Yogyakarta– Magister Kenotariatan Fakultas Hukum UII bekerjasama dengan Pusat Studi Hukum Islam (PSHI) Fakultas Hukum UII menggelar Web Seminar Nasional bertajuk “Perjanjian Perkawinan dalam Hukum Indonesia: Komparasi Antara Hukum Perdata Dan Islam” pada 14 November 2020. Seminar ini menghadirkan Dr. Agus Pandoman, S.H., M.Kn. dan Dr. Nurjihad, S.H., M.H. sebagai narasumber.

Acara dibuka dengan pemaparan sambutan sekaligus pengantar seminar oleh Dekan Fakultas Hukum UII, Dr. Abdul Jamil, S.H., M.H. Dalam sambutannya, Abdul Jamil menyampaikan bahwa topik seminar ini sangat menarik untuk dikaji sebab masih menyisakan berbagai persoalan, khususnya setelah lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015. Lebih-lebih perjanjian perkawinan di dalam seminar ini ditinjau dari dua perspektif, yaitu perspektif Hukum Perdata dan Hukum Islam.

Dalam hukum positif, perjanjian perkawinan memiliki landasan hukum di dalam KUH Perdata dan Undang-Undang Perkawinan, meskipun di dalam UU ini tidak terlalu eksplisit menyatakan perjanjian perkawinan. Namun menurut Agus Pandoman, dua aturan tersebut berbeda dalam mengatur mengenai perjanjian perkawinan.

Menurut Agus Pandoman, fungsi dari perjanjian perkawinan sendiri beragam, di antaranya adalah untuk membatasi atau meniadakan sama sekali percampuran harta kekayaan antara suami istri. Selain itu, perjanjian perkawinan juga berfungsi untuk membatasi kekuasaan suami terhadap barang-barang persatuan harta kekayaan yang ditentukan dalam Pasal 124 ayat (2) KUH Perdata.

Mengenai kapan perjanjian perkawinan dapat dibuat, menurut Agus Pandoman, berdasarkan Pasal 147 KUH Perdata, dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan. Sedangkan menurut Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan memberikan ketentuan yang lebih luas dengan adanya dua macam waktu untuk membuat perjanjian perkawinan, yaitu sebelum dan pada saat perkawinan dilangsungkan. Sementara Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa perjanjian perkawinan juga dapat dibuat setelah terjadinya perkawinan, selama ikatan perkawinan masih ada.

Dari sisi hukum Islam, dalam penyampaian materinya, Nurjihad mengatakan bahwa persoalan perjanjian perkawinan ini tidak banyak dibahas secara eksplisit baik di dalam dalil-dalil syariat ataupun di dalam kitab-kitab fikih ulama klasik. Sehingga perjanjian perkawinan lebih cocok dipandang sebagai suatu produk ijtihad.

Menurut Nurjihad, asal muasal perjanjian perkawinan sendiri dapat ditelusuri dari persoalan ada tidaknya harta bersama di dalam Islam. Mengacu pada KHI Pasal 86, menentukan bahwa pada dasarnya tidak ada percampuran harta antara suami-istri karena perkawinan. Pasal 85 menentukan tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau harta istri. Sedangkan di dalam Ensiklopedi Hukum Islam, harta bersama adalah harta yang diperoleh bersama dalam perkawinan.

Hal mendasar paling penting yang perlu digarisbawahi, menurut Nurjihad, bahwa perjanjian perkawinan bukanlah perjanjian yang berdiri sendiri. Perjanjian perkawinan masuk kategori perjanjian tambahan, dan tidak bisa dilepaskan dari perjanjian pokoknya, yaitu akad pernikahan. Sehingga di dalam Islam, jika dilakukan perjanjian perkawinan, maka ketentuan di dalam perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan konsekuensi hak dan kewajiban yang timbul dari akad perkawinan.

Seminar diwarnai dengan antusiasme dari para peserta dalam mengajukan pertanyaan maupun pernyataan atau pendapat pribadi mengenai topik yang dibahas.[]

Penulis: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Salah satu fenomena yang menarik perhatian saat berkumpul dengan komunitas difabel ialah sebutan atau panggilan yang dinilai stigmatif. Sebutan tersebut antara lain penyandang cacat, orang berkebutuhan khusus, dan penyandang ketunaan. Dalam percapakapan sosial masyarakat kerap muncul panggilan yang tidak menyenangkan, yaitu kata budheg (orang dengan gangguan pendengaran), gagu (orang dengan gangguan bicara),  pengkor (kelainan bentuk kaki), Cah Nyeng (orang dengan gangguan mental), dan beberapa sebutan yang lain.

