Berdasarkan riset Business Software Alliance (BSA) dan Ipsos Public Affairs, Indonesia didudukan sebagai peringkat tujuh penggunaan software illegal dari 32 negara di dunia. Realitas ini bagi sebagian kalangan dianggap bukan hal yang mengejutkan (Indonesia tercitrakan sebagai negara yang banyak melakukan pelanggaran hak cipta). Akan tetapi, disadari bersama dengan adanya informasi ini, menunjukan masyarakat Indonesia dalam hal kesadaran perlindungan hak cipta masih sangat lemah. Lalu, sikap apa yang harus dilakukan pemerintah agar permasalah ini dapat terselesaikan?

Akar Masalah

Dengan peringkat tujuh Indonesia dalam penggunaan software illegal menunjukan kepada kita bahwa akar masalah dari pelanggaran hak cipta belum terselesaikan.  Apa sesungguhnya yang menjadi akar masalah, sehingga pelanggaran hak cipta software di Indonesia masih tinggi?

Sebenarnya, jika mau ditelaah secara mendalam akar permasalahan dari tingginya pelanggaran hak cipta software ini terletak pada belum terbentuknya budaya mengakui, menghormati dan melindungi hak cipta yang baik. Dari akar masalah ini, apabila diturunkan, maka dapat teridentifikasi beberapa permasalahan turunan yang yang menyebabkan budaya hak cipta yang baik belum terbentuk, yakni; Pertama, belum efektifnya edukasi HKI; Kedua, adanya kebijakan hak cipta yang tidak efektif; Kedua, terbatasnya sumber daya manusia dan lemahnya profesionalisme aparat penegak hukum dalam menangani pelanggaran hak cipta software; dan Ketiga, masih adanya tindakan seporadis dan tebang pilih dalam penegakan hukum hak cipta.

Praktek edukasi HKI yang tidak efektif dibuktikan dengan adanya edukasi HKI yang cenderung sektoral dan parsial, serta kurang mengena kepada sasaran. Dalam konteks pendidikan formal pun, edukasi HKI nampaknya masih berkutat pada bidang hukum, sementara bidang yang lain belum teroptimalisasikan. Di lain pihak, dalam konteks pendidikan informal, edukasi HKI lebih cenderung dilaksanakan dengan sistem copy paste saja dan penyampaian materi HKI-pun cenderung pengulangan.

Selanjutnya dalam konteks akar masalah turunan kedua, sebagaimana diketahui, pemerintah dalam upaya meminimalisir pelanggaran HKI (hak cipta) saat ini telah membuat kebijakan berupa pembentukkan Tim Nasional Penanggulangan Pelanggaran HKI. Tim ini dibentuk berdasarkan Keppres No. 4 Tahun 2006. Namun, dilihat dari keanggotaan tim tersebut terlihat bahwa anggota-anggota yang terlibat sebagian besar adalah pejabat negara yang notabene-nya tidak memiliki waktu untuk menjalankan tugas tim. Alhasil dalam implementasinya, kebijakan ini terkesan tidak efektif.

Lemahnya profesionalisme aparat penegakan hukum terhadap bidang HKI menjadi permasalahan turunan berikutnya dari belum terbentuknya budaya hak cipta yang baik. Faktanya, pernah ditemukan ada aparat penegak hukum yang menangani kasus pelanggaran HKI, ternyata tidak mampu membedakan kasus tersebut masuk kategorisasi pelanggaran hak cipta atau paten.

Permasalahan turunan ini semakin diperburuk lagi dengan hadirnya permasalahan turunan lainnya berupa tindakan seporadis dan tebang pilih dalam penegakan hukum hak cipta. Akibatnya, ada persepsi di masyarakat bahwa  pemerintah—khususnya penegak hukum — tidaklah memiliki keseriusan dalam menegakkan hukum hak cipta.

Hal inilah kiranya yang menjadi permasalahan-permasalahan, sehingga pada saat ini Indonesia belum mampu secara maksimal mengurangi secara drastis terhadap tindakan pelanggaran hak cipta software dan harus tetap ada pada posisi tinggi atas pelanggaran hak cipta software.

