Tag Archive for: FH UII

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Masih ada saja orang yang mempertentangkan antara tugas bernegara dan tugas beragama. Mereka menganggap melaksanakan tugas agama (ibadah) tidak mempunyai kaitan dengan melaksanakan tugas negara. Di kalangan kaum muslimin di Indonesia, pendapat yang seperti ini ada juga. Padahal, dari sudut Islam, melaksanakan tugas negara itu ya melaksanakan tugas agama. Pandangan ini bisa dilihat dari misi kenabian.

Ketika Nabi Muhammad mendapat wahyu untuk mengajak umat manusia, utamanya kaum Qurais, menyembah Tuhan Yang Maha Esa atau mengajak kembali ke tauhid, perintah ikutannya adalah melawan kezaliman dan membongkar struktur sosial yang tidak berkeadilan.

Nabi pun melawan tokoh-tokoh Qurais yang korup dan tidak adil seperti Abu Jahal, Abu Lahab.

Nabi juga diperintahkan oleh Allah untuk mengajak umatnya berjuang mengentaskan masyarakat kemiskinan dan meng. angkat kaum lemah-papa (duafa). Di dalam ayat-ayat Alquran yang turun pada periode Mekkah (sebelum Nabi hijrah ke Madinah), perintah membangun kesejahteraan sosial itu sangat tegas. Di dalam Surat Al-Maun, misalnya, disebutkan bahwa orang yang mengabaikan anak yatim dan tidak peduli kepada orang miskin adalah pendusta (bohong dan berpura-pura saja) dalam beragama.

Bahkan di surat yang sama dikatakan bahwa orang yang sa lat itu akan diganjar dengan neraka (way) jika lalai dalam salatnya. Lalai dalam salat bukan hanya berarti malas melakukan ritualnya sesuai dengan rentang waktu-waktunya, melainkan juga lalai terhadap konsekuensi sosial dari salat. Konsekuensi sikap sosial dari salatiga disimbol kan oleh gerakan terakhir salat, yakni mengucapkan selamat sambil menoleh kekanan dan kekiri.

Salat dimulai dengan takbir (Allahu Akbar yang berati hanya beriman dan akan menyembah Allah Yang Maha Esa’ (vertikal). Salat diakhiri dengan salam sambil menoleh ke kanan dan ke kiri yang berarti setelah salat akan memperhatikan keadaan dikanan dan dikiri(horizontal), yakni memperhatikan kehidupan sekeliling dan siap membangun kesejahteraan masyarakat. Itulah tugas dan kewajiban dalam beragama.

Tugas dan kewajiban yang bersumber dari agama tersebut sama belaka dengan tugas dan kewajiban bernegara berdasar konstitusi di Indonesia. Menurut Alinea 1 Pembukaan UUD 1945 Indonesia memerdekakan diri dari penjajahan karena penjajahan tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Selanjutnya menurut Alinea IV Pembukaan UUD 1945 salah satu tujuan negara kita adalah memajukan kesejahteraan umum.

Tujuan negara tentang pembangunan kesejahteraan sosial itu diperkuat lagi di dalam sila kelima dari dasar negara (Pancasila), yakni “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Bukan hanya itu. Didalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dicantumkan juga citu bab tersendiri tentang tư gas membangun kesejahteraan masyarakat, yalini Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial.

Pada Pasal 33 yang merupakan bagian dari Bab XIV tersebut ditekankan bahwa sumber daya alam kita dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Selanjutnya pada Pasal 34 ditegaskan juga bahwa fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara dan ne gara harus membangun sistem jaminan sosial dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

Dengan demikian secara mendasar ada perhimpitan dalam arti kesamaan kewajiban yang dibebankan kepada kita oleh agama dan oleh negara, yakni membangun kesejahteraan umum dan keadilan sosial, mengangkat kaum duafa dari keterpurukan. Jadi beragama adalah bernegara, melaksanakan kewajiban agama adalah melaksanakan kewajiban ne gara. Isi Surat Al-Maun dalam Alquran adalah sama dengan isi Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 yang mewajibkan kita menolong anak yatim (telantar) dan memedulikan orang-orang miskin.

Karena ada perhimpitan misi dan tugas yang seperti itu, maka ada yang berpendapat bahwa membayar pajak sebagai kewajiban terhadap negara itu sama wajibnya dengan membayar zakat sebagai kewajiban dalam agama. Bahkan ada yang berpendapat lebih jauh dari itu, membayar pajak itu dapat dijadikan sebagai ganti pembayaran zakat. Kita tidak harus sependapat dengan hal tersebut, tetapi pesan dasar yang bisa disepakati adalah: membela kaum lemah-papa (duafa), anak yatim terlantar, dan fakir miskin merupakan kewajiban atau tugas sucikita di dalam beragama dan bernegara.

Maka itu, siapa pun kita akan menjadi pendusta tau berpura-pura saja dalam beragama kalau kita tidak mau menegakkan keadilan dan tidak ikut membangun struktur sosial dan politik yang adil. Orang yang tak peduli dan tak berani menegakkan keadilan bagi kaum duafa juga dapat dianggap tidak mempunyai nasionalisme atau sikap pembelaan terhadap eksistensi bangsa dan negaranya.

Mengapa? Karena kemiskinan bisa menimbulkan kekufuran atau suka melanggar karena terpaksa dan didesak oleh kebutuhan. Mengapa Pula? Karena ketidakadilan menjadi bibit runtuhnya sebuah negara. Saya sering mengatakan, basis nasionalisme kita ke depan tidak dilakukan dengan perang yang didukung peralatan perang fisik melawan agresi negara lain. Basis nasionalisme kita ke depan adalah penegakan hukum dan keadilan. Kalau mau membela negara, tegakkanlah hukum dan keadilan. Kalau kita tak mau menegakkan hukum dan keadilan untuk mengangkat derajat kemanusiaan kaum lemah, bisa diartikan rasa nasionalisme kita tipis karena membiarkan terjadinya ancaman bagi eksistensi negara dan bangsa.

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 16 Juli 2016.

