pun. Kalaurada yang tidak setuju put, dalil itu tetap berlake fatwaddakmengikat. Jangankan nya fatwa MUI, Fatwa Mahkamah Agung (MA) yang merupakan lembagayudikatif tertinggi pun tidak mengikat, tidak haruralikuti. Fatwa hanyalah pendapat hukum (legal opinion) dan bukan hukum itu sendiri.

Soal identitas keislaman, saya nyatakan bahwa justru karena saya Islam maka saya berpendirian bahwa fatwa keagamaan tidak mengikat dalam arti hukum, boleh diikuti dan boleh tidak. Saya juga sama sekali tidak anti-MUI karena saya tidak termasuk orang ikut berteriak agar MUI dibubarkan. Bagi saya, MUI sangat penting keberadaannya sebagai pembimbing umat yang sekaligus menjadi jembatan antara umat Islam dan pemerintah.

Saya menyatakan pendapat saya tentang fatwa sebagai pembelajar hukum, termasuk hukum Islam. Oleh sebab itu, masalah kedudukan fatwa yang tidak mengikat itu bisa saya jelaskan baik dari hukum nasional maupun dari hukum Islam sendiri. Dari sudut hukum nasional fatwa itu, meskipun berisi fatwa tentang hukum islam, tetapi tidak mengikat. Dalam hukum nasional yang mengikat adalah yang sudah dijadikan norma hukum, yakni ditatapkan keberlakuannya oleh negara

Didalam masyarakat, banyak sekali norma atau kaidah sebagai pedoman bertingkah laku, tetapi tidak semua norma menjadi hukum. Pada hari pertamamahasiswabelajardifakul tas hukum, misalnya, yang di ajaran adalah doktrin dan dalil utarnabahwa di dalam masyarakat ada empat macam norma ataukaidah yaitu norma keagamaan, norma kesusilaan, norma kesopanan dari norma hukum.

Norma yang mengikat dan bisa dipaksakan keberlakuannya melalui aparat negara adalah norma kukum, yakni norma yang diberlakukan secara resmi oleh negara melalul pemberlakuan oleh lembaga yang berwenang, misalnya, dijadikan UU. atau perda oleh lembaga legislatif. Orang memerkosa, misalnya, harus diadili dan dihukum karena yang bersangkutan melanggar norma yang sudah dijadikan UU, bukan karena melanggar hukum agama.

Namun, orang melanggar norma kesopanan seperti hanya memakai kaus ketika menghadap rektor atau melanggar norma agama seperti tidak mau berpuasa bulan Ramadan tidaklah dapat dihukum karena hal-hal tersebut bukan norma hukum. Kalau begitu, bisakah norma agama dijadikan hukum? Tentu saja bisa, sepanjang disahkan sebagai hukum oleh lembaga yang berwenang, misalnya dijadikan UU atau diberi bentuk peraturan perundangundangan lainnya dan bukan hanya berbentuk fatwa.

Dalam bidang keperdataan, misalnya, sudah ada norma agama Islam yang dijadikan hukum seperti di bidang perkawinan, pewarisan, dan ekonomi syariah yang bisa ditegakkan melalui ke kuatan negara. Hukum pidana islam (jinayat) yang mengenal qishas (Sanksi huklunan yang sama dengan pidana yang dilakukán) atauhad (jenis hukuman tertentu seperti cambuk dan potong tangan) sejatinya bukan hukum di Indonesia karena hal tersebut tidak diberlakukan.

Jadi, benarlah pendapat hukum atau fatwa Kapolri bahwa fatwa MUI tentang atribut Natal tak bisa ditegakkan oleh negara karena ia dalam konteks Indonesia, bukanlah hukum positif. Lebih dari itu, dikalang an internal umat Islam sendiri sebenarnya fatwa itu juga tidak mengikat karena ia hanya per dapat hukum dan belum tentu sama dengan hukum itu sendiri.

Itulah sebabnya setiap ulama bisa membuat fatwanya sendiri sendiri. Hasil penelitian dosen UIN Jakarta Rumadi yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku, “Fatwa Hubungan Antar Agama di Indonesia menguraikan adanya beberapa fatwa yang berbeda dalam isu yang sama antara tiga lembaga yakni MUI(Komisi Patwa): NU (Lembaga Bahtsul Mail), dan Muhammadiyah (Majelis Tarjih).