 

Sikap dan Upaya 

Dengan menyadari terhadap akar permasalahan yang ada dan masih tingginya tingkat pelanggaran hak cipta software, maka pemerintah sudah selayaknya untuk  melakukan tindakan responsif dan lebih serius lagi. Wujud nyatanya harus ditunjukan dengan adanya upaya-upaya nyata dalam menurunkan tingkat pelanggaran hak cipta software. Beberapa upaya yang mungkin dapat dilakukan oleh pemerintah untuk hal tersebut adalah:

Pertama, mereview dan memperbaiki sistem edukasi dan penyadaran hak cipta (HKI) kepada masyarakat. Hak cipta (HKI) yang semula hanya diberikan kepada fakultas hukum sudah saatnya diberikan kepada fakultas lainnya. Bahkan jika dimungkinkan hak cipta (HKI) dapat juga diberikan kepada jenjang pendidikan dibawahnya (baca: SMA, SMP dan SD). Kegiatan sosialisasi lebih diintensifkan dan dilakukan dengan lebih terrencana.

Kedua, mengkaji kembali setiap kebijakan dalam rangka penanggulangan pelanggaran hak cipta (HKI). Kajian ini tentu harus sampai pada suatu penemuan riil atas permasalahan kebijakan yang tidak efektif. Pemerintah harus secara tegas dan berani untuk memperbaiki kebijakannya. Di samping itu, kebijakan penanggulangan pelanggaran HKI (hak cipta) yang dapat menjangkau pelanggaran-pelanggaran HKI (hak cipta) di daerah-daerah hendaknya segera dibuat.

Ketiga, memperbaiki metode penegakan hukum hak cipta menjadi penegakan hukum yang sistemik dan konsisten. Dalam hal ini, pemerintah harus secara konsisten meningkatkan jumlah dan profesionalisme aparat penegak hukum. Di samping itu, penting juga adanya suatu bentuk reward kepada penegak hukum yang secara profesional menegakkan hukum hak cipta sekaligus mampu menciptakan rasa keadilan substantif kepada masyarakat.

Pada akhirnya, melalui sikap responsif dan upaya pemerintah diharapkan di masa-masa mendatang pelanggaran hak cipta software oleh masyarakat Indonesia turun secara drastis dan hal ini sekaligus menandai terciptanya budaya hak cipta yang baik.

 

Budi Agus Riswandi

Direktur Eksekutif Pusat HKI

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Berita minggu ini di media masa maupun elektronik ada hal yang menarik selain kasus kecelakaan pesawat Sukhoi SSJ 100. Berita itu berupa adanya beberapa musisi dan pencipta music dan lagu nasional datang DPR untuk menyampaikan aspirasinya terkait dengan perlindungan hak cipta music dan lagi di internet yang dirasa sekarang ini sudah sangat serius. Bahkan dapat mengancam keberlangsungan industri musik Indonesia.

Musik dan Lagu Online 

Sebagaimana diketahui Indonesia sebagai Negara hokum sesungguhnya merupakan suatu Negara yang telah memiliki ketentuan hokum hak cipta sejak zaman hindia belanda. Hal ini terbukti Indonesia pada masa Hindia Belanda telah memiliki hokum hak cipta yang disebut dengan autherwet 1912. Kini, hokum hak cipta di Indonesia telah mengalami perubahan-perubahan hingga akhirnya sampai pada UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. UU No. 19 Tahun 2002 merupakan bentuk akomodasi atas dua hal Pertama, akomodasi atas diratifikasinya WIPO Copyrights Treaty dan World Ponogram and Performance Treaty. Konvensi ini dikenal dengan sebutan Internet Treaties.; Kedua, akomodasi atas pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti dalam hal perkembangan teknologi internet menjadi faktor lain dari perubahan hokum hak cipta Indonesia.

Apabila memperhatikan substansi dari UU Mo. 19 Tahun 2002, maka sangat nyata bahwa UU Hak Cipta diberlakukan guna melindungi salah satunya ciptaan music dan lagu. Sebenarnya, ada hal yang sangat progresif dari pemberlakuan UU No. 19 Tahun 2002, di mana perlindungan hak cipta atas music dan lagu tidak hanya yang terdapat di dunia nyata (real world), tetapi menjangkau juga perlindungan hak cipta di dunia maya (virtual world). Hal ini dapat ditemukan salah satunya dari ketentuan yang menjelaskan tentang makna pengumuman sebagaimana di atur dalam Pasal 1 UU No. 19 Tahun 2002 intinya pengumuman ciptaan tidak saja menjangkau pada wilayah real world, tetapi juga pada wilayah virtual world.

