Mencari Hakim Konstitusi

Presiden Joko Widodo akhirnya membentuk Panitia Seleksi Hakim Mahkamah Konstitusi (Pansel Hakim MK) untuk menganti hakim konstitusi Maria Farida Indrati yang akan berakhir masa jabatannya pada 13 Agustus. Waktu yang dimiliki oleh Pansel dalam mencari hakim konstitusi sangat singkat dan harus dimanfaatkan dengan baik. Proses seleksi hakim Konstitusi ini menjadi pertaruhan bagi masa depan MK. Selain ditujukan untuk mencari hakim pengganti, proses seleksi juga harus dilakukan dalam rangka mengembalikan citra dan marwah MK yang saat ini dipandang sedang “babak belur” , tidak berwibawa dan terus mendapatkan sorotan negatif pasca kasus etik yang menjerat Hakim Arief Hidayat. Read more

Hukuman Cambuk di Aceh dalam Perspektif HAM

Investasi dijadikan alasan untuk mengubah pelaksanaan hukuman cambuk. Jika semula dilaksanakan secara terbuka, ke depan hukuman cambuk dilaksanakan secara tertutup. Kebijakan ini adalah kebijakan kompromi namun tetap bermasalah. Akan jauh lebih baik jika hukuman cambuk diganti dengan jenis hukuman lain yang sesuai dengan spirit kemanusiaan modern.  Read more

Menimbang Perppu Cakada Tersangka

Banyaknya calon kepala daerah (Cakada) yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuai perhatian sejumlah pihak. Setidaknya sudah ada 7 (tujuh) cakada yang berstatus tersangka dan sebagian sudah ditahan oleh KPK. Mereka ialah Calon Gubernur Lampung Mustafa; Calon Bupati Subang Imas Aryumningsih;  Calon Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko; Calon Wali Kota Malang Mochamad Anton serta Yaqud Ananda Qudban; Calon Gubernur NTT Marianus Sae; Calon Gubernur Sulawesi Tenggara Asrun; dan Calon Gubernur Maluku Utara Ahmad Hidayat Mus. Read more

Batasan Formil Pelaku Utama Masih Abstrak

Sejak awal, kontruksi penetapan juctice collaborator (JC) dan pemberian penghargaan yang melibatkan beberapa lembaga penegak hukum akan menimbulkan masalah. Masalah utamanya adalah tidak adanya sinergisitas antar lembaga. Jika setiap lembaga ingin terlihat lebih berperan dan superior, maka JC akan menjadi korban. Penyidik bisa jadi memandang seseorang sangat membantu pengungkapan fakta dan memenuhi semua syarat, namun dalam pandangan hakim  bisa berbeda.  Read more

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Dalam perjalanan bangsa yang telah mengukuhkan Pancasila sebagai dasar negara terkadang masih ada yang agak usil, ingin memberlakukan hukum aga ma tertentu sebagai hukum negara, padahal Indonesia bukan negara agama.

Dasar dan bangunan ne. gara Indonesia merupalcanjalan tengah (prismatika) antaTa paham negara Islam dan paham negara kebangsaan. Istilah prismatika bisa diarti kan sebagai jalan tengah antara dua paham yang sebenarnya saling bertentangan, tetapi diambil unsur-unsurnya yang baik untuk dipertemu kan dalam satu konsepsi.

Untuk konteks Indonesia, misalnya, ada jalan tengah antara negara kapitalisme dan komunisme dan jalan tengah antara paham negara agama dan pahamnegara sekuler. Itulah negara Pancasila. Pada mulanya memang ada dua kelompok utama di kalangan pendiri Negara Indonesia yang meng hendaki dasar negara yang berbeda. Kelompok yang pertama adalah kelompok yang menginginkan Indonesia menjadi negara kebangsaan sekuler, sedangkan kelompok yang satunya adalah kelompok yang mengehendaki Indone sia menjadi negara Islam.

Kelompok yang menghendaki Indonesiadijadikan negara Islam berargumen bahwa mayoritas rakyat Indonesia adalah orang-orang Islam, sedangkan kelompok yang menghendaki negara kebangsaan sekuler beralasan bahwa penduduk Indonesia ini tidak semuanya Islam Harus diketahui, kelompok pendukung negara sekulersebagian besar juga beragama Islam, bahkan juga tercatat seba. gai orang-orang Islam yangtaat, seperti Soekarno Hatta, Yamin. Mereka adalah penganutpenganut Islam yang taat, tetapi dalam hal paham bernegara mereka memilih jalur inkusif.

