Berita minggu ini di media masa maupun elektronik ada hal yang menarik selain kasus kecelakaan pesawat Sukhoi SSJ 100. Berita itu berupa adanya beberapa musisi dan pencipta music dan lagu nasional datang DPR untuk menyampaikan aspirasinya terkait dengan perlindungan hak cipta music dan lagi di internet yang dirasa sekarang ini sudah sangat serius. Bahkan dapat mengancam keberlangsungan industri musik Indonesia.

Musik dan Lagu Online 

Sebagaimana diketahui Indonesia sebagai Negara hokum sesungguhnya merupakan suatu Negara yang telah memiliki ketentuan hokum hak cipta sejak zaman hindia belanda. Hal ini terbukti Indonesia pada masa Hindia Belanda telah memiliki hokum hak cipta yang disebut dengan autherwet 1912. Kini, hokum hak cipta di Indonesia telah mengalami perubahan-perubahan hingga akhirnya sampai pada UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. UU No. 19 Tahun 2002 merupakan bentuk akomodasi atas dua hal Pertama, akomodasi atas diratifikasinya WIPO Copyrights Treaty dan World Ponogram and Performance Treaty. Konvensi ini dikenal dengan sebutan Internet Treaties.; Kedua, akomodasi atas pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti dalam hal perkembangan teknologi internet menjadi faktor lain dari perubahan hokum hak cipta Indonesia.

Apabila memperhatikan substansi dari UU Mo. 19 Tahun 2002, maka sangat nyata bahwa UU Hak Cipta diberlakukan guna melindungi salah satunya ciptaan music dan lagu. Sebenarnya, ada hal yang sangat progresif dari pemberlakuan UU No. 19 Tahun 2002, di mana perlindungan hak cipta atas music dan lagu tidak hanya yang terdapat di dunia nyata (real world), tetapi menjangkau juga perlindungan hak cipta di dunia maya (virtual world). Hal ini dapat ditemukan salah satunya dari ketentuan yang menjelaskan tentang makna pengumuman sebagaimana di atur dalam Pasal 1 UU No. 19 Tahun 2002 intinya pengumuman ciptaan tidak saja menjangkau pada wilayah real world, tetapi juga pada wilayah virtual world.

Oleh karena itu, apa yang diminta oleh musisi dan pencipta music dan lagu atas usulan melakukan pemblokiran situs-situs yang melakukan praktek illegal downloading music dan lagu yang bersifat komersial dan merugikan mereka secara ekonomi terhadap DPR merupakan sebuah upaya yang sah-sah saja dilakukan dalam rangka mendapatkan suatu perlindungan hak cipta yang optimal dan efektif, meskipun semestinya proses hokum juga mereka lakukan dalam kerangka pembelajaran hokum.

 

Pembelajaran Hukum

Managing Director Sony Music Entertainment Indonesia Totok Widjojo mengungkapkan,  total download lagu ilegal di salah satu situs di Indonesia bisa mencapai 6 juta kali per hari. Jika satu kali download dihargai Rp 1.000, kerugian mencapai Rp 6 miliar per hari (indotelko, 2012).

Dengan datanya, maka para musisi dan pencipta music dan lagu nampaknya mulai mencari cara untuk meminimalisir kerugian yang diakibatkan dari praktek illegal downloading. Ada dua cara yang dapat ditempuh untuk meminimalisir kerugian tersebut yakni melalui proses hokum atau politik. Nampaknya, dalam konteks ini yang dipilih adalah proses politik. Lalu pertanyaannya, kenapa tidak dilakukan proses hokum oleh musisi dan pencipta music dan lagu? Barangkali jawaban untuk pertanyaan ini tidaklah terlalu sulit dikarenakan realitas penegakan hokum di Negara kita masih memperlihatkan wajah buruknya.

Namun demikian, terlepas dari buruknya realitas penegakan hokum ada hal yang harusnya diperankan oleh para musisi dan pencipta music dalam mendorong penegakan hokum yang baik. Peran itu salah satunya melalui pembelajaran hokum kepada aparat penegak hokum dan masyarakat dengan melakukan legal action atas kasus yang dihadapi mereka. Adalah benar jika musisi dan pencipta music lagu memiliki anggapan bahwa mengurus kasus melalui proses hokum merupakan suatu bentuk pemborosan energi dan materi, tetapi dari sisi pembelajaran hukum, apa yang dilakukan musisi dan pencipta lagu dan music tersebut dapat berdampak positif juga terhadap perbaikan penegakan hokum.

Setidaknya, ketika kasus itu masuk pada proses hokum aparat penegak hokum akan dituntut untuk dapat menyelesaikan kasus secara baik dan berkeadilan. Implikasi dari tuntutan ini aparat penegak hokum akan terdorong untuk mencari tahu baik secara keilmuan atau praktis memahami kasus ini dan mengerti cara penyelesaiannya. Di sini disadari atau tidak aparat penegak hokum akhirnya secara pelahan-lahan didorong untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalismenya. Hal lainnya, apabila dari proses hokum ini dapat dilahirkan suatu putusan hokum yang baik dan berkualitas, maka hal ini dapat dijadikan bahan acuan bagi proses-proses penegakan hokum berikutnya

Sementara itu, bagi masyarakat sendiri dengan diangkatnya kasus ini melalui proses hokum, maka mereka menjadi sadar bahwa tindakan illegal downloading mengandung unsur pelanggaran hokum dan menimbulkan kerugian baik bagi musisi, pemerintah dan masyarakat sendiri. Wallahualam bis Shawab.   

Budi Agus Riswandi

Direktur Eksekutif Pusat HKI

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

 

Lagi-lagi bangsa Indonesia dihadapkan pada kegaduhan tentang klaim budaya tradisional oleh pihak Malaysia. Kini kasus yang muncul berkaitan dengan Tarian Tor-Tor dan Gondang Sambilan (Sembilan Gendang) yang berasal dari masyarakat Mandailing Sumatra utara. Hal yang menarik dari peristiwa ini adalah banyaknya pihak yang merasa “marah” atas apa yang dilakukan oleh pihak Malaysia. Dari mulai orang awam hingga para politisi. Dari adanya kegaduhan semacam ini, sungguh telah menggelitik satu pertanyaan, adakah komitmen Negara dalam memberikan jaminan perlndungan budaya tradisional?

 

Jaminan Konstitusi dalam Melindungi Budaya Tradisional 

Apabila memperhatikan pada Pembukaan UUD 1945, maka jelas bahwa salah satu tujuan dibentuknya Negara Indonesia adalah dalam kerangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darahnya. Artinya, Negara menjadi berkewajiban untuk dapat memberikan perlindungan baik pada sumber daya manusia maupun non manusia. Dalam konteks sumber daya non manusia seharusnya Negara dapat melindungi baik terhadap sumber daya alam maupun non alam, hal ini tidak terkecuali dalam hal perlindungan budaya tradisional.