Oleh karena itu, apa yang diminta oleh musisi dan pencipta music dan lagu atas usulan melakukan pemblokiran situs-situs yang melakukan praktek illegal downloading music dan lagu yang bersifat komersial dan merugikan mereka secara ekonomi terhadap DPR merupakan sebuah upaya yang sah-sah saja dilakukan dalam rangka mendapatkan suatu perlindungan hak cipta yang optimal dan efektif, meskipun semestinya proses hokum juga mereka lakukan dalam kerangka pembelajaran hokum.

 

Pembelajaran Hukum

Managing Director Sony Music Entertainment Indonesia Totok Widjojo mengungkapkan,  total download lagu ilegal di salah satu situs di Indonesia bisa mencapai 6 juta kali per hari. Jika satu kali download dihargai Rp 1.000, kerugian mencapai Rp 6 miliar per hari (indotelko, 2012).

Dengan datanya, maka para musisi dan pencipta music dan lagu nampaknya mulai mencari cara untuk meminimalisir kerugian yang diakibatkan dari praktek illegal downloading. Ada dua cara yang dapat ditempuh untuk meminimalisir kerugian tersebut yakni melalui proses hokum atau politik. Nampaknya, dalam konteks ini yang dipilih adalah proses politik. Lalu pertanyaannya, kenapa tidak dilakukan proses hokum oleh musisi dan pencipta music dan lagu? Barangkali jawaban untuk pertanyaan ini tidaklah terlalu sulit dikarenakan realitas penegakan hokum di Negara kita masih memperlihatkan wajah buruknya.

Namun demikian, terlepas dari buruknya realitas penegakan hokum ada hal yang harusnya diperankan oleh para musisi dan pencipta music dalam mendorong penegakan hokum yang baik. Peran itu salah satunya melalui pembelajaran hokum kepada aparat penegak hokum dan masyarakat dengan melakukan legal action atas kasus yang dihadapi mereka. Adalah benar jika musisi dan pencipta music lagu memiliki anggapan bahwa mengurus kasus melalui proses hokum merupakan suatu bentuk pemborosan energi dan materi, tetapi dari sisi pembelajaran hukum, apa yang dilakukan musisi dan pencipta lagu dan music tersebut dapat berdampak positif juga terhadap perbaikan penegakan hokum.

Setidaknya, ketika kasus itu masuk pada proses hokum aparat penegak hokum akan dituntut untuk dapat menyelesaikan kasus secara baik dan berkeadilan. Implikasi dari tuntutan ini aparat penegak hokum akan terdorong untuk mencari tahu baik secara keilmuan atau praktis memahami kasus ini dan mengerti cara penyelesaiannya. Di sini disadari atau tidak aparat penegak hokum akhirnya secara pelahan-lahan didorong untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalismenya. Hal lainnya, apabila dari proses hokum ini dapat dilahirkan suatu putusan hokum yang baik dan berkualitas, maka hal ini dapat dijadikan bahan acuan bagi proses-proses penegakan hokum berikutnya

Sementara itu, bagi masyarakat sendiri dengan diangkatnya kasus ini melalui proses hokum, maka mereka menjadi sadar bahwa tindakan illegal downloading mengandung unsur pelanggaran hokum dan menimbulkan kerugian baik bagi musisi, pemerintah dan masyarakat sendiri. Wallahualam bis Shawab.   

Budi Agus Riswandi

Direktur Eksekutif Pusat HKI

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

 

Lagi-lagi bangsa Indonesia dihadapkan pada kegaduhan tentang klaim budaya tradisional oleh pihak Malaysia. Kini kasus yang muncul berkaitan dengan Tarian Tor-Tor dan Gondang Sambilan (Sembilan Gendang) yang berasal dari masyarakat Mandailing Sumatra utara. Hal yang menarik dari peristiwa ini adalah banyaknya pihak yang merasa “marah” atas apa yang dilakukan oleh pihak Malaysia. Dari mulai orang awam hingga para politisi. Dari adanya kegaduhan semacam ini, sungguh telah menggelitik satu pertanyaan, adakah komitmen Negara dalam memberikan jaminan perlndungan budaya tradisional?