Setelah melalui perdebatan yang panjang dan penuh retorik, akhirnya disepakat bahwa Indonesia didirikan bukan sebagai negara agama dan bukan pula negara sekuler, Indonesia disepakati sebagai negara kebangsaan yang berketuhanan (religious nation state). Dida – lam negara Pancasila yang berpaham “religious nation state ini, negara tidak memberlakukan hukum agama tertentu, tetapi harus memberikan perlindungan (proteksi) terhadap warga negara yang ingin ber ibadah menurut ajaran agamanya masing-masing

Artinya, dalam masalah hubungan antara negara dan agama dapat dirumuskan bahwa “negara tidak memberlakukan hukum agama, tetapi melin dungi warganya yang ingin beribadah menurut agamanya masing-masing Dari sudut hukum, Pancasila sebagai dasar ideologi negara menjadi sumberdari segala sumber hukum yang kemudian melahirkan hukum-hukum nasional. Hukum nasional Indonesia tidak didasarkan pada satu agama tertentu, tetapi merupakan produk eklektisasi (pencampuran) dari nilai-nilai berbagai agama dan kultur yang kemudi an dijadikan hukum nasional.

Hukum nasional adalah pro duk kesepakatan bersama yang diolah melalui lembaga legislatif baik legislatif nasional maupun legislatif daerah-daerah Hulumnasional yang berlaku sama bagi semua warga negara dan diberlakukan oleh negara ini adalahbidang bidanghukum publik seperti hukum tata negara, hukum pidana, hukum lingkungan. Ada bidang hukum perdata dan peribadatan mahdhah (ritual) berlaku hukum agama masing-masing bagi para peme lulinya secara sukarela berdasar kan kesadaran hukumnya.

Masalah keperdataan tertentu dalam hukum agama bisa saja dijadikan hukum nasional sepanjang disahkanlebih duludi lembaga legislatif Itu pun bulan memberlakukan hukumnya secara mutlak, melainkan mengaturproses perlindungan nya bagi mereka yang mau melaksanakannya dengan sulare La Contoh yang bisa disebut da lam hal ini adalah adanya UU tentang Haji, UU tentang Zakat, Ekonomi Syariah, dan sebagai nya. Semua itu bukanlah memberlakukan hukumnya melainkan memberikan mekanisme perlindungan bagi yang ingin melaksanakan ibadah menurut agamanya masing-masing

Dengan demikian, penegakan hukum agama dalam bidang perdata dan peribadatan di Indonesia tidak dapat dilakukan dengan paksaan oleh aparat ne gara melalui ancaman sanksi heteronom, tetapi boleh sepe nuhnya dilaksanakan berdasar kan kesukarelaan sendiri, Hukum-hukum perdata Islam yang sudah menjadi fiqh als lamicjurisprudence) dan fatwa ulama boleh ditaati karena diyakini benar dan baik oleh kaum muslimin, tetapi pelaksanaan nya tidak bisa dilalculan aparat penegak hukum negara.

Sanksi yang berlaku bagi pe langgaran bukum agama ha nyalah sanksi otonom, yakni sanksi dalam bentuk deritaba tin seperti merasa berdosa, ma lu, gelisah, merasa mendapat karma, dan sebagainya, yang datangdarihatimasing masing yang dalam konsep agama disebut sebagai dosa

Hukum Islam di Indonesia tidak harus menjadi hukum formal yang resmi diberlalu kan oleh negara, tetapi bisa menjadi hukum yang hidup (living law). Hukum yang hidup mempunyai dua arti, yale ni norma-norma yang ditaati meskipun tidak diberlakukan secara resmi oleh negara dan hukum-hukum yang bersifat kenyal (fleksibel) sehingga se lalu bisa diaktualkan dengan perkernbangiin zaman.

Seperi dikemukakan di atas, terkadang, seperti yang terjadi belakangan ini, ada gerakan yangingin menggantikan negara Pancasila dengan negara Islamdalam apa yang disebut khi lafah sebagai sistem pemerintahan Islam. Alasannya, Indonesia telah gagal membangun kesejahteraan masyarakat, gagal memberantas kemiskinan dan kesenjangan sosial, gagal memberantas korupsi, dan ga gal menegakkan hukum danke adilan, dan sebagainya.

Berdasarkan jelajah atas se jarah pemikiran dan praktik bernegara di kalangan kaum muslimin, saya berpendapat sistem pemerintahan di Indonesia berdasarkan Pancasila adalah sistem yang secara syar’i tidak bertentangan dengan isLam, karena ia merupakan produk ijtibad dari ulama-ulama Indonesia setelah berjuang secara maksimaluntuk ikutmer muskan dasar dan konstitusi negara Negara Indonesia berdasarkan Pancasila adalah produkkesepakatan luhur yang da Tam istilah agamanya disebut mietsaqon ghliedza atau modues vivendi yang harus ditaati.