Sejalan dengan hal ini, maka di dalam batang tubuh konstitusi ada beberapa ketentuan yang memberikan arahan sekaligus jaminan yang tegas atas perlindungan budaya tradisional. Adapun landasan konstitusional dalam konteks perlindungan budaya tradisional ini sebagaimana tertuang di dalam Pasal 18B ayat (2) Perubahan kedua UUD 1945 yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang.” dan Pasal 28I ayat (3) Perubahan kedua UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut: Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. Di samping ketentuan di atas, Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) Perubahan keempat UUD 1945 memberikan landasan semakin menguatkan arahan dan jaminan konstitusi atas pentingnya melindungi budaya tradisional di Indonesia.

 

Hilangnya Jaminan Perlindungan Budaya tradisional

Jika memperhatikan kasus yang berkembang saat ini berkenaan dengan adanya upaya Malaysia dalam melakukan pencatatan Tarian Tor-Tor dan Gondang Sambilan (Sembilan Gendang) sebagai warisan budaya sungguh hal ini sangat memprihatinkan. Keprihatinan ini muncul karena kasus ini bukanlah merupakan kasus pertama tetapi sudah menjadi kasus untuk yang kesekian kalinya berkaitan dengan budaya tradisional. Pertanyaannya, apakah dalam konteks ini Negara bisa dianggap telah kehilangan komitmennya dalam memberikan jaminan perlindungan budaya tradisional?

Berbicara tentang komitmen Negara dalam memberikan jaminan perlindungan budaya tradisional, sebenarnya tidak cukup hanya sekedar diungkapkan dalam bentuk pada rumusan – rumusan normatif dalam konstitusi, tetapi tindakan yang lebih nyata tidak ada. Dalam realitasnya, Negara saat ini sudah kehilangan komitmennya dalam memberikan jaminan perlindungan budaya tradisional. Ada dua parameter bahwa komitmen Negara susungguhnya telah hilang dalam memberikan jaminan perlindungan budaya tradisional. Kedua parameter tersebut adalah;

Pertama, dalam konteks penyelesaian kasus, nampak Negara tidak mampu menuntaskan penyelesaian kasus-kasus pengklaiman budaya tradisional oleh pihak asing secara tuntas dan jelas. Dari mulai kasus Batik hingga Tarian Tor-Tor saat ini  Negara hanya bisa terdiam tanpa ada suatu kejelasan sikap untuk menyelesaikan kasus tersebut. Kalaupun ada respon, hal ini tidak menyelesaikan kasus secara tuntas. Pengakuan oleh UNESCO atas beberapa budaya tradisional hal ini belum menuntaskan masalah perlindungan budaya tradisionl terbukti masih ada kasus pada jenis budaya tradisional lainnya. Di sisi lain, upaya mendorong semua budaya tradisional diakui UNESCO hal ini belum tentu dapat dilakukan karena persyaratan yang ketat dan bisa jadi tidak efesien.

Kedua, dalam konteks pengembangan sistem hukum, Negara tidak mampu membangun peraturan perundang-undangan yang mengarah kepada pengembangan sistem perlindungan budaya tradisional. Padahal, jika mengamati kepada ketentuan Pasal 18B ayat (2) Perubahan Kedua UUD 1945, secara tegas konstitusi menghendaki bahwa dalam kerangka menghormati hak-hak tradisional yang di dalamnya juga memuat perlindungan budaya tradisional semestinya dibuat suatu ketentuan perundang-undangan yang dapat mengoptimalisasikan maksud dari Pasal 18B tersebut. Nyatanya, hingga kini peraturan perundang-undangan yang diharapkan tak kunjung muncul. Dahulu, Direktorat Jenderal HKI Kementerian Hukum dan HAM memang pernah melakukan penyusunan RUU Perlindungan dan Pemanfaatan Budaya Tradisional, tetapi RUU itu sendiri hingga saat ini tidak menunjukan kejelasan ujung pangkalnya. Oleh karena itu, hal ini dapat diartikan bahwa benar Negara sudah hilang komitmennya untuk memberikan jaminan perlindungan budaya tradisional. Wallahu’alam bis Shawab.

 

Budi Agus Riswandi

Direktur Eksekutif Pusat Hak Kekayaan Intelektual

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

Pada hari Jumat tanggal 26 April 2013, masyarakat internasional memperingati hari hak kekayaan intelektual ke-13. Dalam konteks ini seringkali peringatan ini dijadikan momentum oleh masyarakat internasional maupun negara-negara di dunia ini untuk lebih menguatkan lagi arti penting HKI dalam mendorong kemajuan peradaban manusia. Saat ini tema yang diusung oleh WIPO dalam rangka peringatan hari HKI Se-Dunia Ke-13 adalah Innovation for the Next Generation, sedangkan tema yang diangkat oleh Direktorat Jenderal HKI adalah Inovasi Tiada Henti Untuk Kejayaan Negeri.

Bagi bangsa Indonesia, HKI harusnya menjadi sebuah kesadaran kolektif guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk mencapai hal demikian, maka gerakan HKI benar-benar harus mampu melibatkan seluruh komponen anak bangsa. Gerakan HKI hendaknya tidak hanya bersifat parsial, sporadik, dan dilaksanakan oleh beberapa gelintir kelompok tanpa suatu arah yang jelas, tetapi harusnya menjadi suatu gerakan yang komprehensif, sistemik, dan melibatkan partisipasi yang seluas-luasnya dari masyarakat dengan berfokus pada suatu tujuan yakni membangun kesejahteraan masyrakat Indonesia melalui HKI.

 

Catatan atas Kesadaran HKI

Bangsa Indonesia selama ini senantiasa dipersepsikan sebagai masyarakat yang belum secara optimal memiliki kesadaran HKI. Persepsi ini sebenarnya lebih disebabkan karena beberpa alasan. Setidaknya ada dua alasan yang menguatkan hal ini, yakni; Pertama, masih maraknya pelanggaran-pelanggaran HKI yang dilakukan bangsa Indonesia. Semisal dalam kasus pelanggaran music dan lagu menurut Anggota Dewan Pengurus Asosiasi Industri Rekaman Indonesia Jusak Irwan Sutiono ada penjualan download lagu Indonesia secara ilegal sebesar lebih dari 6 juta lagu. Misalnya 1 lagu harganya Rp 3.000 maka potensi kerugian Indonesia alias industri musik per hari sebesar Rp 18 miliar/hari.; Kedua, masih rendahnya permohonan HKI yang diajukan oleh masyarakat Indonesia, khususnya dalam hal pengajuan permohonan paten. Menurut data Direktorat Jenderal HKI  paten PCT Luar Negeri berjumlah 4839, Paten PCT Dalam Negeri berjumlah 8 pada tahun 2011.