 

Jaminan Konstitusi dalam Melindungi Budaya Tradisional 

Apabila memperhatikan pada Pembukaan UUD 1945, maka jelas bahwa salah satu tujuan dibentuknya Negara Indonesia adalah dalam kerangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darahnya. Artinya, Negara menjadi berkewajiban untuk dapat memberikan perlindungan baik pada sumber daya manusia maupun non manusia. Dalam konteks sumber daya non manusia seharusnya Negara dapat melindungi baik terhadap sumber daya alam maupun non alam, hal ini tidak terkecuali dalam hal perlindungan budaya tradisional.

Sejalan dengan hal ini, maka di dalam batang tubuh konstitusi ada beberapa ketentuan yang memberikan arahan sekaligus jaminan yang tegas atas perlindungan budaya tradisional. Adapun landasan konstitusional dalam konteks perlindungan budaya tradisional ini sebagaimana tertuang di dalam Pasal 18B ayat (2) Perubahan kedua UUD 1945 yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang.” dan Pasal 28I ayat (3) Perubahan kedua UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut: Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. Di samping ketentuan di atas, Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) Perubahan keempat UUD 1945 memberikan landasan semakin menguatkan arahan dan jaminan konstitusi atas pentingnya melindungi budaya tradisional di Indonesia.

 

Hilangnya Jaminan Perlindungan Budaya tradisional

Jika memperhatikan kasus yang berkembang saat ini berkenaan dengan adanya upaya Malaysia dalam melakukan pencatatan Tarian Tor-Tor dan Gondang Sambilan (Sembilan Gendang) sebagai warisan budaya sungguh hal ini sangat memprihatinkan. Keprihatinan ini muncul karena kasus ini bukanlah merupakan kasus pertama tetapi sudah menjadi kasus untuk yang kesekian kalinya berkaitan dengan budaya tradisional. Pertanyaannya, apakah dalam konteks ini Negara bisa dianggap telah kehilangan komitmennya dalam memberikan jaminan perlindungan budaya tradisional?

Berbicara tentang komitmen Negara dalam memberikan jaminan perlindungan budaya tradisional, sebenarnya tidak cukup hanya sekedar diungkapkan dalam bentuk pada rumusan – rumusan normatif dalam konstitusi, tetapi tindakan yang lebih nyata tidak ada. Dalam realitasnya, Negara saat ini sudah kehilangan komitmennya dalam memberikan jaminan perlindungan budaya tradisional. Ada dua parameter bahwa komitmen Negara susungguhnya telah hilang dalam memberikan jaminan perlindungan budaya tradisional. Kedua parameter tersebut adalah;

Pertama, dalam konteks penyelesaian kasus, nampak Negara tidak mampu menuntaskan penyelesaian kasus-kasus pengklaiman budaya tradisional oleh pihak asing secara tuntas dan jelas. Dari mulai kasus Batik hingga Tarian Tor-Tor saat ini  Negara hanya bisa terdiam tanpa ada suatu kejelasan sikap untuk menyelesaikan kasus tersebut. Kalaupun ada respon, hal ini tidak menyelesaikan kasus secara tuntas. Pengakuan oleh UNESCO atas beberapa budaya tradisional hal ini belum menuntaskan masalah perlindungan budaya tradisionl terbukti masih ada kasus pada jenis budaya tradisional lainnya. Di sisi lain, upaya mendorong semua budaya tradisional diakui UNESCO hal ini belum tentu dapat dilakukan karena persyaratan yang ketat dan bisa jadi tidak efesien.

