Tag Archive for: Opini

Penulis: Nurmalita Ayuningtyas Harahap, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Hak Administrasi Negara

 

REVISI Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah disahkan DPR, Selasa (17/9) lalu. Sebelumnya, rancangan perubahan Undang-undang No 30 Tahun 2002 tersebut tidak sedikit menuai respons dari masyarakat, baik dalam bentuk kritik maupun dukungan Revisi dilakukan terhadap beberapa pasal-pasal di undang-undang tersebut, antara lain adalah menyangkut perubahan status Pegawai KPK Dimana Pegawai Tetap KPK dialihkan menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN).

Jika merujuk pada Undang-undang No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, maka ASN terdiri dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Pada draft rancangan perubahan Undang-undang No 30 Tahun 2002 tersebut nantinya diatur bahwa Pegawal Negeri yang dipekerjakan di KPK akan berstatus PNS. Sedangkan Pegawai tetap KPK yang bukan merupakan PNS akan dikategorikan sebagai PPPK

Jika telah beralih status, bagaimana independensi dari Pegawai KPK itu sendiri?

Ditinjau dari hukum kepegawalan, maka ASN merupakan Pegawai Negeri Pegawai Negeri mempunyai ciri khusus, yaitu Hubungan Dinas Publik (DHP) yaitu sifat monoloyalitas kepada Pemerintah. Dalam hubungan ini kemudian melekat hubungan subordinatie antara atasan bawahan (Ridwan dan Nurmalita: Hukum Kepegawaian: 2018) Jika ditilik dari ciri tersebut, otomatis Pegawai KPK yang menjàdi ASN tersebut akan tunduk dan patuh kepada pemerintah atau eksekutif atau yang dapat dikatakan mempunyai hubungan monoloyalitas dengan pemerintah.

Sedangkan di dalam UU No 5/2014 diatur apa yang dinamakan Manajemen ASN. Dalam pasal 52. dinyatakan bahwa Manajemen ASN terdiri dari Manajemen PNS dan Manajemen PPPK. Pada Pasal 55, manajemen PNS antara lain meliputi, pengadaan, mutasi, disiplin, pemberhentian. Begitu juga pada pasal 93, manajemen PPPK antara lain meliputi pengadaan, penilaian kinerja, disiplin dan pemutusan hubungan kerja. Jika nantinya Pegawai KPK berubah status menjadi ASN, maka manajemen sumber daya manusia, yang terdiri dari pengadaan hingga pemberhentian atau pemutusan hubungan kerja menjadi kewenangan dari pemerintah atau eksekutif. Tidak lagi bersifat independen dari lembaga KPK itu sendiri.

Persoalan kemudian, pertama jika berbicara tentang pengadaan, maka selama ini sebenarnya terdapat Peraturan Pemerintah No 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia Komisi Pemberantasan Korupsi. Di pasal 7 ayat (2) Peraturan Pemerintah menyatakan bahwa, Pegawai Negeri yang telah diangkat menjadi Pegawai Tetap pada Komisi diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri. Hal ini juga dapat dikatakan agar independensi pegawai KPK tersebut tetap terjaga. Namun dengan peralihan status sebagai Pegawai Negeri, yang kemudian proses penentuan formasi dan rekrutmen akan diambil alih sepenuhnya pemerintah atau eksekutif bukan lagi kewenangan KPK secara penuh.

Kemudian yang kedua, terkait dengan mutasi. Penentuan perpindahan pegawai ini baik tempat maupun jabatannya akan menjadi kewenangan pemerintah atau eksekutif. Hal ini justru akan rentan dengan berbagai macam yang mempengaruhi mutasi tersebut. Ketiga, terkait dengan disiplin dan pemberhentian atau pemutusan hubungan kerja. Pegawai KPK akan tunduk kepada aturan disiplin ASN disamping nantinya masih terdapat aturan tentang disiplin KPK yaitu, Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi No. 10 Tahun 2016 tentang disiplin pegawai dan penasihat KPK, yang nantinya mesti diharmonisasikan dengan aturan disiplin ASN yang saat ini berlaku.

Dengan begitu pengenaan hukuman disiplin jika Pegawai KPK melanggar disiplin dan pemberhentian menjadi kewenangan dari eksekutif atau pemerintah Hal ini pun juga menimbulkan pertanyaan terkait dengan independensi dan bebas dari berbagai macam kepentingan. Meskipun nantinya telah menjadi ASN, besar harapan masyarakat untuk pegawai KPK dapat menjunjung nilai-nilai independensi dan tidak adanya intervensi dari pemerintah jika hal tersebut kemudian dapat memberikan hambatan bagi penegakkan hukum nantinya.

Kini diharapkan pula, tugas tim transisi KPK untuk menganalisis poin-poin yang telah disahkan Termasuk perubahan status KPK yang nantinya pun perlu di harmonisasi dan disinkronisasi dengan Peraturan yang menyangkut ASN. Tentu agar independensi tetap ada.

Tulisan ini telah dimuat dalam Anaslisis KR, Kedaulatan Rakyat, 21 September 2019.

 

Penulis: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Apakah sudah diperhitungkan rencana amandemen terbatas UUD yang sudah semakin mengkristal pada romantisme GBHN? Adakah studi kelayakan yang telah memberikan preposisi bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional kita bermasalah sehingga tidak relevan lagi untuk digunakan? Seberapa dalam cetak biru yang telah disusun MPR, metode risetnya apa, sehingga GBHN menjadi laik diterapkan kembali sebagai kerangka dasar pembangunan nasional. Sungguhpun sudah dipikirkan secara matang, bagaimana dengan proses dan mekanisme perubahannya?

Sejumlah pertanyaan di atas, mengirimkan pesan bahwan wacana amademen terbatas perlu dikonstruksikan secara komprehensif. Dibangun melalui konsep yang kuat, serta memperhatikan sejumlah ekses yang kemungkinan dapat ditimbulkan. Jika tidak, proyek besar ini bisa kebablasan dan justru menambah sengkarut problem ketatanegaraan.