Di samping persepsi kesadaran HKI masyarakat Indonesia belum optimal, hal ini juga tidak terlepas dari lemahnya sistem pengelolaan HKI baik di Pusat maupun di Daerah. Indikasi lemahnya sistem pengelolaan HKI ini nampak terlihat manakala HKI saat ini masih dianggap menjadi urusan dari Kementerian Hukum dan HAM RI apabila ada di Pemerintah Pusat, sedangkan HKI menjadi urusan dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan apabila ada di Pemerintah Daerah.

Dengan hal demikian, maka dapat dikemukakan bahwa persoalan kesadaran HKI di Indonesia sesungguhnya masih menjadi hal serius. Keseriusan itu, disebabkan pemahaman HKI masyarakat Indonesia yang rendah tidak saja dialami oleh masyarakat yang notabenenya sebagai pelaku HKI, seperti pencipta, pendesain, inventor dan seterusnya, tetapi juga dialami juga oleh aparatur pemerintahan baik di Pusat maupun Daerah yang notabenenya aparatur pemerintahan tersebut adalah pihak yang diharapkan dapat membangun kesadaran HKI masyarakat Indonesia lebih baik lagi.

 

Gerakan Kolektif Sadar HKI

Melihat pada realitas kesadaran HKI masyarakat Indonesia, maka tegaslah saat ini masyarakat Indoensia dalam hal membangun kesadaran HKI masih dilakukan secara parsial, sporadic, tidak focus dan pihak yang terlibat pun masih sangat sedikit. Sifat parsial dari kesadaran HKI. Alhasil, gerakan sadar HKI hanyalah menjadi sebuah rutinitas dan miliki segelintir kelompok masyarakat tertentu saja.Di samping itu juga, pengembangan sistem HKI baik di Pusat maupun di Daerah berkembang secara lambat dan cenderung belum responsive dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri.

Menyadari hal tersebut, momentum peringatan hari HKI Se-Dunia Ke-13 pada tanggal 26 April 2013 semestinya dapat dijadikan oleh bangsa Indonesia sebagai titik tolak menggerakan kesadaran HKI yang sifatnya kolektif. Dengan membangun gerakan sadar HKI kolektif tentunya, HKI yang selama ini dikembangkan dan diterapkan di Indonesia pada akhirnya dapat membawa dampak terhadap upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia itu sendiri. Hal ini tentunya juga, sejalan dengan tujuan HKI yang tertuang di dalam Article 7 TRIPS Agreement bahwa HKI pada dasarnya dikembangkan dan diterapkan guna meningkatkan kesjahteraan masyarakat. Wallahu’alam bis Shawab.

 

Budi Agus Riswandi

Direktur Eksekutif Pusat HKI Fakultas Hukum UII

 

Berita mengenai maraknya praktek plagiasi karya ilmiah di Perguruan Tinggi dengan kuantitas hingga 100 orang dosen untuk melakukan kenaikan pangkat dari jenjang lektor, lektor kepala hingga guru besar menjadi sesuatu yang memprihatinkan sekaligus memilukan dalam konteks masa depan pendidikan tinggi di Indonesia. Betapa, tidak perguruan tinggi yang notabene-nya merupakan institusi yang mencetak generasi penerus bangsa dan diharapkan dapat menghasilkan intelektual yang sejati baik dari sisi knowledge maupun integritas telah dinodai dengan perbuatan plagiasi yang dilakukan oleh dosen selaku pendidik di perguruan tinggi.

Oleh karena itu, menjadi sangat wajar manakala terjadi perbuatan plagiasi yang sedemikian rupa ini seharusnya mulai direnungkan kembali bagaimana bangsa ini mensikapi maraknya perbuatan plagiasi.

Plagiasi dan Ketidakjujuran

Plagiasi atau plagiat merupakan sebuah peristilahan yang sangat dikenal dikalangan ilmuwan dan intelektual. Istilah plagiasi sendiri sebenarnya merujuk pada suatu perbuatan dalam konteks pembuatan karya ilmiah yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah dan etika penulisan karya ilmiah. Semisal, mengutip pendapat orang dengan tidak menyebutkan sumbernya. Sementara itu, orang yang melakukan perbuatan plagiasi sering disebut dengan plagiator.

Ada hubungan antara perbuatan plagiasi dengan persoalan moralitas bangsa ini. Praktek plagiat dikalangan ilmuwan dan intelektual pada dasarnya merupakan suatu perbuatan yang dianggap tidak beretika/bermoral. Bentuk konkrit dari perbuatan tidak bermoral ini terrepresentasikan dalam hal adanya ketidakjujur ilmuwan atau intelektual atas ilmu yang ia kembangkan.

Apabila diperhatikan bentuk ketida jujuran merupakan basis moral yang kini sangat langka ditemukan di Indonesia. Rasanya di negara ini sangat sulit menemukan orang jujur daripada menemukan orang pintar. Oleh karena itu, menjadi persoalan serius manakala, perbuatan plagiasai ini eskalasinya terus meningkat di Indonesia. Betapa seriusnya persoalan ini karena diyakini dengan maraknya sikap tidak jujur dari kalangan pendidik/dosen dalam membuat karya ilmiah akan berdampak lanjutan pada ketidak jujuran lainnya dalam pengembangan pendidikan di Indonesia. Akibatnya, tidak mengherankan apabila kualitas integritas hasil pendidikan saat ini menjadi sangat rendah.

Maka, tidak mengherankan dalam praktek kehidupan sehari-hari banyak ditemukan masyarakat Indonesia hampir sebagian besar, berikut para penyelenggaraan pemerintahannya saat ini hidupnya penuh dengan kepura-puraan kalau tidak dikatakan mereka hidup dengan penuh ketidakjujuran. Contoh yang paling dekat saat ini, dapat dilihat pada kasus penangkapan ketua MK, di mana ia seorang yang bergelar doktor kemudian tertangkap tangan oleh KPK sedang melakukan korupsi. Padahal, sebelumnya ia nampak garang dengan gejala korupsi yang ada di Indonesia. Ini adalah fakta yang tidak dapat kita abaikan.