Sebutan lain yang saat ini cukup populer ialah difabel dan penyandang disabilitas. Difabel merupakan singkatan dari bahasa Inggris different ability people atau diferently abled people, yaitu orang-orang yang dikatagori memiliki kemampuan berbeda dengan manusia pada umumnya. Istilah lainnya ialah differently able, yang secara harfiah berarti sesuatu yang berbeda. Sedangkan secara terminologi, difabel adalah setiap orang yang mengalami hambatan dalam aktifitas keseharian maupun partisipasinya dalam masyarakat karena desain sarana prasarana publik yang tidak universal dan lingkungan sosial yang masih hidup dengan ideologi kenormalan.

Sedangkan penyandang disabilitas merupakan Sebutan yang dikemukakan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yaitu setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga Negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Dari sekian sebutan di atas, difabel dianggap sebagai panggilan yang lebih nyaman, sopan, dan umum dalam percapakan komunitas. Sebutan difabel dinilai sejalan dengan ideologi yang memanusiakan, yaitu memberlakukan difabel sesuai harkat dan martabatnya sebagai manusia yang notabene merupakan bagian dari keragaman umat manusia.

Panggilan difabel tidak lepas dari tokoh bernama Mansour Fakih. Menurutnya, keberadaan difabel tidak lepas dari konstruksi sosial yang sangat destruktif. Konstruksi sosial melekatkan difabel dengan sebutan normal atau cacat. Istilah cacat memiliki makna ideologis yang berarti ketidakmampuan (disabilities), invalid dalam arti tidak normal, atau istilah yang menghadirkan cara pandang bahwa difabel tidak menjadi manusia seutuhnya, dan atau tidak sepenuhnya.

Konstruksi sosial yang melemahkan difabel menurut Mansour Fakih adalah ideologi kenormalan. Ideologi ini menjadi basis segala gagasan dan perilaku sosial masyarakat yang menciptakan kelas antar manusia yang dengan mudah bisa dikatakan normal atau tidak normal. Ideologi kenormalan dalam konteks ini lebih jauh menjadi penyokong cara pandang sosial yang penuh stigma serta menjadi basis banyaknya kebijakan diskriminatif yang berakibat pada eksklusi difabel dalam ruang publik.

Pertarungan Cara Pandang

Fenomena ragam sebutan difabel kalau dilacak ternyata tidak bisa lepas dari  ideologi dan paradigma yang melatari penyebutnya. Setidaknya terdapat empat paradigma yang saat ini berkembang, yaitu paradigma model budaya, model medis, model sosial, dan model hak asasi manusia.

Pertama, model budaya. Pendekatan ini berkembang sangat awal, dimana keberadaan difabel selalu dikaitkan keyakinan sebab akibat antara baik dan buruk. Misal di masyarakat Yunani dan Romawi yang diceritakan sangat menuhankan keperkasaan dan kesempurnaan, sehingga kelainan atau ketidaksempuraan harus dihilangkan. Konon di masa itu, anak-anak bayi yang baru lahir harus diperlihatkan kepada para sesepuh kota atau hakim tua (Gerousia) untuk diuji kesempurnaan fisiknya. Di masa itu pula diceritakan bahwa bayi-bayi yang sakit-sakitan, lemah, dan difabel dibuang dengan cara dihanyutkan di Sungai Tiber. Problem budaya melihat anak difabel saat ini masih terjadi. Tindakan tabu orang tua saat hamil seperti mengadu ayam, menangkap belut, mengadu ular, dan beberapa aktifitas yang lain diyakini sebagian masyarakat sebagai penyebab lahirnya anak-anak difabel.