 

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

“Apakah tidak ada segi-segi positif dan titik te L rang yang bisa mendorong Indonesia menjadi lebih baik dan selamat dari perusakan-perusakan yang menderanya? Analisis Bapak tadi membuat dada sesak dan mencemaskan. Apa yang bisa kita lakukan?”. Demikian seorang dosen bertanya kepada saya ketika Selasa (28/6) pekan lalu saya memberi studium generale di Universitas Islam Kadiri (Uniska), Kediri.

Di forum ilmiah itu saya memang mengupas problem masa depan Indonesia yang tampaknya dirongrong oleh buruknya penegakan hukum.

Saya katakan, berbagai persoalan yang sekarang melilit bangsa ini akan selesai lebih dari separuhnya jika hukum ditegakkan dengan benar.

Kerusakan di bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan sebagainya yang terjadi sekarang ini disebabkan oleh terjadinya pengangkangan atas hukum oleh para koruptor, entah itu pejabat, entah itu swasta. Tiga pekan lalu, melalui Kolom di koran ini, saya menulis bahwa hukum kita banyak dikuasai oleh cukong-cukong sehingga meminjam istilah Komisioner KPK Laode M Syarif, muncullah gejala grand corruption

Cukong-cukong membeli hukum, bukan hanya saat menghadapi kasus konkret ketika terlibat perkara di pengadilan, melainkan juga sudah membeli hukum ketika hukum akan dibuat sebagai peraturan yang abstrak. Kita bisa dengan mudah menunjuk kasus, politisi (legislator) dihukum atau ditangkap tangan oleh KPK, karena menjual hukum yang akan dimasukkan ke dalam undang-undang (UU) atau peraturan daerah (perda).

Jadi, isi UU maupun perda bisa dibeli oleh cukong. Artinya, selain mengangkangi proses peradilan jika menghadapi kasus konkret (in concreto) di pengadilan melalui penyuapan kepada penegak hukum, cukong juga membeli isi peraturan perundang-undangan yang bersifat pengaturan secara abstrak (regeling in abstracto ) kepada legislator. Cukong adalah korporasi atau orang yang punya modal, tak terbatas pada etnis atau suku tertentu.

Karena jual-beli hukum dengan cukong itu maka belakangan ini banyak hakim maupun panitera, pejabat maupun politisi, yang ditangkap dan digelandang ke pengadilan oleh KPK. Dulu saya pernah mengantarkan politikus AM Fatwa menghadap ketua Mahkamah Agung untuk melaporkan kasus perampasan tanah warga Betawi secara sewenang-wenang oleh pengembang, Sang warga Betawi yang menempati dan mempunyai tanah yang diwarisi secara turun-temurun dari kakeknya tiba-tiba digusur oleh pengembang.

Ketika melapor kepada yang berwajib, eh, malah sang warga Betawi itu yang diajukan ke pengadilan dengan dakwaan telah menyerobot tanah orang Dia pun sudah menunjukkan bukti-bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan selama bertahun-tahun, tetapi ternyata pihak pengembang sudah memiliki sertifikat. Di negara ini banyak mafia tanah yang melibatkan kongkalikong antara cukong dan pejabat pejabat.

Sebenarnya peran cukong dalam korupsi sudah lama berlangsung. Sebuah grup diskusi dunia maya yang melibatkan kelirumolog Jaya Suprana, Salim Said, HS Dillon, dan lain-lain pekan lalu mendiskusikan isu “Ancaman Trio Cukong, Pejabat, dar Politisi” yang dulu pernah dilontarkan oleh Wilopo.

Wilopo yang pada masa demokrasi liberal pernah menjadi perdana menteri dan pada masa Orde Baru menjadi ketua Dewan Pertimbangan Agung. pernah memperingatkan tentang bahaya tiga begundal korupsi dan perusak negara. “Awas bahaya! Indonesia terancam Trio Persekongkolan, yaitu antara cukong, pejabat, dan petualangan politik,” teriak Wilopo Saat menjadi anggota Komite Empat.

Komite Empat adalah komisi Pemberantasan Korupsi yang dibentuk oleh Presiden Soeharto pada 1970. Ternyata sampai era reformasi, Trio Jahat ini bukannya berkurang melainkan semakin menancapkan kukunya dalam jagat raya penegakan hukum di Indonesia. Sekarang ini ada cukong membeli hukum ada pejabat menjual hukum, dan ada politisi menjadi pedagang hukum. Di sana-sini mulai ada juga orang atau orang LSM yang katanya antikorupsi dan pro demokrasi dan supremasi hukum, tetapi mulai ikut bermain dalam kubangan kumuh pemberantasan korupsi.

Ketika hukum sudah dikangkangi seperti itu maka semua upaya perbaikan menjadi macet, kesejahteraan rakyat semakin jauh panggang dari api, kemiskinan merajalela, kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin menganga. Sungguh sangat mencemaskan bagi masa depan bangsa dan negara.

Kembali ke pertanyaan yang diajukan oleh dosen Uniska tadi. Adakah segi segi positif yang bisa membuat kita optimistis untuk bisa memperbaiki keadaan yang membuat kita resah ini? Jawabannya, “ada asal mau”. Kita sangat kaya dengan sumber daya alam dan mempunyai bonus demografis yang besar.

McKinsey menyebut potensi Indonesia untuk menjadi negara maju sangat besar. Pada 2012, Indonesia Menempati Peringkat ke-16 kekuatan ekonomi dunia dan posisi ini akan naik ke peringkat 7 pada 2030. Begitu besarnya kekayaan sumber daya alam dan bonus demografi kita, sehingga dengan dikelola secara biasa-biasa saja Indonesia akan tetap melesat ke posisi ketujuh.

Ada modal lain yang juga bagus, yakni kebebasan pers yang semakin maju dan bisa dibangun untuk ikut mengarahkan dan mengawasi jalannya pemerintahan dan pembangunan. Bukan pers yang berpolitik secara sempit dalam permainan jangka pendek. Dukungan masyarakat yang menggebu-gebu terhadap upaya pemberantasan korupsi dan penegakan hukum juga menjadi modal yang baik.