Gerakan Sosial Anti Plagiasi

Melihat implikasi dari perbuatan plagiasi terhadap masa depan bangsa yang sangat berbahaya ini, maka harusnya pemerintah dan institusi terkait lainnya, seperti institusi pendidikan harusnya dengan serius melakukan langkah-langkah strategis guna menghilangkan perbuatan plagiasi itu sendiri. Setidaknya perbuatan plagiasi dapat ditekan sedemikian rupa keberadaannya.

Salah satu yang perlu dilakukan dalam konteks ini adalah menjadikan gerakan anti plagisasi sebagai gerakan sosial. Gerakan sosial anti plagiasi merupakan perluasan dari gerakan hukum dan merupakan pengejawantahan dari langkah-langkah strategis dalam menekan perbuatan plagiasi itu sendiri. Adapun gerakan sosial yang dimaksudkan adalah dengan cara mengajak seluruh komponen bangsa ini untuk sepakat menyatakan tidak pada segala bentuk perbuatan plagiasi.

Diharapkan dengan adanya gerakan sosial semacam ini, maka sanksi sosial akan dapat memperberat sanksi hukum. Bagaimanapun, dua sanksi ini dapatlah dijadikan sarana efektif ke depan dalam mencegah perbuatan plagiasi yang telah menjadi akar dari kebobrokan bangsa ini secara moral. Di samping itu, dengan adanya dua macam sanksi ini diharapkan bangsa ini benar-benar dapat mewujudkan apa yang menjadi komitmen para founding fathers bangsa ini, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mensejahterakan masyarakat Indonesia.

 

Budi Agus Riswandi

Direktur Eksekutif Pusat HKI FH UII

 

Masih ingatkah kasus Merek Sulotco Kalosi Toraja Coffee dengan gambar rumah Toraja yang didaftar dan dimiliki oleh IFES Inc. Corporation California dengan Nomor Pendaftaran 74547000. Hal ini tentu, menjadi pembelajaran yang amat luar biasa. Salah satunya, banyak ternyata pihak-pihak asing yang saat ini menaikan daya saing produk mereka melalui pendomplengan atas nama-nama produk-produk khas dan berkualitas bangsa Indonesia. Dari hal ini sangat penting kiranya nama-nama produk khas dan berkualitas ini dapat dilindungi melalui sistem indikasi geografis Indikasi (IG) dalam rangka meningkatkan daya saing produk.

Indikasi Geografis: Tanda Kawasan untuk Produk /Khas

Barangkali selama ini kita sudah mengetahui di Indonesia terdapat beberapa produk yang punya kekhasan dan berkualitas dan hal ini sekaligus menjadi produk unggulan. Beberapa produk tersebut seperti, Salak Pondoh Sleman, Kopi Kitamani Bali, Lada Putih Muntok, Tembakau Mole Sumedang dan banyak lagi yang lainnya. Produk-produk tersebut pada dasarnya merupakan produk yang memiliki potensi didaftarkan IG-nya.

IG merupakan suatu tanda yang digunakan terhadap barang yang memiliki asal geografis tertentu dan juga memiliki kualitas atau reputasi yang ditimbulkan oleh tempat asal tersebut. Pada umumnya IG terdiri dari nama tempat asal barang tersebut. Tujuan dari pendaftaran IG agar produk tersebut dapat dilindungi secara hukum. Perlindungan terhadap IG bersifat kolektif, yaitu merupakan perlindungan yang diberikan terhadap suatu produk yang dihasilkan oleh suatu produk yang dihasilkan oleh suatu wilayah tertentu (Sugiono Moeljopawiro dan Surip Mawardi, 2010).

IG muncul dan lahir beberapa abad yang lalu di Eropa. IG sendiri mencakup pada nama tempat dari asal barang. IG adalah suatu tanda yang digunakan pada barang yang mempunyai asal wilayah spesifik dan memiliki kualitas dan reputasi yang diakibatkan oleh asal tempat (Dora de Teresa, 2003). Di dunia telah banyak produk-produk dengan yang memiliki kualitas dan reputasi disebabkan oleh tempat dimintakan IG. Hal ini seperti; anggur champagne (perancis),  keju parmigiano (italia), brandy pisco (peru)—produk-produk ini telah terdaftar sebagai ig di Indonesia (Riyaldi, 2012).

Dengan memperhatikan pada pengertian IG, maka jelaslah bahwa IG itu merupakan tanda yang digunakan untuk produk yang memiliki khas dan berkualitas, dimana tanda tersebut mengacu kepada nama kawasan dari produk tersebut.

Implikasi Sertifikasi IG terhadap Peningkatan Daya Saing Produk

IG pertama kali muncul dalam World Trade Organization (WTO) sebagai bagian  dari Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPs), khususnya dalam Pasal 22 ayat (1) TRIPs Agreement. IG biasanya digunakan untuk menandai produk yang memiliki kekhasan dan kualitas yang disebabkan oleh faktor geografis, baik faktor alam dan/atau manusia. Untuk diperolehnya IG, maka harus dilakukan pendaftaran.

Pendaftaran IG sendiri merupakan sebuah mekanisme hukum yang dilakukan dengan cara  melakukan pelabelan atas produk ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementrian Hukum dan HAM dimana untuk mendapatkan label tersebut harus ada suatu standar produk baik dari sisi kelembagaan dan tata kelola serta mutu dan karakteristik produk yang dituangkan dalam buku persyaratan. Buku persyaratan merupakan suatu syarat pendaftaran IG, di mana memiliki fungsi apabila label IG atas suatu produk khas disetujui oleh Dirjen HKI, maka produk khas tersebut harus diproduksi oleh komunitas produk tersebut dengan mengacu kepada buku persyaratan tersebut.

Dengan memperhatikan hal-hal di atas, maka IG pada dasarnya dapat dipersamakan dengan upaya menstandarisasi produk khas suatu daerah/kawasan. Pemahaman ini dapat diketahui karena untuk mendapatkan sertifikat IG, sebuah komunitas produk khas hendaknya terlebih dahulu memiliki standar-standar mutu produk yang dapat menjelaskan kekhasan dari produk tersebut.

Selanjutnya, dengan dilakukan pendaftaran IG atas produk khas dan berkualitas, maka akan diperoleh manfaat sebagai berikut: Pertama, secara makro diharapkan akan meningkatkan kesejahteraan komunitas produk khas dan berkualitas serta masyarakat lainnya yang ada disekitar komunitas produk khas dan berkualitas tadi; Kedua, secara hukum, produk-produk khas dan berkaualitas yang ada di masing-masing daerah dapat dilindungi secara hukum; dan Ketiga, secara mutu dan kualitas, maka produk-produk khas dan berkualitas yang ada di daerah masing-masing akan dapat ditingkatkan lagi daya saingnya.