Dalam ketentuan hukum positif saat ini, beberapa perangkat regulasi pada dasarnya telah mengakomodir arah pembangunan dan haluan bernegara. Misalnya Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN, UU No 25 Tahun 2004) dan Rancana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP UU No 17 Tahun 2007). Bahkan secara lebih detail, arah pembangunan juga diderivasikan lagi melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang meliputi pembangunan nasional, bidang, dan wilayah.

Jika hendak memahami arah politik hukum pembangunan nasional pascatransisi politik, sebenarnya tidak terlihat garis demarkasi yang tajam antara politik pembangunan era orde baru dengan politik pembangunan saat ini. Melalui perangkat SPPN, RPJPN, dan RPJMN, pembangunan nasional juga dapat dialkukan secara terukur dan sistematis. Artinya, secara materiil hampir tidak ada pembedaan cara kerja pada model pembangunan bergaya GBHN dengan model SPPN dan RPJP. Setidaknya, titik pembedaan itu hanya pada aspek formalnya saja.

Jika arag pembangunan nasional di era orde baru diterapkan MPR, maka arah pembagunan nasional saat ini ditetapkan Presiden dan DPR melalui kerangka legislasi nasional. Pilihan politik hukum demikian tidak lahir tanpa basis rasionalitas politik yang kuat. Laiknya sebuah silogisme hukum, ada beberapa alasan mengapa GBHN tidak lagi relevan diterapkan pascatransisi politik.

Pertama, soal kesepakatan dasar perubahan UUD di era transisi. Saat itu, semua partai politik sepakat bahwa agenda perubahan UUD dilandaskan pada semangat memperkuat sistem presidensiil (Valina Singka:2008). Dengan mempertahankan model pembangunan melalui GBHN, sistem pemerintahan akan jauh berayun pada gaya parlementer. Seluruh pertanggungjawaban politik akan diserakan ke MPR. Tidak menutup kemungkinan MPR akan kembali menjadi pemegang kendali atas kuasa rakyat.

Kedua, masa jabatan presiden yang limitatif tidak akan kompatibel dengan model pembagunan GBHN. Sebagai sebuah produk politik, upaya perubahan terhadap materi muatan GBHN menjadi sangat mungkin terjadi. Perkembangan koalisi kepartaian sangat dinamis, menyebabkan GBHN menjadi sangat sulit diterima dan diterapkan pada pemerintahan berikutnya.

Ketiga, dengan menerapkan model pembangunan berbasis GBHN, ada berbagai macam implikasi yang ditimbulkan terhadap sistem hukum nasional. Mulai dari posisi tawar GBHN terhadap hierarki perundang-undnagan sampai dengan model pengujian norma hukum yang bisa saja bertentangan dengan GBHN. Membaca sejumlah tantangan di atas, maka keinginan melakukan amandemen terbatas bisa saja melebar menjadi isu yang tak terbatas.

Terlepas dari rentetan panjang yang mungkin biosa ditimbulkan, tidak kalah penting ialah mengawal bagaimana proses pembuatan itu akan dilakukan. Sebuah konstitusi yang demokratis tidak akan mungkin dihasilkan melalui proses politik yang kolutif. Seperti disematkan Bianc, bahwa proses itu akan menentukan hasil perubahan konstitusi. (Bonime Blanc: 1987). Perlu diingat setelah perubahan UUD, MPR merupakan lembaga yang berwenang mengubah dan menetapkan UUD. Ia tak lagi sebatas lembaga yang menetapkan, tetapi juga menjadi bagian dalam proses perubahan UUD. Imbasnya peranan partai politik menjadi sangat dominan.

Dengan peta politik demikian, MPR bisa saja terdistorso dengan konflik kepentingan. Sebab, materi muatan amandemen justru menyangkut kepentingan kelembagaannya sendiri. Ada baiknya proyek besar untuk MPR itu perlu dipertimbangkan kembali. Biar bagaimanapun, konstitusi merupakan norma fundamental. Ia hidup dan berkembang dalam praktik berbangsa dan bernegara. Bukan komoditas kepentingan golongan yang bersifat sektoral.

Penulis: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Hampir dipastikan, periode kedua pemerintahan Joko Widodo akan ditopang dengan koalisi “gemuk” di parlemen. Mayoritas partai politik di DPR, akan bahu membahu mensukseskan beberapa program kebijakan yang sudah dicanangkan pada pemerintahan 2019-2024. Dengan koalisi mayoritas, relasi eksekutif dan legislatif diperkirakan akan jauh lebih stabil. Meskipun harus di akui, dukungan mayoritas partai di DPR sebenarnya juga dapat melahirkan ancaman. Bisa di bayangkan, jika mayoritas partai politik di DPR bersekutu dengan pemerintah, maka Presiden tidak hanya menjadi episentrum kekuasaan eksekutif, tetapi juga menjelma sebagai pengendali kekuatan partai-partai politik yang ada di parlemen. Aroma bagi-bagi kekuasaan sudah mulai tercium. Selain soal jatah kabinet, perebutan kursi pimpinan MPR juga menjadi bagian yang tak terpisahkan. Dengan koalisi mayoritas, MPR akan menjadi lembaga strategis dalam masa pemerintahan lima tahun ke depan. Jika koalisi pemerintah benar-benar solid, MPR bisa saja bereksperimen dengan kewenangannya mengubah dan menetapkan UUD.