Kalaulah kita meyakini bahwa penegakan hukum dan pemberantasan korupsi memerlukan pemimpin yang kuat maka kita juga mempunyainya. Presiden Jokowi terbilang bersih, istri dan anak-anaknya tidak ikut bermain dalam bisnis dan politik. Presiden Jokowi tidak terbebani dan tidak tersandera untuk memimpin upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Jadi, ada harapan asalkan kita mau.

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 9 Juli 2016.

 

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Dunia media sosial terus meributkan isu atau kasus pembelian Rumah Sakit Sumber Waras (RSSS) oleh Pemda DKI Jakarta dengan lakon utama Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Banyak tudingan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah kehilangan kepercayaan publik karena memihak, menyikapi sesuatu yang seharusnya hanya bisa diputus oleh pengadilan sehingga independensinya dipertanyakan. Itulah tudingannya.

Kata mereka, pernyataan KPK bahwa tidak ditemukan unsur pelanggaran hukum dalam kasus pembelian RSSS itu tidaklah wajar. Pernyataan itu bertentangan dengan fakta banyaknya peraturan yang dilanggar dalam proses pembelian RSSS itu. Melanggar prosedur resmi itu adalah pelanggaran hukum. Begitu pun pernyataan komisioner KPK bahwa tidak ada niat jahat (mens rea) dalam kasus itu, dinilai sebagai hal yang mengada-ada.

KPK dituding mendapat te kanan politik dan takut, punya motif melindungi, motif perkoncoan, dan sebagainya.

Kata para pengkritik, dua alat bukti untuk membawa kasus itu ke pengadilan sudah ada sehingga urusan niat jahat dan pelanggaran hukum seharusnya hanya diputus oleh pengadilan, bukan dipotong oleh KPK. Apalagi Hasil audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dilakukan atas permintaan KPK sendiri sudah menyatakan negara dirugikan sekitar Rp 191 miliar dalam pembelian tersebut.

Sebaliknya, KPK bertahan pada sikapnya untuk “belum” meningkatkan kasus itu ke tingkat penyidikan dengan alasan pihaknya tidak mau gegabah dan sewenang-wenang. Sebelum ditemukan dua alat bukti yang signifikan, pihaknya tidak akan meningkatkan kasus itu ke penyidikan. Dari kalangan masyarakat pun banyak yang menerima alasan KPK.

Kedua pihak sama-sama berpegang teguh pada alasan masing-masing, sementara akal sehat publik (public common sense) mempunyai arus penilaiannya sendiri. Public common sense biasanya lebih sejalan dengan bisikan hati nurani, tinggal pihak-pihaknya mau jujur atau tidak. Yang bersikap tidak jujur, entah KPK, entah penyerangnya pasti akan ditusuk-tusuk oleh suara terdalam lubuk hatinya sendiri.

Kita yang tidak mengurus langsung perkara tertentu tidak bisa mengatakan yang mana yang benar dari keduanya. Tetapi Melihat kontroversinya, rasanya seruan agar kita bisa berhukum secara waras, bersyukur secara benar, harus diteriakkan keras-keras dalam konteks ini.

Kita harus berpijak pada prinsip, KPK tidak boleh dipaksa-paksa untuk menjadikan seseorang sebagai tersangka jika memang belum memiliki, minimal, dua alat bukti. Mungkin benar kata orang bahwa kalangan yang mendesak KPK untuk meningkatkan kasus itu ke penyidikan adalah lawan-lawan politik Ahok yang membenci Ahok, terutama dalam konteks pemilihan gubernur (pilgub) mendatang.

Dalam bahasa agama, prinsip tidak boleh mendesak-desak KPK itu bisa dinyatakan dengan kalimat, “Janganlah kebencianmu terhadap seseorang menyebabkan kamu berlaku tidak adil.” Janganlah kebencianmu terhadap Ahok mendorong kamu memaksa-maksa KPK agar Ahok diadili melalui cara berhukum secara tidak waras.

Tetapi harus diingat, dalil yang bersumber dari agama itu bisa dibalik juga dengan metode mafhum mukhalafah, sehingga bunyinya menjadi, “Janganlah kesenangan atau perkoncoanmu terhadap seseorang menyebabkan kamu berlaku tidak adil.” Janganlah perkoncoan dan kesenanganmu terhadap Ahok menyebabkan kamu membelokkan atau menyembunyikan kasus dari proses hukum yang waras. Hukum adalah hukum yang mempunyai parameter-parameternya sendiri.

Seruan untuk berhukum secara waras, tidak memaksa-maksa, sekaligus tidak menyembunyikan kebenaran hukum, harus diteriakkan karena warna politik ikut membayangi kasus RSSS ini. Semua harus bersikap prinsipiil, hukum harus ditegakkan tanpa kepentingan-kepentingan dan tekanan-tekanan politik. Yang melanggar prinsip ini bisa disebut sebagai pengkhianat terhadap eksistensi negara.

Kalau kita bermain-main dengan penegakan hukum, misalnya senjalankan atau membiarkan terjadinya politisasi hukum, menjual belikan hukum melalui penyuapan, menjalankan hukum karena pengaruh permusuhan atau pertemanan maka akibatnya eksistensi negaralah yang dipertaruhkan. Negara bisa hancur jika hukum ditegakkan dengan cara seperti itu.

Itulah sebabnya, siapa pun yang menegakkan hukumatau menggalang dilakukannya tindakan hukum dengan tidak waras dapat digolongkan sebagai pengkhianat karena mereka sedang mendorong runtuhnya negara. Muhammad Rasulullah pernah mengatakan, hancurnya negara-negara dan bangsa-bangsa yang besar dan kuat disebabkan oleh terjadinya ketidakadilan, pengistimewaan hukum kepada orang besar, dan penghukuman sewenang-wenang terhadap orang-orang kecil.

Hadis Nabi itu berlaku universal, kapan pun dan di marra pun, bukan spesifik menjadi dalil bagi agama Islamsaja, dan karenanya berlaku juga untuk Indonesia. Negara bisa hancur berantakan jika penegakan hukum dilakukan secara main-main dan dengan cara tidakwa ras. Logikanya sederhana saia. Saya sudah pernah menulis di rubrik kolom ini beberapa waktu yang lalu tentang ancaman empat dis. Jika hukum sudah melenceng dari tujuannya untuk menegakkan keadilan, berarti terjadi disorientasi.