Kedua, model medis. Pendekatan ini menyatakan bahwa esensi disabilitas adalah penyakit individu (individual pathology), dimana lewat cara ini kemudian bisa dibedakan mana difabel yang dianggap tidak bisa mengoperasikan teknologi baru, dan non difabel yang dianggap bisa mengoperasikan teknologi baru. Lewat pendekatan ini, maka perlu ada pemisahan  difabel dan non difabel untuk justifikasi pemerintah membantu difabel lewat program-program belas kasihan (charity) dan mendorong program-program rehabilitasi difabel agar bisa mandiri, sehat, dan normal secara jasmani dan rohani.

Ketiga, model sosial. Pendekatan ini menyatakan bahwa persoalan disabilitas terletak pada faktor yang lebih luas dan bersifat eksternal. Persoalan difabel tidak terletak pada kekurangan fisik dan atau mental seseorang, melainkan lebih pada faktor lingkungan sosial yang menindas dan meminggirkan keberadaan difabel. Pendekatan sosial mengkritik pendekatan medical model dan model budaya  karena telah menjadi penyebab marginalisasi difabel yang secara kultural dan struktural dianggap sebagai orang yang sakit, tidak normal, dan bermasalah karena mengalami kekurangan fisik atau mental (impairment).

Keempat, model hak asasi manusia. Pendekatan ini merupakan pengembangan dari pendekatan sosial model yang menghendaki penghormatan terhadap harkat dan martabat difabel, otonomi individu difabel, penghilangan segala bentuk diskriminasi terhadap difabel, meletakkan difabel sebagai bagian dari keragamaan manusia dan kemanusiaan, serta memastikan negara agar bertanggungjawab terhadap penghormatan (to respect), perlindungan (to protect), dan pemenuhan (to fulfill) hak-hak difabel.

Berpijak pada empat paradigma, pendekatan dan ideologi di atas, sebutan-sebutan yang memojokkan difabel merupakan ekspresi dari pendekatan budaya dan medis. Sebutan-sebutan negatif tersebut semestinya dihapuskan karena secara umum telah bertentangan dengan hukum hak asasi manusia yang telah mengatur dengan sedemikian rupa hak-hak difabel, khususnya Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Persons With Disabilities. Dalam hal ini, pemerintah Indonesia sebagai pemangku tanggungjawab (duty holder) semestinya mengambil langkah-langkah agar tidak ada lagi sebutan-sebutan yang menghancurkan harkat dan martabat difabel.

Pesan Agama

Pertanyaan yang tidak kalah penting, sebenarnya bagaimana pandangan agama, utamanya agama Islam terhadap sebutan-sebutan yang negatif kepada difabel? Pertanyaan ini mengemuka mengingat masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam dan dinilai memegang teguh budaya ketimuran.

Dalam agama Islam, stigma dan diskriminasi terhadap difabel merupakan tindakan yang haram atau tidak diperbolehkan secara hukum. Dalam ajaran Islam, kedudukan semua manusia sama, baik itu difabel-non difabel, kaya-miskin, budak-majikan, laki-laki-perempuan, yang membedakan hanyalah tingkat ketaqwaan seseorang (Qs. Al-Hujarot : 13).  Taqwa sendiri kalau ditelaah banyak berkaitan dengan pesan-pesan agar setiap orang Islam dapat berkembang menjadi pribadi yang berprilaku terpuji, baik hubungannya dengan Allah maupun dengan relasi sosial kemasyarakatan yang sangat luas.

Dalam ajaran Islam juga disebutkan bahwa Allah tidak melihat pada tubuh dan bentuk rupa seseorang, tetapi Allah melihat kepada hati umat mereka. Hal ini memperlihatkan bahwa kemuliaan seseorang di sisi Allah tidaklah diukur karena bentuk fisik dan rupa sebagaimana telah menjadi alat peminggiran kelompok difabel selama ini, tetapi Allah melihat hati dan kebaikan-kebaikan yang muncul akibat hati seseorang yang bersih.

Ajaran Islam lebih luas memperlihatkan bahwa agama ini menentang segala praktek ketidakadilan, dehumanisasi, dan setiap hal yang bertentangan dengan nilai-nilai etik dan profetik. Karena itu, sebutan-sebutan yang negatif, buruk, dan bernuansa kutukan haruslah ditinggalkan. Umat beragama, khususnya orang-orang Islam haruslah menyebarkan sebutan, pandangan dan perilaku yang menguatkan kelompok difabel.

Tulisan ini telah dimuat dalam Koran SINDO, 4 November 2020.