Wallahu’ala’bis shawab

 

Budi Agus Riswandi

Direktur Eksekutif Pusat HKI UII dan Ketua Umum ASKII

Penulis: Ayunita Nur Rohanawati, S.H., M.H.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Administrasi Negara

PANDEMI yang tak kunjung usai memberikan dampak luar biasa bagi pekerja di Indonesia. Berbagai permasalahan muncul di masing-masing perusahaan tempat pekerja bekerja. Seperti penjatuhan PHK saat pekerja menjadi penyintas Covid-19, tidak dibayarkan upah saat mengalami serangan Covid-19, pemaksaan melakukan pekerjaan saat terjangkit Covid-19 hingga menyebabkan besarnya penularan di lingkungan kerja.

Bahkan tak terpenuhinya hak jaminan sosial bagi pekerja serta hak memperoleh keselamatan dan kesehatan kerja yang layak menyesuaikan kondisi pandemi yang terjadi saat ini. Ketika pekerja menjadi penyintas Covid-19 adalah suatu hak bagi pekerja tersebut untuk beristirahat dan menjadi kewajiban untuk melakukan isolasi guna mencegah penularan virus ini. Perlu diingat bahwasanya yang sedang dihadapi dunia bukan sekadar penyakit biasa, melainkan wabah. Wabah yang mudah menular dari satu orang ke orang yang lain. Sehingga perlu penyikapan khusus terkait dengan kondisi yang saat ini terjadi.

Hukum Ketenagakerjaan Indonesia mengenal sebuah asas no work, no pay yang bermakna jika pekerja tidak bekerja, maka tidak akan mendapatkan upah. Hal ini juga sebagaimana yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, pada Pasal 40 ayat (1). Pasal ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab pada pekerja atas amanah pekerjaan yang dimilikinya di tempat kerja.

Ketentuan tersebut harus dipahami lebih lanjut sebagaimana yang telah disebutkan dalam pasal-pasal lanjutan tentang adanya pengecualian kondisi terkait pemberlakuan no work, no pay ini. Pada Pasal 40 ayat (2) dan (3) PP No 36 Tahun 2021 disebutkan bahwasanya pengecualian atas no work, no pay tersebut salah satunya dalam kondisi pekerja berhalangan melaksanakan pekerjaan karena sakit sehingga menyebabkan pekerja tidak dapat melakukan pekerjaan. Pengecualian tersebut bermakna, pekerja tetap memperoleh haknya berupa upah walaupun tidak melaksanakan pekerjaan karena kondisi sakit. Sehingga tidak dibenarkan adanya pemberlakuan no work, no pay dalam suatu tempat kerja bagi para pekerja yang menjadi penyintas Covid-19.

Pada kasus-kasus yang terjadi di lapangan terkait kondisi pekerja yang dipaksa tetap bekerja walau sedang terpapar Covid-19 yang dianggap tidak bergejala berat tidak dapat dibenarkan. Karena hal ini sama dengan melenggangkan persebaran virus dan tentunya merugikan banyak pihak termasuk perusahaan itu sendiri.

Pemenuhan alat keselamatan dan kesehatan kerja yang sesuai dengan kondisi pandemi saat ini juga menjadi hal yang sangat penting. Keselamatan yang bermakna kondisi lingkungan kerja yang tidak membahayakan pekerja dalam masa pandemi Covid-19, misalnya dengan memastikan dan menjamin tempat kerja memiliki sirkulasi udara yang baik sehingga dapat meminimalisasi penyebaran virus. Kemudian kondisi keselamatan pekerja dalam melaksanakan pekerjaan di masa pandemi ini dengan menyediakan alatalat yang mencegah penularan virus. Seperti masker, disinfectan spray, handsanitizer, pemberian multivitamin, dan sebagainya.

Regulasi telah mengatur sedemikian rupa tentang pengecualian ketentuan no work, no pay. Hanya saja ketentuan ini belum menjadi sempurna karena tidak ada ancaman sanksi administratif maupun pidana manakala tidak dipatuhi. Hal ini bukan menjadi alasan untuk tidak menegakkan ketentuan. Karena pada UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mengatur mengenai upaya hukum yang dapat ditempuh, manakala terjadi sengketa hubungan industrial. Juga diatur mengenai mekanisme penyelesaian sengketa terkait dengan sengketa hubungan industrial yang terjadi di Indonesia. Termasuk sengketa hubungan industrial yang terjadi saat pandemi ini.

Tulisan ini sudah dimuat dalam rubrik Analisis KR, 29 Juli 2021.

Penulis: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Berakhirnya masa jabatan hakim ad hoc tindak pidana korupsi di Mahkamah Agung mendorong mahkamah untuk segera mengajukan permohonan pengisian jabatan ke Komisi Yudisial.

Tampak kondisi saat ini akan menjadi sangat sulit bagi Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung mengingat momen permohonan pengajuan hakim ad hoc yang tidak pas dengan tahun penganggaran Komisi Yudisial.

Di satu sisi, ada kesenjangan (gap) antara kebutuhan dan realisasi pengisian jabatan hakim ad hoc di Mahkamah Agung. Di sisi lain, kekosongan kursi hakim ad hoc tindak pidana korupsi (tipikor) yang akan purnatugas pada 22 Juli mendatang jelas akan mengganggu performa Mahkamah Agung.

Sampai sejauh ini, tiga opsi telah disediakan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung (Kompas, 14/7/2021). Pertama, perpanjangan masa jabatan hakim yang belum berusia 70 tahun tanpa seleksi ulang. Kedua, proses seleksi dilakukan pada tahun 2022. Ketiga, tahapan seleksi sudah mulai dilakukan tahun ini, tetapi pemenuhannya pada awal 2022.

Sampai dengan tulisan ini dibuat, opsi mengerucut pada pilihan ketiga (Kompas,5/7/2021). Artinya, Mahkamah Agung akan mengoptimalkan tiga hakim ad hoc yang ada, sambil menunggu terisinya dua kursi kosong yang diharapkan terpenugi pada awal tahun mendatang.

Berkaca dari kondisi di atas, setidaknya ada dua hal yang perlu diidentifikasi sebagai problem yang menengarai terjadinya krisis hakim di tubuh Mahkamah Agung.

Masa Jabatan

Saat ini pengaturan masa jabatan hakim ad hoc menjadi salah satu hal yang perlu mendapatkan perhatian serius dari pembentuk undang-undang.