Dalam hal mengucapkan se lamat Natal, pemimpin perempuan, ataubungabank, misalnya, ketiga lembaga tersebut menge luarkan fatwa yang berbedabeda. Keberbedaan tersebut bisa saja terjadi karena fatwa itu hanyalah pendapat hukurn dan bukan hukuin itu sendiri. Makanya fatwa tidak mengikat, kita boleh ikut salah satunya, boleh juga tidak diikuti ketiganya karena kita mengikuti fatwa yang lain lagi.

Kalau begitu, apakattfatwa itu penting? Tentu penting sebagai rujukan karena fatwa itu hanya boleh dibuat oleh orang atau lembaga yang berkompeten dalam bidang agama. Apakah fatwa itu baik? Tentu pada umumnya fatwa-fatwa itu baik karena bisa menjadi tuntunan bagi umat yang membutuhkan bimbingan. Tetapi terlepas dari soal penting dan baik, fatwa bukanlah hukum dan penegakannya tidak bisa menggunakan aparatur hukum negara.

 

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 24 Desember 2016.

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Sangkaan makar atas 11 aktivis (belakangan ditambah 1 orang lagi, yakni Hatta Taliwang yang dilakukan Polri tidak cukup dilihat dari kacamata hukum pidana, tetapi harus juga dilihat dari aspek konstitusi dan hukum tata negara . (HTN). Kita sangat kaget ketika pada 2 Desember 2016 pagi ada berita yang kemudian dikonfirmasi Polri bahwa Rachmawati, putri Bung Karno, dan 10 crang lainnya di amankan (ditangkap) karena diduga (dan kemudian disangka) melakukan makar.

Ini tidak main-main. Sebab jika dirunut dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP) Pasal 104 dan seterusnya, ancaman hukuman bagi pemakar sangatlah berat. Ancamannya mulai dari hukuman mati, penjara seumur hidup, penjara 20 tahunan hingga penjara 15 tahun dan seterusnya. Pasal KUHP mana yang disangkakan mereka lakukan? Menurut Polri, mereka, kecuali Ahmad Dhani, disangka melanggar Pasal 107 dan Pasal 110 KUHP.

Sangkaannya sangat serius karena pelakunya diancam hukuman berat. Pasal 107 KUHP mengatur, siapa pun yang secara melawan hukum inelakukan makar dengan usaha menggulingkan pemerintah dipidana dengan pidana makar paling lama 15 tahun penjara, sedang kan pemimpin dan para pengatur makar diancam dengan pidana penjara seuinur hidup atau paling lama 20 tahun.

Jika dilihat dari peristiwa-peristiwayang mendahuluiserta keterangan Polri, tampaknya sulit dipercaya bahwa mereka telah melakukan maicar sebagaimana diatur di dalam Pasal 107 KUHP.

Sebab yang mereka lakukan sebelum itu adalah merencanakan datang ke Gedung MPR pada tanggal 2 Desember 2016 untuk meminta MPR melakukan Sidang Istimewa agar memberlakukan kembali UUD 1945 dan (mungkin) meminta MPR memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Rencana yang dikemukakan secara resmi oleh Rachmawati dan yang menurut istri Sri Bintang Pamungkas, Ernalia, disampaikan secararesmi melalui surat itu tentu tidak bisa disebut makar. Mereka menyampaikan rencananya secara resmi, terbuka, dan tanpa melakukan kekerasan untuk memaksa. Karena langkah mereka itu tidak bisa dikategorikan makar dengan melanggar Pasal 107, pihak Polri melapisinya dengan sangkaan makar dengan menggunakan Pasal 110 KUHP.

Di dalam Pasal 110 disebutkan, antara lain, siapa pun yang melakukan permufakatan untuk melakukan tindakan seper ti yang diatur Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, dan Pasal 108 diancam karena melakukan makar seperti ketentuan pasal-pasaltersebut. Jadisangkaanyang dikenakan kepada mereka, sangatmungkin adalah sangkaan melakukan permufakatan untuk melakukan tindakan yang dilarang oleh Pasal 107 KUHP, yakni berusaha menggulingkan pemerintah.