Kedua, dalam konteks pengembangan sistem hukum, Negara tidak mampu membangun peraturan perundang-undangan yang mengarah kepada pengembangan sistem perlindungan budaya tradisional. Padahal, jika mengamati kepada ketentuan Pasal 18B ayat (2) Perubahan Kedua UUD 1945, secara tegas konstitusi menghendaki bahwa dalam kerangka menghormati hak-hak tradisional yang di dalamnya juga memuat perlindungan budaya tradisional semestinya dibuat suatu ketentuan perundang-undangan yang dapat mengoptimalisasikan maksud dari Pasal 18B tersebut. Nyatanya, hingga kini peraturan perundang-undangan yang diharapkan tak kunjung muncul. Dahulu, Direktorat Jenderal HKI Kementerian Hukum dan HAM memang pernah melakukan penyusunan RUU Perlindungan dan Pemanfaatan Budaya Tradisional, tetapi RUU itu sendiri hingga saat ini tidak menunjukan kejelasan ujung pangkalnya. Oleh karena itu, hal ini dapat diartikan bahwa benar Negara sudah hilang komitmennya untuk memberikan jaminan perlindungan budaya tradisional. Wallahu’alam bis Shawab.

 

Budi Agus Riswandi

Direktur Eksekutif Pusat Hak Kekayaan Intelektual

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

Pada hari Jumat tanggal 26 April 2013, masyarakat internasional memperingati hari hak kekayaan intelektual ke-13. Dalam konteks ini seringkali peringatan ini dijadikan momentum oleh masyarakat internasional maupun negara-negara di dunia ini untuk lebih menguatkan lagi arti penting HKI dalam mendorong kemajuan peradaban manusia. Saat ini tema yang diusung oleh WIPO dalam rangka peringatan hari HKI Se-Dunia Ke-13 adalah Innovation for the Next Generation, sedangkan tema yang diangkat oleh Direktorat Jenderal HKI adalah Inovasi Tiada Henti Untuk Kejayaan Negeri.

Bagi bangsa Indonesia, HKI harusnya menjadi sebuah kesadaran kolektif guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk mencapai hal demikian, maka gerakan HKI benar-benar harus mampu melibatkan seluruh komponen anak bangsa. Gerakan HKI hendaknya tidak hanya bersifat parsial, sporadik, dan dilaksanakan oleh beberapa gelintir kelompok tanpa suatu arah yang jelas, tetapi harusnya menjadi suatu gerakan yang komprehensif, sistemik, dan melibatkan partisipasi yang seluas-luasnya dari masyarakat dengan berfokus pada suatu tujuan yakni membangun kesejahteraan masyrakat Indonesia melalui HKI.

 

Catatan atas Kesadaran HKI

Bangsa Indonesia selama ini senantiasa dipersepsikan sebagai masyarakat yang belum secara optimal memiliki kesadaran HKI. Persepsi ini sebenarnya lebih disebabkan karena beberpa alasan. Setidaknya ada dua alasan yang menguatkan hal ini, yakni; Pertama, masih maraknya pelanggaran-pelanggaran HKI yang dilakukan bangsa Indonesia. Semisal dalam kasus pelanggaran music dan lagu menurut Anggota Dewan Pengurus Asosiasi Industri Rekaman Indonesia Jusak Irwan Sutiono ada penjualan download lagu Indonesia secara ilegal sebesar lebih dari 6 juta lagu. Misalnya 1 lagu harganya Rp 3.000 maka potensi kerugian Indonesia alias industri musik per hari sebesar Rp 18 miliar/hari.; Kedua, masih rendahnya permohonan HKI yang diajukan oleh masyarakat Indonesia, khususnya dalam hal pengajuan permohonan paten. Menurut data Direktorat Jenderal HKI  paten PCT Luar Negeri berjumlah 4839, Paten PCT Dalam Negeri berjumlah 8 pada tahun 2011.

Di samping persepsi kesadaran HKI masyarakat Indonesia belum optimal, hal ini juga tidak terlepas dari lemahnya sistem pengelolaan HKI baik di Pusat maupun di Daerah. Indikasi lemahnya sistem pengelolaan HKI ini nampak terlihat manakala HKI saat ini masih dianggap menjadi urusan dari Kementerian Hukum dan HAM RI apabila ada di Pemerintah Pusat, sedangkan HKI menjadi urusan dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan apabila ada di Pemerintah Daerah.