Belum jelas apa yang menjadi politik hukum pembedaan pengaturan masa jabatan hakim ad hoc di Mahkamah Agung dan hakim agung. Berdasarkan Undang-Undang Mahkamah Agung, masa jabatan hakim agung ditentukan berdasarkan usia maksimum 70 tahun. Sementara dalam Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, hakim ad hoc memiliki masa jabatan lima tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan.

Dari aspek hukum positif, kita masih memiliki pekerjaan rumah cukup besar dalam menata jabatan hakim. Di level undang-undang, seharusnya pengaturan tentang jabatan hakim ad hoc perlu didetailkan lebih lanjut. Apakah syarat masa jabatan tertentu juga melekat pada hakim ad hoc di Mahkamah Agung?

Padahal, baik hakim agung maupun hakim ad hoc di Mahkamah Agung melewati proses dan tahapan seleksi yang sama, yaitu Komisi Yudisial, DPR, dan Presiden.

Lebih dari itu, pembedaan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung juga menjadi tidak lagi begitu relevan mengingat baik hakim agung maupun hakim ad hoc di Mahkamah Agung memiliki beban kinerja dan tanggung jawab yang sama berdasarkan perintah undang-undang. Konsekuensi atas pembedaan masa jabatan itu mendorong Mahkamah Agung untuk mengajukan kebutuhan hakim ad hoc setiap lima tahun sekali. Dari sisi politik anggaran, kebutuhan di Mahkamah Agung tentu tidak selamanya dapat diikuti dengan ketersediaan anggaran di Komisi Yudisial. Kondisi inilah yang kerap menjadi titik problem yang justru mempersulit pemenuhan kebutuhan hakim di Mahkamah Agung.

Persetujuan DPR

Anasir lain yang menjadi problem pemenuhan kebutuhan hakim di Mahkamah Agung ialah keterlibatan DPR dalam memberikan persetujuan.

Pasal 24A Ayat (3) UUD menyebutkan bahwa “calon hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan sebagai hakim agung oleh Presiden”.

Jika dirunut berdasarkan original intent BAB IX Undang-Undang Dasar Negara (UUDN), kehadiran DPR sebenarnya tidak diperuntukkan melakukan supervise terhadap hasil kinerja Komisi Yudisial. Lagi-lagi pemahaman checks and balances ketatanegaraan kita tidak dapat dimaknai secara tekstual.

Hal ini karena berdasarkan sejarah perumusan Pasal 24A Ayat (3) UUDN, DPR bukanlah episentrum kekuasaan dalam menentukan proses seleksi calon hakim agung.

Ada prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang juga melekat pada pasal 24 Ayat (1) UUDN, yang seharusnya menutup ruang bagi partai politik untuk memilih dan menentukan calon hakim agung. Tujuan utamanya ialah mencegah terjadinya redundancy terhadap cara kerja yang telah dilakukan oleh Komisi Yudisial.

Intensi pelibatan DPR dalam konteks persetujuan sebenarnya tidak dalam kapasitas memilih dan menyeleksi ulang calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial. Sifat bersetujuan itu dalam kapasitas “right to confirm”, bukan dalam bentuk “right to select”.

DPR bisa menggunakan haknya dalam kondisi force majeure, missal proses seleksi yang menyalahi undang-undang, penetapan status tersangka, atau meninggal dunia.

Yang terjadi dalam praktik pascareformasi sebaliknya. Peran DPR kemudian bergeser sebagai lembaga penentu seleksi calon hakim agung dan cenderung mempersulit pemenuhan kebutuhan hakim di tubuh Mahkamah Agung.

RUU Jabatan Hakim

Merespons beberapa problema di atas, tidak ada salahnya untuk kembali membuka opsi penataan melalui RUU Jabatan Hakim. Baik itu menyangkut kedudukan, implikasi uang ditimbulkan dari pembedaan status jabatan hakim, hak dan kewajiban, maupun mendetailkan tata cara pengangkatan hingga pemberhentiannya.

Langkah ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan guna mendorong pemenuhan kebutuhan hakim dan kinerja mahkamah yang independent dan akuntabel.

 

Tulisan ini sudah dimuat dalam rubrik Opini Kompas, 19 Juli 2021.

 

 

Penulis: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Warga perantauan mengalami keresahan saat ini. Waktu yang dhabiskan untuk bekerja dan berharap mudik saat liburan terhalang kebijakan pemerintah yang mengeluarkan Addendum Surat Edaran No.13 Tahun 2021 Tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah. Surat Edaran ini mengatur pengetatan persyaratan pelaku perjalanan dalam negeri selama H-14 peniadaan mudik (22 April – 5 Mei 2021) dan H+7 peniadaan mudik (18-24 Mei 2021), sedangkan peniadaan mudik akan berlangsung pada 6-17 Mei 2021.

Kebijakan pengetatan dan peniadaan mudik memunculkan kritik dari berbagai kalangan, utamanya dari para pekerja moda transportasi dan warga yang berharap mudik setelah sekian lama tidak balik kampung halaman. Salah satu pernyataan yang muncul, bukankah mudik adalah hak setiap warga yang keberadaannya dijamin hukum HAM? Sebagian akademisi menyebut larangan mudik adalah pelanggaran HAM, dan sebagian yang lain menyatakan tidak.

Secara hukum, mudik dapat dikatagorikan sebagai hak untuk bebas bergerak dan berpindah dalam satu wilayah negara. Pada Pasal 27 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dinyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam dalam wilayah Republik Indonesia. Pada Pasal 12 ayat (1) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik dinyatakan bahwa setiap orang yang secara sah berada dalam wilayah suatu Negara, berhak atas kebebasan bergerak  dan kebebasan untuk memilih tempat tinggalnya dalam wilayah tersebut.

Aturan di atas secara tidak langsung menyatakan bahwa mudik merupakan hak yang djamin oleh hukum yang levelnya Undang-Undang, dan kovenan sendiri levelnya adalah International Bill of Human Righ karena tingkat universalitas haknya yang sangat tinggi. Dalam General Comment terkait ketentuan ini dinyatakan bahwa kebebasan untuk bergerak merupakan kondisi yang tidak terlepaskan dari pengembangan pribadi seseorang. Kebebasan bergerak berhubungan dengan hak-hak yang lain.

Namun demikian, hak kebebasan bergerak dan berpindah tempat merupakan hak yang bisa dikurangi (derogable rights) dalam situasi darurat, dan bisa dibatasi (limitasi) di masa tenang dan damai. Dasar hukum pembatasan tercantum pada Pasal 29 DUHAM, Pasal 28J UUD 1945, Pasal 12 ayat (3) Kovenan Hak Sipil dan Politik, dan Pasal 70 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Beberapa Pasal tersebut mengatur pembatasan hak dengan syarat-syarat yang sangat ketat.