 

Minoritas- Mayoritas

Jika hendak menarik isu perdebatan ini dalam ranah konseptual, relasi eksekutif -legislatif menjadi wilayah yang cukup menarik dalam sistem presidensil. Kenyataannya, sistem pemerintahan kita pasca transisi politik, cenderung bergerak secara dinamis. Setidaknya ada dua pola relasi eksekutif-legislatif yang selama ini menjadi basis konvensi kenegaraan dalam sistem multi partai.  Pola pertama, bangunan koalisi dengan corak minoritas. Dalam langgam ini, Presiden tidak mendapatkan dukungan dari sebagian besar partai politik yang ada di parlemen. Pembelahan pemerintahan (divided government) sangat dimungkinkan terjadi karena relasi eksekutif dan legislatif cenderung bersifat konfrontatif. Kondisi ini pernah dialami sendiri oleh Presiden Jokowi-JK di awal-awal masa pemerintahan 2014-2019. Dengan dukungan minoritas, Presiden kesulitan membangun program-program pemerintahan. Kondisi ini semakin diperparah dengan desain UUD pasca amandemen yang memberikan begitu banyak delegasi kewenagan kepada DPR berupa pertimbangan dan persetujuan. Pola kedua, bangunan koalisi dengan corak mayoritas. Pada langgam ini, mau tidak mau, Presiden merangkul mayoritas partai politik untuk bergabung pada koalisi pemerintahan. Sedikit beraroma parlementer, karena relasi eksekutif-legislatif melebur jadi satu. (Alferd Stephen & Cindy Skach:1993). Cara ini dipercaya sebagai alternatif membangun stabilitas pemerintahan. Dengan dukungan mayoritas partai politik, kebijakan-kebijakan pemerintah relatif bisa berjalan mulus di parlemen. Termasuk di dalamnya soal keinginan untuk melakukan amandemen kelima UUD.

Tanpa Kontrol

Dengan bangunan koalisi mayoritas, pintu amandemen konstitusi menjadi sangat terbuka lebar. Siasat amandemen ini bisa dianalogikan seperti lempengan uang koin. Di satu sisi bisa memperkuat percepatan kebutuhan demokrasi, namun disisi lain, bisa menjadi jebakan otoritarianisme. Perlu diingat bahwa  proses perubahan UUD bisa berjalan tanpa kontrol. Jika melihat prosedur dan beberapa syarat formil perubahan UUD, kelembagaan MPR merupakan forum joint session anggota DPR dan anggota DPD. Secara kuorum DPD bisa saja tidak dapat menjadi penyeimbang kekuatan mayoritas partai politik yang ada di DPR. Mengingat berdasarkan jumlah, anggota DPR terdiri dari 575 orang dan anggota DPD hanya sejumlah 136 orang. Sementara Pasal 37 UUD mensyaratkan 1/3 jumlah anggota untuk usul perubahan, dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dan 50% plus satu untuk persetujuan perubahan. Dalam peta politik demikian, perubahan UUD sangat ditentukan pada kekuatan mayoritas partai politik pendukung pemrintah di DPR. Agenda amandemen ini tentu bisa menjadi bola liar, sebab materi perubahan  UUD cenderung bersifat sangat kompromistis. Sebut saja soal gagasan perubahan yang sudah semakin mengkristal pada penguatan kelembagaan MPR dalam menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Komisi Konstitusi

Dengan menyerahkan semata-mata pada kekuatan politik mayoritas, tentu akan menghasilkan kompromi politik yang sangat sektoral. MPR sebagai lembaga yang berwenang mengubah dan menetapkan UUD, sarat terjebak dengan konflik kepentingan. Apalagi jika materi perubahannya menyangkut soal penguatan kelembagaannya sendiri. Jika benar amandemen UUD akan digulirkan pada periode kedua pemerintahan Joko Widodo, ada baiknya memperhitungkan pembentukan Komisi Konstitusi. Badan khusus yang dibentuk secara independen dan bersifat non partisan untuk mengkaji materi perubahan UUD. Belajar dari Spanyol, Filipina dan Thailand, perubahan konstitusinya dilakukan melalui spesial konvensi dengan pembentukan komisi khusus. Langkah ini dibangun agar usulan dan hasil perubahan konstitusi tidak bias dari kekuatan politik pemerintah a quo. (David G. Timbermand,ISEAS:1999). Pentingnya membentuk komisi konstitusi dalam perubahan UUD, pada dasaranya dipengaruhi oleh alasan paradigmatik.  Partai politik berdiri pada basis untuk merebut dan mempertahankan kekuasaaan, sementara konstitusi berpijak pada basis pembatasan kekuasaan. Memberikan peran mayoritas kepada partai politik terhadap perubahan UUD, sama artinya memberikan kesempatan partai politik untuk merebut atau mempertahankan kekuasaannya.  Itu sebabnya agenda perubahan UUD perlu dikaji dengan basis rasionalitas yuridis, sosiologis dan filosofis. Bahwa perubahan itu memang benar-benar dibutuhkan guna membangun percepatan demokratisasi. Jika tidak, gagasan amandemen ini bisa membawa pemerintahan Jokowi-Ma’ruf pada jebakan otoritarianisme.

Tulisan ini sudah dimuat dalam rubrik Pendapat, KORAN TEMPO, 13 Agustus 2019.

Penulis: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Pertarungan politik sepertinya sedang memasuki masa panas-panasnya. Kampanye terbuka telah dilakukan di beberapa tempat, dan semua orang sedang kasak-kusuk tentang kandidat pilihannya. Di arena persaingan para politisi ini, hadir para agamawan yang biasa membawa dalil-dalil agama untuk mendukung kandidatnya, dan dalam banyak kasus merendahkan kandidat yang lain dengan dasar informasi yang salah.

Di satu daerah, ibu-ibu yang datang dari pengajian tiba-tiba bercerita tentang isi pengajian tokoh agama yang isinya menjelek-jelekkan salah satu kandidat Presiden dan Wakil Presiden, di mana jika kandidat tersebut terpilih PKI akan muncul di mana-mana, pernikahan sejenis akan disahkan, dan suara adzan akan dilarang. Pada saat yang lain, Bapak-bapak yang selesai pengajian cerita bahwa ada kandidat Presiden yang beragama non Islam dan berasal dari keturunan Cina sehingga tidak boleh dipilih. Pada kesempatan yang sama, agamawan tersebut meminta jemaahnya agar memilih kandidat tertentu dengan dasar pikiran yang tidak detail.