WEBINAR DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA FH UII

“TANTANGAN LEGISLASI DI MASA PANDEMI”

Keynote Speaker
Prof. Dr. Bagir Manan S.H, M.CL Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran

Narasumber Dosen Hukum Tata Negara FH UII:

Dr. Saifudin S.H.,M.Hum.
Topik: “Urgensi Partisipasi Publik dalam Pembentukan Perundang-Undangan”

Dr. Idul Rishan S.H., LLM.
Topik: “Aspek Legisprudensi Pembentukan Perundang-undangan”

Jamaludin Ghafur S.H, M.H.
Topik: “Reformasi Partai Politik dan Perbaikan Kinerja Legislasi DPR”

Dian Kus Pratiwi S.H, M.H.
Topik: “Fast Track Legislation dalam Pembentukan UU di Indonesia”

Pelaksanaan
Selasa, 17 November 2020
09.00-12.00
Zoom Meeting : 222 997 5208

https://uii.zoom.us/j/2229975208?pwd=bVRPUDFHb090anlpMStQeHdraC92dz09

Pendaftaran melalui:
http://bit.ly/webinarhtnfhuii

Simak Live Streaming di
▶️ youtube : Fakultas Hukum UII Yogyakarta

YOGYAKARTA (FH UII). Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Fakultas Hukum UII mengadakan kegiatan webinar dengan tema “Pengaruh Revolusi Industri 4.0 Terhadap Persidangan Perkara Pidana dan Perkara Perdata Secara Elektronik di Pengadilan”. Kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka merespon keluarnya 2 (dua) peraturan Mahkamah Agung terkait perkembangan persidangan elektronik yaitu Peraturan Mahkamah Agung Repuplik Indonesia (Perma RI) Nomor 1 Tahun 2019 Tentang Administrasi dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik dan Perma RI Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik.

Kegiatan Webinar ini dilaksanakan secara daring (dalam jaringan) melalui platform zoom dan live youtube Pusdiklat FH UII serta diikuti sejumlah 147 (seratus empat puluh tujuh) peserta yang terdiri dari mahasiswa/i mata kuliah Praktik Peradilan Pidana dan Praktik Peradilan Perdata sebagai peserta wajib dan dari masyarakat atau umum.

Pembukaan Webinar ini diawali dengan sambutan dari Dekan Fakulas Hukum UII Bapak Dr. Abdul Jamil, S.H.,M.H. yang menyampaikan bahwa situasi saat ini sangat relevan dengan tema yang didiskusikan, bagaimana dampak dari proses peradilan baik perdata maupun pidana yang dilakukan secara elektronik. Hal ini sesuai dengan program Mahkamah Agung dengan melahirkan kedua perma diatas, salah satu program MA ialah e-litigation yang diharapkan dapat mengurangi penumpukan sidang di pengadilan. Hal ini juga didukung dengan adanya musim pendemi saat ini, yang mana persidangan sudah dilakukan secara elektronik, seperti pemeriksaan terhadap saksi/pemeriksaan terhadap terdakwa, atas hal tersebut perlu juga dikaji berkaitan dengan bagaimana sidang elektronik ini jika dikaitkan dengan teori. Bagaimana dengan sidang pembuktian dan sebagainya karena prinsip-prinsip tersebut menjadi tidak sinkron dengan hukum acara pada umumnya. Saya harapkan hal ini dapat dikaji lebih oleh narasumber untuk memberikan pengetahuan kepada pada peserta webinar.

Kegiatan Webinar ini juga sebagai upaya merespon perkembangan kondisi saat ini yang memasuki era revolusi industry 4.0 yang mempengaruhi hampir semua aspek kehidupan manusia, tak terkecuali sistem hukum khususnya di lingkungan peradilan yang menuntut semua pihak terbiasa dengan sistem komputerisasi atau teknologi.
Sejak pemberlakuan kedua Perma tersebut, seluruh pengadilan di Indonesia sebisa mungkin dapat memfasilitasi persidangan secara elektronik apabila masyarakat pencari keadilan membutuhkannya. Dan oleh karenanya Pusdiklat FH UII ingin mengadakan webinar ini guna melihat bagaimana pemberlakuan dan pelaksanaan perma kedua tersebut hingga saat.