Dengan hal demikian, maka dapat dikemukakan bahwa persoalan kesadaran HKI di Indonesia sesungguhnya masih menjadi hal serius. Keseriusan itu, disebabkan pemahaman HKI masyarakat Indonesia yang rendah tidak saja dialami oleh masyarakat yang notabenenya sebagai pelaku HKI, seperti pencipta, pendesain, inventor dan seterusnya, tetapi juga dialami juga oleh aparatur pemerintahan baik di Pusat maupun Daerah yang notabenenya aparatur pemerintahan tersebut adalah pihak yang diharapkan dapat membangun kesadaran HKI masyarakat Indonesia lebih baik lagi.

 

Gerakan Kolektif Sadar HKI

Melihat pada realitas kesadaran HKI masyarakat Indonesia, maka tegaslah saat ini masyarakat Indoensia dalam hal membangun kesadaran HKI masih dilakukan secara parsial, sporadic, tidak focus dan pihak yang terlibat pun masih sangat sedikit. Sifat parsial dari kesadaran HKI. Alhasil, gerakan sadar HKI hanyalah menjadi sebuah rutinitas dan miliki segelintir kelompok masyarakat tertentu saja.Di samping itu juga, pengembangan sistem HKI baik di Pusat maupun di Daerah berkembang secara lambat dan cenderung belum responsive dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri.

Menyadari hal tersebut, momentum peringatan hari HKI Se-Dunia Ke-13 pada tanggal 26 April 2013 semestinya dapat dijadikan oleh bangsa Indonesia sebagai titik tolak menggerakan kesadaran HKI yang sifatnya kolektif. Dengan membangun gerakan sadar HKI kolektif tentunya, HKI yang selama ini dikembangkan dan diterapkan di Indonesia pada akhirnya dapat membawa dampak terhadap upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia itu sendiri. Hal ini tentunya juga, sejalan dengan tujuan HKI yang tertuang di dalam Article 7 TRIPS Agreement bahwa HKI pada dasarnya dikembangkan dan diterapkan guna meningkatkan kesjahteraan masyarakat. Wallahu’alam bis Shawab.

 

Budi Agus Riswandi

Direktur Eksekutif Pusat HKI Fakultas Hukum UII

 

Berita mengenai maraknya praktek plagiasi karya ilmiah di Perguruan Tinggi dengan kuantitas hingga 100 orang dosen untuk melakukan kenaikan pangkat dari jenjang lektor, lektor kepala hingga guru besar menjadi sesuatu yang memprihatinkan sekaligus memilukan dalam konteks masa depan pendidikan tinggi di Indonesia. Betapa, tidak perguruan tinggi yang notabene-nya merupakan institusi yang mencetak generasi penerus bangsa dan diharapkan dapat menghasilkan intelektual yang sejati baik dari sisi knowledge maupun integritas telah dinodai dengan perbuatan plagiasi yang dilakukan oleh dosen selaku pendidik di perguruan tinggi.

Oleh karena itu, menjadi sangat wajar manakala terjadi perbuatan plagiasi yang sedemikian rupa ini seharusnya mulai direnungkan kembali bagaimana bangsa ini mensikapi maraknya perbuatan plagiasi.

Plagiasi dan Ketidakjujuran

Plagiasi atau plagiat merupakan sebuah peristilahan yang sangat dikenal dikalangan ilmuwan dan intelektual. Istilah plagiasi sendiri sebenarnya merujuk pada suatu perbuatan dalam konteks pembuatan karya ilmiah yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah dan etika penulisan karya ilmiah. Semisal, mengutip pendapat orang dengan tidak menyebutkan sumbernya. Sementara itu, orang yang melakukan perbuatan plagiasi sering disebut dengan plagiator.

Ada hubungan antara perbuatan plagiasi dengan persoalan moralitas bangsa ini. Praktek plagiat dikalangan ilmuwan dan intelektual pada dasarnya merupakan suatu perbuatan yang dianggap tidak beretika/bermoral. Bentuk konkrit dari perbuatan tidak bermoral ini terrepresentasikan dalam hal adanya ketidakjujur ilmuwan atau intelektual atas ilmu yang ia kembangkan.