Cerita beberapa Jemaah pengajian membuat hati miris karena apa yang dikatakan para tokoh agama sumbernya adalah berita hoax dan tidak dapat dibenarkan secara hukum dan moral untuk disampaikan kepada khalayak umum, khususnya para jemaah pengajian yang notabene hadir dengan kesucian hati dan pikiran untuk mempelajari pesan-pesan agama yang lurus dan mencerahkan. Informasi hoax yang dijadikan sumber ceramah memperlihatkan betapa agamawan bukanlah sosok yang bersih virus berita bohong yang saat ini bertebaran di media sosial, seperti facebook, whatsapp, dan youtube.

Pada sisi yang lain, dukungan politik agamawan pada kandidat tertentu semestinya juga ditopang oleh informasi yang detail dan utuh, utamanya terkait visi misi, tawaran program dan pertimbangan yang bersifat substantif, yakni pentingnya memilih pemimpin yang berintegritas yang harapannya dapat membawa bangsa Indonesia menjadi negara yang berkeadilan, makmur, dan terbebas dari sistem yang koruptif.

Politik Agamawan

Agamawan tidak bisa dipisahkan dari suara agama, apa pun yang dilakukan agamawan, baik perkataan dan tindakannya selalu akan dikaitkan dengan ekspresi keagamaan. Karena itu, mandat penting agar pemeluk agama tidak berprilaku kacau merupakan tanggungjawab utama para agamawan. Ketika terjadi kekacauan di internal pemeluk agama, maka yang harus diperiksa pertama adalah cara pandang dan perilaku para agamawannya yang kita tahu sangat rutin memberikan doktrin keyakinan agama.

Konteks kontestasi politik juga demikian, kisruh pemeluk agama karena adanya perbedaan preferensi politik, yang harus diperiksa pertama adalah cara pandang dan perilaku politik agamawannya. Pertanyaannya, apakah para agamawan sudah memberikan pendidikan politik yang baik dan benar kepada jemaahnya? Atau, yang mereka lakukan adalah menyebarkan politik kebencian dan adu domba yang secara langsung dan tidak langsung akan mendorong disharmoni sosial dan retaknya relasi bernegara kedepannya.

Disinilah letak penting mengapa para agamawan harus memiliki pengetahuan dan pemahaman politik yang paripurna, di mana ada keniscayaan agar mereka secara utuh memahami ajaran agama dalam konteks hubungan sosial masyarakat (muamalah), bernegara (siyasah), dan dalam hal bagaimana agama semestinya menjadi penguat persaudaraan antar manusia (ukhuwah insaniyah/basyariah) dan  persaudaraan sebangsa (ukhuwah wathaniyah). Dalam hal ini, agamawan dituntut tidak hanya ahli dalam hal ceramah dan pengetahuan agama yang bersifat ritual, tetapi lebih jauh memahami ajaran agama secara holistik.

Politik agamawan dengan demikian tidak bisa dimaknai secara sempit sekedar dukung mendukung, atau sekedar mengeluarkan dalil-dalil agama untuk mendukung kandidat tertentu, lebih jauh para agamawan punya tanggungjawab agar berpolitik sesuai dengan tuntunan agama yang luhur, terhormat, dan mulia. Saat politik luhur ini dijalankan, maka ajaran agama tetap akan berada di posisinya yang suci, dan para pemeluk agama akan memahami kontestasi politik bukan lagi sebagai ruang permusuhan dan perang antar sesama anak bangsa, tetapi lebih substantif menjadi ruang untuk secara sungguh-sungguh mencari pemimpin yang berkualitas.

Tantangan

Menghadirkan perilaku politik agamawan yang luhur tentu tidaklah mudah, mengingat ada begitu banyak tantangan di negari ini, utamanya terjadinya tarik menarik yang terus menerus antara politik dan agama, dan para agamawan pada sisi yang lain. Agamawan yang mejadi bagian kekuasaan biasanya akan selalu membela perilaku kekuuasaan, sebaliknya agamawan yang berada di luar kekuasaan umumnya akan mengkritik kekuasaan.

Di tengah tarik menarik tersebut, agamawan dimana pun posisinya idealnya dituntut untuk menjadi manusia yang harapannya dapat melampaui kepentingan diri sendiri, kelompok dan menghindari pertarungan politik yang bersifat sesaat. Agamawan dituntut untuk lebih mengamalkan pesan-pesan agung agama yang suci dengan selalu mendorong kebaikan dan kebajikan di tengah-tengah umat manusia yang beragam.

Tulisan ini telah dimuat pada Koran Jawa Pos, 28 Maret 2019.

 

Penulis: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Debat Perdana Capres-Cawapres 2019 yang diselenggarakan KPU telah dilaksanakan. Hiruk pikuknya masih terasa sampai saat ini. Salah satu materi hak asasi manusia yang dibahas adalah terkait dengan difabel. Capres-Cawapres Urut 1 (satu) menjelaskan bahwa sejak disahkannya Undang-Undang No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, pendekatan dalam melihat difabel sudah berbeda, dari yang awalnya charity (belas kasih) ke arah hak asasi manusia, adanya penyamaan bonus bagi atlet difabel dan non difabel dalam event Asian Para Games 2018, dan masih adanya problem penghormatan sosial kepada difabel. Sedangkan Capres Cawapres Urut 2 (dua) lebih mencontohkan figur Zulfan Dewantara, sosok difabel yang dinilai sukses menciptakan lapangan kerja dan menjadi mentor bisnis online.

Tempo debat yang singkat, dan tidak diprioritaskannya isu difabel bagi para kandidat, berdampak pada bahasan difabel yang hanya berkutat di area yang permukaan. Tidak ada ulasan yang utuh dalam melihat persoalan struktural dan kultural difabel dan bagaimana strategi dan program para kandidat untuk membenahi problem yang akut. Karena itu, debat perdana Capres-Cawapres hanya menyampaikan sedikit pesan yang sangat permukaan, di tengah gundukan dan lapis problem yang menimpa kaum difabel di negara ini.