Materi yang disampaikan terdiri dari 3 (tiga) sesi materi dengan perspektif yang berbeda disampaikan oleh narasumber sesuai dengan bidangnya masing-masing. Materi pertama tentang pemaparan umum Perma Nomor 1 Tahun 2019 dan Perma Nomor 4 tahun 2020 yang disampaikan oleh Wahyu Sudrajat, S.H.,M.H.Li selaku Hakim sekaligus Pengajar Praktik Peradilan Pidana dan Praktik Peradilan Perdata FH UII. Hukum merupakan sarana untuk mengatur kepentingan manusia yang bersifat memaksa, namun hukum biasanya tertinggal dari kebiasaaanya, meskipun tertatih untuk mengikuti kebiasaanya Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang diberikan tugas oleh konstitusi untuk menegakkan hukum dan keadilan mencoba merespon apa yang terjadi didalam kehidupan social masyarakat.

Lahirnya perma Nomor 1 tahun 2019 yang mencabut perma Nomor 3 tahun 2018 dan Perma Nomor 4 tahun 2020 merupakan sebuah fase yang sangat penting dalam proses digitalisasi terhadap litigasi di Indonesia meskipun negara kita bukan negara yang pertama yang menerapkan system e-court. Adapun trobosan perma nomor 3 tahun 2018 yang disempurnakan dengan perma nomor 1 tahun 2019 yakni berkenaan dengan Sistem Informasi, Pendaftaran secara elektronik dengan adanya e-court, orang dapat mendaftarkan perkara dimanapun, meskipun terbagi menjadi pengguna terdaftar (perma nomor 3 tahun 2018 bukan hanya advokat, namun perma nomor 1 tahun 2019 pengguna terdaftar hanya untuk advokat) dan dan pengguna lain, Taksiran panjar biaya perkara secara elektronik dilakukan secara online yang diharapkan memutus kecurangan dalam berperkara ataupun memudahkan untuk melakukan pembayaran dibeda daerah, domisili elektronik yang sangat mempengaruhi pemanggilan secara elektronik dan hal ini menjadi solusi aturan hukum didalam HIR yang sangat tertinggal, dimana pemanggilan pihak dilakukan secara manual menggunakan juru sita untuk memanggil para pihak dan ini merupakan solusi dari persidangan cepat, biaya murah, dan ringan. pengguna terdaftar, dalam perma nomor 3 tahun 2018 hanya mengatur administrasi perkara secara elektronik namun dalam perma nomor 4 tahun 2019 bukan hanya berbicara administrasi elektronik namun juga mengatur e-litigati, dan hal yang perlu diperhatikan lebih lanjut adalah upaya hukum yang dilakukan secara elektronik.

Terobosan perma nomor 4 tahun 2020 diantaranya adanya perluasan makna berkaitan dengan ruang sidang(ruang sidang secara elektronik) yang mana hakim, jaksa dan penasehat hukum bisa dilakukan di masing2 tempat sesuai dengan aturan perma ini, domisili elektronik, administrasi perkara secara elektronik, persidangan secara elektronik, pembuktian secara elektronik, dokumen elektronik, adanya opsi persidangan elektronik masih bisa dilakukan sejak permulaan maupun pada saat sudah berjalan, panggilan secara elektronik dan akses public tetap terbuka namun disisi lain memang ada kelemahan saksi lain yang belum diperiksa sudah memiliki gambaran persidangan yang sudah berjalan.

Adapun kelebihan persidangan dilakukan secara elektronik dapat memberikan keamanan bagi hakim, jaksa dan pihak lainnya yang sedang menyidangkan perkara-perkara tertentu yang melibatkan massa banyak. Kedua perma ini merupakan produk monumental yang dikeluarkan oleh mahkamah agung terhadap hukum acara pidana dan hukum acara perdata di Indonesia yang akan menjadi pijakan bagi kita untuk memulai digitalisasi secara komperensif terhadap proses litigasi di Indonesia. Adapun hal-hal yang perlu di tempuh kedepannya ialah : diharapkan adanya live streaming penjatuhan putusan baik dalam perkara pidana maupun perdata pada setiap tingkatan baik tingkat pertama, banding, kasasi ataupun peninjauan kembali, kewajiban sidang elektronik bagi advokat sepenuhnya, perluasan ruang sidang elektronik secara lebih komprehensif termasuk untuk kepentingan independensi hakim dan keamanan dalam menjatuhkan putusan serta mengakomodir perkembangan artificial intelligence dan sidang virtual, integrasi identitas kependudukan dengan data pihak berperkara untuk lebih memudahkan panggilan pengadilan.