Apabila diperhatikan bentuk ketida jujuran merupakan basis moral yang kini sangat langka ditemukan di Indonesia. Rasanya di negara ini sangat sulit menemukan orang jujur daripada menemukan orang pintar. Oleh karena itu, menjadi persoalan serius manakala, perbuatan plagiasai ini eskalasinya terus meningkat di Indonesia. Betapa seriusnya persoalan ini karena diyakini dengan maraknya sikap tidak jujur dari kalangan pendidik/dosen dalam membuat karya ilmiah akan berdampak lanjutan pada ketidak jujuran lainnya dalam pengembangan pendidikan di Indonesia. Akibatnya, tidak mengherankan apabila kualitas integritas hasil pendidikan saat ini menjadi sangat rendah.

Maka, tidak mengherankan dalam praktek kehidupan sehari-hari banyak ditemukan masyarakat Indonesia hampir sebagian besar, berikut para penyelenggaraan pemerintahannya saat ini hidupnya penuh dengan kepura-puraan kalau tidak dikatakan mereka hidup dengan penuh ketidakjujuran. Contoh yang paling dekat saat ini, dapat dilihat pada kasus penangkapan ketua MK, di mana ia seorang yang bergelar doktor kemudian tertangkap tangan oleh KPK sedang melakukan korupsi. Padahal, sebelumnya ia nampak garang dengan gejala korupsi yang ada di Indonesia. Ini adalah fakta yang tidak dapat kita abaikan.

Gerakan Sosial Anti Plagiasi

Melihat implikasi dari perbuatan plagiasi terhadap masa depan bangsa yang sangat berbahaya ini, maka harusnya pemerintah dan institusi terkait lainnya, seperti institusi pendidikan harusnya dengan serius melakukan langkah-langkah strategis guna menghilangkan perbuatan plagiasi itu sendiri. Setidaknya perbuatan plagiasi dapat ditekan sedemikian rupa keberadaannya.

Salah satu yang perlu dilakukan dalam konteks ini adalah menjadikan gerakan anti plagisasi sebagai gerakan sosial. Gerakan sosial anti plagiasi merupakan perluasan dari gerakan hukum dan merupakan pengejawantahan dari langkah-langkah strategis dalam menekan perbuatan plagiasi itu sendiri. Adapun gerakan sosial yang dimaksudkan adalah dengan cara mengajak seluruh komponen bangsa ini untuk sepakat menyatakan tidak pada segala bentuk perbuatan plagiasi.

Diharapkan dengan adanya gerakan sosial semacam ini, maka sanksi sosial akan dapat memperberat sanksi hukum. Bagaimanapun, dua sanksi ini dapatlah dijadikan sarana efektif ke depan dalam mencegah perbuatan plagiasi yang telah menjadi akar dari kebobrokan bangsa ini secara moral. Di samping itu, dengan adanya dua macam sanksi ini diharapkan bangsa ini benar-benar dapat mewujudkan apa yang menjadi komitmen para founding fathers bangsa ini, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mensejahterakan masyarakat Indonesia.

 

Budi Agus Riswandi

Direktur Eksekutif Pusat HKI FH UII

 

Masih ingatkah kasus Merek Sulotco Kalosi Toraja Coffee dengan gambar rumah Toraja yang didaftar dan dimiliki oleh IFES Inc. Corporation California dengan Nomor Pendaftaran 74547000. Hal ini tentu, menjadi pembelajaran yang amat luar biasa. Salah satunya, banyak ternyata pihak-pihak asing yang saat ini menaikan daya saing produk mereka melalui pendomplengan atas nama-nama produk-produk khas dan berkualitas bangsa Indonesia. Dari hal ini sangat penting kiranya nama-nama produk khas dan berkualitas ini dapat dilindungi melalui sistem indikasi geografis Indikasi (IG) dalam rangka meningkatkan daya saing produk.

Indikasi Geografis: Tanda Kawasan untuk Produk /Khas

Barangkali selama ini kita sudah mengetahui di Indonesia terdapat beberapa produk yang punya kekhasan dan berkualitas dan hal ini sekaligus menjadi produk unggulan. Beberapa produk tersebut seperti, Salak Pondoh Sleman, Kopi Kitamani Bali, Lada Putih Muntok, Tembakau Mole Sumedang dan banyak lagi yang lainnya. Produk-produk tersebut pada dasarnya merupakan produk yang memiliki potensi didaftarkan IG-nya.