Problem Struktural dan Kultural

Di dunia nyata, kita sangat mudah menemukan bagaimana peminggiran kaum difabel yang terjadi cukup sistemik. Di level struktural, kita masih menemukan peraturan, kebijakan dan aktor pemangku kebijakan yang secara langsung dan tidak langsung diskriminatif kepada difabel. Diantaranya terkait regulasi persyaratan jasmani dan rohani dalam rekruetmen tenaga kerja yang mengakibatkan banyak difabel tidak lolos tes administratif kesehatan; Pasal 433 buku 1 KUH Perdata yang menempatkan sebagian difabel sebagai orang yang tidak cakap hukum, tetapi dalam prakteknya hampir semua difabel dianggap tidak cakap hukum dalam membuat perjanjian hubungan keperdataan, serta aturan hukum KUHAP yang digunakan para penegak hukum sudah tidak cukup dijadikan dasar bagaimana difabel yang berhadapan dengan hukum semestinya diproses dan diadili secara fair.

Problem yang tidak kalah penting adalah aktor struktural pemerintahan yang umumnya masih belum bisa berinteraksi dan melayani difabel dengan selayaknya. Akibatnya, banyak program dan kebijakan yang dikeluarkan pemangku kebijakan tidak tepat dan secara langsung terkatagori diskriminatif. Salah satu program yang tergambar ialah terkait dengan pembangunan sarana prasarana publik yang setiap tahun pasti diadakan, baik pembangunan kantor pemerintahan atau pun fasilitas jalan publik. Setiap sarana prasarana yang dibangun umumnya tidak aksesibel sebab partisipasi difabel dalam pengambilan dan pelaksanaan program sangat lemah, dan pada sisi yang lain tidak banyak pemangku kebijakan yang memahami hambatan-hambatan dasar difabel.

Sektor problem yang tidak kalah akut terjadi di level kultural, di mana kita masih menemukan praktek penghinaan kepada kelompok difabel dengan sebutan kecacatan; pelecehan berupa kekerasan, pemerkosan, dan tindak asusila yang proses hukumnya belum adil; pengabaian terhadap penyelesaian kasus hukum karena kesaksian difabel berhadapan dengan hukum yang dianggap lemah, sampai dengan kekerasan berupa pemasungan yang umumnya menimpa difabel skizofrenia.

Secara umum bisa kita katakan bahwa pelanggaran hak difabel terhimpit dari problem struktural berupa hilangnya pemahaman dan kesadaran dasar pemangku kebijakan bagaimana negara seharusnya memenuhi hak-hak kaum difabel, dan pada sisi yang lain difabel termarginalkan dalam lingkungan sosial terus menerus terjadi.

Pasca Debat

Setelah perhelatan debat pertama yang menegangkan itu, hal penting yang perlu ditagih kepada para Capres dan Cawapres adalah harapan untuk menarasikan lebih detail hambatan-hambatan utama difabel di semua sektor hak dan kemudian menjelaskan terobosan produktif program-program yang harapannya dapat menyelesaikan problem existing yang menimpa kaum difabel saat ini.

Untuk menarasikan hambatan-hambatan utama yang terjadi, penting rasanya para kandidat Capres-Cawapres 2019 untuk mendengar, menjaring aspirasi komunitas, dan melibatkan aktivis difabel untuk mendiskusikan problem utama difabel dengan lebih serius. Pelibatan penuh aktivis difabel sangat penting agar para kandidat tidak kehilangan basis sosial dan menjadikan isu ini hanya sebagai pemanis di saat musim kampanye.

Tulisan ini telah dimuat dalam Koran Kedaulatan Rakyat,  1 Februari 2019.

Penulis: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

KABAR mengejutkan datang dari lstana Negara. Melalui kuasa hukum ilm pemenangan JKW-MA’ Yusril lhza Mahendra menyatakan bahwa Presiden telah menyetu.iui pembebasan Abu Bakar Baasyir Pada tahun 2011 lalu, Puhrsan Pengadilan Negeri Jakarta Selalan menjatuhkan vonis bagi Baasyir selama 15 tahun penjara. Pria sepuh ini dinyatakan terbukti merencanakan dan menggalang dana untuk pelatihan kelompok teroris di Provinsi Aceh. Melalui Yusril dikabarkan, pembebasan Baasyir dilandaskan atas pertimbangan kemanusiaan. Alasan usia yang sudah cukup tua di tambah dengan riwayat medis, akan menjadi dasar utama bagi Presiden Jokowi untuk mengambil dan menetapkan kebijakan. Bahkan tak tanggung-tanggung, menurut Yusril pembebasan Baasyir akan direalisasikan dalam beberapa pekan ke depan tanpa embal-embel syarat. Kehendak politik ini kemudian berubah menjadi eJek bola salju snowbaball effect. Bagi kubu lawdn, langkah petaliana disinyalir erat hubungannya dengan kepentingan politik. Apalagi ada anash yang berkembang bahwa, petahana mulai menyisir dan merangkul simpatisandari kelompok puritan. Untuk mengakhiri petdebatan itu, sekiranya cukup penting untuk mendudukkan persoalan guna memahami kuasa Presiden dalam mengambil kebijakan terhadap seorarE narapidana.

Dalam wilayah peraturan perundang-undangan, pada dasarnya tidak dikenal istilah ‘pembebasan tanpa syarat’ bagi seorang narapidana. Dalam hukum positif di lndonesia, UU Pemasyarakatan hanya mengenal istilah’pembebasan bersyarat’. Pembebasan ini dilakukan manakala seorang ‘pesakitan’ telah menjalani masa pidana paling singkat 2/3 (dua per tiga) masa hukuman.
Dengan ketentuan2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit I (sembilan) bulan.

Melihat ketentuan norma tersebut, tanpa kebijakan Presiden, secara matematis Baasyir dengan sendirinya telah memenuhi kriteria untuk bebas bersyarat sejak Desember 2018. Opsi ini bisa dipenuhi manakala Baasyir menyanggupi untuk menyatakan ikrar secara tertulis untuk setja pada NKRI dan berjanji tidak akan melakukan tildak pidana terorisme. Menjadi pertanyaan kemudian ialah, apakah Presiden mempunyai kewenangan mutlak untuk membebaskan Baasyir tanpa syarat? Jawabannya tentu tidak!!