Foto 1: Penyampaian materi oleh narasumber ke 2

Kemudian materi kedua tentang teknis pelaksanaan persidangan perkara perdata dan perkara pidana di pengadilan secara elektronik serta kendala-kendala yang dihadapi dalam implementasi Perma Nomor 1 Tahun 2019 dan Perma Nomor 4 Tahun 2020 (berdasarkan sudut pandang Hakim) yang disampaikan oleh Syihabuddin, S.H.,M.H., selaku Hakim Ketua Pengadilan Negeri Sabang (Aceh). Hingga saat ini semenjak pemberlakuan kedua perma tersebut dari juli 2018-juni 2020 terdaftar pengguna perkara elektronik mencapai 33.840 dan terverifikasi 31.465 dan persidangan perkara elektronik 18.935. Adapun kendala yang dihadapi dalam menyidangkan perkara persidangan elektronik yakni : Akses internet kurang baik, Ketersediaan infrastruktur yang kurang memadai, Belum ada prosedur tetap dan modul standar infrastruktur, Pemangku kepentingan kurang paham operasional Perma, sehingga masih menggunakan sistem konvensional dengan penyesuaian sistem elektronik, E-litigasi Dalam perkara Perdata masih mengandalkan konsensualisme, Aturan dasar masih mengacu pada HIR/RBg dll, Pembuktian masih mengacu kepada HIR/RBg, Kendala terkait dengan Pembuktian Tambahan, Mediasi masih secara konvensional (tatap muka), Klien memutus hubungan hukum (Surat Kuasa Advokat), kemudian tidak menunjuk advokat lain, akan menjadi kendala, Dokumen yang diunggah kurang jelas, sulit dibaca (hasil scan kurang baik).

Materi ketiga tentang teknis pelaksanaan persidangan perkara perdata dan perkara pidana di pengadilan secara elektronik serta kendala-kendala yang dihadapi dalam implementasi Perma Nomor 1 Tahun 2019 dan Perma Nomor 4 Tahun 2020 (berdasarkan sudut pandang Advokat). disampaikan oleh Bapak Dr. Ariyanto, S.H.,C.N.,M.H selaku advokat. Para Advokat sangat mengapresiasi adanya perma ini, karena adanya e-court sangat membantu advokat dalam pelaksanaannya kepentingan klien guna memenuhi asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Hal ini juga mempengaruhi biaya cost operasional yang dikeluarkan oleh klien menjadi tidak besar. Dengan adanya e-court ada transparansi putusan pengadilan yang dapat diakses oleh public. Hal ini juga dapat mempersempit interaksi langsung (nepotiseme) antara Advokat dan hakim dan Pegawai Pengadilan.

Peserta Webinar sangat antusias mendengarkan pemaparan dari narasumber yang ahli di bidangnya. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya pertanyaan dari peserta yang berasal dari Fakultas Hukum UII. Pelaksanaan Webinar secara lengkap dapat dilihat dalam youtube Pusdiklat FH UII dengan link berikut:

Kegiatan ini ditutup dengan closing statement dari bapak Wahyu Sudrajat Meskipun dengan berbagai kendala yang ada dalam penerapan e-court dan e -litigasi ini, harus kita jadikan tantangan untuk maju lebih jauh lagi dalam hal digitalisasi proses litigasi, kendala pasti ada apalagi kita memang dipaksa dengan keadaan saat ini bukan hanya dipengaruhi oleh revolusi industy 4.0 namun juga kendala yang diakibatkan oleh pendemi covid 19 yang menyebabkan perubahan dalam banyak hal, jika hanya berbicara revolusi 4.0 kita tidak akan takut datang ke persidangan namun saat ini kita juga diberengi dengan ketakutan pada hal yang tidak terlihat (covid). Hal ini juga bukan hanya berbicara digitalisasi dalam hal litigasi saja, namun juga dilihat dari sisi keadilan. Selain kualitas sistemnya sudah bagus yang mana hakim tidak hanya canggih dalam menjalankan e-court namun hakim juga dapat memberikan pertimbangan putusannya yang berkualitas.