Dalam intrumen hukum HAM, terdapat 3 (tiga) syarat yang harus dipastikan untuk legitimasi satu tindakan pembatasan yang dperbolehkan (permissible restriction). Ketiga syarat ini dikenal three part test (tiga uji elemen),  pertama, setiap pembatasan hak harus diatur oleh hukum (prescribed by law). Para ahli menyatakan bahwa hukum disini ialah undang-undang atau putusan pengadilan. Kedua, pembatasan dilakukan dengan alasan yang sah (legitimate aim), yaitu alasan ketertiban umum, kesehatan masyarakat, moral publik, keamanan nasional, keselamatan publik, hak kebebasan orang lain/reputasi orang lain. Ketiga, pembatasan dperlukan dalam masyarakat demokratis (necessary in a democratic society) dan dilakukan secara proporsional (proportionality).

Larangan mudik dengan demikian sebenarnya adalah pembatasan hak dan mengambil hak warga, tetapi dapat dibenarkan hukum dengan pertimbangan kesehatan masyarakat. Kritik fundamen Addendum Surat Edaran No. 13 Tahun 2021 lebih pada pembatasan hak mudik yang hanya diatur pada setingkat Surat Edaran, padahal hak yang dibatasi dijamin dalam Undang-Undang, dan pembatasan hak oleh hukum haruslah setingkat Undang-Undang dan atau putusan pengadilan.

Pembatasan hak mudik juga cenderung tidak proporsional karena tidak berimbang dan wajar, salah satu contoh yang kerap dikeluhkan warga ialah mengapa mudik dilarang, tetapi tempat wisata dan tempat-tempat perbelanjaan tetap dibolehkan untuk dikunjungi, padahal keduanya sama-sama akan membuka rantai penyebaran Covid-19. Oleh karena itu, sudah selayaknya pemerintah memperbaiki kebijakakan aturan larangan mudik ini serta mencari jalan keluar penanganan covid-19 yang lebih holistik dan proporsional.

Tulisan ini telah dimuat di Koran Kedaulatan Rakyat, 5 Mei 2021.

Penulis: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Penularan Covid-19 terus meningkat. Publik seperti dihadapkan pada ketidakpastian langkah-langkah pemenuhan hak atas kesehatan. Bahkan, pemerintah mulai meragukan kebijakannya sendiri. Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang menggantikan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dinilai tidak efektif menghentikan laju penularan. Situasi ini bermakna bahwa penanganan Covid-19 di Indonesia sampai saat ini belum berhasil.

Sejauh ini, sudah banyak peraturan dan kebijakan terkait Covid-19, antara lain : Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2020 tentang Refocussing kegiatan, realokasi anggaran serta pengadaan barang dan jasa dalam rangka percepatan penanganan Corona Virus Disease 2019, Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19, Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang penetapan bencana non alam penyebaran Corona Virus Disease 2019 sebagai Bencana Nasional, Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease, Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Pencepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019, Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019.

Selain itu, ada Undang-Undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan Permenkes No. 9 tahun 2020 yang secara spesifik mengatur tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Keputusan Menteri kesehatan Nomor HK. 01.07/Menkes/382/2020 tentang Protokol Kesehatan yang diantaranya mengatur kebijakan tentang mencuci tangan, menjaga jarak dan memakai masker, dan yang terakhir Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 01 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Untuk Pengendalian Penyebaran Corona Virus Desease 2019.

Melihat ketentuan di atas, sudah banyak peraturan dan kebijakan yang telah dibuat. Pertanyaannya, mengapa kasus Covid-19 di Indonesia terus meningkat? Pertanyaan ini bisa dijawab bahwa substansi dan struktur hukum tersebut belum berjalan efektif dan belum mampu menjadi sarana pengubah perilaku masyarakat.

 

Hukum Pengubah Perilaku  

Roscoe Pound, tokoh aliran hukum Sociological Jurisprudence mengatakan bahwa hukum semestinya dilihat sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial. Hukum mesti dipahami sebagai suatu proses (law in action) yang hukum tersebut sama sekali berbeda dengan hukum yang tertulis (law in books). Peraturan dan kebijakan tentang Covid-19 semestinya dilihat dalam konteks ini, bahwa aturan tersebut bukanlah norma-norma tertulis saja, tetapi norma yang harus dihidupkan dan dilekatkan dengan lembaga kemasyarakatan.

Roscoe Pound mengatakan, hukum berkaitan dengan kepentingan-kepentingan dalam masyarakat. Kepentingan tersebut ada 3 (tiga), pertama, public interest yang meliputi kepentingan negara yang tugasnya memelihara hakekat negara dan menjaga kepentingan sosial. Kedua, kepentingan perorangan yang meliputi kepentingan pribadi dan kepentingan dalam rumah tangga. Ketiga, kepentingan sosial yang terkait dengan keamanan umum, moral umum, kemajuan sosial dan kehidupan individu.

Kepentingan penanganan Covid-19 merujuk pemikiran Pound sudah sangat memenuhi dalam dimensi kepentingan pribadi, sosial dan negara. Persoalannya terletak bagaimana peraturan yang ada dapat menggerakkan lembaga pemasyarakatan untuk mendorong tujuan-tujuan sosial dan perorangan di bidang kesehatan. Jika konsep ini dilakukan, peraturan dan kebijakan Covid-19 tentu akan menjadi alat rekayasa masyarakat (law as a tool of social engineering)

Persoalannya, perilaku masyarakat saat ini tidak banyak berubah untuk mentaati protokol kesehatan. Penggunaan masker, menjaga jarak, dan aktifitas cuci tangan tidak ditaati. Kegiatan bergerombol dan mobilitas masyarakat masih sangat tinggi. Situasi ini bermakna bahwa aturan dan kebijakan belum berjalan dengan semestinya. Aparat yang memiliki kewenangan penanganan Covid-19 belum mampu membangun kesadaran yang utuh akan makna penting protokol kesehatan.

Soerjono Soekanto berpendapat, apabila hukum tidak berjalan dengan semesetinya maka harus dicek faktor-faktor yang menjadi penghambatnya, biasanya antara lain terjadi karena faktor pembentuk hukum, penegak hukum, para pencari keadilan, maupun golongan-golongan lain dalam masyarakat. Faktor penghambat harus diidentifikasi.

Salah satu yang biasa jadi faktor penghambat menurut Soerjono Soekanto ialah komunikasi hukum. Hukum yang diharapkan dapat mempengaruhi perubahan perilaku masyarakat harus disebarkan seluas mungkin sehingga melembaga dalam masyarakat. Komunikasi hukum harus dapat dilakukan secara formal dan informal. Cara ini merupakan bagian yang dinamakan difusi, yaitu penyebaran unsur-unsur kebudayaan tertentu di dalam kehidupan masyarakat.