Dalam konteks pembebasan Baasyir, UUD telah melimiiasi ruang gerak Presiden hanya dalam dua bentuk opsi. Pertama melalui grasi yang diberikan berupa perubahan nganan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Kedua, melalui amnesti yang diberikan berupa pengampunan hukuman yang diberikan Presiden kepada seseorang atau sekelompok orang yang telah melakukan tindak pidana tertentu. (Francesca Lessa, &LeighA. Payne, Annesly in tle Age of Human Rights Ac:countability: Compantive and lnternational Pespectives: Cambridge,2012)

Pada opsi pertarna, grasi dapat diberikan ketika Baasyir atau melalui kuasa hukumnya secara khusus mengajukan permohonan terlebih dahulu kepada Presiden. Permohonan kemudian akan diperlimbangkan Presiden setelah berkonsultasi dengan Mahkamah Agung. Pada opsi kedua sedikit berbeda. Baasyir dan kuasa hukumnya tjdak pedu melakukan permohonan kepada Presiden. Amnesti bisa diberikan atas pertimbangan Presiden setelah teriebih dahulu berkonsultasi dengan Oewan PeMakihn Rakyat.

Namun patut diingat, opsi ini cenderung jauh lebih beral. Minimnya regulasi dalam menakar kriteria pemberian amnesti menjadi tantar€an terbesar dalam opsi ini. Apalagi, preseden mencatat bahwa pemberian amnesti hanya pernah dilakukan pada pelaku kejahatan politik ketika negara berada pada fase transisi.

Terlepas dari beberapa bentangan empirik di atas, perlu dipahami bahwa masing-maisng opsi tersebut tidak mendudukan Presiden sebagai otoritas tunggal dalam pelaksanaan kebijakan.

Kita semua tahu, pasca reformasi Presiden tidak lagi diberikan ruang yang cukup longgardalam pemberian grasi dan amnesti. Masing-masing opsi tersebut diatur dengan prinsip pembahsan kekuasaan yang cukup ketat. Presiden wajib berkonsultasi dan mendengarkan pertimbangan MA maupun DPR dalam melaksanakan perannya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Soal pilihan kebijakan apa yang hendak ditempuh, itu menjadi wilayah kekuasaan presiden.

Tetapi paling tidak, Presiden perlu cermat dalam memilah opsi-opsi yang tersedia. Di satu sisi Presiden dihadapkan pada soal kemanusiaan. Namun disis lain dituntut untuk memiliki komitmen yang kual dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme.

 

Tulisan ini telah dimuat dalam Analisis KR, Kedaulatan Rakyat, 23 Januari 2019.

Penulis: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Di awal tahun, tidak ada salahnya kita mengingat kasus pelanggaran HAM tahun lalu. Setidaknya kasus-kasus yang ada akan memperingatkan pemangku kebijakan agar tidak mengulangi kesalahan di tahun ini. Di hari HAM 2018, Kontras merilis peristiwa pelanggaran HAM yang cukup mengagetkan. Kasus pelanggaran HAM di sektor sumber daya alam (umum) mencapai 194 kasus, okupasi lahan mencapai 65 kasus, kriminalisasi 29 kasus, penembakan atas nama terorisme 15 kasus, penangkapan atas nama terorisme 99 kasus, vonis hukuman mati 21 kasus, penyiksaan (umum) 73 kasus, extrajudicial killing 182 kasus, pelanggaran aksi 32 kasus, pembubaran paksa 75 kasus, pelanggaran di sektor kebebasan beragama dan berkeyakinan 78 kasus, pelarangan aktifitas 28 kasus, intimidasi minoritas 19 kasus, dan persekusi 35 kasus.

Data pemantauan yang dihimpun Kontras memperlihatkan betapa pelanggaran HAM tahun 2018 terbilang sangat besar dan didominasi konflik sumber daya alam dan exstra judicial killing. Pertanyaannya, mengapa peristiwa pelanggaran HAM tersebut masih terjadi? Apakah di Indonesia sedang devisit norma terkait dengan HAM, atau yang bermasalah ialah hilangnya tanggungjawab negara terhadap semangat perlindungan, penghormatan dan pemenuhan HAM?

Terkait dengan norma hukum yang menjamin HAM, pasca jatuhnya rezim Orde Baru norma-norma hukum HAM telah banyak yang disahkan. Kovenan dan sebagian besar konvensi internasional telah diratifikasi lewat perundang-undangan. Norma hukum HAM yang dibuat pemerintah sendiri juga banyak yang telah disahkan. Bahkan UUD 1945 telah menjamin penghormatan dan perlindungan HAM dalam bab yang tersendiri. Walau pun ada beberapa catatan terhadap pengaturan norma hukum HAM, negara Indonesia terbilang cukup maju dalam memproduksi aturan yang menjamin hak asasi manusia.

Letak persoalan suburnya kasus pelanggaran HAM tahun lalu lebih tepat akibat dari lemahnya semangat penyelenggara negara, utamanya ‘aparat keamanan’ dalam menjunjung tinggi prinsip-prinsip HAM dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya. Seperti kasus kriminalisasi dan okupasi lahan dalam kasus konflik sumber daya alam yang memperlihatkan betapa pemerintah dan aparat keamanan tidak cukup jelas bagaimana prinsip dan standar HAM mesti diutamakan dalam menyelesaikan persoalan. Penembakan, penangkapan, penyiksaan dan extrajudicial killing memperlihatkan betapa aparat kemanan masih mengutamakan pendekatan ‘represif’ dibanding dengan cara persuasi dan penegakan hukum yang fair. Sedangkan kasus intimidasi monoritas, persekusi dan pelarangan aktivitas ibadah memperlihatkan betapa aparat keamanan dan pemerintah cenderung abai dalam menjamin hak atas rasa aman setiap warga negara yang ada di negara bangsa ini.