Jika disorientasi selalu terjadi maka akan muncul distrust (ketidakpercayaan) publik terhadap penegak hukum bahkan terhadap negara. Jika distrust selalu dipelihara maka akan muncul disobedience (pembang kangan) masyarakat terhadap institusi-institusi negara. Jika disobedience berkepanjangan maka selanjutnya adalah disintegrasi alias kehancuran negara. Mengapa? .

Sebab jika sudah tidak percaya pada penegak hukum maka setelah bersikap disobedience,’ masyarakat akan mencari jalan sendiri melalui operasi caesar yang sangat berbahaya bagi kelangsungan negara. Ini semua masih sangat bisa dihindari dan diantisipasi dari sekarang dengan cara meluruskan langkah untuk berhukum secara waras. Hukum harus diisolasi sejauh mungkin dari permainan-permainan politik, permainan uang, kebencian atau kesukaan terhadap seseorang kecuali kalau kita memang ingin menghancurkan negara dengan sadar.

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 25 Juni 2016.

 

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Jagat hukum Indonesia dikisruhkan lagi oleh berita pembatalan atas tidak kurang dari 3.143 peraturan daerah (perda) oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Pasalnya, bisakah Mendagri melakukan pembatalan secara sepihak terhadap perda? Bukankah Menurut konstitusi pengujian legalitas dan pembatalan perda yang telah berlaku secara sah itu hanya bisa dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA)?

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) merupakan kementerian besar yang pasti mempunyai biro hukum yang kuat untuk memagari Mendagri agar tidak sampai membuat kebijakan yang bertentangan dengan hukum. Pencabutan 3.143 perda itu tentu sudah dipelajari secara saksama dan diyakini oleh tim hukum Kemendagri sebagai langkah yang tidak melanggar hukum. Betulkah?

Kalau kita melihat masalah itu dari rezim hukum pemerintahan daerah, Mendagri memang mempunyai kewenangan untuk membatalkan perda sesuai dengan ketentuan Pasal 251 UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Tapi jika dilihat dari rezim hukum perundang-undangan, dasar hukum yang dipergunakan Mendagri untuk melakukan pembatalan itu adalah salah Secara hukum. Tepatnya isi UU No 23 Tahun 2014 itu bertentangan dengan UU lain, yakni UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang bersumber langsung dari UUD Negara Republik Indonesia (NRI) 1945.

Menurut Pasal 24A UUD NRI 1945, pengujian legalitas peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dilakukan oleh MA. Adapun pengujian konstitusionalitas Ut terhadap UUD dilakukan Mahkamah Konstitusi (MK). Ketentuan yang demikian sudah dituangkan dengan tepat didalam Pasal 9 UU No 12 Tahun 2011 yang menyatakan dugaan pertentangan UU dengan UUD diperiksa dan diputus MK, sedangkan dugaan pelanggaran peraturan perundang-undang an di bawah UU terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi diperiksa dan diputus oleh MA.

Dengan demikian lembaga eksekutif Presiden atau kementerian, sebenarnya tidak bisa melakukan pembatalan terhadap perda secara sepihak dengan alasan apa pun. Pembatalan atau pencabutan perda harus dilakukan menurut rezim hukum perundang-undangan ini. Pertanyaan yang kemudian muncul, bagaimana posisi UBE No 23 Tahun 2014 tentang Pemda yang melalui Pasal 251, memberi kewenangan kepada Mendagri untuk mencabut perda? Jawabannya Simpel Aja. Yang lebih kuat untuk diikuti adalah ketentuan UU No 12 Tahun 2011 yang menentukan, pengujian legalitas atas perda hanya bisa dilakukan oleh MA melalui perkara judicial review.

UU No 12 Tahun 2011 ini lebih kuat karena ia merupakan derivasi langsung dari ketentuan Pasal 24A UUD NRI 1945. Seharusnya pembentuk UU No 23 Tahun 2014 tunduk pada ketentuan konstitusi bahwa pembatalan atau pencabutan perda karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi hanya bisa dilakukan melalui judicial review oleh MA, bukan oleh menteri atau gubernur. Pembentuk UU tidak boleh mencampur aduk antara kewenangan yudikatif dan pengawasan administratif.

UU Pemerintahan Daerah yang sebelumnya, yakni UU No 32 Tahun 2004 telah mengatur masalah tersebut dengan cukup baik meskipun tidak juga sepenuhnya tepat. Menurut Pasal 145 UU N0 32 Tahun 2004 setiap perda yang sudah diberlakukan harus disampaikan kepada pemerintah (pusat) paling lama 7 hari sejak ditetapkan oleh legislator daerah Dalam waktu 60 hari sejak disampaikan oleh legislator daerah, pemerintah pusat bisa membatalkannya. Jika dalam kurun waktu tersebut perda tidak dibatalkan oleh pemerintah pusat, maka ia menjadi berlaku sepenuhnya.

Ketentuan yang diatur di dalam UU No 32 Tahun 2004 itu dapat dinilai lebih baik karena lebih memberi kepastian hukum terhadap perda. Sebaliknya ketentuan berdasar UU No 23 Tahun 20014 yang tidak memberi batasan waktu, kapan paling lama pemerintah pusat atau jenjang pemerintahan yang lebih tinggi dibolehkan membatalkan perda, dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Pembatalan itu bisa dilakukan kapan saja sewaktu-waktu pusat mau melakukannya, termasuk karena ada insiden yang sebenarnya lebih merupakan soal teknis pemerintahan

Maka itu sangatlah tepat apabila pembatalan perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tetaplah hanya dilakukan oleh lembaga yudisial melalui judicial review di MA. Jika diperlukan pencabutan perda di luar judicial review, ada jalan lain yang bukan tindakan sepihak Mendagri, yakni mekanisme legislative review. Artinya pembatalan itu dilakukan oleh legislatif daerah melalui proses legislasi oleh kepala daerah dan DPRD dengan mencabut atau menggantinya dengan perda baru yang setara.