Diharapkan juga kedepannya, kita tidak hanya terfokus untuk mendorong Mahkamah Agung dalam digitalisasi litigasi namun juga kita harus mendorong digilatisasi pada tingkat penyelidikan dan penuntutan dalam system peradilan pidana.


Foto 2: Peserta Webinar

YOGYAKARTA (FH UII) – Pusat Pendidikan dan Latihan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (Pusdiklat FH UII) mengadakan kegiatan Kuliah Intensif dengan Legal Drafter dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Tema yang diusung dalam kegiatan ini adalah “Kuliah Intensif Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan FH UII (Teknik Penyusunan Sistematika Peraturan Perundang-Undangan)”. Kegiatan ini dilaksanakan guna memberikan materi tambahan dalam mata kuliah Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan menciptakan sumber daya manusia, khususnya lulusan FH UII yang handal dalam bidang peraturan perundang-undangan dan dapat menerapkan dalam praktik yang sebenarnya.
Kegiatan kuliah Intensif ini dihadiri oleh 235 peserta yang terdiri dari Mahasiswa/i kelas mata kuliah Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Semester Ganjil TA. 2020/2021. Kegiatan ini berlangsung selama 3 (tiga) hari yang dimulai hari kamis tanggal 22 Oktober 2020 sampai sabtu 24 Oktober 2020 sesuai dengan hari pelaksanaan mata kuliah Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Pelaksanaan kuliah intensif hari pertama, Kamis, 22 Oktober 2020 dimulai pukul 09.00 sampai dengan 11.45 WIB, acara dibuka dengan sambutan dari Sekretaris Jurusan Fakultas Hukum UII, Bagya Agung Prabowo,S.H.,M.Hum.,Ph.D. menyampaikan arti penting materi yang akan disampaikan, bahwa pemerintahan yang baik diperlukan peraturan perundang-undangan yang baik pula, peraturan perundang-undangan ini bukanlah opini atau artikel akademik berdasarkan teori semata karena opini maupun artikel tersebut tidak memilki daya paksa untuk orang lain sedangkan peraturan perundang-undangan memilki daya paksa untuk mengatur kehidupan masyarakat. Setelah sambutan, acara dilanjutkan dengan pemaparan materi oleh Dr. Hendra Kurnia Putra, S.H.,M.H selaku legal drafter dari Kementrian Hukum dan HAM Republik Indonesia. Peserta yang mengikuti kuliah intensif pada hari pertama sebanyak 40 dari mahasiwa Kelas B mata kuliah Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Hari kedua, jumat, 23 Oktober 2020 dimulai pukul 13.30 s.d 16.00 WIB dengan acara yang sama seperti hari pertema dibuka dengan sambutan dari Sekretaris Jurusan Fakultas Hukum UII, Bagya Agung Prabowo,S.H.,M.Hum.,Ph.D.yang kemudian dilanjutkan pemaparan materi oleh Dr. Hendra Kurnia Putra, S.H.,M.H. Peserta yang mengikuti kuliah intensif pada hari kedua sebanyak 40 (empat puluh) mahasiwa Kelas C mata kuliah Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Hari ketiga, Sabtu, 24 Oktober 2020, pelaksanaan kuliah intensif dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok 1 (satu) dimulai Pukul 07.00 sampai 09.00 WIB acara dibuka dengan sambutan dari dekan Fakultas Hukum UII, Dr. Abdul Jamil, S.H.,M.H. yang menyampaikan kegiatan ini sangat penting bagi mahasiswa/i Fakultas Hukum UII untuk menunjang profil kelulusan Fakultas Hukum UII yaitu sebagai praktisi diantaranya ada advokat, hakim, notaris dan pembentuk undang-undang atau legal drafter. Kemudian dilanjutkan pemaparan materi oleh Nurul Hidayati, S.H.,M.H. selaku legal drafter dari Kementrian Hukum dan HAM Republik. Peserta yang mengikuti kuliah intensif pada hari ketiga kelompok 1 (satu) sebanyak 40 mahasiswa yang terdiri dari mahasiswa mata kuliah Pembentukan Peraturan Perundang-undangan kelas E dan F. Kemudian kelompok 2 (dua) dimulai Pukul 09.00 sampai 11.45 WIB, acara dibuka dengan sambutan dari dekan Fakultas Hukum UII, Dr. Abdul Jamil, S.H.,M.H. Kemudian, dilanjutkan dengan pemaparan materi oleh pada Reza Febriansyah. S.H.,M.H. selaku legal drafter dari Kementrian Hukum dan HAM Republik Indonesia.