Iluastrasi Beberapa Kasus

Konfllik sumber daya alam tahun lalu dan beberapa masih berlangsung saat ini antara lain terjadi di Tumpang Pitu, kasus Tambang Emas di Simpang Tonang, Pembangunan Waduk Sepat, Pembangunan Panas Bumi di Gunung Talang, konflik Serat Rayon di Sukoharjo dan konflik pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Indramayu. Dari konflik yang terjadi, setidaknya 29 kasus yang di proses di pengadilan dan ironisnya aktivis lingkungan yang sebagian besar warga pemilik lahan ditetapkan sebagai pelaku kriminal. Bahkan, kriminalisasi tidak hanya menimpa aktivis lingkungan dan warga, tetapi menimpa para ahli yang berpendapat sesuai dengan kepakaran ilmunya. Ahli yang terancam hukum ialah Guru Besar Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Suharjo yang digugat atas atas kasus kebakaran hutan dan lahan di area PT JJP. Kasus serupa menimpa Basuki Basis, seorang ahli lingkungan hidup IPB yang digugat karena kesaksiannya dalam kasus yang ditangani KPK terkait kerusakan lingkungan karena pemberian idzin salah satu usaha pertambangan.

Kasus pelanggaran HAM di sektor sumber daya alam lain terjadi Yogyakarta, yakni okupasi tanah dengan dasar kepentingan umum dalam pembangunan Bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA). Demi memperlancar pembangunan bandara, pihak pengembang dan pemerintah melakukan penggusuran paksa dan mengabaikan standar pembangunan yang berbasis HAM. Pengosongan lahan warga dilakukan dengan cara-cara paksa dan tidak menghormati warga yang telah lama tinggal di lokasi. Komnas HAM menyebut pengosongan lahan warga tidak didasarkan pada semangat kemanusiaan dan melanggar terhadap norma-norma HAM yang telah menjadi hukum di Indonesia. Kasus yang okupasi lahan yang serupa juga terjadi di Desa Sidodadi Serdang dan Kota Binjai, di mana lahannya dialihfungsikan menjadi perkebunan tebu yang selanjutnya akan diolah perusahaan.

Di sektor hak sipil politik, kasus extrajudicial killing dengan cara tembak tempat ternyata massif terjadi. Kontras menemukan setidaknya terdapat 236 orang meninggal. Kasus ini ditengarai akibat pernyataan Kapolri yang memerintahkan kepada jajarannya agar bertindak tegas dan melakukan tembak mati kepada jambret, begal dan pengedar narkoba. Di lapangan, pernyataan Kapolri ternyata salah diterjemahkan dan berakibat banyaknya kasus pembunuhan di luar hukum. Banyak orang terbunuh tanpa proses hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.

Butuh Kemauan Pemegang Kekuasaan

Kasus pelanggaran HAM yang menjadi catatan menahun dan belum ada progresifitasnya sampai awal tahun ini adalah terkait penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Pemerintah lewat Menko Polhukum Wiranto pernah berinisiatif membentuk Tim Gabungan Terpadu dan mengadakan pertemuan dengan keluarga korban pada 31 Mei 2018 di Istana Negara. Namun demikian, dalam pertemuan tersebut terkonfirmasi ketidakmauan pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu lewat jalur pengadilan dan muncul rencana yang semata non hukum, yaitu penyelesaian lewat rekonsililasi. Dalam perjalanannya, inisiatif ini tidak mengalami perkembangan dan tidak ada kemauan yang kuat untuk menyelesaikan kasus dan memulihkan hak-hak korban dan keluarganya.

Kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dan beberapa kasus pelanggaran HAM lain berkelindan dengan besarnya informasi hoax dan berita-berita buruk yang secara langsung dan tidak langsung memperkuat stigma, persekusi, ujaran kebencian dan dorongan untuk menghancurkan kelompok-kelompok yang minoritas. Kriminalisasi atas nama pencemaran nama baik seperti yang diatur dalam KUHP dan pelanggaran terhadap Undang-Undang ITE juga semakin tidak terkendali arah penegakannya.

Di awal tahun ini, problem perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia masih menjadi persoalan serius di negara ini. Butuh politicall will pemegang kekuasaan untuk memperbaiki keadaan dan menjadikan standar HAM sebagai basis setiap kebijakan dan implementasi program pembangunan. Termasuk kemauan pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran berat HAM masa. Tanpa itu, pemerintah pusat atau pun daerah akan selalu tercatat sebagai pelanggar HAM dari ke tahun.

Tulisan ini telah dimuat dalam Koran SINDO, 10 Januari 2019.

 

Penulis: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Komisi Pemilihan Umum (KPU) hampir pasti menolak keberatan salah satu partai dan beberapa orang yang mempertanyakan atas masuknya orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dalam daftar pemilih tetap (DPT). KPU menyatakan memiliki landasan yang kuat untuk memasukkan ODGJ dalam daftar pemilih. Namun, ada persyaratan tambahan yang harus dilengkapi ODGJ ketika mau memilih, yaitu harus memiliki surat keterangan sehat dari dokter.

Respon penulis terhadap KPU ada dua, pertama, apresiasi karena lembaga ini telah menghormati hak politik dan kewarganegaraan ODGJ, yang di dalam UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas telah dimasukkan sebagai bagian dari difabel mental. Kedua, persyaratan surat sehat dari dokter sebagai bagian pemenuhan hak pilih difabel mental perlu didiskusikan lebih jauh. Persyaratan sehat jasmani dan rohani bagi difabel sudah lama menjadi momok menakutkan, dalam praktek persyaratan ini berdampak pada diskriminasi dan penghilangan hak-hak difabel.