Prosedur yang demikian sama dengan prosedur executive review terhadap peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah seperti peraturan pemerintah,perpres, peraturan kepala daerah yang semuanya bisa dicabut sendiri oleh lembaga yang membuatnya. Dengan demikian untuk mencabut penda yang sudah berlaku secara sah hanya tersedia dua pintu, yaitu judicial review di MA dan legislative review di pemerintahan daerah sendiri, tidak boleh dilakukan secara sepihak oleh pemerintah yang di atasnya.

Penegakan negara hukum menuntut kecermatan dan kesabaran. Kalau misalnya dengan niat baik pemerintah yang sekarang melakukan pembatalan atas perda secara sepihak tanpa melalui judicial review atau legislative review, bisa jadi suatu saat pemerintah yang akan datang melakukan juga pembatalan perda secara sepihak bukan dengan niat baik, melainkan dengan cara se wenang-wenang. Alasannya, pemerintah sebelumnya melakukan hal itu. Kalau itu yang terjadi, rusak lah negara hukum kita.

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 18 Juni 2016.

 

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Pada umumnya kita baru mendengar istilah grand corruption setelah Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarief melemparkannya kepada publik.

Ketika KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap M Sanusi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta, Laode menyebut bahwa penangkaptanganan Sanusi adalah bagian awal dari tindakan dalam mengungkap sebuah grand corruption. Tidak ada definisi atau artisti pulatif-yuridis tentang istilah grand corruption itu dalam ilmu hukum.

Tetapi ketika Laode memberikan ilustrasi atas kasus yang dikenal sebagai tersebut, kita menjadi agak paham apa yang dimaksudkannya.

Laode mengatakan bahwa kasus reklamasi itu berkaitan dengan upaya penyuapan pengusaha kepada anggota DPRD agar dibuat sebuah rancangan peraturan daerah (raperda) yang isinya sesuai dengan kehendak pengusaha atau perusahaan yang menyuap.

Gambarannya begini. Satu atau beberapa perusahaan ingin membuat proyek reklamasi dan memerlukan per aturan daerah (perda) yang selain bisa meloloskari proyek, juga bisa menetapkan biaya yang murah. Perusahaan-perusahaan tersebut kekoudian melakukan langkah-langkah dengan menyuappejabat dae rah atau anggota DPRD agar perda segera dikeluarkan de ngan isi agar kewajiban pembayaran kontribusi ditekan sekecil mungkin sesuai dengan kehendak para pengusa ha tersebut.

Kalau misalnya tawaran pertama kontribusi pengusaha adalah 15%, para pengusaha itu berusaha menurunkannya menjadi hanya 5%.

Penurunan menjadi situ diminta agar, melalui anggota anggota DPRD, dimasukkan ke dalam perda dan anggota-anggota DPRD tersebut bisa menerima uang sampai miliaran rupiah sebagai imbalan. Ini disebut grand corruption atau korupsi hebat, korupsi luar biasa karena akibatnya bisa sangat jauh.

Grand corruption dalam konteks ini adalah korupsi dalam pembuatan hukum yakni pembuatan perda agar perusahaan bisa mengambil keuntungan secara terus-menerus dan rakyat dirugikan secara terus-menerus. Dengan korupsi dalam pembuatan hukum yang seperti itu, negara atau pemerintahan akan selamanya tersandera oleh pengusaha pengusaha yang menjalankan perusahaannya dengan mengisap darah atau hak-hak rakyat.

Kalau sebuah raperda berhasil dilahirkan sesuai dengan pesanan pengusaha alias cukong maka korupsinya bukan hanya terjadi sekali, melainkan akan terjadi secara terus-menerus selama objek reklamasi masih ada. Jadi, negara atau pemerintah dikangkangi dan dikendalikan oleh cukong, Relengkapan sebagai alat untuk mensejahterakan rakyat, melainkan dikangkangi untuk mensejahterakan pengusaha melalui penyuapan terhadap pejabat dan anggota DPRD.

Grand corruption dalam pembentukan hukum bukan hanya terjadi dalam kasus Raperda Reklamasi di DKI Jakarta. Dalam perbuatan UU di tingkat nasional pun banyak terjadi jual-beli isi UU. Banyak anggota DPR yang sekarang mendekam di penjara karena melakukan transaksi atas isi UU tertentu. Caranya, para anggota DPR atau tokoh parpol yang mempunyai kursi di DPR atau pejabat menawarkan masuknya anggaran proyek tertentu di dalam UU APBN dengan syarat tertentu pula.

Syaratnya, anggota DPR atau pejabat tersebut mendapat fee sekian persen atau meminta agar perusahaan yang ditentukan oleh sang anggota DPR atau Pejabat yang bersangkutan yang nantinya menggarap proyek tersebut. Ada juga grand corruption yang berbentuk jual-beli kebijakan antara cukong dan penyelenggara administrasi pemerintahan (eksekutif). Ini sungguh sangat mengerikan bagi kehidupan bernegara kita.

Pejabat-pejabat yang sudah disuap seperti itu biasanya menjadi seperti kerbau yang hidungnya dicucuki sehingga selalu patuh kepada para cukong yang menyuapnya. Mereka tak lagi peduli pada tugas yang mewajibkannya untuk membangun kesejahteraan rakyat sesuai perintah konstitusi. Mereka menjadi pejabat negara penghisap darah rakyat sehingga negara yang diurusnya bisa disebut sebagai negara drakula (vampire state).

Grand corruption banyak terjadi juga di lembaga yudikatif, terbukti dari banyaknya hakim yang dijebloskan ke penjara karena penyuapan dalam menangani perkara di pengadilan. Yang lebih mengerikan, kaláu ada hakim-hakim dipelihara dan disandera oleh cukong seperti kambing congek sehingga dijadikan langganan untuk memutus perkara berdasar pesanan.

Jadi grand corruption itu sangat mengerikan karena ia punya multiplier effect yang tidak selesai hanya pada satu korupsi. Kalau seorang melakukan korupsi dalam membangun gedung mewah, misalnya, maka korupsi selesai dalam sekali perbuatan. Tetapi kalau korupsi dalam pembuatan hukum atau kebijakan, akibatnya akan berkelanjutan. Negara bisa menjadi negara drakula kalau sudah begitu.