Adapun masalah ketidak puasan atas fakta tentang kesenjangan sosial dan ekonomi, korupsi, dan ketidakadilan hukumtidak bisa dijadilan alasan untuk mengganti dasar dan sistempemerintahan, sebabituse mua lebih disebabkan olehinte gritas moral penyelenggara negara. Di negara-negara kaum muslimin atau di dalam khilafah yang pernah ada sekalipun, banyak juga pelanggaran moral dan kegagalan pemerintahan dalam menegakkan hukum, ke adilan, dan kesejahteraan sosial. Jadi, masalah kita terletak padaintegritasmoral yang tampaknya sedang terserang oleh penyakit mental yang kronis sekaligus akut.

 

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 21 April 2018.

Sepanjang putusan perkara praperadilan Nomor 24/Pid.Prap/2018/PN.Jkt.Sel belum dan/atau tidak dibatalkan oleh putusan yang lebih tinggi, maka tidak ada pilihan lain kecuali menjalankannya. Sebab putusan pengadilan adalah hukum.

Pada dasarnya, hakim praperadilan dapat memerintahkan penyidik untuk menetapkan memulai penyidikan lagi dengan menetapkan seseorang sebagai tersangka jika surat penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3) dirasa janggal. Sebab salah satu kewenangan majelis praperadilan adalah menguji penghentian penyidikan. Read more

Masa Jabatan Legislatif

Pembatasan masa jabatan presiden, gubernur, bupati/walikota, yang masing-masing selama lima tahun untuk dua kali masa jabatan, dan kepala desa selama enam tahun untuk tiga kali masa jabatan, tidak lepas dari sejarah otoritarianisme masa lalu. Jabatan yang tidak terbatas tidak saja melanggar hak orang lain untuk mendapatkan kesempatan “dipilih” melainkan juga selalu melahirkan kesewenang-wenangan. Power tends to corrupt but absolut power corrupt absolutely, adalah adagium klasik yang belum terbantahkan. Bahkan, pembatasan masa jabatan itulah yang menjadi titik sentral amandemen UUD N RI Tahun 1945. Read more

Jangan ‘Hukum’ Parpo-Baru Dua Kali

Partai politik baru pasca putusan MK Nomor 53/PUU-XV/2017 tertutup kemungkinannya untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden. Putusan ini sebagai jawaban atas uji materiil atas Pasal 173 ayat (1), Pasal 173 ayat (3), dan Pasal 222 UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu). Pasal 173 ayat (1) dan ayat (3) terkait verifikasi ulang partai politik, sementara Pasal 222 berkaitan dengan dukungan partai politik untuk mengusung calon pasangan presiden dan wakil presiden yang hanya dimungkinkan dilakukan oleh parpol lama. Meskipun tidak bulat, Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Saldi Isra mengajukan dissenting opinion, putusan ini menolak permohonan pengujian Pasal 222 UU Pemilu sehingga partai politik baru kehilangan kesempatan untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Read more

Putusan MK dan UU Pemilu Perlu Dikritisi

Pasal 12 huruf c UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menegaskan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) bertugas menyusun Peraturan KPU (PKPU) untuk setiap tahapan pemilu. Kemudian pada Pasal 13 huruf c UU Pemilu ditegaskan bahwa KPU berwenang menetapkan PKPU untuk setiap tahapan pemilu. Read more

“Mendidik” Asas Kecakapan Jiwa Raga

Cerita tentang tingginya angka perceraian di masyarakat akhir-akhir ini sudah menjadi perhatian bagi para pengamat anak, sosiolog, psikolog yang menilai bahwa salah satu faktor nya adalah masih pada umur anak-anak. Faktor kedewasaan dalam cara berpikir seseorang  menjadi penyebab perceraian, hal itu diungkapkan oleh Prof Dr. Sunyoto pakar sosiolog UGM (Koran KR edisi 3 April 2018). Diutarakan bahwa penyebab kurangnya kedewasaan itu diaplikasikan pada ke egoisan masing-masing pasangan dalam perkawinan. Sehingga ketika sikap itu timbul, maka pribadi antara pasangan suami dan istri pada usia muda tidak mampu saling menerima perbedaan. Ketidakmampuan akan kenyataan perbedaan itu yang membuat seringya konflik dalam rumah tangga. Read more