Terkait dengan hak pilih difabel –dalam hal ini salah satunya ODGJ– secara spesifik hak ini telah dijamin dalam Undang-Undang yang secara spesifik mengatur hak-hak difabel. Dalam Pasal 13 UU No. 8 Tahun 2016 dinyatakan bahwa hak politik bagi difabel diantaranya adalah hak memilih dan dipilih dalam jabatan; memilih partai politk dan/atau individu yang menjadi peserta dalam pemilihan umum; berperan serta aktif dalam sistem pemilihan umum pada semua tahap dan/atau bagian penyelenggaraannya; memperoleh akesibilitas sarana prasarana penyelenggaraan pemilihan umum, pemilihan gubernur, bupati/walikota, dan pemilihan kepala desa atau nama lain; dan memperoleh pendidikan politik.

Begitu pentingnya hak politik bagi difabel, maka Pasal 75 ayat (1) dan (2) Undang-Undang ini memandatkan kewajiban kepada pemerintah pusat dan daerah untuk menjamin agar difabel dapat berpatitisipasi secara efektif dan penuh dalam kehidupan politik, dan menjamin hak dan kesempatan difabel untuk memilih dan dipilih. Pemerintah pusat dan daerah yang dalam hal ini tanggungjawabnya dijalankan oleh KPU dan KPUD agar memperhatikan keragaman disabilitas dan memastikan prosedur, fasilitas dan alat bantu pemilihan bersifat layak, dapat diakses, mudah dipahami dan dapat digunakan oleh difabel.

Norma hukum yang secara khusus juga menjamin hak pilih difabel adalah UU No. 19 Tahun 2011 tentang 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas. Pasal 29 Konvensi ini menegaskan bahwa negara harus menjamin hak politik difabel dan memastikan difabel menikmati hak-hak tersebut atas dasar kesetaraan dengan orang-orang lain. Karena itu negara wajib menjamin prosedur, fasilitas, dan materi yang memadai, dapat diakses, mudah dipahami dan digunakan. Termasuk adalah jaminan untuk untuk memilih secara rahasia.

Pernah Menjadi Polemik

Hak pilih ODGJ pernah ditiadakan secara hukum pada tahun 2015. Peniadaan secara struktural ini kemudian dikasuskan di Mahkamah Konstitusi. Pada waktu itu, Perhimpunan Jiwa Sehat yang dipimpin Jenny Rosanna Damayanti, Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat (PPUA PENCA) yang dipimpin Arini, dan Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM) yang dipimpin Titi Anggraini melakukan judicial review pasal 57 ayat (3) huruf a UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.

Pasal 57 ayat (3) huruf a menyatakan bahwa salah satu persyaratan warga negara Indonesia yang bisa didaftar sebagai pemilih adalah orang yang sedang “tidak terganggu jiwa/ingatannya”. Ketentuan ini oleh para pemohon dinilai berpotensi menghilangkan hak seorang warga negara untuk terdaftar sebagai pemlih dan memberikan suaranya dalam penyelenggaraan pemilihan. Pasal ini dinilai merugikan hak konstitusional yang telah dijamin pada Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, dan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Setelah dilakukan pemeriksaan permohonan dan alat bukti diantaranya mendengarkan keterangan saksi, mendengarkan keterangan ahli dan keterangan para pihak, Mahkamah Konstitusi lewat Putusan Nomor 135/PUU-XIII/2015 menyatakan mengabulkan permohonan untuk sebagian. Pasal 57 ayat (3) huruf a dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang frasa “terganggu jiwa/ingatannya” tidak dimaknai sebagai “mengalami gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan permanen yang menurut bidang kesehatan jiwa telah menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam pemilihan umum”

Membaca Putusan Mahkamah Konstitusi yang kita kenal sebagai pelindung konstitusi (the guardian of constitution), pengawal dan pelindung hak-hak konstitusional warga negara maka kita akan mengerti bahwa ODGJ tidak bisa digeneralisasi dan tidak semua ODGJ tidak memiliki hak pilih. Keputusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pada prinsipnya ODGJ memiliki hak pilih sepanjang ‘gangguan jiwa atau ingatan’ tidak permanen. Keputusan Mahkamah Konsitusi ini didasarkan pada pendapat professional di bidang kesehatan bahwa hilangnya ingatan atau gangguan jiwa yang permanen bisa dimaknai juga menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam pemilihan umum.

Merujuk pada putusan Mahkamah Konsitutusi, maka sudah selayaknya KPU-KPUD memikirkan bagaimana cara mengidentifikasi permanen atau tidaknya seorang ODGJ dan bagaimana cara yang tepat memfasilitasi hak pilih difabel ODGJ. Terkait hal ini, sudah selayaknya KPU-KPUD mengajak diskusi aktifis dan pendamping difabel mental yang ada di Indonesia. Tujuan besarnya adalah menampung bagaimana cara mengenali difabel mental yang ternyata tidak tunggal, belajar bagaimana cara yang tepat untuk berinteraksi, dan terpenting menelaah bagaimana model fasilitasi yang harus dipersiapkan oleh para petugas pemilihan umum. Hal ini penting agar tidak terjadi diskriminasi berulang-ulang kepada difabel mental yang diberikan hak pilihnya.

Pada sisi yang lain, analisis normatif hak pilih difabel dan tinjauan putusan Mahkamah Konstitusi di atas memberikan pesan agar tidak ada lagi pihak yang mempertanyakan hak pilih difabel ODGJ. Sama dengan manusia pada umumnya, ODGJ juga memiliki hak pilih. Lebih jauh, hak ini merupakan sarana bagi komunitas difabel mental untuk memperbaiki nasib mereka dengan memilih pemimpin yang memikirkan hak-hak mereka yang tercerabut. Selama ini, keberadaan mereka disingkirkan dalam pikiran dan wacana publik, dan tidak pernah diperhatikan dengan serius oleh pemangku kebijakan, sehingga banyak di antara mereka harus menjadi korban kekerasan di jalanan, diperkosa oleh orang-orang tidak bertanggungjawab, dan dipermainkan dalam dalam beberapa momen kekerasan. Pertanyaannya, betulkah hak pilih akan menjawab problem dan hak-hak kaum ODGJ? Belum tentu. Tapi hak ini adalah sarana awal pengakuan eksistensi kaum paling marginal di negeri ini.

Tulisan ini telah dimuat dalam Koran SINDO.