Mengerikannya, grand corruption adalah munculnya rasa tidak aman bagi semuanya. Rakyat pasti tidak aman karena haknya dirampas secara terus menerus. Pejabat yang menerima suap pun merasa tidak aman dan harus mengamankan diri kalau nanti habis masa jabatannya sehingga selalu berusaha mencari penyelamatan diri dengan cara korupsi lagi. Penyuap pun bisa merasa tidak aman karena bisa saja tiba-tiba ada penggantian pejabat yang berkolusi dengan pengusaha lain. Penyuap yang demikian merasa harus selalu berjaga-jaga dengan cara-cara korup. misalnya, melalui ijon pejabat baru dengan suap juga.

Jika rangkaian grand corruption tidak diputus, jika produk hukum dalam bentuk UU, perda, dan kebijakan selalu bisa dipesan dengan harga tertentu, jika putusan pengadilan sudah bisa diatur melalui mafia maka yang terjadi adalah terjadinya kezaliman yang berkepanjangan dan saling sandera di antara para koruptor. Dan kalau itu yang terjadi maka negara hanya menunggu kehancurannya. Tak ada hal lain yang menunggu di ujung sana kecuali kehancuran. Maka itu, langkah-langkah serius harus dilakukan sejak sekarang.

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 11 Juni 2016.

 

fh-sambut-mahasiswa-students-exchange-programm-dari-iium-malaysiaTamsis (8/6) Rabu, Mengawali bulan Ramadlan 1437 H di tahun 2016 ini, FH UII kembali menerima mahasiswa mahasiswi Students Exchange Program 2016 dari Fakulti Undang-Undang International Islamic University Malaysia (IIUM) yang akan mengikuti kegiatan perkuliahan di Fakultas Hukum UII selama 3 Minggu.

Read more

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

“Sekarang kami undang Ketua Mahkamah Konstitusi Indonesia, Tuan Mahfud MD, untuk menyampaikan pidato,” kata moderator tua itu. Saya pun maju ke podium untuk menyampaikan pidato sekitar 15 menit di Cassablanca, Maroko. Pada 12 Juni 2012 itu saya diundang untuk berbicara di depan konferensi in terasional yang dihadiri oleh pimpinan MK dari berbagai negara yang pernah dijajah Prancis dan menjadikan bahasa Prancis sebagai bahasa nasional mereka.

Saya agak terkesima dan terharu ketika pimpinan sidang yang merupakan ketua MK itu memberi pengantar untuk pidato saya. Dia bilang, Mr Mahfud adalah ketua MK Indonesia yang dicatat baik oleh dunia internasional.

MK Indonesia, saat itu, me mang masuk 10 MK palingefektif di dunia sesuai dengan catatan di dalam Harvard Handbook. Tetapi yang membanggakan dan mengharukan saya bukan soal MK Indonesia masuk 10be sar dunia, melainkan ketila dia menyebut Pancasila, Dasa Sila Bandung, dan Bung Karno.

Dia tidak tahu banyak tentang Mr Mahfud kecuali yang dibacanya di Google dan Youtube Tetapi dia mengenal Bung Karno yang berhasil membangkitkan harga diri dan kesadaran nasional bangsa-bangsa di Asia dan Afrika untuk menjadi negara yang benar-benar merdeka, terlepas dari jeratan kolonialisme dan neokolonialisme.

Rupanya waktumasih remaja diaílantayahnya hadir pada Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955 dan dia mengetahui Pancasila sebagai ideologinegara Indonesia serta ikut meneriakkan Dasa Sila Bandung. Untuk meyakinkan penjelasannya itu, dia mengajak saya berdiri dan menyanyikan lagu Halo-Halo Bandung. Kami pun menyanyikan Halo Halo Bandung sambil berdiri. Diahafal lagu itu.

Pancasila itu hebat karena bisa mempersatukan kita sebagai bangsa yang sangat majemuk. Pada 27 Oktober 2015 yang lalu saya diundang untuk memberi kuliah umum di American University of Beirut. Pertanyaan utama yang diajukan di dalam term of refference kuliah dan dialog vang bertajuk “Democratic Systemof Indonesiaina Plus ralistic Setting” itu adalah bagaimana Indonesia membangun bangsa sehingga menjadi begitu kuat kebersatuannya.

Saya kemukakan, indonesia membangun kebersatuan de ngan ideologi Pancasila dengan Semboyan Bhinneka Tunggal Ika (unity in diversity). Pancasila sebagai dasar ideologi negara, tumbuh dari bawah agai kesadaran yang hidup berad-abad, bukan dipaksakan dari us melalui kebijakan represif. Itu sebab nya Bung Karno sebaga encetus Pancasila menyataka tirinya bukan membuat Pancasila, melainkan menggali dari ak budaya bangsa yang sudah menjadi kesadaran hidup bersama selama berabad-abad.

Saya kemukakan juga, dengan Pancasila bangsa Indonesia bersatu kokoh meskipun wilayahnya sangat besar dan beragam pula ikatan primordialnya. Indonesia memiliki 17.504 pulau, mempunyai 1.340 suku bangsa, mempunyai 736 bahasa daerah, dan mempunyai minimal, 6 agama yang disebut di dalam peraturan perundangundangan di samping berbagai agama dan keyakinan yang tidak disebutkan secara resmi.

Dengar pluralitasitu Indonesia bisa bersatu melalui sistem demokrasi yang dibangunnya sendiri. Ini jauh berbeda dengan India, misalnya, yang ketika Mahatma Gandhi menyatakan India yang majemuk akan menjadi negara bersatu melalui sistem demokrasi ternyata terpecah se cara tragis. Pada 1947 Ali Jinnah mendirikan negara Pakistan, menyatakan lepas dari India, dengan alasan orang orang Pakistan memeluk agama Islam se dangkan orang Hindustan (India) memeluk agama Hindu.

Setelah memisahkan diri dari India dengan alasan perbedaan agama, Pakistan pun pecah juga. Orang-orang Pakistan yang ada di belahan barat, berkulit agak terang, tampak lebih intelek, dan berbahasa Urdu, dianggap tidak ramah dan tidak adil terhadap orang-orang Bangladesh yang ada di belahan timur, berkulit agak gelap, dan berbahasa Bengali. Pada 1971 Bangladesh pun melepaskan diri dari Pakistan untuk menjadi negara merdeka. Kawasan itu sampai sekarang masih menghadapi gerakan disintegrasi dari Kashmir.