Pada pokoknya ketaatan hukum sangat dipengaruhi oleh dua faktor, pertama, tujuan hukum harus identik dengan tujuan/aspirasi anggota-anggota masyarakat. Makna lainnya, taatnya masyarakat pada hukum karena terdapatnya perasaan keadilan dan kebenaran dalam hukum. Kedua, adanya kekuasaan yang imperatif melekat pada hukum dengan sanksi apabila ada orang yang melanggarnya.

Berangkat dari pemikiran di atas, terbayang dalam pikiran kita bahwa ada banyak faktor hukum dan dimensi sosial politik yang mempengaruhi lemahnya ketaatan hukum masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan. Sebagian besar masyarakat masih belum menangkap kebenaran protokol kesehatan sebagai sesuatu yang penting, dan pada sisi yang lain penegakan hukum masih sangat lemah.

Tentu masih banyak faktor lain yang bisa diidentifikasi dan ditemukan akar masalahnya. Mengubah perilaku masyarakat tidak mudah, apalagi didalamnya ada dimensi sosial keagamaan. Butuh multi pendekatan untuk menciptakan kesadaran akan makna penting mentaati kebijakan protokol kesehatan. Kegagalan penanganan Covid-19 saat ini lebih pada konteks ini : tidak fokus pada pokok masalah, sentralistik, bahasa kebijakan yang tidak membumi, dan kebijakan yang selalu berubah-ubah sehingga cenderung membingungkan masyarakat bahkan pemerintah sendiri.

Tulisan ini telah dimuat pada Koran Sindo, 10 Februari 2021.

Penulis: Anang Zubaidy, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum UII, dari Departemen Hukum Tata Negara sekaligus Direktur Pusat Studi Hukum FH UII.

 

JUMLAH kasus positif Covid-19 di Indonesia beberapa hari ini menunjukkan angka yang sangat mengkhawatirkan. Sepekan terakhir tercatat penambahan jumlah kasus positif Covid-19 berada di atas 5.000 orang per hari. Bahkan, pada tanggal 3 Desember 2020 terjadi lonjakan jumlah kasus positif yang sangat signifikan, yakni sebanyak 8.369 orang positif Covid-19. Pertambahan jumlah kasus positif ini membuat Presiden Joko Widodo mengungkap kekecewaannya dalam rapat terbatas. Menurutnya, penanganan Covid-19 memburuk.

Kondisi seperti ini tak ayal membuat banyak kalangan semakin mengkhawatirkan pelaksanaan pilkada 9 Desember 2020. Secara serentak, pilkada kali ini akan digelar di 270 daerah provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia dengan 100 juta lebih pemilih yang telah ditetapkan oleh KPU. Sebuah jumlah orang yang terlibat yang tidak bisa dikatakan sedikit.

Beberapa kalangan termasuk penulis, telah menyarankan agar pelaksanaan pilkada serentak tahun ini ditunda sampai dengan ditemukannya vaksin Covid-19. Namun, para pengambil kebijakan (Pemerintah, DPR, dan KPU) tidak bergeming dengan berbagai desakan yang datang dan tetap melaksanakan pilkada di tengah pandemi yang sedang melanda.

Ibarat nasi sudah menjadi bubur. Salus populi suprema lex esto, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Maka, perlu langkah-langkah untuk memastikan pelaksanaan pilkada tetap berjalan sambil diupayakan langkah agar tidak ada kluster baru kasus positif Covid-19 Peraturan KPU No 6 Tahun 2020, KPU tampaknya sudah merumuskan berbagai langkah antisipasi agar pilkada tidak menjadi kluster baru. Berdasarkan beleid ini, langkah pencegahan penularan diupayakan melalui penerapan protokol kesehatan seperti menjaga jarak, pengecekan suhu tubuh, hingga disinfektasi peralatan-peralatan yang sering dipakai pada setiap tahapan pilkada. Namun, sebagaimana diketahui banyak pihak, kepatuhan terhadap protokol kesehatan pada tahapan pilkada yang sudah tak seindah didengungkan. Masih banyak ditemukan pelanggaran.

Pelanggaran itu bisa saja terjadi karena kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hukum. Bisa pula karena belum adanya pemahaman yang memadai dari masyarakat sebagai akibat
sosialisasi yang dilakukan pembentuk hukum belum maksimal. Adalah benar bahwa dalam hukum dikenal asas presumptio iures de iure (asas asas yang menganggap semua orang tahu hukum) atau yang bisa dikenal dengan fiksi hukum. Namun, asas ini tidak berdiri sendiri melainkan membutuhkan instrumen pendukung yakni sudah sejauhmana upaya sosialisasi telah dilakukan oleh organ negara yang bertugas untuk itu agar masyarakat patuh.

Jika dilihat dari optik teoritik, terdapat 2 (dua) madzhab teori kepatuhan yang dikenal dengan madzhab pemaksaan dan madzhab konsensus (Soerjono Soekanto). Dalam madzhab teori
pemaksaan, kepatuhan hukum muncul dari efektivitas dalam proses pemaksaan. Sedangkan pada madzhab teori konsensus, kepatuhan hukum muncul dari efektivitas melalui internalisasi
dalam masyarakat.

Penulis menilai, ketidakpatuhan peserta pilkada terjadi karena, baik pemaksaan maupun konsensus belum optimal berjalan. Dalam kaitannya dengan pemaksaan, pelaksanaan protokol kesehatan dalam pelaksanakan setiap tahapan pilkada (setidaknya) belum disertai dengan pelaksanaan sanksi yang memberikan efek jera bagi para pelanggar. Demi mengurangi dampak negatif pelaksanaan pilkada di tengah pandemi, sekali lagi, penegakan hukum protokol kesehatan harus dilakukan. Pelaksanaan yang menyisakan tahap pemungutan suara, penghitungan suara, dan penetapan pemenang masih sangat potensial memunculkan kerumunan dan potensial menjadi kluster baru. Tentu bukan itu yang diharapkan. Perlu kerja sama semua pihak (penyelenggara pilkada, pengawas, peserta, dan masyarakat) untuk bersama-sama menyelenggarakan pilkada dengan pelaksanaan protokol kesehatan yang ketat. Jika perlu, berlakukan sanksi yang tegas dan sesuai dengan koridor hukum atas setiap pelanggaran oleh siapapun tanpa pandang bulu.

Tulisan ini sudah dimuat dalam rubrik Analisis KR, 7 Desember 2020.