IG merupakan suatu tanda yang digunakan terhadap barang yang memiliki asal geografis tertentu dan juga memiliki kualitas atau reputasi yang ditimbulkan oleh tempat asal tersebut. Pada umumnya IG terdiri dari nama tempat asal barang tersebut. Tujuan dari pendaftaran IG agar produk tersebut dapat dilindungi secara hukum. Perlindungan terhadap IG bersifat kolektif, yaitu merupakan perlindungan yang diberikan terhadap suatu produk yang dihasilkan oleh suatu produk yang dihasilkan oleh suatu wilayah tertentu (Sugiono Moeljopawiro dan Surip Mawardi, 2010).

IG muncul dan lahir beberapa abad yang lalu di Eropa. IG sendiri mencakup pada nama tempat dari asal barang. IG adalah suatu tanda yang digunakan pada barang yang mempunyai asal wilayah spesifik dan memiliki kualitas dan reputasi yang diakibatkan oleh asal tempat (Dora de Teresa, 2003). Di dunia telah banyak produk-produk dengan yang memiliki kualitas dan reputasi disebabkan oleh tempat dimintakan IG. Hal ini seperti; anggur champagne (perancis),  keju parmigiano (italia), brandy pisco (peru)—produk-produk ini telah terdaftar sebagai ig di Indonesia (Riyaldi, 2012).

Dengan memperhatikan pada pengertian IG, maka jelaslah bahwa IG itu merupakan tanda yang digunakan untuk produk yang memiliki khas dan berkualitas, dimana tanda tersebut mengacu kepada nama kawasan dari produk tersebut.

Implikasi Sertifikasi IG terhadap Peningkatan Daya Saing Produk

IG pertama kali muncul dalam World Trade Organization (WTO) sebagai bagian  dari Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPs), khususnya dalam Pasal 22 ayat (1) TRIPs Agreement. IG biasanya digunakan untuk menandai produk yang memiliki kekhasan dan kualitas yang disebabkan oleh faktor geografis, baik faktor alam dan/atau manusia. Untuk diperolehnya IG, maka harus dilakukan pendaftaran.

Pendaftaran IG sendiri merupakan sebuah mekanisme hukum yang dilakukan dengan cara  melakukan pelabelan atas produk ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementrian Hukum dan HAM dimana untuk mendapatkan label tersebut harus ada suatu standar produk baik dari sisi kelembagaan dan tata kelola serta mutu dan karakteristik produk yang dituangkan dalam buku persyaratan. Buku persyaratan merupakan suatu syarat pendaftaran IG, di mana memiliki fungsi apabila label IG atas suatu produk khas disetujui oleh Dirjen HKI, maka produk khas tersebut harus diproduksi oleh komunitas produk tersebut dengan mengacu kepada buku persyaratan tersebut.

Dengan memperhatikan hal-hal di atas, maka IG pada dasarnya dapat dipersamakan dengan upaya menstandarisasi produk khas suatu daerah/kawasan. Pemahaman ini dapat diketahui karena untuk mendapatkan sertifikat IG, sebuah komunitas produk khas hendaknya terlebih dahulu memiliki standar-standar mutu produk yang dapat menjelaskan kekhasan dari produk tersebut.

Selanjutnya, dengan dilakukan pendaftaran IG atas produk khas dan berkualitas, maka akan diperoleh manfaat sebagai berikut: Pertama, secara makro diharapkan akan meningkatkan kesejahteraan komunitas produk khas dan berkualitas serta masyarakat lainnya yang ada disekitar komunitas produk khas dan berkualitas tadi; Kedua, secara hukum, produk-produk khas dan berkaualitas yang ada di masing-masing daerah dapat dilindungi secara hukum; dan Ketiga, secara mutu dan kualitas, maka produk-produk khas dan berkualitas yang ada di daerah masing-masing akan dapat ditingkatkan lagi daya saingnya.

Wallahu’ala’bis shawab

 

Budi Agus Riswandi

Direktur Eksekutif Pusat HKI UII dan Ketua Umum ASKII