Indonesia selamat dari tragedi seperti yang dialami di India karena Pancasila bisa menjadi pengikat kebangsaan yang kokbh. Pada 8 Februari 2012 Rashad Husein, utusan Presiden AS Barack Obama dalam urusan penegakan HAM untuk negara-negara OKI, berkun jung ke Kantor MK di Jakarta Kepada saya dia menyoal ten tang munculnya gejala intole ransi dan diskriminasi, peng usiran, dan perusakan rumal ibadah oleh sekelompok orang atas nama agama.

“Apakah konstitusi di Indo nesia masih efektif?” tanya Husein. Saya menjelaskan, konstitusi di Indonesia bekerja efekti karena Indonesia mempunya Pancasila. “Kasus-kasus yang Anda sebutkan sangatlah kecil dan hanya merupakan problem penegakan hukum dan keamanan yang reguler saja. Indonesia yang terdiri dari lebih dari 17.000 pulau dengan penduduk sekitar 248 juta jauh lebih besar dari 20 negara yang besar besar di Eropa. Di Eropa yang negaranya kecil-kecil saja masih ada kekerasan-kekerasan dan intoleransi seperti itu,” jawab saya, tentu dengan membela Indonesia.

Alhasil, secara konseptual Pancasila sebagai dasar dan ideologinegarasudahsangatkokoh, berhasil melumat setiapgerakan disintegrasi. Tantangan kita sekarang bukanlah Pancasila sebagai ideatau cita (citane gara, cita hukum, cita budaya, dan sebagainya), melainkan realitas ketidakadilan, melemahtiya supremasi hukum, merajalelanyakorupsi, dan melebarnya kesenjangan sosial dan ekonomi. Hal-halitulah yang mengancam keutuhan Indonesia kini.

Itu saya sampaikan di depan putri Bung Karno, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, dan ribuan hadirin pada syukuran hari lahirnya Pancasila di Tugu Proklamasi Rabu kemarin. Tiga hari yang lalu, 1 Juni 2016, Presiden sudah mengeluarkan Kepres Nomor 24/ 2016 tentang Hari Lahir Panca sila. Mudah-mudahan kita tetapingat, tantangan bagi Indonesiasekarangini bukanlah soal cita-ideologis Pancasila, me lainkan penerapan Pancasila tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

 

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 4 Juni 2016.

 

Best Speaker Cofola Conference Masaryk University dari FH UIILednice, Sabtu (4/6) – Satu lagi kabar yang membahagiakan bagi civitas akademika Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia. Salah satu Dosen Tetap FH UII, Dodik Setiawan Nur Heriyanto meraih penghargaan sebagai “The Best Speaker” dalam Konferensi Internasional yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum, Masaryk University bekerjasama dengan Wolters and Kluwers Company dan lawfirm ternama di Eropa Timur.

Read more

Penulis: Prof. Jawahir Thontowi, S.H., Ph.D.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Internasional

SUNGGUH mengejutkan ketika kematian Siyono settagal akibat penganiayaan tak berperikemanusiaan. Ia ditangkap Densus 88 dan dikembalikan dalam keadaan mati pada keluarga tanpa dokumen. Densus 88 dalam kasus kematian Siyono tampaknya tersandera. Publik khususnya ahli-ahli hukum dan HAM menduga adanya hubungan antara praktik penyelidikan atau penyidikan menyimpang. Prinsip-prinsip fundamental negara hukum. Misalnya, larangan penyiksaan, kewajiban due process of law, tidak mempertimbangkan hukum nasional dan hukum internasional.

Memang harus disadari, terorisme merupakan kejahatan luar biasa. Penanggulangannya dengan cara-cara yang biasa mustahil dapat dilakukan. Itulah sebabnya kita sepakat Densus 88 yang didirikan berdasarkan Keputusan Kapolri No Pol: Kep/30/7/2003 tanggal 30 Juni 2003 dengan tujuan untuk menjaga kedamaian masyarakat dan negara dari serangan teroris. Status hukum Detasemen Khusus 88 Antiteror, diperkuat dengan Perpres No 52 Tahun 2010 pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Juga penting memperhatikan kaitannya antara kejahatan terorisme dengan hukum internasional.

Secara konstitusional, Indonesia adalah negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945. Salah satu antitesis negara hukum adalah tidak boleh menyalahgunakan kekuasaan (machstaat). Termasuk dilarang melakukan tindakan menghakimi sendiri (eigenrichting). Terkait fakta penjemputan Siyono oleh Densus 88 dan dikembalikan dalam keadaan tewas, patut diduga sebagai tindakan kekerasan. Sungguh pun. Kapolri menduga Siyono berperan strategis dalam jaringan Jamaah Islamiyah bukan alasan yang membenarkan adanya penganiayaan dan penyiksaan.

Kejahatan teroris merupakan kejahatan luar bia sa’, musuh umat manusia, berskala interasional, seharusnya aparat Densus 88 sangat hati-hati. Namun, dalam konteks kematian Siyono tampaknya Densus 88 memandang kasus ini sebagai hal luar biasa. Sehingga aparat Densus 88 yang se harusnya cermat, hati-hati, dan wajib menjunjung tinggi HAM dan negara hukum, dipandang lalai.

Kasus kematian Siyono sejak setelah diperiksa Densus 88 terbukti menuai kecurigaan pihak keluarga dengan kematiannya yang tidak wajar, dan tiada respons cepat aparat penegak hukum. Ketidakhadiran negara menciptakan ruang bagi hadirnya Institusi nonnegara ‘atas nama moral keadilan’. Komnas HAM dan Muhammadiyah sebagai organi sasi keagamaan memiliki legal standing yang legitimit. Peran Komnas HAM diatur dalam UUD NRI 1945 Pasal 281 ayat (3), untuk menegakkan melindungi hak asasi manusia sesuai prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis.