Dengan demikian yang perlu ditunggu adalah bukti-bukti yang dimiliki Polri dalam mene tapkan sangkaan bahwa mereka telah melakukan permufakatan. Polri harus mempunyai bukti yang kuat bahwa mereka melakukan permufakatan untuk makar, bukan hanya bukti bahwa mereka pernah bertemu dan berdiskusi sambil makanmakan tentang kemungkinan meminta MPR bersidang agar mengganti lagi UUD dan atau untuk memberhentikan Presiden/Wapres.

Pertemuan-pertemuan sambil makan-makan untuk mengusulkan pemberhentian Presiden dan pemberlakuan UUD (misalnya usul kembali ke UUD 1945 yang asli) yang hendak disampaikan secara resmi dan tanpa kekerasan fisik tentulah bukan makar, melainkan makan. Kegiatan seperti itu adalah kegiatan legal yang dari sudut hukumntata negara merupakan penggunaan hak politik yang dilindungi sepenuhnya oleh konstitusi.

Pada awal-awal Reformasi 1998 kita sudah mencabut keberlakuan UU No 11/PNPS/ 1963 tentang Tindak Pidana. Subversi agar setiap orang memiliki kebebasan serta tidak takut membicarakan dan menyampaikan aspirasi politik dan penilaiannyatentangjalannya pemerintahan. Melalui perubahan UUD kita juga sudah memasukkan perincian hakhak asasi manusia (HAM) sebagaimana diatur oleh berbagai konvensiinternasional

Pasal 28 UUD 1945 ditambah dengan 10 pasal baru (Pasal 28A sampai dengan 28J) guna menegaskan jaminan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Upaya menyampaikan aspirasi politik ke MPR sulit dianggap makar karenada lam hukumtata negara yang sekarang berlaku MPR tidak bisa mengubah UUD atau memberhentikan Presiden/Waprestanpa melalui lembaga lain dengan prosedur yang sangat ketat.

Untuk mengubah UUD,misalnya, harus melibatkan DPR dan DPD dan untuk memberhentikan Presiden harus melis batkan DPR dan Mahkamah Konstitusi melalui mekanisme impeachment. MPR tidak bisa melanggar syarat dan mekanismeitu, misalnya, hanya karena didatangi oleh Rachma ti dkk. Kalau MPR melangga justru MPR-lah yang melakukan makar.

Rencana kehadiran Rahmawati dkk ke Gedung 1 bisa diartikan sebagai – menyampaikan aspirasi ke MPR untuk memprosesp gantian pemerintah mau UUD sesuai dengan prose yang berlaku secara konst sional. Pembicaraan pemt raan yang mendahului itu, leh jadi, bukan permufaka untuk makar, melainkan sepakatan sambil makan.

Ada baiknya kita coba lami penjelasan Kapolri 1 Karnavian di Gedung DPRa pekan ini. Kapolri menga kan, penangkapan atas Ra mawati dkk dilakukan unt tidak mengambil risiko sek apa pun saat ada Aksi Suj damai2 Desember 2016 (2 Mereka ditangkap agar tak celah untuk memprovo! massa sehingga terjadi ke suhan, misalnya mendud Gedung MPR.

Tindakan Polri mengam kan mereka agar tidak memp vokasi Demo 212 bisa diben kandarisudut kemanfaatan! kum. Tapi kalau memang maksudnya, sebenarnya ma Lahnya sudah selesai dan mere bisa dilepaskan dari bidikan dana makar. Toh mereka tid bisa memprovokasi dan Der 212 sudah berlangsung deng benar-benar superdamai.

Dari semua itu, tentu ki harus menjaga negara ini sesu dengan konstitusi dan huku Kalau hanya ada sekumpuls orang menyatukan aspira sambil makan ya tidak bolehd perlakukan sebagai pelaku m. kar. Masak orang makan d anggap makar? Tapi kalau mnt mang ada bukti permufakata untuk makar, siapa pun haru ditindak tegas tanpa pandan bulu. Mereka harus dijatut sanksi tegas sesuai dengan hukum yang berlaku.

 

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 10 Desember 2016.