Pada kuliah intensif ini semua pemateri menyampaikan hal yang sama sesuai tema yang diusung yaitu Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan yang difokuskan kepada perancangan sebuah Undang-Undang. Semua Pemateri menyampaikan bahwa tahap penyusunan sistematika rancangan Undang-Undang ini pada dasarnya adalah proses untuk menerjemahkan naskah akademik menjadi sebuah peraturan. Teknik perancangan Undang-Undang termasuk sistematikanya telah diatur secara baku dalam lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Hal tersebut diatur guna keseragaman dalam hal penyusunan peraturan perundang-undangan. Kemudian pemateri juga menyampaikan bahwa penggunaan bahasa atau pemilihan kata yang tepat merupakan salah satu hal yang perlu diketahui dalam rangka penyusunan peraturan perundang-undangan. keterampilan dalam teknis yang dibutuhkan dalam tahap ini, salah satunya yaitu keterampilan menyusun kalimat perundang-undangan yang baik.

Setelah penyampaian materi, mahasiswa diberi kesempatan untuk bertanya langsung kepada pemateri tentang materi yang telah disampaikan maupun isu aktual yang berkaitan dengan pembentukan Undang-Undang. Kuliah intensif ini disambut baik terutama oleh mahasiswa kelas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang dapat dilihat dari antusias mahasiswa untuk bertanya kepada pemateri.

Kegiatan ditutup dengan closing statement dari pemateri salah satunya dari Reza Febriansyah. S.H.,M.H. yang menyampaikan banyak terimakasih atas kehormatan yang diberikan oleh civitas akademika FH UII sekaligus permohonan maaf sekiranya ada tutur kata dan perilaku yang tidak berkenan serta besar harapan dapat bertemu di waktu dan kesempatan yang lain. Kemudian dilanjutkan dengan foto bersama.

Fakultas Hukum UII berharap kegiatan ini terus berjalan setiap semester walaupun saat ini wabah Covid-19, tetapi tidak mengurangi kegiatan akademik yang ada justru dengan memanfaatkan teknologi dan inovasi baik dalam penyelengaraannya maupun subtansi materi yang diberikan kepada mahasiswa dalam perkuliahan menjadi kunci kegiatan belajar mengajar tetap berjalan dengan lancar dan baik.

Purwakarta (28/10) Kompetisi merupakan salah satu ajang untuk mengembangkan diri. Pada kesempatan kali ini Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) kembali mengharumkan nama kampus dengan menempati Juara 3 Lomba Karya Tulis Ilmiah dilingkup Jawa Tengah dan D.I.Yogyakarta yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman. Berkenaan dengan kompetisi tersebut FH UII mengirimkan Shafira Aretha Inafitri (2019), Fawwas Aufaa Taqiyyah Prastiwi (2019), dan Eka Detik Nurwagita (2019) sebagai delagasi. Ketiga Srikandi FH UII ini mengangkat topik “Urgensi Perlindungan Data Pribadi Terhadap Pengguna E-Commerce di Indonesia”.

Tentunya keberhasilan ini tidak terlepas dari bimbingan dan doa para dosen FH UII yang telah meluangkan waktu dan pikirannya, sebagaimana yang diungkapkan oleh perwakilah delegasi Eka Detik Nurwagita “Alhamdulillah, kami ucapkan terimakasih kepada kakak-kakak dan dosen pembimbing kami yang telah membimbing kami dari nol, serta memberikan segala inspirasi dan motivasinya, sehingga dapat menjadi acuan kami dalam mengikuti lomba ini dan berkat beliau semua kami dapat menorehkan prestasi untuk kampus FH UII tercinta ini, tanpa beliau semua kami mungkin tidak akan dapat sampai seperti ini. Jazaaakumullah khoiron katsiiroon”. Disamping itu harapannya kedepan FH UII tidak hanya mewarnai di kancah wilayah tapi juga mampu memberikan warna di kancah Nasional dan Internasional.