Hasil kerja sama Komnas HAM, Muhammadiyah, dan Kontras dibantu 9 orang dokter forensik dipimpin Gatot Sudarto, menyimpulkan sebagai berikut Bahwa kematian Siyono ini akibat dari benda tumpul yang ada di bagian rongga dada. Ada patah tulang di iga kiri, ada lima ke bagian dalam tulang dada yang patah akibat benda tumpul di rongga dada mengarah ke jaringan jantung, sehingga ada jaringan di jantung (terluka) dan mengakibatkan kematian. Jadi titik kematian di situ (Kedaulatan Rakyat, 12 April 2016). Hasil otopsi ini dipandang valid karena hanya satu-satunya sumber data yang dapat digunakan.

Memang hasil otopsi ini dilakukan oleh bukan aparat penegak hukum dan bisa ditolak Polri. Namun, menjadi sulit untuk dihindari, apalagi Densus 88 tidak memiliki hasil otopsi sebelumnya. Kelalaian aparat Densus 88 untuk mengembalikan jasad seseorang tanpa dokumen sangat fatal dalam kondisi masyarakat demokratis. Seharusnya, ketika Polri menyatakan Siyono dari data intelijen sebagai teroris jaringan Jl harus disahkan dengan data intelijen negara-negara lain.

Kelalaian penyerahan mayat Siyono oleh aparat Densus 88 berakibat isu hukumnya berubah menjadi pelanggaran HAM. Karena itu, jika tindaklanjut pelaku penyiksaan Siyono diproses oleh Propam tidak tepat. Adanya kelalaian aparat Densus 88 dan pelanggaran atas kewajiban tidak melindungi warga negara Pasal 281 ayat (3) serta due process of law menuntut pertanggungjawaban hukum.

Dengan demikian, inisiatif Muhammadiyah yang diapresiasi tokoh NU KH Hasyim Muzadi, seharusnya didengar Presiden Jokowi. Dengan harapan Presiden dapat menginstruksikan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti dan Kepala BNPT Tito Karnavian melaksanakan tugas memberantas teroris jangan melanggar UUD NRI 1945 dan prinsip-prinsip negara hukum.

 

Tulisan ini telah dimuat dalam rubrik Analisis KR, koran Kedaulatan Rakyat, 14 April 2016.

 

 

Tim FH UII Raih Juara II Debat Hukum Nasional
Tim FH UII Raih Juara II Debat Hukum NasionalBanjarmasin, (27/2) Dalam rangka mengikuti Law Festival of lambung Mangkurat, tim FH UII berhasil meraih juara II dalam Kompetisi Debat Hukum Nasional setelah bersaing ketat pada final melawan FH UII.
Banjarmasin, ( 27/2) Dalam rangka mengikuti Law Festival of lambung Mangkurat, tim FH UII berhasil meraih juara II dalam Kompetisi Debat Hukum Nasional setelah bersaing ketat pada final melawan FH UI. Kompetisi Debat Hukum Nasional tersebut yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa ( BEM) Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat ( UNLAM) Kalimantan Selatan pada tanggal 25 – 27 Februari 2016.
Dengan tema debat “ Selaraskan Penegakan Hukum Lingkungan demi terwujudnya Indonesia yang Berdaulat dan Sejahtera” tim FH UII yang diwakili oleh M. Faisol Soleh ( 2014), M.Agus Maulidi ( 2013), Yuniar Riza Hakiki ( 2014) serta dosen pembimbing Jamaludin Ghofur, SH., M.Hum berhasil menyisihkan 14 kompetitor baik dari PTN maupun PTS terkemuka diseluruh Indonesia.
Dalam pertemuannya dengan Pimpinan FH UII, M. Faisol Soleh menyampaikan bahwa persiapan untuk mengikuti Kompetisi Debat Nasional dilaksanakan selama 2 minggu baik untuk persiapan materi debat, penyusunan argumentasi dan simulasi debat. Ditambahkan oleh Yuniar Riza Hakiki bahwa rasa kecewa pasti ada pada kami semua, tetapi rasa syukur harus bisa lebih besar dan kedepannya akan terus dapat dikembangkan dan diperbaiki. M. Agus Maulidi juga berharap agar kedepannya diadakan pelatihan public speaking bagi para delegasi debat untuk lebih dapat meningkatkan keterampilan retorika dalam penyampaian debat serta performace ketika berlangsungnya kompetisi debat.
Hal ini sejalan dengan penyampaian Jamaludin Ghofur, SH.,,M.Hum selaku dosen pembimbing bahwa secara substansi materi para delegasi FH sudah sangat dapat mengimbangi, akan tetapi masih perlu ditingkatkan pada sisi kualitas public speaking dan performancenya. Beliau juga menceritakan detik-detik penentuan peraih juara I yang dirasa sangat ketat, karna dari 5 juri yang ada, juri 1&2 memili UI sebagai juara I, sedangkan juri 4&5 memilih UII sebagai juara I , disisi lain juri 3 memilih draw. Ditambahkan beliau bahwa setelah melakukan diskusi para juri, maka diputuskan bahwa penentuan pemenang dilakukan dengan mengakumulasi nilai-nilai dari berbagai kriteria, dan didapatlah FH UI sebagai juara I dan FH UII sebagai juara ke II dengan selisih point 6 angka.
Dekan FH UII, Dr. Aunur Rohim Faqih, SH.,M.Hum sangat mengapresiasi prestasi yang telah diraih para mahasiswa FH UII . Beliau menyampaiakan bahwa terkadang FH UII dalam ajang kompetisi Hukum selalu dicari-cari keberadaan dan keikutsertaanya, hal ini dapat dijadiakan oleh para mahasiswa untuk tetap yakin dan optimis untuk tetap aktif dalam mengikuti kompetisi hukum yang ada karna keyakinan tetap harus ditingkatkan.
Syarif Nurhidayat, SH., MH selaku ketua Bidang Kemahasiswaan, Kerjasama dan Alumni FH UII (BKKA) menyampaikan bahwa pada tahun 2016 ini pencapaian prestasi mahasiswa FH UII diharapkan dapat meningkat dibanding pada tahun 2015,baik pada kompetisi tingkat regional maupun nasional.